Hukum, Ketentuan & Adab-Adab Istinja’ Menurut Mazhab Syafii
Hukum, Ketentuan & Adab-Adab Istinja’ Menurut Mazhab Syafii
(Hukum, Ketentuan & Adab-Adab Istinja’ Menurut Mazhab Syafii, berdasarkan Kitab Matan Abi Syuja’)
(Pasal) Hukum Istinja’ adalah wajib setelah buang air kecil dan air besar, Afdhalnya adalah ber-Istinja’ dengan beberapa buah batu, kemudian menyertakannya dengan air. Boleh mencukupkan diri dengan air, atau dengan tiga buah batu untuk menyucikan tempat keluarnya. Jikalau ingin mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya, maka lebih afdhal dengan air.(1)
Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya di padang pasir,(2) tidak membuang air kecil atau air besar di air yang diam,(3) di bawah pohon yang berbuah, di jalanan dan di tempat orang berteduh,(4) lubang,(5) tidak berbicara ketika buang air kecil dan air besar,(6) janganlah menghadap Matahari dan bulan, serta membelakangi keduanya.(7)
(Syarh Syeikh Dr. Musthafa Dibb al-Bugha)
(1) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (149) Muslim (271), dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Saw masuk ke dalam toilet. Kemudian saya dan seorang budak yang bersamaku membawakan seember air dan tombak kecil. Kemudian beliau ber-Instinja’ dengan air."
Tombak kecil: Artinya, untuk konsentrasi dalam shalat, sebagai sutrah (pembatas).
Istinja’: Artinya, membersihkan diri dari bekas najis.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (155) dan selainnya, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Saw mendatangi Ghaith. Kemudian beliau memerintahkanku untuk membawakannya tiga buah batu."
Ghaith adalah tempat rendah yang digunakan untuk membuang hajat. Mutlaknya adalah sesuatu yang keluar dari dubur.
Diriwayatkan oleh Abu Daud (40) dan selainnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jikalau salah seorang di antara kalian pergi ke Ghaith, maka hendaklah dirinya membawa tiga buah batu untuk ber-Istithab dengannya. Karena itu cukup “.
Istithab: Artinya, Istinja’. Dinamakan demikian, karena orang yang ber-Istinja’ membersihkan dirinya dengan menghilangkan najis di tempat keluarnya. Dan itu juga cukup dengan semua yang kering dan bersih, seperti kertas dan lainnya.
Diriwayatkan oleh Abu Daud (44) At-Turmudzi (3099) dan Ibn Majah (357), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw bersabda, “Ayat ini diturunkan tentang penduduk Quba',"
Di dalam Mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. [Surat At-Taubah: 108] Beliau berkata, “Mereka ber-Istinja’ dengan air, kemudian diturunkanlah ayat ini tentang mereka."
(2) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (386) dan Muslim (264), dari Abu Ayyub Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw bersabda:
"Jikalau kalian mendatangi Ghaith, maka janganlah menghadap kiblat dan membelakanginya, akan tetapi menghadaplah ke Timur atau ke Barat."
Ini dikhususkan di padang pasir dan tempat–tempat yang tidak ada penutupnya. Dalil pengkhususannya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (148) dan Muslim (266) dan selain keduanya, dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
"Saya menaiki atap rumah Hafshah untuk beberapa kebutuhanku. Kemudian saya melihat Nabi Saw membuang hajatnya dengan membelakangi kiblat dan menghadap ke Syam."
Hadits pertama untuk tempat yang tidak dipersiapkan membuang hajat, dan tempat yang tercakup dalam kandungan maknanya, yaitu tempat–tempat yang tidak ada penutupnya. Hadits kedua untuk tempat yang dipersiapkan untuk membuang hajat, dan tempat yang tercakup dalam kandungan maknanya. Ini adalah bentuk penggabungan di antara dalil–dalil yang ada. Bisa jadi hukumnya menjadi Makruh; jikalau melakukannya di tempat yang tidak dipersiapkan untuk membuat hajat, akan tetapi ada tutupnya.
(3) Diriwayatkan oleh Muslim (281) dan selainnya, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw, ia dilarang membuang air kecil di air yang tidak mengalir."
Buang air besar lebih jorok, dan lebih utama untuk dilarang. Larangan disini adalah Makruh. Dinukil dari An-Nawawy, bahwa larangan di sini adalah pengharaman. [Lihatlah Syarh Muslim 3/ 187]
(4) Diriwayatkan oleh Muslim (269) dan selainnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Saw bersabda, “Takutlah dengan dua laknat." Mereka berkata, “Apakah dua laknat itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, “Orang yang buang air besar di jalan manusia dan tempat mereka berteduh."
Dua laknat: Artinya, dua perkara yang akan mendatangkan laknat.
(5) Diriwayatkan oleh Abu Daud (29) dan selainnya, dari Abdullah bin Sarjis radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Saw melarang buang air kecil di lubang."
(6)Diriwayatkan oleh Muslim (370) dan selainnya, dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki–laki melewati Rasulullah Saw ketika dirinya sedang buang air kecil. Kemudian laki–laki ini memberi salam kepadanya, akan tetapi beliau tidak menyahutnya.
Diriwayatkan oleh Abu Daud (15) dan selainnya, dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya mendengar Nabi Saw bersabda, ‘Janganlah dua orang laki–laki mendatangi Ghaith, keduanya membuka aurat dan saling berbicara. Sesungguhnya Allah Swt memurkai hal itu."
(7) Imam An-Nawawy menyebutkan dalam Al-Majmu’ (1 /30), bahwa Hadits yang menyatakan hal ini adalah Dhaif, bahkan bathil. Hukum yang benar dan masyhur adalah Makruh menghadap keduanya, bukan membelakanginya. Al-Khatib berkata dalam Al Iqna’ (1 /46 ), “Pendapat inilah yang dipegang ."
Faedah: Disunnahkan bagi orang yang membuang hajat untuk mengucapkan dzikir– dzikir dan do’a–do’a yang berasal dari Rasulullah Saw sebelum masuk ke dalam toilet dan setelah keluar:
Diucapkan sebelum masuk, “Dengan nama Allah. Ya Allah, saya berlindung dari syetan laki – laki dan syetan perempuan."
Al-Bukhari (142) Muslim (375) At-Turmudzi (606)
Seteleh keluar mengucapkan, “Ya Allah ampunilah. Segala puji bagi Allah yang menghilangkan penyakit dari diriku dan menyehatkanku. Segala puji bagi Allah yang membiarkanku mencicipi kenikmatan-Nya, membiarkan kekuatan-Nya berada dalam diriku, dan menghilangkan penyakit-Nya dari diriku ."
Abu Daud (30) At-Turmudzi (7) Ibn Majah (301) dan Ath-Thabrany.
Tidak ada komentar