Masalah-Masalah Seputar Al-Ghashab

 Masalah-Masalah Seputar Al-Ghashab


PENGERTIAN

Pengertiannya: Al-Ghashab adalah, menguasai harta orang lain secara paksa tanpa hak. Misalnya, seseorang menguasai rumah orang lain, kemudian meninggalinya; atau menguasai hewan tunggangan orang lain, kemudian mengendarainya. 


HUKUM

Hukumnya: Al-Ghashab diharamkan berdasarkan firman Allah SWT, “Dan janganlah kalian memakan harta kalian di antara kalian secara batil.” (Surat al-Baqarah: 188) Dan sabda Rasulullah Saw, “Ketahuilah, darah kalian dan harta kalian, haram bagi kalian.”(1) Dan sabdanya, “Siapa yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka tujuh lapis bumi akan dikalungkan kepadanya di hari kiamat.”(2) Dan sabdanya, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan jiwanya.”(3)


HUKUM-HUKUM

Hukum-hukum Al-Ghashab, yaitu: 

a) Menghukum orang yang melakukan Al-Ghashab (al-Ghashib) demi hak Allah SWT, dengan memenjarakannya atau memukulnya sebagai peringatan baginya dan bagi orang-orang semisalnya. 

b) Al-Ghasib wajib mengembalikan barang yang sudah diambilnya. Jikalau barang itu rusak di tangannya, maka ia wajib al-Dhaman dengan semisalnya jikalau ada semisalnya atau dengan harganya. 

c) Siapa yang melakukan Al-Ghashab terhadap sesuatu, kemudian merusaknya yang membuat pemiliknya tidak bisa lagi menggunakannya, maka ia mengembalikan semisalnya, kemudian ia bisa mengambil barang yang diambilnya dan dirusaknya. Jikalau tidak ada, maka ia mengembalikan barang yang rusak tersebut sekaligus dengan nilai kekurangannya. 

d) Hasil yang didapatkan dari barang yang menjadi objek Al-Ghashab (al-Maghshub), dikembalikan semuanya. Misalnya, hasil dari hewan, atau hasil dari pepohonan, atau upah dari hewan tunggangan.

e) Jikalau yang dijadikan objek Al-Ghashab adalah tanah, kemudian al-Ghashib membuat bangunan di tanah tersebut, maka ia harus menghancurkan bangunannya, mencabut pepohonannya, kemudian memperbaiki tanah yang sudah rusak karena bangunanya dan tanamannya. Jikalau ia mau, maka ia bisa membiarkan bangunannya dan tanamannya, kemudian mengambil harganya sebagai bentuk pembatalan. Dan itu pun baru bisa dilakukan jikalau pemilik tanahnya ridha, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Tidak ada hak untuk keringat pelaku kezaliman.”(4)

f) Jikalau al-Ghashib berniaga dengan barang yang diambilnya, kemudian ia mendapatkan untung, maka ia harus mengembalikannya dengan keuntungannya. 

g) Jikalau al-Ghashib berbeda pandangan dengan pemilik barang yang menjadi objek Al-Ghashab tentang harga al-Maghshub atau deskripsinya, maka ucapan yang dipegang adalah ucapan al-Ghashib disertai sumpahnya; jikalau pemilik al-Maghshub tidak memiliki bukti. 

h) Orang yang merusak harta orang lain tanpa seizinya, maka ia harus bertanggungjawab (al-Dhaman). Misalnya, dengan membakarnya, atau merobeknya, atau membuka pintu yang tertutup atau membuka kerangkeng atau penutup atau ikatan, sehingga rusaklah yang ada di dalam rumah atau kerangkeng.

i) Anjing peliharaan yang jikalau pemiliknya lalai mengikatnya, sehingga ia menggigit seseorang, maka ia wajib membayar al-Dhaman. 

j) Binatang peliharaan yang dilepaskan di malam hari sehingga ia merusak tanaman, maka pemiliknya harus bertanggung jawab (al-Dhaman), berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Bagi para pemilik harta, mereka harus menjaganya di siang hari. Dan apa yang dirusak di malam hari, itu tanggungan mereka.”(5)

k) Hewan tunggangan tanpa pengendara atau pengendali, kemudian ia merusak sesuatu, maka tidak ada baginya al-Dhaman, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Binatang itu bebas.”(6) Hukum yang sama berlaku jikalau hewan itu dikendarai, kemudian merusak dengan kakinya, “Kaki binatang itu bebas. Sedangkan apa yang dirusak dengan mulutnya atau kedua tangannya, maka ada al-Dhaman nya jikalau dikendarai.”(7)


Catatan Kaki: 

(1) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/ 485)

(2) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (3/ 432), dan terdapat juga dalam al-Shahihaian dengan lafadz yang berbeda-beda. 

(3) Diriwayatkan oleh al-Dar Quthni (3/ 26). Ada riwayat lainnya yang kuat, yaitu, “Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat saudaranya tanpa kerelaannya.” Diriwayatkan oleh Ibn Hibban dan al-Hakim dalam Shahih keduanya, dari Abu Humaid dari Anas  dari Rasulullah Saw. 

(4) Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam al-Kharraj (37), al-Turmudzi (1378), dan al-Dar Quthni (3/36) dan inilah yang diamalkan oleh sejumlah ulama, dan merupakan pendapat dari al-Imam al-Turmudzi

(5) Diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam al-Mujam al-Kabir (6/ 58)

(6)Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (2/ 228, 274)

(7) Diriwayatkan oleh Abu Daud, dan kedudukannya Ma’lul (ada ‘Ilatnya)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.