Masalah Al-Syuf’ah dan Hukum-Hukumnya
Masalah Al-Syuf’ah dan Hukum-Hukumnya
Pengertiannya: Sekutu mengambil bagian sekutunya yang dijual, dengan harga jualnya.
Hukum-Hukumnya, yaitu:
1) Penetapannya dalam syariat: Al-Syuf’ah ditetapkan dengan ketetapan Rasulullah Saw. Diriwayatkan dalam al-Shahih, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Saw menetapkan al-Syuf’ah dalam segala sesuatu yang bisa dibagi. Apabila telah dibatasi dan telah diatur peraturannya, maka tidak ada al-Syuf’ah.”(1)
2) Al-Syuf’ah tidak ditetapkan kecuali untuk sesuatu yang bisa dibagi. Jikalau tidak bisa dibagi, seperti kamar mandi dan rumah yang sempit, maka tidak ada al-Syuf’ah, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Untuk sesuatu yang bisa dibagi.”
3) Tidak ditetapkan al-Syuf’ah untuk sesuatu yang bisa dibagi, namun sudah ditetapkan batasannya dan sudah ditetapkan aturannya (dipalingkan jalannya), berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Apabila telah dibatasi dan telah diatur peraturannya, maka tidak ada lagi al-Syuf’ah.” Sebab ketika sudah dibagi, maka sekutu tadi sudah menjadi tetangga, dan tidak ada al-Syuf’ah bagi tetangga, berdasarkan pendapat yang paling Shahih.
4) Tidak ada al-Syuf’ah untuk sesuatu yang bisa dipindah-pindah, seperti pakaian dan hewan. Ia hanya berlaku untuk tanah yang dimiliki bersama, serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya berupa bangunan dan tumbuh-tumbuhan. Sebab, tidak ada mudharat yang dibayangkan akan terjadi untuk selain tanah dan hal-hal yang terkait dengannya, sehingga al-Syuf’ah itu tidak diberlakukan.
5) Hak orang yang berhak mendapatkan al-Syuf’ah (al-Syafi’) menjadi gugur jikalau ia menghadiri akad atau ia mengetahui jual beli tersebut, dan ia tidak boleh menuntut al-Syuf’ah sampai berlalu beberapa waktu, berdasarkan hadits, “Al-Syuf’ah itu bagi orang yang bersegera.”(2) Dan hadits, “Al-Syuf’ah itu seperti mengurai ikatan.”(3) Kecuali ia tidak ada ketika akad, maka ia memiliki hak untuk menuntutnya, walaupun sudah bertahun-tahun.
6) Al-Syuf’ah menjadi gugur jikalau orang yang membelinya, mewakafkan apa yang dibelinya, atau dihibahkannya atau disedekahkannya. Sebab, jikalau al-Syuf’ah ditetapkan, maka maknanya adalah membatalkan semua ibadah ini. Membenarkan semua ibadah ini lebih utama dari menetapkan al-Syuf’ah, yang tidak ada tujuannya kecuali untuk menghilangkan mudharat yang diprediksi.
7) Bagi yang membeli, ia berhak mendapatkan hasilnya dan tumbuhannya yang terpisah. Jikalau ia membangun atau menanam, maka al-Syafi’ bisa memilikinya dengan membayarkan harganya, atau melepaskannya dengan denda untuk kekurangannya, sebab tidak boleh ada mudharat dan memudharatkan.
8) Janji al-Syafi’ kepada pembeli, dan janji pembeli kepada penjual. Maka, al-Syafi’ bisa menuntut pembeli, dan pembeli mengembalikan kepada penjual semua yang wajib adanya al-Syuf’ah.
9) Hak al-Syuf’ah tidak bisa dijual dan tidak bisa dihibahkan. Maka, orang yang memiliki hak al-Syuf’ah tidak bisa menjual haknya, atau menghibahkannya kepada yang lainnya. Sebab, menjualnya atau menghibahkannya bertentangan dengan tujuan pensyariatan al-Syuf’ah, yaitu menghindarkan sekutu dari Mudharat.
Catatan Kaki:
(1) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1) dalam Kitab al-Syuf’ah, dan Muslim (134) dalam Kitab al-Musaqah
(2) Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq dari ucapan Ibn Syuraih
(3) Diriwayatkan oleh Ibn Majah (2500), dan mengandung kelemahan (al-Dhaif)
Tidak ada komentar