Masalah-Masalah Seputar Hibah

Masalah-Masalah Seputar Hibah


PENGERTIAN

Pengertiannya: Ia adalah kebajikan yang dilakukan oleh al-Rasyid (orang yang berakal) dengan apa yang dimilikinya, berupa harta atau barang yang bersifat Mubah. Misalnya, seorang Muslim menghibahkan kepada yang lainnya sebuah rumah atau makanan atau memberikannya sejumlah dirham atau dinar. 


HUKUM

Hukumnya: al-Hibah sama dengan Hadiah, hukumnya disunnahkan. Sebab, keduanya merupakan bentuk kebaikan yang didorong melakukannya dan diperintahkan berpacu melakukannya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Kalian tidak akan pernah mencapai kebajikan sampai kalian menginfakkan dari apa yang kalian cintai.” (Surat Ali Imran: 92) Dan firman-Nya, “Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan.” (Surat al-Maidah: 2) Dan firman-Nya, “dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya." (Surat al-BAqarah 177) Dan sabda Rasulullah Saw, “Dan saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai. Saling bersalamanlah, maka akan hilang kedengkian dari diri kalian.”(1) Dan sabdanya, “Orang yang menarik hibahnya, seperti orang yang menarik kembali muntahnya.”(2) Dan riwayat Aisyah radhiyallah anha bahwa Nabi Muhammad Saw menerima hadiah dan memberikannya pahala/ balasan.”(3) Dan sabdanya, “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahim.”(4)


SYARAT-SYARAT

 Syarat-syarat al-Hibah, yaitu: 

a) Al-Ijab. Maksudnya, jawaban dari al-Wahib kepada seseorang yang meminta sesuatu kepadanya dan memberikannya dengan penuh keridhaan. 

b) Al-Qabul. Maksudnya, pihak yang dihibahkan (al-Mauhub lahu) menerima al-Hibah, dengan mengatakan, “Saya menerima apa yang engkau hibahkan.” Atau ia menerimanya dengan tangannya untuk mengambilnya. Sebab, jikalau seorang Muslim memberikan sebuah pemberian atau sebuah al-Hibah kepada yang lainnya, kemudian tidak diterimanya sampai al-Wahib meninggal, maka ia menjadi hak para ahli waris, tidak ada hak bagi al-Mauhub lahu karena syaratnya tidak terpenuhi, yaitu al-Qabul. Sebab jikalau ia menerimanya, maka itu artinya ia menerimanya dengan jenis penerimaan apapun. 


HUKUM-HUKUM

 Hukum-hukum al-Hibah, yaitu:

a) Jikalau pemberikan diberikan kepada salah seorang anak, maka disunnahkan juga memberikan semisalnya kepada anak-anak yang lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Takutlah kepada Allah SWT. Bersikap adillah terhadap anak-anak kalian.”(5)

b) Diharamkan untuk menarik kembali al-Hibah, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Orang yang menarik Hibahnya, seperti orang yang menarik kembali muntahnya.”(6) Kecuali jikalau al-Hibah itu diberikan oleh bapak kepada anaknya. Maka, ia bisa menariknya kembali. Sebab, anak dan hartanya adalah milik bapaknya. Kemudian berdasarkan sabdanya, “Tidak halal bagi seseorang memberikan sebuah pemberian kepada yang lainnya, kemudian menariknya kembali, kecuali bapak terhadap apa yang diberikannya kepada anaknya.”(7)

c) Dimakruhkan Hibah balasan. Maksudnya, seorang Muslim memberikan hadiah kepada yang lainnya agar ia membalasnya dengan yang lebih banyak, berdasarkan firman Allah SWT, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Surat al-Ruum: 39) Pihak yang diberikan hadiah (al-Muhda ilaih) memiliki hak al-Khiyar antara menerimanya atau menolaknya. Jikalau ia menerimanya, maka ia wajib membalas pihak yang memberikan hadiah (al-Muhdi) dengan sesuatu yang sama atau lebih banyak, berdasarkan riwayat Aisyah radhiyallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Saw menerima hadiah dan membalasnya.(8) Dan sabdanya, “Orang yang berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah.”(9) Dan sabdanya, “Orang yang dibuatkan baginya kebaikan, maka hendaklah ia mengucapkan kepada yang melakukannya, ‘Semoga Allah SWT membalasimu dengan kebaikan.’ Maka, ia sudah memuji dengan tingkatan paling tinggi.”(10)


TATACARA PENULISAN HIBAH

Tatacara Penulisan al-Hibah

Setelah al-Basmallah dan memuji Allah SWT: 

“Fulan yang sudah baligh dan Rasyid melakukan al-Hibah  dalam kondisi sehat dan boleh melakukan al-Tasharruf, kepada si Fulan… Semua tempat yang  berbatasan dengan ini… keduanya mengetahuinya berdasarkan ilmu Syariat, dengan al-Hibah yang sesuai syariat tanpa ganti rugi dan tanpa hibah balik, mencakup al-Ijab dan al-Qabul. Al-Wahib melepaskan al-Washiyyah, dan orang yang diberikan al-Hibah (al-Mauhub lahu) berhak memiliki sesuai Syariat. Dengan begitu, wajib adanya serah terima, dan al-Hibah yang disebutkan menjadi salah satu miliknya dan salah satu haknya. Dan itu dilakukan di tanggal ini…


Catatan Kaki: 

(1) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam al-Muwattha’ (908), dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (6 169)

(2) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/ 15), Abu Daud (3538), dan al-Nasai (6/ 266, 267)

(3) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/ 206)

(4) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/ 73)

(5) Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Hibat (13)

(6) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/ 215) (2621), Abu Daud (3538), dan al-Nasai (6/ 266)

(7) Diriwayatkan oleh Ibn Majah (2377), dan al-Hakim (2/ 46)

(8) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (2585)

(9) Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam al-Zakat (39)

(10) Diriwayatkan oleh al-Turmudzi (2035)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.