Adab-Adab Terkait Niat


Seorang muslim mempercayai pentingnya masalah niat ini dan urgesinya terhadap seluruh amalan-amalannya, baik diniyyah (agama) maupun dunwaniyah (duniawi). Sebab, seluruh amalan berhubungan dengan niat. 


Amalan itu menguat dan melemah, benar dan salah, sesuai dengan niat itu sendiri. Keimanan seorang muslim terhadap pentingnya niat ini dalam seluruh amalannya dan kewajiban memperbaikinya, berdasarkan: 


Pertama, berdasarkan firman Allah SWT:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (Surat al-Bayyinah: 5) 


Kedua, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: 

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Amalan-amalan itu sesuai dengan niatnya, dan bagi setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.”(1) 


Dan sabdannya: 

إِنَّ اللهَ تعالى لَا ينظرُ إلى صُوَرِكُمْ وَأمْوالِكُمْ ، ولكنْ إِنَّما ينظرُ إلى قلوبِكم وأعمالِكم

“Allah tidak melihat bentuk kalian dan harta kalian, tetapi hanya melihat hati kalian dan amalan kalian.”(2) 

Melihat hati artinya adalah melihat niat. Sebab, niat adalah pendorong amalan. 


Dan juga sabdanya: 

من هم بحسنة ولم يعملها كتبت له حسنة

“Siapa yang berkeinginan melakukan kebaikan dan belum mengerjakannya, maka ditetapkan baginya satu kebaikan.”(3) 

Sekadar keinginan yang baik saja, ia sudah ditetapkan sebagai amal shaleh yang berhak mendapatkan pahala dan ganjaran. Dan itu karena keutamaan niat yang baik. 


Dan sabdanya: 

النَّاسُ أَربَعَةٌ : رَجُلَ آتَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلْمًا وَمَالاً فَهُوَ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فِى مَالَهِ ، فَيَقُولُ رَجُلٌ لَوْ أَتَانِي اللهُ تَعَالَى مِثْلَ مَا آتَاهُ اللهُ لَعَمِلْتُ كَمَا عَمِلَ. فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَوْتِه عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِى مَالِهِ، فَيَقُولُ رَجُلٌ لَوْ أَتَانِي اللهُ مِثْلَ مَا أَنَاهُ عَمِلْتُ كَمَا يَعْمَلُ، فَهُمَا فِي الْوِزْرِ سَوَاءٌ»

“Manusia itu ada empat: seseorang yang Allah SWT berikan ilmu dan harta, kemudian ia menerapkan ilmunya terhadap hartanya. Kemudian ada yang berkata, ‘Jikalau Allah SWT memberikanku seperti yang diberikan kepadanya, maka saya akan beramal seperti yang dilakukannya.’ Maka, keduanya sama-sama mendapatkan pahala. Kemudian seseorang yang Allah SWT berikan harta dan tidak diberikan ilmu, sehingga ia gagal dengan hartanya. Kemudian seseorang berkata, ‘Jikalau Allah SWT memberikan kepadaku seperti yang diberikan-Nya kepadannya, maka saya akan beramal seperti yang dilakukannya.’ Maka, keduanya sama-sama mendapatkan dosa.”(4) 


Orang yang memiliki niat baik, ia akan diberikan pahala amalan orang yang berbuat shaleh (baik). Dan dosa orang yang memiliki niat yang rusak, ia akan mendapatkan dosa orang yang melakukan amalan yang rusak. Titik tolak masalah ini adalah niat semata. 


Dan sabda Rasulullah Saw di Tabuk: 

إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا ما قَطَعْنَا وَادِيًا وَلَا وَطَتْنَا مَوْطئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ، وَلَا أَنْفَقْنَا نَفَقَةً، وَلَا أَصَابَتْنَا مَخْمَصَةٌ إلا شَرَكُونَا فِي ذَلِكَ وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ . فَقِيلَ لَهُ: كَيْفَ ذَلكَ يَا رَسُولَ الله؟ فَقَالَ : حَبْسَهُمُ الْعُذرُ فَشَرَكُوا بِحُسْنِ النِّيَّةِ»

“Di Madinah ada sekelompok orang yang tidaklah kita melewati suatu lembah dan menapaki suatu wilayah yang membuat murka orang-orang kafir, tidaklah kita mengeluarkan biaya dan tertimpa musibah, kecuali mereka ikut serta bersama kita dalam semua itu, sedangkan mereka di Madinah.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka tertahan oleh udzur. Maka, mereka membersamai kita dengan niat yang baik.”(5) 


Niat yang baiklah yang membuat seseorang yang tidak berperang mendapatkan pahala yang sama dengan yang berperang, membuat orang yang tidak berjihad mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berjihad. 


Dan sabdanya: 

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ، فَقَيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُول؟ فَقَالَ: لأَنَّهُ أَرَادَ قَتل صاحبه"

“Jikalau dua orang muslim bertemu dengan pedang keduanya, maka pembunuh dan yang dibunuh di Neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, ini adalah untuk pembunuh. Bagaimana dengan yang dibunuh?” Beliau menjawab, “Sebab ia ingin membunuh(6) sahabatnya.”(7) 


Niat yang rusak dan keinginan yang buruk, membuat sama kedudukan antara pembunuh yang berhak mendapatkan Neraka dengan yang dibunuh. Jikalau bukan karena niatnya yang rusak, maka ia akan menjadi salah satu penghuni surga. 


Dan sabdanya: 

أَيْمَا رَجُلٍ أَصْدَقَ امْرَأَةً صَدَافًا وَالله يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ . أداءه إليها، فَغَرَّها بالله واسْتَحَلَّ فَرجَهَا بِالْبَاطِلِ، لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ يَلْقَاهُ يَلْقَاهُ وَهُوَ زَان، وَأَيُّمَا رَجل ادانَ مِن رَجَلٍ دينًا وَاللَّهُ يَعْلَمُ مِنْهُ أَنَّهُ لا يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلَيْهِ فَغَرَّهُ بِاللهِ وَاسْتَحَلَّ مَالَهُ بِالْبَاطِلِ، لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ يَلْقَاهُ وَهُوَ سَارِقَ

“Laki-laki mana saja yang memberikan mahar kepada seorang perempuan, dan Allah SWT tahu ia tidak ingin memberikannya kepada perempuan itu, kemudian laki-laki itu menipunya dengan (nama) Allah SWT dan menghalalkan kehormatannya dengan cara yang batil, maka ia akan bertemu Allah SWT di hari pertemuan dengan-Nya sebagai seorang pezina. Laki-laki mana saja yang berhutang dari yang lainnya, dan Allah SWT tahu ia tidak ingin membayarnya, kemudian ia menipunya dengan nama Allah SWT dan menghalalkan hartanya dengan cara yang batil, maka ia akan bertemu Allah SWT di hari pertemuan dengannya sebagai pencuri.”(8) 


Niat buruk membuat yang Mubah berubah menjadi haram, dan yang Mubah menjadi terlarang, kemudian sesuatu yang asalnya mudah menjadi susah. 


Semua ini menguatkan keyakinan seorang muslim tentang pentingnya niat dan urgensinya. Karena itulah, ia membangun seluruh amalannya di atas pondasi niat yang shaleh. Sebagaimana ia berusaha mengerahkan seluruh upayanya untuk tidak beramal tanpa niat, atau beramal tanpa niat yang shaleh. Sebab, niat itu adalah ruhnya amal dan tiangnya. Sahnya amalan tergantung dengan sahnya niat. Dan rusaknya amalan tergantung dengan rusaknya niat. Beramal tanpa niat, maka pelakunya adalah orang yang riya, mutakallif (membebani diri sendiri), dan tercela. 


Seorang muslim meyakini bahwa niat adalah rukun segala amalan dan syaratnya. Ia berpandangan, bahwa niat bukanlah sekadar lafadz dengan lisan “Ya Allah, saya niat ini dan ini”, bukan sekadar ucapan hati semata. Tetapi, ia adalah dorongan hati untuk beramal sesuai dengan tujuan yang shahih, demi mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, sekarang maupun nanti. Sebagaimana ia adalah keinginan yang mengarahkan pelakunya melakukan suatu  perbuatan demi mendapatkan ridha Allah SWT, atau menjalankan perintah-Nya. 


Seorang muslim meyakini bahwa amalan mubah bisa berubah menjadi ketaatan yang berpahala dan berganjaran, dengan niat yang baik. Kemudian ia juga meyakini, bahwa jikalau suatu ketaatan tidak disertai niat yang shaleh, ia akan berubah menjadi maksiat yang diberikan ganjaran dosa dan hukuman. Ia tidak berpandangan, bahwa maksiat itu bisa dipengaruhi oleh niat yang baik, sehingga bisa mengubahnya menjadi ketaatan. 


Orang yang menggibah orang lain untuk menenangkan pikiran yang lainnya, maka ia bermaksiat kepada Allah SWT dan berdosa. Niat yang baik tidak akan memberikan manfaat. Orang yang membangun Mesjid dengan harta yang haram, maka ia tidak mendapatkan pahala. Orang yang menghadiri pesta dansa dan tarian, atau membeli kertas undian untuk mendorong berbagai proyek social, atau untuk kepentingan Jihad dan sejenisnya, maka ia bermaksiat kepada Allah SWT, berdosa, dan tidak mendapatkan pahala. 


Orang yang membangun kubah di kuburan orang-orang shaleh, atau menyembelih binatang ternak untuk mereka, atau bernazar kepada mereka dengan niat Mahabbah (mencintai) orang-orang shaleh, maka ia bermaksiat kepada Allah SWT dan berdosa karena amalannya; walaupun dalam pandangannya niatnya itu baik. Sebab, ia tidak akan berubah menjadi sesuatu yang Mubah dengan niat yang shaleh (baik), kecuali jikalau ia pada dasarnya adalah sesuatu yang mubah dan boleh dilakukan. Sedangkan jikalau ia adalah sesuatu yang pada dasarnya diharamkan, maka ia tidak akan pernah berubah menjadi ketaatan. 


Catatan Kaki: 

(1) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (1/2/), (8/175), (9/29). Kemudian juga diriwayatkan oleh Abu Daud (2201), al-Turmudzi (1647), al-Nasâi (b-59) Kitab al-Thahârah

(2) Diriwayatkan oleh Muslim (1968) dan diriwayatkan oleh al-Imâm Ahmad (2/285, 539)

(3) Diriwayatkan oleh al-Imâm Ahmad (1/279, 361, 539)

(4) Diriwayatkan oleh al-Turmudzi, Kitab al-Zuhd (17)

(5) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri, Kitab al-Zuhd (35) dan Abu Daud dalam Kitab al-Jihâd (19)

(6) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Kitab al-Îmân

(7) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (1/15), (9/5). Kemudian diriwayatkan oleh Muslim (15) dalam Kitab al-Fitan, dan al-Nasâi (7/125)

(8) Diriwayatkan oleh al-Imâm Ahmad (4/332) dan diriwayatkan oleh Ibn Majah (2410) yang hanya berisikan lafal terkait hutang bukan mahar.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.