Adab-Adab Terhadap Kalamullah (al-Quran al-Karim)
Seorang muslim mempercayai kesucian Kalamullah, kemuliaannya, dan keutamaannya dibandingkan dengan kalam lainnya. Al-Quran adalah kalamullah yang tidak mengandung kebatilan, baik di hadapannya maupun di belakangya. Siapa yang berucap dengannya, maka ia benar. Siapa yang berhukum dengannya, maka ia adil. Ahli Kalamullah adalah keluarganya Allah SWT dan orang-orang khusus-Nya. Orang-orang yang berpegang teguh dengannya adalah orang-orang yang sukses dan menang. Dan orang-orang yang berpaling darinya adalah orang-orang yang hancur dan merugi.
Keimanan seorang muslim terhadap keagungan Kitabullah, kesuciannya, dan kemuliannya, semakin bertambah dengan penjelasan mengenai keutamaannya dari sosok yang al-Quran itu diturunkan dan diwahyukan kepadanya; manusia yang mulia Nabi kita Muhammad Saw, seperti sabdanya, “Bacalah al-Quran. Ia akan datang sebagai pemberi syafaat bagi sahabatnya pada hari kiamat.”(1) Dan sabdanya, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya.”(2) Dan sabdanya, “Ahli al-Quran adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya.”(3) Dan sabdanya, “Hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana membersihkannya?” Beliau menjawab, “Membaca al-Quran dan mengingat kematian.”(5). Suatu kali, salah seorang musuh bebuyutannya datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Wahai Muhammad, bacakanlah al-Quran untukku.” Kemudian beliau membaca, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan." (Surat al-Nahl: 90) Rasullah Saw tidak menghentikan bacaannya sampai musuh bebuyutanya itu memintanya untuk mengulangnya, karena saking kagumnya dengan kemulian lafadznya dan kesucian makna-maknanya, pengambilan bayannya, dan magnet kekuatan pengaruhnya. Ia tidak mampu mengangkat kakinya karena mengakui dan melihat sendiri kesucian Kalamullah dan keagungannya, yang terungkap dalam kata-katanya, “Demi Allah, ini sungguh indah, sungguh menawan, di bawahnya subur, di atasnya berbuah, tidak mungkin mengatakan seperti ini seorang manusia.”(6)
Karena itulah, seorang muslim (selain menghalalkan yang dihalalkannya, mengharamkan yang diharamkannya) menjaga adab-adabnya, dan berakhlak dengan akhlaknya. Kemudian, ia juga harus menjaga adab-adab berikut ini ketika membacanya:
1-Membacanya dengan kondisi yang paling sempurna; bersuci, menghadap kiblat, duduk dengan adab dan tenang.
2-Membacanya dengan Tartil dan tidak tergesa-gesa, serta tidak mengkatamkannya kurang dari tiga malam. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, “Siapa yang membaca (mengkhatamkan) al-Quran kurang dari tiga malam, maka ia tidak akan memahaminya.”(7) Rasulullah Saw memerintahkan Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma untuk mengkhatamkan al-Quran setiap tujuh hari, sebagaimana Abdullah bin Masud, Utsman bin Affan, dan Zaib bin Tsâbit juga mengkhatamkannya sekali dalam seminggu.
3-Melazimi khusyu’ ketika membacanya, menampakkan kesedihan, menangis atau pura-pura menangis jikalau tidak bisa menangis, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya al-Quran ini turun dengan kesedihan. Jikalau kalian membacanya, maka menangislah. Jikalau kalian tidak menangis, maka pura-pura menangislah.”(8)
4-Memperbagus suara, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Hiasilah al-Quran dengan suara kalian.”(9) Dan sabdanya, “Bukanlah bagian dari kami orang yang tidak bertaghanni (menyanyikan) al-Quran.”(10) Dan sabdanya, “Allah tidak pernah mengizinkan sesuatu seperti izin yang diberikan-Nya kepada Nabi, yaitu ber-Taghanni dengan al-Quran.”(11)
5-Mensirrkan (tidak mengeraskan) suaranya jikalau khawatir riya atau menganggu orang yang sedang shalat, sebagaimana sabda Nabi Saw, “Orang yang terang-terangan membaca al-Quran seperti orang yang terang-terangan bersedekah.” Sebagaimana diketahui bahwa sedekah itu sunnah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kecuali ada manfaat tertentu jikalau dilakukan secara terang-terangan, seperti mengajak yang lainnya melakukan hal serupa. Hal yang sama juga berlaku untuk membaca al-Quran.
6-Membacanya denga Tadabbur, Tafakkur, penuh keagungan, menghadirkan hati, memahami makna-maknanya dan rahasia-rahasianya.
7-Ketika membacanya, tidak lalai dan menyelisihinya. Sebab, tindakan seperti ini bisa menyebabkan laknat terhadap dirinya sendiri. Ketika ia membaca, “Maka kami jadikan laknat Allah bagi orang-orang yang dusta.” (Surat Ali Imrân: 61) atau “Laknat Allah bagi orang-orang yang zalim.” (Surat Hûd: 18) sedangkan ia sendiri berlaku dusta atau zalim, maka ia melaknat dirinya sendiri. Riwayat berikut ini akan menjelaskan besarnya kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berpaling dari Kitabullah, yang lalai dan sibuk dengan selainnya. Diriwayatkan, bahwa di dalam Taurat Allah SWT berfirman, “Apakah engkau tidak mau jikalau ada kitab (surat) yang dibawakan saudaramu untukmu, ketika itu engkau sedang berada di jalan jalanan dan sedang dalam perjalanan, kemudian engkau berhenti dan sengaja duduk istirahat. Engkau membacanya dan mentadabburinya huruf demi huruf, sampai tidak ada satu bagian pun yang engkau lewatkan. Dan ini adalah Kitab-Ku yang Aku turunkan kepadamu. Lihatlah bagaimana Aku merincikan ucapan di dalamnya, berapa kali Aku mengulangnya agar engkau bisa merenungi catatan panjangnya. Jikalau beberapa orang saudaramu berbicara, maka engkau akan menghadapkan diri kepadanya dengan seluruh wajahmu, engkau perhatikan pembicaraannya dengan seluruh hatimu. Jikalau ada yang sedang berbicara atau ada kesibukan yang membuatmu sibuk untuk mendengarkan pembicaraannya, maka engkau memberikan isyarat kepadanya untuk diam. Inilah Aku yang datang kepadamu, sedangkan engkau berpaling dari-Ku dengan hatimu. Apakah engkau menganggap-Ku lebih rendah dari saudara-saudaramu?!”
8-Berusaha keras untuk berkarakter dengan karakter ahli Kalamullah. Mereka adalah para keluarga Allah SWT dan orang-orang khusus-Nya. Kemudian, juga berusaha keras untuk berpenampilan dengan penampilan mereka, sebagaimana ucapan Abdullah bin al-Mas’ud radhiyallahu anhu, “Selayakya bagi pembaca al-Quran, dikenal dengan malamnya ketika manusia tertidur, dengan siangnya ketika orang-orang merasa lelah, dengan tangisannya ketika orang-orang tertawa, dengan wara’nya ketika orang-orang mencampurkan (halam dengan haram), dengan diamnya ketika orang-orang larut, dengan khusyunya ketika orang-orang bimbang, dan dengan kesedihannya ketika orang-orang berbahagia.”
Muhammad bin Kaab mengatakan, “Kami mengenal pembaca al-Quran dengan warna kuningnya (maksudnya, begadangnya dan lama tahajjudnya).” Wahib bin al-Ward mengatakan, “Dikatakan kepada seseorang, ‘Kenapa engkau tidak tidur?’ Ia menjawab, ‘Keajaiban-keajaiban al-Quran mencampakkan tidurku.” Kemudian Dzu al-Nûn mendendangkan ucapannnya:
Al-Quran menghalangi dengan janji baiknya dan janji buruknya
Tertidurnya mata di malam harinya tidak tertidur
Mereka memahami kalam sang Maha Kuasa dan Maha Mulia
Dengan pemahaman yang menundukkan leher dan men-khudu’kan.
Catatan Kaki:
(1) Diriwayatkan oleh Muslim (252) dalam Kitab Shalat al-Musâfirîn
(2) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (6/236)
(3) Diriwayatkan oleh al-Imâm Ahmad (3/128), dan ada juga dalam Mîzân al-I’tidâl (4820)
(4) Diriwayatkan oleh al-Baihaqî dalam al-Syu’ab dengan pensanadan yang dhaîf, dan terdapat juga dalam Mîzân al-I’tidâl (9085) dan Kanz al-Ummâl (3924)
(5) Orang yang dimaksud disini adalah al-Walîd bin al-Mughîrah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqî dengan pensanadan yang jayyid.
(6) Orang yang dimaksud disini adalah al-Walîd bin al-Mughîrah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqî dengan pensanadan yang jayyid.
(7) Diriwayatkan oleh Ashâb al-Sunan dan dishahihkan oleh al-Turmudzi, kemudian juga diriwayatkan oleh al-Imâm Ahmad (2/164, 193, 195)
(8) Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah (1337) dan dishahihkannya
(9) Diriwayatkan oleh al-Imâm Ahmad (4/283, 285, 296), Ibn Mâjah (1342), al-Nasâi (2/180), dan al-Hâkim (1/571), dan dishahihkannya.
(10) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (9/188), Abu Daud (1469, 1470, 1471) dan al-Imâm Ahmad (1/172, 175, 179)
(11) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (6/236), (9/173, 193), Muslim (34) dalam Kitab Shalat al-Musâfirîn, dan al-Imâm Ahmad (271)
Tidak ada komentar