Masalah-Masalah al-Li’an (Saling Melaknat)
Masalah-Masalah al-Li’an (Saling Melaknat)
PENGERTIAN
Pengertiannya: Maksudnya, seorang laki-laki menuduh istrinya berzina, dengan mengatakan, “Saya melihatnya berzina.” Atau ia menafikan kehamilan istrinya sebagai perbuatannya, kemudian masalahnya diangkat ke Hakim. Suami diminta untuk mendatangkan bukti, yaitu mendatangkan empat orang saksi yang bersaksi menyaksikan zina. Jikalau ia tidak mampu mendatangkan bukti, maka al-Hakim menetapkan al-Li’an (saling melaknat) di antara keduanya. Suami bersaksi sebanyak empat kali persaksian dengan mengatakan, “Saya bersaksi atas nama Allah SWT, saya benar-benar melihatnya berzina.” Atau “Kehamilan ini bukan perbuatan saya.” Dan berkata bahwa ia akan mendapatkan Laknat Allah SWT jikalau termasuk orang-orang yang berdusta. Kemudian jikalau sang istri mengakui perbuatan zinanya, maka al-Had (hukuman zina) ditegakkan kepadanya. Jikalau tidak, maka sang Istri juga bersaksi sebanyak empat kali persaksian dengan mengatakan, “Saya bersaksi atas nama Allah SWT bahwa ia sama sekali tidak melihatku berzina.” Atau “Kehamilan ini akibat perbuatannya.” Dan mengatakan bahwa ia akan mendapatkan kemurkaan Allah SWT jikalau suaminya termasuk orang-orang yang jujur. Kemudian Hakim memisahkan di antara keduanya dan tidak boleh bersama lagi selamanya.
PENSYARIATAN
Pensyariatannya: Al-Li’an disyariatkan berdasarkan firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (Surat al-Nur: 6-9)
Kemudian berdasarkan ketetapan Rasulullah Saw untuk al-Li’an antara Umaimir al-Ajlani dengan istrinya, dan antara Hilal bin Umayyah dengan istrinya, sebagaimana terdapat dalam al-Shahih. Kemudian berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Dua orang yang saling melaknat, jikalau keduanya berpisah, maka tidak berkumpul selama-lamanya.”(1)
HIKMAH
Hikmahnya: Di antara hikmah pensyariatan al-Li’an adalah sebagai berikut:
1) Menjaga kehomatan pasangan suami istri dan menjaga kehormatan seorang Muslim.
2) Menepis al-Hadd (hukuman) menuduh berzina bagi suami, dan al-Hadd berzina bagi istri.
3) Menafikan anak yang bisa jadi bukan berasal dari pemilik al-Firasy (peraduan).
HUKUM-HUKUM
Hukum-Hukumnya: Hukum-hukum al-Li’an, yaitu:
1) Kedua pasangan suami istri sudah baligh dan berakal, sebab orang yang Gila dan masih kecil tidak masuk dalam wilayah al-Taklif, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Diangkat ketetapan dari tiga…”
2) Suami mengklaim melihat istrinya berzina dan menafikan kehamilan dengan klaim bahwa ia sama sekali tidak menggaulinya, atau tidak menggaulinya selama beberapa waktu yang kehamilan bisa terjadi dalam masa itu, seperti dengan mengklaim bahwa ia menggaulinya kurang dari enam bulan. Jikalau tidak, maka tidak ada al-Li’an. Sebab, al-Li’an tidak disyariatkan dengan sekadar tuduhan, atau dugaaan, berdasarkan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.” (Surat al-Hujurat: 12) Dan sabda Rasulullah Saw, “Hati-hatilah kalian dengan prasangka..”(2) Dan yang lebih baik daripada al-Li’an ketika sekadar tuduhan saja, adalah dengan menjatuhkannya Talak. Ia bisa membebaskan dirinya dari tekanan psikologi dan derita sakit hati.
3) Al-Li’an dilakukan oleh Hakim di hadapan sekelompok kaum Mukminin, dan berdasarkan lafadz yang terdapat dalam ayat yang mulia.
4) Hakim menasehati suami seperti sabda Rasulullah Saw, “Laki-laki mana saja yang mengingkari anaknya, padahal ia menyaksikannya, maka Allah SWT akan menghijab diri darinya, kemudian mencelanya di hadapan para petinggi orang-orang terdahulu dan orang-orang yang kemudian.”(3) Dan menasehati istri dengan sabda Rasulullah Saw, “Perempuan mana saja yang memasukkan kepada suatu kaum, seseorang yang bukan bagian dari mereka, maka ia tidak ada kaitan apapun dengan Allah SWT, dan Dia tidak akan memasukkannya ke dalam surga.”(4)
5) Keduanya dipisahkan dan tidak bersama lagi setelahnya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Dua orang yang saling melaknat, jikalau berpisah, maka tidak berkumpul lagi selama-lamanya.”(5)
6) Anak yang dinafikan dengan al-Li’an, tidak bisa dihubungkan atau dinasabkan kepada sang suami, sehingga keduanya tidak bisa saling mewarisi. Dan ia sama sekali tidak ada kewajiban menafkahinya. Hanya saja, sebagai bentuk kehati-hatian, ia menggaulinya layaknya anaknya sendiri, sehingga ia tidak memberikan zakatnya kepadanya, ditetapkan Mahram antara dirinya dengan anak-anaknya, tidak ada Qishas di antara keduanya, dan tidak sah persaksian antara yang satu terhadap yang lainnya.
Catatan Kaki:
(1) Sudah ditakhrij di bagian sebelumnya
(2) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (4/ 5), Muslim dalam al-Birr wa al-Shilat (28), al-Turmudzi (1988), dan Malik dalam al-Muwattha’ (908)
(3) Diriwayatkan oleh al-Nasai dalam al-Thalaq (48), al-Darimi (2/ 153), dan dishahihkan oleh Ibn Hibban
(4) Diriwayatkan oleh al-Darimi (2/ 153)
(5) Ia bagian dari hadits sebelumnya
Tidak ada komentar