Masalah-Masalah Seputar ‘Ashabah dalam Warisan

Masalah-Masalah Seputar ‘Ashabah


PENGERTIAN

Pengertian al-‘Ashib. Menurut Istilah, Al-‘Ashib adalah orang yang mendapatkan semua harta ketika sendirian, atau yang tersisa dari al-Furudh jikalau ada, dan tidak mendapatkan warisan apapun jikalau tidak ada yang tersisa dari al-Furudh, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Berikanlah warisan kepada yang berhak menerimanya. Dan apa yang tersisa, maka untuk ahli waris laki-laki yang paling utama.”


PEMBAGIAN ‘ASHABAH

Pembagian al-‘Ashabah. Al-‘Ashabah itu ada tiga jenis: 


1) ‘Ashib bi Nafsihi (‘Ashabah dengan sendirinya)

Ia adalah Bapak dan Kakek ke atas, Anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki ke bawah, saudara kandung atau saudara sebapak, anak laki-laki dari saudara kandung atau anak laki-laki dari saudara sebapak ke bawah, paman kandung dari pihak bapak atau paman sebapak dari pihak bapak, anak laki-laki dari paman kandung atau anak laki-laki dari paman sebapak dari pihak bapak ke bawah, al-Mu’tiq (orang yang memerdekakan) baik laki-laki maupun perempuan, ‘Ashabah dari al-Mu’tiq yang menjadi ‘Ashabah bi Anfusihim (dengan sendirinya), dan Baitul Mal. 


2) ‘Ashib bi Ghairihi (‘Ashabah dengan Selainnya)

Ia adalah semua perempuan yang dijadikan ‘Ashabah oleh laki-laki, sehingga perempuan tersebut mewarisi bersama yang laki-laki dengan kadar laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan. Mereka adalah saudari kandung perempuan dengan saudara kandung laki-lakinya, saudari perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak, anak perempuan bersama saudara laki-lakinya, anak perempuan dari anak laki-laki bersama saudara laki-lakinya atau bersama anak laki-laki dari anak laki-laki jikalau tidak ada yang mendapatkan Furudh. Jikalau ada yang mendapatkan Furudh bersamanya, maka anak laki-laki dari anak laki-laki yang berada di bawahnya tidak membuatnya menjadi ‘Ashabah. Misalnya, seorang laki-laki meninggal, kemudian meninggalkan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, cicit laki-laki (cucu laki-laki dari anak laki-laki). Maka, anak perempuan mendapatkan setengah, anak perempuan dari anak laki-laki mendapatkan seperenam untuk menyempurnakan dua pertiga, kemudian sisanya adalah untuk cicit sebagai ‘Ashabah. 

Atau ia meninggalkan anak perempuan dari anak laki-laki, cicit laki-laki (cucu laki-laki dari anak laki-laki). Maka, anak perempuan dari anak laki-laki mendapatkan setengah secara Furudh, kemudian setengah sisanya untuk cicit laki-laki (cucu laki-laki dari anak laki-laki) sebagai ‘Ashabah. 

Atau ia meninggalkan dua anak perempuan dari anak laki-laki, dan cicit laki-laki (cucu laki-laki dari anak laki-laki).Maka, dua anak perempuan dari anak laki-laki mendapatkan dua pertiga secara Furudh, dan cicit laki-laki (cucu laki-laki dari anak laki-laki) mendapatkan sisanya sebagai ‘Ashabah. 

Semua ini berlaku jikalau anak perempuan dari anak laki-laki, derajatnya sama dengan cicit laki-laki (cucu laki-laki dari anak laki-laki), atau derajatnya lebih tinggi. Sedangkan jikalau derajatnya lebih rendah satu derajat atau lebih, maka ia menghijabnya dengan hijab Isqath (menggugurkan), sehingga ia tidak mendapatkan warisan sama sekali. 


3) ‘Ashib Ma’a Ghairi (‘Ashabah bersama yang lainnya)

Ia adalah semua perempuan yang menjadi ‘Ashabah jikalau berkumpul bersama perempuan lainnya. Ia adalah seorang saudari kandung perempuan atau lebih bersama satu anak perempuan atau beberapa orang anak perempuan, atau bersama seorang anak perempuan dari anak laki-laki atau bersama beberapa anak perempuan dari anak laki-laki, saudari perempuan mewarisinya sendirian jikalau sendiri (tidak bersama yang lainnya) atau bersama saudari-saudari perempuannya yang lainnya jikalau jumlahnya banyak. Dengan catatan, saudari kandung perempuan yang dimaksud disini berada di posisi saudara kandung laki-laki, sehingga ia menghijab yang sebapak; dan saudari perempuan sebapak berada di posisi saudara laki-laki sebapak, sehingga ia menghijab anak laki-laki dari saudara laki-laki secara Mutlak. 


[Peringatan] al-Masalah al-Musytarakah (Masalah Pembagian Warisan Bersama-sama)

Jikalau seorang perempuan meninggal, kemudian meninggalkan suami, ibu, sejumlah saudara laki-laki seibu, seorang laki-laki kandung atau lebih. Maka, masalah ini dari enam (bilangan penyebutnya enam). Suami mendapatkan setengah, yaitu tiga. Ibu mendapatkan seperenam, yaitu satu. Para saudara seibu mendapatkan sepertiga, yaitu dua. Dan saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan apapun, sebab ia adalah Ashabah. Dan Ashabah diharamkan mendapatkan warisan jikalau para Ashab al-Furudh (para pemilik Furudh) sudah menghabiskan warisan. Inilah jawabannya dari masalah ini. 

Hanya saja, Umar radhiyallahu anhu menetapkan untuk menyatukan (al-Tasyrik) antara seorang saudara kandung laki-laki atau sejumlah saudara kandung laki-laki dengan sejumlah saudara laki-laki seibu dalam sepertiga warisan, sehingga mereka bisa membaginya secara rata di antara mereka. Saudara kandung laki-laki mendapatkan bagian yang sama dengan saudara seibu, kemudian yang perempuan mendapatkan bagian sama dengan laki-laki. Karena itulah masalah ini dinamakan dengan masalah al-Musytarikah atau al-Musytarakah, atau al-Hajariyah. Sebab, para saudara kandung berkata kepada Umar radhiyallahu anhu ketika awalnya ia mengharamkan mereka mendapatkan warisan, “Bayangkanlah jikalau bapak kami batu, bukankah ibu kami satu? Bagaimana kami bisa diharamkan, sedangkan saudara laki-laki mendapatkan warisan?” Umar pun puas dengan pendapat mereka, kemudian menetapkan mereka bersama dengan para saudara laki-laki seibu mendapatkan sepertiga bersama-sama. []

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.