Masalah-Masalah Seputar Al-Shulh (Damai)
Masalah-Masalah Seputar Al-Shulh (Damai)
PENGERTIAN
Pengertiannya: Al-Shulh adalah akad di antara dua orang berkhusumat yang akan menjadi jalan mengurai perbedaan di antara keduanya. Misalnya, seseorang mengklaim suatu hak kepada orang lain, yang diyakininya sebagai miliknya. Pihak al-Mudda’i (yang mengklaim) menetapkannya karena ketidaktahuannya dan melakukan al-Shulh untuk bagiannya demi menghindari khusumat, kemudian disertai sumpah yang melaziminya ketika ada pengingkaran.
HUKUM
Hukumnya: Al-Shulh hukumnya boleh, berdasarkan firman Allah SWT, “maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (Surat al-Nisa: 128) Dan sabda Rasulullah Saw, “Al-Shulh di antara kaum Muslimin itu boleh, kecuali al-Shulh yang mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram.”(1)
PEMBAGIAN
Pembagiannya: Al-Shulh terhadap harta, ada tiga jenis, yaitu:
a) Al-Shulh ‘ala al-Iqrar: Seseorang mengklaim memiliki hak atas orang lain, dan ia menetapkannya. Kemudian pihak yang mengklaim (al-Mudda’i) memberikannya sesuatu sebagai bentuk al-Shulh karena ia tidak mengingkari haknya, seperti mengurangi sebagian hutangnya yang ada padanya, atau memberikannya sebagian barang yang diakuinya, atau melakukan al-Shulh dengan memberikan sesuatu yang diakuinya dari jenis lainnya, seperti ia mengakui rumahnya, kemudian ia memberikannya sejumlah dirham; atau mengakui hewan tunggangannya, kemudian ia memberikannya pakaian.
b) Al-Shulh ‘ala al-Inkar: (2) Seseorang mengklaim hak atas orang lain, kemudian pihak yang diklaim (al-Mudda’a alaihi) mengingkarinya, kemudian ia melakukan al-Shulh dengan memberikan sesuatu agar ia membiarkan klaimnya, tidak melanjutkannya untuk berkhusumat, dan sumpah yang melaziminya ketika ada pengingkaran.
c) Al-Shulh ‘ala al-Sukut: Seseorang mengklaim hak atas orang lain, kemudian pihak al-Mudda’a alaihi diam saja, tidak mengakui dan tidak pula mengingkari, kemudian pihak al-Mudda’i melakukan al-Shulh dengan memberikan sesuatu agar bisa menggugurkan klaimnya dan meniadakan Mukhasamah.
HUKUM-HUKUM
Hukum-hukum al-Shulh, yaitu:
a) Al-Shulh untuk sesuatu yang diklaim tanpa mengambilnya, seperti menjual sesuatu yang boleh dijual dan sesuatu yang tidak boleh dijual, kemudian juga al-Shulh untuk seluruh hukum jual beli berupa pengambalian karena adanya aib, hak al-Khiyar karena adanya tipuan, dan al-Syuf’ah untuk sesuatu yang tidak bisa dibagi. Jikalau seseorang mengklaim memiliki hak rumah atas yang lainnya, kemudian ia melakukan al-Shulh dengan sepotong pakaian dan mensyaratkannya untuk tidak dipakai oleh Fulan, maka al-Shulh yang dilakukannya tidak sah, sebab ia seperti jual beli bersyarat yang syaratnya merusak akad. Jikalau ia mengklaim sejumlah dinar di saat ini misalnya, kemudian ia melakukan al-Shulh dengan sejumlah dirham secara tidak tunai (al-Muajjalah), maka al-Shulh yang dilakukannya tidak sah, sebab al-Sharf disyaratkan adanya al-Qabdh (serah terima) dalam Majelis. Jikalau ia mengklaim sebuah kebun, kemudian melakukan al-Shulh dengan setengah rumah, maka sekutu (al-Syarik) untuk rumah tersebut berhak menuntut al-Syuf’ah untuk setengah lainnya. Jikalau ia melakukan al-Shulh dengan seekor hewan atas suatu klaim, kemudian ia mendapatinya memiliki aib, maka ia memiliki hak al-Khiyar antara mengembalikannya atau mengambilnya. Begitulah, semua al-Shulh selain dari jenis yang di lakukan al-Shulh, maka hukumnya seperti jual beli dalam seluruh hukumnya.
b) Jikalau salah seorang dari dua orang yang melakukan al-Shulh mengetahui kebohongan dirinya, maka al-Shulh itu batal bagi dirinya. Apa yang diambilnya dari al-Shulh itu, hukumnya haram.
c) Siapa yang mengakui suatu hak, kemudian ia tidak mau mengembalikannya kepada pemiliknya, kecuali jikalau ia diberikan sesuatu, maka itu tidak halal, seperti orang yang mengakui memiliki hutang sebanyak seribu dinar, kemudian ia tidak mau membayarnya kecuali jikalau dikurangi lima ratus. Sedangkan jikalau ia tidak mensyaratkan pengurangan sedikit pun, namun pihak pemberi piutang ber-tabarru’ (berbuat baik bersedekag atau ada al-Syafaah dari yang lainnya, kemudian ia mengurangi sebagian hutangnya, maka pihak yang mengakuinya boleh mengambilnya. Hal itu berdasarkan riwayat Shahih bahwa Rasulullah Saw berbicara dengan para pemberi piutang Jabir agar mereka mengurangi setengah hutangnya.(3) Sebagaimana Kaab bin Malik bekhusumat dengan Ibn Abi Hadrad mengenai hutangnya di Masjid. Suara keduanya meninggi sampai Rasulullah Saw mendengarnya di kamarnya. Kemudian beliau keluar menghampiri keduanya, dan berseru, “Wahai Kaab.” Ia menjawab, “Ya wahai Rasulullah.” Beliau memberikan isyarat untuk mengurangi setengah piutangmu. Ia berkata, “Saya sudah melakukannya wahai Rasulullah Saw.” Beliau berkata, “Berdirilah, dan berikan kepadanya.”(4)
d) Jikalau ia melakukan al-Shulh dengan sekutunya (al-Syarik) untuk membuka sebuah jendela atau sebuah pintu, dengan ganti tententu, maka al-Shulh yang dilakukan hukumnya sah, sebab itu seperti jual beli.
BENTUK PENULISAN AL-SHULH
Bentuk Penulisan al-Shulh
Setelah al-Basmalah yang mulia, pujian kepada Allah SWT, kemudian shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw, “… Fulan sudah melakukan al-Shulh dengan Fulan untuk klaimnya memiliki dan berhak atas rumah Fulan (mendeskripsikannya dan menjelaskannya) yang berada di tangan al-Mudda’a alaihi; Fulan, setelah keduanya bertikai tentang barang yang diklaim. Pihak pertama yang melakukan al-Shulh mengakui klaim pihak kedua, dan membenarkannya dengan pembenaran yang sesuai Syariat dengan nilainya seperti ini… Berupa dirham atau seperti ini.. Berupa barang yang dijadikannya sebagai bahan al-Shulh sesuai Syariat. Keduanya ridha, bersepakat, dan saling mengklaim. Pihak pertama yang melakukan al-Shulh memberikan kepada pihak kedua, semua yang dijadikannya sebagai al-Shulh, dan menerimanya dengan penerimaan yang sesuai syariat. Pihak kedua yang melakukan al-Shulh mengakui bahwa ia tidak berhak atas rumah ini bersama pihak pertama yang melakukan al-Shulh, dan tidak juga berhak untuk meminta hak, tidak berhak mengklaim dan meminta, tidak berhak memiliki dan semi kepemilikan, tidak berhak atas kemanfaatan dan meminta hak kemanfaatan, tidak berhak atas apapun, baik sedikit maupun banyak…
Keduanya saling membenarkan hal tersebut dengan pembenaran yang sesuai Syariat. Hal tersebut sudah selesai dengan jalan seperti ini…
Catatan Kaki:
(1) Diriwayatkan oleh Abu Daud (3594), dan al-Turmudzi (1352) dan dishahihkannya
(2) Al-Imam al-Syafii berpandangan tidak sahnya al-Shulh ‘ala al-Inkar, yang berbeda dengan pandangan Jumhur Ulama.
(3) Shahih al-Bukhari (13) dalam Kitab al-Shulh
(4) Shahih al-Bukhari (14) dalam Kitab al-Shulh
Tidak ada komentar