Hukum al-Khiyar dalam Jual Beli

Hukum al-Khiyar dalam Jual Beli


Al-Khiyar disyariatkan dalam jual beli untuk sejumlah masalah, di antaranya: 


1) Selama Penjual dan Pembeli berada di Majelis sebelum keduanya berpisah, maka masing-masing keduanya memiliki hak al-Khiyar, untuk melanjutkan Jual Beli atau membatalkannya, berdasarkan sabda Rasulullah, “Dua orang yang berjual beli berada dalam al-Khiyar selama keduanya belum berpisah. Jikalau keduanya jujur dan jelas, maka keduanya diberkahi dalam perdangannya. Jikalau keduanya menutupi dan berdusta, maka dihapus keberkahan perdagangan keduanya.”(1)


2) Jikalau salah seorang dari dua orang yang berjual beli mensyaratkan waktu tertentu untuk al-Khiyar, kemudian keduanya bersepakat, maka keduanya berada dalam hak al-Khiyar sampai habis masanya, kemudian Jual Beli sudah berlaku, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Kaum Muslimin itu berada di atas syarat-syarat mereka.”(2)


3) Jikalau salah seorang di antara keduanya melakukan al-Ghubn al-Fahisy (Tipuan yang parah), yang tipuannya itu mencapai sepertiga atau lebih; sesuatu  yang harganya setara dengan sepuluh, kemudian ia menjualnya seharga lima belas atau dua puluh misalnya, maka pembelinya bisa melakukan al-Faskh (pembatalan) atau mengambilnya dengan harga yang seharusnya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw kepada orang yang ditipu karena lemah akalnya, “Orang yang engkau membeli darinya, katakanlah kepadanya “tidak boleh ada penipuan.” Ketika jelas adanya al-Ghubn (penipuan), maka orang yang ditipu bisa kembali kepada orang yang menipu, kemudian penjualnya mengembalikan kelebihannya, atau bisa juga dengan membatalkan jual beli. 


4) Jikalau penjual melakukan al-Tadlis kepada pembeli, dengan memperlihatkan yang baik dan menyembunyikan yang buruk, atau memperlihatkan yang layak dan menyembunyikan yang rusak, atau menahan susu di perahan domba, maka pembelinya mendapatkan hak al-Khiyar antara melakukan al-Faskh atau melanjutkan Jual Beli, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Janganlah menahan susu unta dan kambing (dengan mengikatnya).  Barangsiapa membelinya ia boleh memilih dari dua hal setelah memeras susunya; ia boleh tidak mengembalikannya, atau ia boleh mengembalikannya dengan satu sha' kurma."(3)


5) Jikalau dalam barang yang dijual tersebut terdapat aib yang mengurangi harganya, yang sebelumnya belum diketahui oleh pembeli dan sudah diridhainya ketika tawar menawar, maka pembeli memiliki hak al-Khiyar untuk melanjutkan jual beli atau al-Faskh, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Tidak halal bagi seorang Muslim menjual sesuatu kepada saudaranya yang ada aibnya, kecuali menjelaskannya.”(4) Dan sabdanya dalam al-Shahih, “Siapa yang menipu kami, maka ia bukanlah dari kami.”(5)


6) Jikalau Penjual dan Pembeli berbeda tentang kadar harga atau deskripsi barangnya, maka  masing-masingnya bersumpah kepada yang lainnya, kemudian keduanya berada dalam al-Khiyar antara melanjutkan Jual Beli atau membatalkannya, berdasarkan riwayat, “Jikalau Penjual dan Pembeli berbeda pendapat, barangnya ada dan tidak ada bukti pada salah seorang di antara keduanya, maka keduanya bersumpah.”(6)


Catatan Kaki: 

(1) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/ 76, 77, 84, 85), dan Muslim dalam Kitab al-Buyu’ (47)

(2) Diriwayatkan oleh Abu Daud (12) dalam Kitab al-Aqdhiyah, dan al-Hakim (2/ 49), dan kedudukannya Shahih

(3) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/ 92), Muslim (4) dalam Kitab al-Buyu’, Abu Daud (48), dan al-Nasai dalam al-Buyu’ (14)

(4) Diriwayatkan oleh al-Hakim (2/ 8), dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (5/ 320)

(5) Diriwayatkan oleh Muslim (164) dalam Kitab al-Iman, dan al-Imam Ahmad (3/ 498)

(6) Diriwayatkan oleh Ashab al-Sunan dengan periwayan yang berbeda-beda: Diriwayatkan oleh Abu Daud (3511), Ibn Majah (2186), dan al-Hakim (2/ 45). Ini jikalau tidak ada bukti pada salah seorang di antara keduanya. Jikalau ada, maka ditetapkan hokum dengan bukti tersebut, tidak ada sumpah lagi dan tidak ada perbantahan. Masalah ini ada perbedaan besar pendapat di kalangan ulama. Bentuk ini adalah bentuk paling adilnya, Masalahnya akan sulit jikalau barangnya tidak ada karena sudah habis. Diukur dengan semisalnya, jikalau ada semisalnya. Atau dengan harga, jikalau ada harganya, kemudian diukur dengan harga tersebut. Dalam sejumlah riwayat hadits, tidak disebtkan lafadz “barangnya ada.”

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.