Hukum-Hukum Terkait Kriminalitas (al-Jinayah)
Hukum-Hukum Terkait Kriminalitas (al-Jinayah)
SYARAT-SYARAT WAJIBNYA QISHAS
Syarat-Syarat Wajibnya Qishas
Tidak wajib Qishash untuk pembunuhan atau kerusakan bagian tubuh atau luka, kecuali jikalau terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
1) Orang yang dibunuh adalah orang yang terjaga darahnya. Jikalau ia adalah pelaku zina yang muhshan (sudah menikah) atau murtad atau kafir, maka tidak ada Qishasnya, sebab darah mereka sudah halal karena criminal yang mereka lakukan.
2) Pembunuhnya adalah seorang Mukallaf, yaitu baligh dan berakal. Jikalau ia masih anak kecil atau gila, maka tidak ada Qishas karena belum Taklif, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Diangkat ketetapan dari tiga orang; anak kecil sampai baligh, orang gila sampai sadar, dan orang yang tidur sampai bangun.”
3) Orang yang dibunuh setara dengan yang membunuh, dalam hal agama, kemerdekaan dan status perbudakan. Seorang Muslim tidak boleh dibunuh karena seorang kafir, orang yang merdeka tidak boleh dibunuh karena seorang budak, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Orang Muslim tidak dibunuh karena kafir.”(1) Karena budak itu ada harganya, maka ia dinilai sesuai dengan harganya. Kemudian berdasarkan ucapan Ali radhiyallahu anhu, “Sunnahnya, orang yang merdeka tidak dibunuh karena budak.” Dan hadits Ibn Abbas radhiyallahu anhuma, “Orang yang merdeka tidak dibunuh karena budak.”(2)
4) Orang yang membunuh bukanlah bapak bagi orang yang dibunuh atau ibu, atau kakeknya atau neneknya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Seorang bapak tidak dibunuh karena anaknya.”(3)
SYARAT-SYARAT PELAKSANAAN QISHAS
Syarat-Syarat Pelaksanaan Qishas
Hak Shahib al-Qishas tidak diberikan dalam Qishas, kecuali terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
1) Shahib al-Qishas adalah seorang Mukallaf. Jikalau masih kecil atau gila, maka pelaku kriminalnya (al-Jany) ditahan sampai anak tadi mencapai usia baligh atau sampai orang gila tadi sadarkan diri, kemudian keduanya bisa melakukan Qishas atau mengambil Diyat atau memaafkan. Hal ini diriwayatkan dari para sahabat –semoga Allah SWT meridhai mereka semuanya.
2) Para wali orang yang dibunuh bersepakat melakukan Qishas. Jikalau sebagian mereka ada yang memaafkan, maka tidak ada Qishas. Orang yang tidak memaafkan, maka ia mendapatkan bagian Diyat.
3) Adanya jaminan tidak ada kezaliman dalam proses pelaksanaanya. Jangan sampai luka melebihi semisalnya, jangan sampai dibunuh yang bukan pembunuh, jangan dibunuh perempuan yang masih ada janin di dalam perutnya sampai ia melahirkan dan menyapih anaknya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw ketika seorang perempuan melakukan pembunuhan dengan sengaja, “Ia belum akan dibunuh sampai ia melahirkan kandungannya jikalau dalam kondisi hamil, dan sampai ia menyapih anaknya.”(4)
4) Proses pelaksanaannya dilakukan di hadapan penguasa atau wakilnya, agar aman dari kezaliman dan kelaliman.
5) Dilakukan dengan alat yang tajam, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Tidak ada Qishas kecuali dengan pedang.”(5)
ANTARA QISHAS, DIYAT, DAN MEMAAFKAN?
Dipilih antara Qishas, Diyat dan Memaafkan(6)
Jikalau seorang Muslim memiliki kewajiban terkait al-Dam (darah/ pembunuham), maka diberikan pilihan antara tiga hal; Qishas, atau Diyat, atau memaafkan, berdasarkan firman Allah SWT, “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Surat al-Baqarah: 178) Dan firman-Nya, “maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (Surat al-Syura: 40) Dan sabda Rasulullah Saw, “Siapa yang dibunuh seorang keluarganya, maka ia diberikan pilihan dengan yang terbaik dari dua pandangan; Diyat atau Qishas.”(7) Dan sabdanya, “Tidaklah seseorang memaafkan sebuah kezaliman, kecuali Allah SWT akan menambahkan kemuliaannya karenanya.”(8)
[Beberapa Peringatan]
1) Siapa yang memilih Diyat, maka gugur haknya untuk Qishas. Jikalau ia memintanya setelah itu, maka tidak mungkin. Jikalau ia melakukan aksi balas dendam, kemudian melakukan pembunuhan, maka ia dibunuh. Sedangkan jikalau ia memilih Qishas, maka ia bisa mengubahnya dengan Diyat.
2) Jikalau pembunuh meninggal, maka tidak ada pilihan lain bagi wali yang dibunuh kecuali Diyat. Sebab, tidak mungkin dilakukan Qishas dengan meninggalnya sang Pembunuh. Tidak boleh membunuh yang bukan pembunuh, apapun alasannya, berdasarkan firman Allah SWT, “Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Surat al-Isra: 33) Makna “melampui batas dalam membunuh” adalah membunuh yang bukan pembunuh.
3) Kafarat membunuh adalah wajib ditunaikan oleh setiap pembunuh jenis al-Khata’ dan Syibh al-‘Amd, baik yang dibunuh adalah janin maupun sudah berusia tua, baik berstatus merdeka maupun budak, yaitu dengan memerdekakan seorang budak beriman. Jikalau ia tidak mendapatinya, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut, berdasarkan firman Allah Swt, “serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Surat al-Nisa: 92)
Catatan Kaki:
(1) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (1/ 79), al-Turmudzi (1412, 1413). Dan kedudukannya Hasan
(2) Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (8/ 35) dengan sanad yang hasan, dan al-Dar Quthni (3/ 133)
(3) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (1/ 49) dan dishahihkan oleh Ibn al-Jarud. Malik berpendapat bahwa seorang bapak tidak dibunuh karena anaknya, yaitu jikalau pembunuhan tidak tidak disengaja. Jikalau disengaja dan penuh kezaliman, seperti mencekiknya dengan tali atau menyembelihnya dengan pisau, maka ia dibunuh karenanya.
(4) Sunan Ibn Majah (2694)
(5) Diriwayatkan oleh Ibn Majah (2667, 2668) dan tidak dikomentari oleh al-Suyuthi. Sebagian ulama berpandangan bahwa orang yang membunuh dibunuh seperti apa ia membunuh. Jikalau ia membunuh dengan pedang, maka dengan pedang. Jikalau dengan batu, maka dengan batu. Hal ini berdasarkan hadits Muttafaq alaihi bahwa Rasulullah Saw untuk orang yang memecahkan kepala seorang budak perempuan dengan batu, untuk dipecahkan juga kepalanya.
(6) Sebagian ulama berpandangan bahwa pembunuhan yang terjadi karena pengkhianatan, maka tidak ada ruang untuk maaf untuk jenis ini. Jikalau para wali orang yang dibunuh memaafkan, tetapi penguasa tidak boleh memaafkan. Namun, ia harus menghukum pembunuh (al-Ta’zir) dengan mencambuknya sebanyak seratus kali dan mengasingkannya selama setahun.
(7) Shahih al-Bukhari (3/ 165), dan Muslim dalam Kitab al-Hajj (447, 448)
(8) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (2/ 438)
Tidak ada komentar