Adab-Adab Terhadap Diri (al-Nafs)
Seorang muslim percaya, bahwa kebahagiaannya di dunia dan di akhirat tergantung sejauh mana usahanya mendidik dirinya sendiri, membuatnya baik, menyucikannya, dan membersihkannya. Sebagaimana kesengsarannya juga terkait dengan kerusakan dirinya, kekumuhannya, dan kehinaannya. Dan itu berdasarkan dalil-dalil berikut.
Allah SWT berfirman, “sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (Surat al-Syams: 9-10) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim, dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. " (Surat al-A’râf: 40-42) Dan firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (Surat al-Ashr: 1-3) Dan sabda Rasulullah Saw, “Kalian semuanya akan masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang enggan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Siapa yang menaatiku, maka ia masuk surga. Dan siapa yang bermaksiat kepadaku, maka ia enggan.” Dan sabdanya, “Semua manusia berangkat (di pagi hari) menjual dirinya; memerdekakannya atau menghancurkannya.”(1)
Seorang muslim percaya, bahwa yang bisa menyucikan jiwanya dan membersihkannya adalah iman yang baik dan amal shaleh, kemudian yang membuatnya kotor, hina, dan rusak, adalah buruknya kekufuran dan maksiat. Allah SWT berfirman, “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. "(Surat Hûd: 114) Dan firman-Nya, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka." (Surat al-Mutaffifin: 14) Dan sabda Rasulullah Saw, “Jikalau seorang mukmin melakukan perbuatan dosa, maka akan ada noda hitam di hatinya. Jikalau ia bertaubat, mencabut perbuatannya, dan berusaha untuk bertaubat, maka hatinya akan mengkilat. Jikalau ia menambahnya, maka bertambah hitamlah hatinya sampai semuanya dipenuhi warna hitam. Itulah al-Rân yang disebutkan oleh Allah SWT, ‘Sekali-kali tidak. Itu adalah al-Rân di hati mereka karena apa yang sudah mereka perbuat.”(2) Dan sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah SWT dimana pun engkau berada. Ikutilah keburukan dengan kebaikan, maka ia akan menghapusnya. Dan berinteraksilah dengan orang lain dengan akhlak yang baik.”(3)
Karena itulah, seorang muslim menjalani hidupnya sebagai ‘amil (aktifitis/ pelaku) yang selalu berusaha mendidik dirinya sendiri, menyucikannya, dan membersihkannya. Sebab, ia adalah orang yang paling utama mendidiknya dengan adab-adab yang akan menyucikannya dan membersihkannya dari kotoran-kotoran. Sebagaimana ia menjauhkannya dari segala sesuatu yang akan mengotorinya dan merusaknya, seperti keyakinan-keyakinan yang buruk, kata-kata dan perbuatan-perbuatan yang rusak. Ia berjihad melawan dirinya sendiri malam dan siang, memuhasabahnya setiap waktu, mengiringnya untuk berbuat berbagai kebajikan, mendorongnya untuk melakukan ketaatan, sebagaimana ia menjauhkannya dari kejahatan dan keburukan dengan sebenar-benarnya. Untuk memperbaikinya dan mendidiknya agar bersih dan suci, maka ia mengikuti langkah-langkah berikut ini:
A-Taubat. Maksudnya, membebaskan diri dari segala dosa dan maksiat, menyesali semua dosa yang sudah berlalu, dan berazzam untuk tidak kembali melakukannya lagi di usia selanjutnya. Dan itu berdasarkan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (Surat al-Tahrîm: 8) Dan firman-Nya, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. " (Surat al-Nûr: 31) Dan sabda Rasulullah Saw, “Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah SWT. Saya bertaubat kepadanya sehari sebanyak seratus kali.”(4) Dan sabdanya, “Siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari Barat, maka Allah menerima taubatnya.”(5) Dan sabdanya, “Allah SWT membentangkan tangan-Nya di malam hari agar yang berbuat buruk di siang hari bisa bertaubat, dan Dia membentangkan tangan-Nya di siang hari agar yang berbuat buruk di malam hari bisa bertaubat, sampai matahari terbit dari Barat.”(6) Dan sabdanya, “Allah SWT sangat berbahagia dengan taubat hamba-Nya yang beriman, dibandingkan dengan kebahagiaan seorang laki-laki yang berada di gurun luas, yang membiarkan kenderaannya (untanya) bebas dengan membawa makanannya dan minumannya. Kemudian ia tertidur. Ketika bangun, kenderaannya itu sudah hilang. Ia mencarinya sampai rasa haus menyerangnya, dan berkata, ‘Saya kembali ke tempat saya tadi saja. Kemudian saya tidur sampai mati.’ Ia meletakkan kepalanya di lengannya bersiap untuk mati. Ketika bangun, ia mendapati kenderaannya berada di dekatnya dengan membawa bekalnya, makanannya, dan minumannya. Dan Allah SWT lebih bahagia dengan taubat hamba-Nya, dibandingkan laki-laki ini (yang mendapakan kembali) kenderaannya dan bekalnya.”(7) Dan diriwayatkan, bahwa para Malaikat mengucapkan selamat kepada Adam ketika Allah SWT menerima taubatnya.(8)
B-Al-Muraqabah. Maksudnya, seorang muslim merasa bahwa dirinya selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Ia melazimi al-Muraqabah dalam setiap detik kehidupannya, sampai ia benar-benar yakin bahwa Allah SWT melihatnya, mengetahui segala rahasianya, mengawasi segala amalannya, memperhatikannya, dan memperhatikan perbuatan setiap anak manusia. Dengan begitu, jiwanya tenggelam dalam keagungan Allah SWT dan kesempurnaannya, merasakan kedekatan dalam berzikir kepada-Nya, mendapatkan ketentraman dalam ketaatan kepada-Nya, ingin selalu berada di sisi-Nya, menghadapnya dan berpaling dari selain-Nya. Inilah makna Islâm al-Wajh (menyerahkan diri) dalam firman Allah SWT, “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan." (Surat al-Nisâ’: 125) Dan firman-Nya, “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh." (Surat Luqmân: 22) Ia adalah inti seruan Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya." (Surat al-Baqarah: 235) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah mengawasi kalian.” (Surat al-Nisâ’: 1) Dan firman-Nya, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya." (Surat Yûnus: 61) Dan sabda Rasulullah Saw, “Engkau menyembah Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya. Jikalau engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu.” (9)
Inilah jalan yang ditempuh para al-Sâbiqûn al-Awwalûn dari generasi Salaf shaleh umat ini. Mereka mendidik diri mereka sampai mereka benar-benar yakin dan bisa mencapai derajat para al-Muqarrabîn. Inilah sejumlah Atsar mereka yang menjelaskan hal tersebut:
I. Ditanyakan kepada al-Junaid rahimahullah, “Apa yang bisa membantu untuk menundukkan pandangan?” Ia menjawab, “Dengan mengetahui bahwa pandangan Zat yang Maha Melihat jauh lebih dahulu melihatmu, dari pandanganmu kepada yang engkau lihat.”
II. Sufyan al-Tsauri mengatakan, “Engkau harus selalu merasa diawasi oleh Zat yag tidak tersembunyi apapun dari diri-Nya. Engkau harus berharap dari Zat yang menunaikan janji. Engkau harus hati-hati dari Zat yang memiliki hukuman.”
III. Ibn al-Mubârak mengatakan kepada seorang laki-laki, “Muraqabahlah Allah SWT wahai Fulan.” Laki-laki tadi bertanya kepadanya mengenai Murâqabah, dan ia menjawab, “Selalulah dalam kondisi seakan-akan engkau melihat Allah SWT.”
IV. Abdullah bin Dinar menceritakan, "Kami berangkat menuju Makkah bersama Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu, dan beristirahat di tengah perjalanan. Kemudian ada pengembala yang turun dari bukit. Umar berkata kepadanya, ‘Wahai pengembala, juallah kepada kami seekor kambing dari kambing-kambing ini.’ Pengembala itu menjawab, “Ini ada pemiliknya.’ Umar mengatakan kepadanya, ‘Katakan kepada tuanmu bahwa serigala menyantapnya.’ Ia mengatakan, “Lantas, dimana Allah?’ Umar pun menangis, kemudian ia menghampiri tuannya sang pengembala, membelinya, dan memerdekakannya.
V. Dihikayatkan dari seorang shaleh, bahwa ia melewati sekelompok orang yang berkerumun, kemudian ada seseorang yang duduk jauh menyendiri. Ia pun menghampirinya dan berbicara dengannya. Laki-laki itu berkata kepadanya, “Zikir mengingat Allah SWT lebih menarik.” Ia berkata, “Engkau sendirian.” Ia menjawab, “Bersamaku ada Rabbku dan dua malaikat yang menyertaiku.” Ia berkata, “Siapa yang dahulu dari mereka itu?” Ia menjawab, “Orang yang diampunkan oleh Allah SWT.” Ia bertanya, “Mana jalannya?” Ia mengisyaratkan ke langit, kemudian berdiri dan berjalan meninggalkannya.
VI. Dihikayatkan, bahwa taktala Zulaikha berkhalwat dengan Yusuf alaihisalam, maka ia menutup wajah berhalanya. Kemudian, Yusuf alaihissalam berkata, “Apa yang engkau lakukan?! Apakah engkau malu dengan pengawasan Jamâd (benda keras), sedangkan saya tidak malu dengan pengawasan Zat yang Maha Kuasa lagi Maha Perkara?!
Ada yang mendendengkan syair:
Jikalau engkau tidak berkhalwat sehari pun sepanjang masa, maka jangan katakan
Aku berkhalwat. Tetapi katakanlah, aku ada yang mengawasi
Janganlah engkau menyangka bahwa Allah itu lalai sesaaatpun
Dan tidak juga yang engkau sembunyikan, Dia tidak tahu
Apakah engkau tidak melihat bahwa hari ini cepat berlalu
Dan esok itu dekat bagi orang-orang yang menunggu
C-Al-Muhâsabah. Maksudnya, ketika seorang muslim beramal di kehidupan ini, baik malam maupun siang, dengan amalan yang akan membuatnya bahagia di Akhirat kelak, membuatnya layak mendapatkan kemuliaan dan keridhaan-Nya, dan dunia itu adalah memang masa untuk beramal, maka ia harus melihat kewajiban-kewajiban yang difardhukan kepadanya sebagai modal, kemudian melihat ibadah-ibadah sunnah sebagaimana pedagang melihat keuntungan lebih yang didapatkannya dari modal. Ia melihat segala maksiat dan dosa yang dilakukannya sebagai kerugian dalam perdagangannya. Setelah itu, ia berkhalwat (menyendiri) sesaat di ujung setiap harinya untuk memuhasabah diri melihat amalannya di hari itu. Jikalau ia melihat kekurangan dalam ibadah-ibadah wajibnya, maka ia mencela dirinya sendiri dan memarahinya, kemudian berusaha menutupi kekurangannya saat itu juga. Jikalau ia bisa menQadhanya, maka ia menQadhanya. Jikalau tidak bisa, maka ia memperbanyak ibadah-ibadah sunnah. Jikalau ia melihat kekurangan dalam ibadah-ibadah sunnahnya, maka ia mengganti kekurangannya dan menutupinya. Jikalau ia melihat kerugian karena melakukan perbuatan terlarang, maka ia memohon ampunan Allah SWT, menyesalinya, kemudian mengerjakan kebaikan yang mampu memperbaiki kerusakan tersebut.
Inilah yang dimaksud dengan Muhasabah diri, yang merupakan salah satu cara untuk memperbaikinya, mendidiknya, menyucikannya, dan membersihkannya. Dalil-dalinya adalah berikut:
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Surat al-Hasyr: 18) Dan firman-Nya: “setiap diri memperhatikan” adalah perintah untuk memuhasabah diri terhadap apa yang sudah berlalu untuk hari esok yang ditunggu. Allah SWT berfirman, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. " (Surat al-Nûr: 31) Dan sabda Rasulullah Saw, “Saya bertaubat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya dalam sehari sebanyak seratus kali.”(10) Dan ucapan Umar radhiyallahu anhu, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.”(11) Jikalau malam datang, maka Umar radhiyallahu anhu memukul kedua kakinya dengan rotan, kemudian mengatakan kepadanya, “Apa yang engkau lakukan hari ini?” Ketika Abu Thalhah radhiyallahu anhu dilalaikan oleh kebunnya dari mengerjakan shalat, maka ia mengeluarkan sedekah lillahi taala. Ini tidak dilakukannya kecuali untuk memuhasabah dirinya, menghukumnya, dan mendidiknya.
Dihikayatkan dari al-Ahnaf bin Qais, bahwa ia mendekati lampu dan meletakkan jarinya disitu sampai merasa panas. Kemudian berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai Hunaif, apa yang membuatmu melakukan ini pada hari ini? Apa yang membuatmu melakukan ini pada hari ini?”
Dihikayatkan, seorang yang shaleh yang berprofesi sebagai tentara. Suatu kali, ada perempuan yang membuka pakaian di hadapannya. Ia melihatnya. Kemudian ia mengangkat tangannya, menampar wajahnya, dan mencoloknya seraya berkata, “Engkau mengambil kesempatan untuk sesuatu yang akan memudharatkanmu.”
Ada yang melewati sebuah kamar dan berkata, “Kapan dibangun kamar ini?” Kemudian ia melihat dirinya sendiri dan berkata, “Engkau bertanya kepadaku sesuatu yang tidak ada hubungannya denganmu. Saya akan menghukummu untuk berpuasa selama setahun.” Kemudian ia berpuasa selama setahun. Diriwayatkan juga, ada seorang yang shaleh pergi ke gurun pasir yang panas, kemudian ia berguling-guling disitu dan berkata kepada dirinya sendiri, “Rasakanlah. Dan api Jahannam lebih panas. Apakah engkau tidur di malam hari, lalai di siang hari?” Ada juga yang suatu hari melihat ke atas (atap-atap rumah), kemudian ia mendapati seorang perempuan dan melihatnya. Setelah itu, ia menghukum dirinya untuk tidak melihat ke atas (ke arah langit) lagi selama hidupnya.
Begitulah orang-orang shaleh dari umat ini. Mereka memuhasabah diri atas kesalahan yang mereka lakukan, mencelanya atas kelalaian yang mereka kerjakan, memaksannya untuk bertakwa dan melarangnya untuk mengikuti hawa nafsu, sebagai implementasi dari firman Allah SWT, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)." (Surat al-Nâzi’ât: 40-41)
D-Al-Mujahadah. Maksudnya, seorang muslim harus tahu bahwa musuhnya yang paling keras adalah dirinya sendiri, tabiatnya condong kepada kejahatan, lari dari kebaikan, dan memerintahkan keburukan, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan." (Surat Yûsuf: 53) Nafsu itu suka santai dan suka hidup nyaman, senang menganggur dan larut dalam hawa nafsu. Ia gampang tergoda oleh syahwat, walaupun akan menyebabkan kehancurannya dan kesengsaraannya.
Jikalau seorang muslim mengenal hal ini, maka ia akan membebani dirinya untuk ber-Mujâhadah, mengumumkan perang dan menghunuskan senjata melakukan perlawanan, konsen memperbaiki segala kerusakan dan menentang segala syahwat. Jikalau ia suka santai, maka ia akan membuatnya lelah. Jikalau ia senang syahwat, maka ia akan mengharamkannya. Jikalau ia lalai menjalankan ketaatan atau kebaikan, maka ia akan menghukumnya dan mencelanya, kemudian memaksanya untuk melakukan hal yang dilalaikan, dengan menQadha yang sudah berlalu atau sudah ditinggalkan. Ia menghukumnya dengan dengan cara seperti ini sampai tenang, suci, dan baik. Dan inilah tujuan Mujahadah al-Nafs. Allah Swt berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (Surat al-Ankabut: 69)
Seorang muslim berjihad melawan dirinya sendiri demi Allah SWT, agar ia bisa menjadi baik, suci, dan tenang. Setelahnya, dirinya akan berubah menjadi sosok yang layak mendapat karamah Allah SWT dan ridha-Nya. Seorang muslim juga mengetahui, bahwa ini adalah derap langkah orang-orang shaleh dan jalan orang-orang beriman yang benar keimanannya. Ia menempuh jalan ini karena mengikuti langkah mereka, dan berjalan menapakinya karena menapaki jejak kaki mereka. Rasulullah Saw melakukan Qiyamullail sampai bengkak kedua kakinya yang mulia. Nabi Muhammad Saw ditanya mengenai hal itu, dan beliau menjawab, “Apakah saya tidak ingin menjadi hamba yang bersyukur?”(12) Demi Allah, Mujahadah apakah yang lebih besar dari Mujahadah ini?! Ali radhiyallahu anhu suatu kali berbicara tentang para sahabat Rasulullah Saw, “Demi Allah, saya sudah melihat para sahabat Rasulullah Saw, dan saya tidak melihat ada sesuatu pun yang mampu menyerupai mereka. Mereka berada di pagi hari dalam kondisi kusut, berdebu, pucat, karena menghabiskan malam dengan bersujud dan ber-Qiyam, membaca Kitabullah, saling bergantian antara kaki mereka dan dahi mereka. Jikalau disebutkan nama Allah SWT, mereka akan bergoyang layaknya pohon bergoyang dihembus angin, mata mereka menangis sampai basah baju mereka.
Abu al-Darda radhiyallahu anhu mengatakan, “Jikalau bukan karena tiga hal ini, saya tidak akan ingin hidup walaupun sehari; dahaga karena Allah SWT di siang yang panas, sujud kepada-Nya di tengah malam, dan bermajelis dengan orang-orang yang memilih kata-kata baik sebagaimana memilih buah terbaik.” Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu mencela dirinya sendiri karena kehilangan kesempatan untuk mengerjakan shalat Ashar berjamaah, kemudian ia bersedekah yang nilainya setara dengan dua ratus ribu dirham. Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma jikalau kehilangan kesempatan mengerjakan shalat berjamaah, maka ia akan menghidupkan semua malam harinya di hari tersebut. Suatu hari, ia mengakhirkan shalat Maghrib sampai terbit dua bintang, kemudian ia memerdekakan dua orang budak. Ali radhiyallahu mengatakan, “Semoga Allah SWT merahmati orang-orang yang disangka orang lain sebagai orang-orang yang sakit. Padahal, mereka bukanlah orang-orang yang sakit.” Dan itu karena pengaruh Mujahadah al-Nafs. Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang usianya dan baik amalannya.”(13) Uwais al-Qarni rahimahullah mengatakan, “Ini adalah malam rukuk.” Kemudian ia menghidupkan malamnya dalam satu rukuk. Di malam berikutnya, ia berkata, “Ini adalah malam sujud.” Kemudian ia menghidupkan seluruh malamnya dalam satu sujud.(14) Tsabit al-Bannani rahimahullah mengatakan, “Saya mendapati sejumlah orang, jikalau ada di antara mereka yang mengerjakan shalat, maka ia tidak bisa menghampiri kasurnya kecuali dengan merangkak. Ada juga di antara mereka yang mengerjakan Qiyamullail sampai bengkak-bengkak kakinya karena lamanya berdiri. Kesungguhan mereka dalam beribadah, tingkatannya sama dengan orang yang dikatakan kepadanya bahwa esok adalah hari Kiamat, sehingga tidak ada hari lagi yang tersisa. Jikalau datang musim dingin, maka mereka akan naik ke atap rumah agar hawa dingin bisa menyerang dan membuat mereka tidak bisa tidur. Jikalau datang musim panas, maka mereka akan berdiri di bawah atap agar hawa panas bisa menghalangi untuk tidur. Ada di antara mereka yang meninggal dalam kondisi bersujud. Istri Masruq rahimahullah mengatakan, “Tidak ada yang bisa didapati dari Masruq, kecuali dua betisnya yang bengkak karena lamanya ber-Qiyam. Demi Allah, jikalau saya duduk di belakangnya ketika ia berdiri mengerjakan shalat, maka saya menangis karena kasihan kepadanya.” Ada juga yang jikalau sudah mencapai usia empat puluh tahun, maka ia melipat kasurnya dan tidak tidur sedikit pun. Diriwayatkan, ada seorang perempuan shalehah dari kalangan salaf shaleh yang bernama ‘Ujrah, yang kedua matanya buta. Jikalau datang waktu sahur, maka ia akan menyeru dengan suara yang penuh kesedihan, “Untuk-Mu lah para Ahli Ibadah melewati malam-malam mereka berpacu untuk mendapatkan rahmat-Mu dan keutamaan ampunan-Mu. Kepada-Mu wahai Tuhanku saya memohon, bukan kepada selain-Mu, agar Engkau menjadikanku di barisan terdekat orang-orang yang berpacu, agar Engkau mengangkatku di sisi-Mu di Iliyyin, di derajat para Muqarrabin, agar Engkau memasukkan ke dalam kelompok para hamba-Mu yang shaleh, Engkau adalah Zat yang Maha penyayang dan Maha Agung, Maha Mulia.” Kemudian ia tersungkur bersujud, terus berdoa, dan menangis sampai terbit Fajar.
Catatan Kaki:
(1) Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dalam Kitab al-Thahârah (1)
(2) Diriwayatkan oleh Ibn Majah (4244), al-Imâm Ahmad (2/297) dan al-Turmudzi yang menyatakannya sebagai hasan shahîh
(3) Diriwayatkan oleh al-Imâm Ahmad (5/103, 158, 236), al-Turmudzi (1987), dan al-Hâkim (1/54)
(4) Diriwayatkan oleh Muslim (42) dalam Kitab al-Dzikr wa al-Du’a
(5) Diriwayatkan oleh Muslim (43) dalam Kitab al-Dzikr wa al-Du’a
(6) Diriwayatkan oleh Muslim (31) dalam Kitab al-Taubah
(7) Diriwayatkan oleh Muslim (1) dalam Kitab al-Taubah, dan juga diriwayatkan oleh al-Imâm Ahmad (2/316), (3/ 213)
(8) Al-Ghazâli dalam al-Ihyâ’
(9) Muttafaq alaihi dengan lafal “engkau menyembah”, dan dengan lafal “sembahlah Allah” terdapat dalam Musnad al-Imâm Ahmad (2/132), Fath al-Bâri (11/232) dan Hilyah al-Auliyâ’ (6/115)
(10) Dalam riwayat Muslim dengan lafadz, “Ketika hatiku malas, saya beristighfar kepada Allah SWT dalam seharu sebanyak seratus kali.” Dengan lafafdz ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud
(11) Dengan makna ini juga diriwayatkan oleh al-Turmudzi dengan Sanad Hasan dari Nabi Muhammad Saw bersabda, “Orang yang pintar adalah orang yang melawan nafsunya dan beramal untuk setelah kematian, dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti nafsunya dan berharap berbagai hal kepada Allah SWT.”
(12) Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dalam Kitab al-Tahajjud (6), dan juga oleh Muslim dalam Kitab al-Munafiqin (89/91). Juga diriwayatkan oleh selain keduanya.
(13) Diriwayatkan oleh al-Turmudzi (2329) dan dihasankannya.
(14) Atsar-Atsar yang baik ini dimuat oleh al-Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin
Tidak ada komentar