Kewajiban Kepada Para Imam (Ulama) Kaum Muslimin

Sedangkan Kepada Para Imam (Ulama) Kaum Muslimin, dari Kalangan Para Ahli Qiraah, Para Ahli Hadits, dan Para Ahli Fikih, Maka Seorang Muslim: 


1-Mencintai mereka, menyayangi mereka, dan memohonkan ampunan Allah SWT untuk mereka, kemudian mengakui keutamaan yang mereka miliki. Mereka adalah orang-orang yang disebutkan dalam firman Allah SWT, “dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah." (Surat al-Taubah: 100) Dan sabda Rasulullah Saw, “Sebaik-baik kalian adalah masaku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.”(1)

Sebagian besar Ahli Qiraah, Ahli Hadits, Ahli Fikih, dan Ahli Tafsir, mereka masuk dalam tiga kurun pertama yang kebaikan mereka dipersaksikan oleh Rasulullah Saw. Allah SWT memuji orang-orang yang memohonkan ampunan bagi orang-orang yang lebih dahulu beriman kepada-Nya, dalam firman-Nya, “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami." (Surat al-Hasyr: 10) Jadi, ia memohonkan ampunan bagi semua kaum mukminin dan kaum mukminat. 


2-Tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan, tidak mencela mereka dengan kata-kata, dan tidak juga dengan pendapat. Seorang muslim memahami bahwa mereka adalah para Mujtahid yang penuh keikhlasan. Maka, menyebut mereka haruslah dengan adab. Ia juga mendahulukan pendapat mereka dari pendapat orang-orang setelah mereka, mendahulukan pandangan mereka dari pandangan orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama, ahli fikih, ahli tafsir, dan ahli hadits. Ia tidak meninggalkan pendapat mereka kecuali demi firman Allah SWT, atau demi sabda Rasulullah Saw, atau demi pandangan para sahabat –semoga Allah SWT meridhai mereka semuanya. 


3-Apa yang dituliskan oleh Imam yang empat; Malik, al-Syafii, Ahmad, dan Abu Hanifah, kemudian ucapan mereka dan pandangan mereka terkait masalah-masalah agama, fikih, dan syariat, semua itu berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Tidak ada yang mereka sampaikan kecuali apa yang mereka pahami dari dua pondasi utama ini, atau apa yang mereka istinbathkan dari keduanya, atau apa yang mereka Qiyaskan dari keduanya ketika tidak ada nash dari keduanya atau tidak juga ada isyarat. 


4-Seorang muslim berpandangan, bahwa berpegang dengan karangan salah satu Ulama ini terkait masalah-masalah fikih dan agama, hukumnya boleh-boleh saja. Kemudian ia juga berpandangan, bahwa mengamalkannya sama dengan mengamalkan Syariat Allah SWT, selama tidak bertentangan dengan Nash yang sharih dan shahih dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Sehingga, ia tidak meninggalkan firman Allah SWT dan sabda Rasulullah Saw demi pendapat seseorang, siapapun orangnya. Dan itu berdasarkan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya." (Surat al-Hujurat: 1) Dan firman-Nya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (Surat al-Hasyr: 7) Dan firman-Nya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (Surat al-Ahzâb: 36) Dan sabda Rasulullah Saw, “Siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak.”(2) Dan sabdanya, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang saya bawa.”(3)


5-Ia berpandangan bahwa mereka adalah manusia yang bisa benar dan bisa salah. Kadangkala, bisa jadi salah seorang di antara mereka salah dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun tidak ada maksud dan tidak sengaja melakukanya. Hanya karena lalai atau lupa atau tidak menguasainya. Oleh karena itu, ia tidak fanatic dengan pendapat salah seorang di antara mereka, dan boleh mengambil pendapat salah seorang di antara mereka. Ia tidak menolak pendapat mereka kecuali dengan firman Allah SWT, atau sabda Rasulullah Saw.


6-Ia memahami jikalau ada perbedaan pendapat di antara mereka dalam masalah-masalah furu’ (cabang). Ia berpandangan bahwa perbedaan mereka itu bukanlah berdasarkan kejahilan, dan tidak pula karena fanatic. Tapi, sebabnya bisa jadi pihak yang berbeda pendapat itu tidak sampai hadits kepadanya, atau berpandangan terhapusnya (naskh) hadits yang tidak diambilnya, atau bertentangan dengan hadits lainnya yang sampai kepadanya dan dikuatkannya, atau memahami dengan paham yang berbeda dengan selainnya. Sebab, bisa jadi mereka berbeda dalam memahami Madlul al-Lafdz (apa yang ditunjukkan oleh lafal), sehingga setiap mereka mengiringnya sesuai dengan pahamnya sendiri. Pemisalannya adalah pemahaman Imam al-Syafii rahimahullah tentang batalnya wudhu secara mutlak karena menyentuh perempuan, berdasarkan pehamamannya dari firman Allah SWT, “atau menyentuh perempuan." (Surat al-Mâidah: 6) Ia memahaminya berdasarkan ayat ini, maknanya adalah sentuhan. Ia tidak berpandangan dengan selainnya. Ia berpandangan wajibnya berwudhu karena menyentuh perempuan. Sedangkan yang lainnya berpandangan bahwa maksud menyentuh dalam ayat itu adalah Jima’ (hubungan suami istri), sehingga mereka tidak mewajibkan wudhu karena menyentuh perempuan semata, tapi harus ada kadar lebihnya, seperti sengaja atau adanya al-Lazzah (syahwat).  

Jikalau ada yang mengatakan, “Kenapa al-Syafii tidak menarik lagi pendapatnya agar bersesuaian dengan pendapat para Imam lainnya, sehingga wilayah perbedaan pendapat di kalangan umat bisa diselesaikan?” 

Jawabannya: Tidak boleh baginya memahami sesuatu yang berasal dari Rabbnya tanpa disusupi keraguan sedikit pun, kemudian ia meninggalkan pendapatnya semata-mata demi pendapat atau pemahamna imam lainnya, sehingga ia mengekor pendapat manusia dan meninggalkan firman Allah SWT. Dan itu adalah salah satu dosa paling besar di hadapan Allah SWT. 

Betul, jikalau pemahamannya terhadap Nash, bertentangan dengan Nash yang sharih (jelas) dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah Saw, maka ia harus berpegang dengan Dilalah Nash yang jelas, kemudian meninggalkan pemahamannya terhadap Lafadz yang dilalahnya bukanlah nash yang sharih dan Zhahir. Sebab, jikalau Dilalahnya itu Qath’iyyah (pasti), maka tidak akan ada perbedaan pendapat di tengah umat, apalagi di kalangan para Imam. 


Catatan Kaki: 

(1) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (3/224), (8/113, 176), kemudian diriwayatkan oleh Muslim (214) Kitâb Fadhâil al-Shahâbah

(2) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (3/91), (9/132). Kemudian diriwayatkan oleh Muslim (18) Kitab al-Aqdhiyah

(3) Diriwayatkan oleh al-Nawâwi dan mengomentarinya sebagai hadits hasan shahih. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.