Jenis-Jenis Air Menurut Mazhab Syafii
Jenis-Jenis Air Menurut Mazhab Syafii
(Jenis-Jenis Air berdasarkan Kitab Matan Abi Syuja’)
Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada tujuh: Air hujan, air laut, air sungai, air sumur, mata air, air salju, dan air dingin (embun.(1)
Kemudian air itu dibagi menjadi empat bagian: Suci dan menyucikan serta tidak makruh, yaitu air Mutlak.(2) Air suci dan menyucikan yang Makruh, yaitu air Musyammas.(3) Air suci namun tidak menyucikan, yaitu air Musta’mal.(4) Air yang berubah karena bercampur dengan sesuatu yang suci.(5) Air najis, yaitu air yang bercampur najis dan jumlahnya tidak sampai dua kulah.(6) Atau airnya mencapai dua kulah, akan tetapi berubah.(7) Dua kulah air kira–kira berjumlah lima ratus liter Baghdad berdasarkan pendapat paling benar.(8)
(Syarh Syeikh Dr. Musthafa Dibb al-Bugha)
(1) Secara ringkas mungkin dikatakan : Bersuci bisa dilakukan dengan setiap air yang keluar dari bumi dan turun dari langit.
Dasar kebolehan bersuci dengan air ini, di antaranya firman Allah Swt:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ
"Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu “. [ Al Anfaal : 11 ]
Kemudian Hadits Nabi Muhammad Saw, di antaranya riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Seorang laki–laki bertanya kepada Rasulullah dan berkata, ‘Kami berlayar di lautan dan membawa sedikit air. Jikalau kami berwudhu’ dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu’ dengan air laut?" Rasulullah Saw bersabda, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya." [Diriwayatkan oleh Al-Khamsah. At-Turmudzi berkata (69), “Derajat Hadits ini adalah Hasan Shahih]
Halal bangkainya: Artinya, boleh dimakan binatang yang mati di dalamnya, seperti ikan dan selainnya, tanpa harus disembelih secara Syar’i.
(2) Dasar kesucian air Mutlak adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (217) dan selainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seorang Badui kencing di Mesjid. Kemudian orang–orang menghampirinya untuk menghajarnya. Maka Nabi Saw bersabda, ‘Biarkanlah dirinya dan siramkanlah seember air di tempat kencingnya itu. Sesungguhnya kalian diutus untuk menjadi orang–orang yang memudahkan, bukan menjadi orang–orang yang menyusahkan."
Menghajarnya: Artinya, memperingatkannya dengan perkataan dan perbuatan.
(3) Yang dipanaskan dalam bejana logam dengan memakai panas matahari. Dikatakan: Sebab kemakruhannya, karena bisa menyebabkan penyakit kusta atau lebih. Hukum Makruhnya berlaku jikalau digunakan untuk badan di negeri yang panas, seperti Hijaz.
(4) Untuk menghilangkan hadats. Dalil kesuciannya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (191) dan Muslim (1616) dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah mendatangiku ketika diriku sakit hampir tak sadarkan diri. Kemudian beliau berwudhu’ dan menuangkan air wudhu’nya kepadaku."
Hampir tak sadarkan diri: Artinya, karena parahnya sakit yang diderita. Jikalau airnya tidak suci, maka beliau tidak akan menuangkannya kepada dirinya.
Dalil ketidakmampuan air itu untuk menyucikan adalah Hadist yang diriwayatkan oleh Muslim ( 283 ) dan selainnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Saw bersabda: Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di air yang diam / tidak mengalir; sedangkan dirinya dalam keadaan junub." Mereka berkata, “Wahai Abu Hurairah, apa yang harus dilakukannya?" Dia menjawab, “Dia harus mengambil airnya/ menciduknya “.
Hadits ini menunjukkan Mandi di air tersebut akan menghilangkan kesuciannya. Jikalau hukumnya tidak seperti itu, maka hal ini tidak akan dilarang. Hukum wudhu’ dalam hal ini sama dengan hukum mandi, karena hakikatnya sama, yaitu menghilangkan hadats.
(5)Sesuatu yang suci yang biasanya tidak dibutuhkan oleh air, dan tidak mungkin memisahkannya jikalau telah bercampur dengan air, seperti Misk, garam dan lain – lainnya. Tentang ketidakmampuannya untuk menyucikan, karena ia tidak dinamakan air lagi dalam keadaan seperti ini.
(6) Diriwayatkan oleh Al-Khamsah, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda ketika dirinya ditanya tentang air yang berada di padang pasir, yang diminum oleh binatang–bintang buas dan binatang–bintang ternak ?. Beliau berkata, “Jikalau airnya mencapai dua kulah, maka tidak akan mengandung najis.“ Dalam lafadz Abu Daud (65) dikatakan, “Ia tidak akan bernajis.“
Binatang buas, yaitu setiap hewan yang memiliki taring dan digunakannya untuk memburu hewan–hewan lainnya.
Pemahaman Haditsnya: Jikalau air tidak sampai dua kulah, maka akan bernajis; walaupun tidak berubah. Pemahaman ini ditunjukkan oleh Hadits riwayat Muslim (278) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Saw bersabda, “JIkalau salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah memasukkan tangannya ke dalam bejana sampai mencucinya tiga kali, karena dia tidak tahu dimana tangannya bermalam.“ Orang yang bangun tidur dilarang memasukkan tangannya ke dalam bejana, khawatir tangannya kotor oleh najis yang tidak kelihatan. Sebagaimana diketahui, najis yang tidak kelihatan tidak akan menyebabkan air berubah. Jikalau bukan karena najis yang tidak kelihatan itu menyebabkan air bernajis hanya dengan persentuhannya, maka hal ini tidak akan dilarang.
(7) Dalilnya adalah Ijma’. Dikatakan dalam Al Majmu’: Ibn Al Mundzir mengatakan: Para ulama bersepakat, bahwa air yang sedikit atau banyak jikalau bercampur dengan najis, kemudian merubah rasanya, atau warnanya, atau baunya, maka air itu najis.
Sedangkan Hadits, “Air Thahur (suci dan menyucikan) tidak akan bernajis oleh apapun, kecuali sesuatu yang merubah rasanya atau baunya.“ Hadits ini Dhaif sekali. Imam An-Nawawy rahimahullah mengomentarinya, “Tidak sah berhujjah dengannya.“ Dia melanjutkan, “Imam Syafi’I menukil kedhaifannya dari Ahli Ilmu.“ [Al Majmu’: 1/ 60]
(8) Artinya, kira–kira sepadan dengan seratus Sembilan puluh liter, atau luas kubus yang panjang sisinya 58 cm. []
Tidak ada komentar