Masalah-Masalah Seputar Imam dalam Shalat
Syarat Imam
Syarat untuk menjadi Imam adalah laki-laki yang adil lagi faqih. Tidak sah seorang wanita menjadi Imam untuk laki-laki. Tidak sah seorang fasik yang sudah dikenal kefasikannya menjadi Imam, kecuali ia adalah penguasa yang ditakuti. Tidak sah seorang ummi yang jahil menjadi Imam, kecuali untuk orang-orang semisalnya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Tidak boleh seorang perempuan atau seorang pelaku maksiat mengimami seorang Mukmin, kecuali ia memaksanya dengan kekuasaan, atau mengancamnya dengan cambuk atau pedang.”(1) Riwayat yang menjelaskan tentang perempuan yang menjadi Imam, itu berlaku untuk keluarganya sendiri yang terdiri para wanita dan anak-anak, sebagaimana seorang fasik boleh menjadi Imam dalam kondisi darurat.
Orang yang Paling Utama Menjadi Imam
Orang yang paling utama menjadi Imam dalam shalat berjamaah adalah orang yang paling Qari’ terhadap Kitabullah, kemudian paling paham agama di antara mereka, kemudian paling takwa, kemudian paling tua, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Orang yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling Qari’ terhadap Kitabullah. Jikalau mereka sama dalam Qiraah (bacaan), maka orang yang paling mengetahui tentang sunnah di antara mereka. Jikalau mereka sama dalam sunnah, maka orang yang paling dahulu hijrah di antara mereka. Jikalau mereka sama dalam hijrah, maka orang yang paling tua(2) di antara mereka.”(3) Selama orang tersebut bukanlah penguasa atau pemilik rumah, maka orang yang paling memenuhi ketentuan di ataslah yang lebih utama menjadi Imam dari selainnya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Janganlah seseorang mengimami yang lainnya di tengah keluarganya atau di bawah kekuasaannya kecuali dengan izinnya.”(4)
Keimaman Anak Kecil
Anak kecil hukumnya sah menjadi Imam shalat sunnah, bukan shalat wajib. Sebab, orang yang status shalatnya wajib, tidak boleh shalat di belakang orang yang status shalatnya sunnah. Anak kecil, status shalatnya adalah sunnah, sehingga tidak sah jikalau ia menjadi Imam dalam shalat wajib, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Janganlah kalian berbeda dengan Imam kalian.”(5) Salah satu bentuk perbedaan, jikalau orang yang mengerjakan shalat wajib, shalat di belakang orang yang mengerjakan shalat sunnah. Dalam masalah ini, al-Imam al-Syafii berbeda pendapat dengan Jumhur Ulama. Ia membolehkan anak kecil menjadi Imam dalam shalat wajib, berdasarkan riwayat dari Amru bin Salamah, di dalamnya dijelaskan ucapan Nabi Muhammad Saw kepada kaumnya, “Kalian diimami oleh orang paling Qari’ di antara kalian.” Kemudian ia mengatakan, “Saya mengimami mereka, sedangkan saya masih anak kecil berusia tujuh tahun.”(6) Hanya saja, Jumhur Ulama me-Dhaifkan riwayat ini. Mereka menyatakan bahwa kalaupun hadits ini shahih, maka kemungkinan Nabi Muhammad Saw tidak mengetahui masalah Amru yang menjadi Imam bagi kaumnya. Sebab, mereka berada di Gurun, jauh dari Madinah.
Keimaman Perempuan
Seorang perempuan, hukumnya sah menjadi Imam bagi para peremuan lainnya. Ia berdiri di tengah-tengah shaf mereka. Sebab, Rasulullah Saw mengizinkankan Umm Waraqah binti Naufal mengangkat muazzin di rumahnya bagi dirinya, agar ia bisa shalat bersama keluarganya.(7)
Keimaman Orang yang Buta
Orang yang buta, hukumnya sah menjadi Imam. Sebab, Rasulullah Saw menjadikan Umm Maktum radhiyallahu anhu sebagai penggantinya di Madinah sebanyak dua kali, padahal ia adalah laki-laki buta.(8)
Keimaman Orang yang Tidak Afdhal
Orang yang tidak afdhal, hukumnya sah menjadi Imam, walaupun ada orang yang lebih afdhal (lebih baik) darinya. Sebab, Rasulullah Saw shalat di belakang Abu Bakar, kemudian juga di belakang Abdurrahman bin Auf, padahal beliau lebih afdhal dari keduanya dan dari sekalian makhluk.(9)
Keimaman Orang yang Bertayammum
Orang yang bertayammum, hokumnya sah menjadi Imam bagi orang yang berwudhu. Sebab, Amru bin al-Ash pernah shalat bersama Sariyyah dalam kondisi bertayammum, sedangkan orang-orang yang shalat bersamanya dalam kondisi berwudhu. Kabar itu sampai kepada Nabi Muhammad Saw, dan beliau tidak mengingkarinya.(10)
Keimaman Musafir
Seorang Musafir, hukumnya sah menjadi Imam. Hanya saja, bagi orang mukim yang shalat di belakang Musafir, berkewajiban menyempurnakan shalatnya setelah Imam. Sebab, Rasulullah Saw pernah shalat bersama penduduk Makkah, sedangkan beliau berstatus Musafir. Beliau bersabda kepada mereka, “Wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian, kami adalah kaum yang sedang safar.”(12)
Jikalau Musafir shalat di belakang orang yang mukim, maka ia menyempurnakan shalatnya bersama Imam yang mukim. Suatu ketika, Ibn Abbas radhiyallahu anhu ditanya tentang menyempurnakan rakaat shalat di belakang Imam yang mukim? Ia menjawab, “Sunnah Abi al-Qasim.”(13)
Posisi Berdiri Makmum Bersama Imam
Jikalau seorang laki-laki mengimami laki-laki lainnya, maka ia berdiri di samping kanannya. Begitu juga halnya dengan seorang perempuan yang mengimami perempuan lainnya, ia berdiri di sampingnya. Siapa yang mengimami dua orang atau kebih, mereka berdiri di belakangnya. Jikalau laki-laki dan perempuan ada dalam satu jamaah shalat, maka laki-laki berada di belakang Imam, dan para wanita berada di belakang mereka. Jikalau jamaah itu hanya satu laki-laki dan satu perempuan, maka yang laki-laki, walaupun masih kecil namun sudah mumayyiz, berdiri di samping Imam. Kemudian, yang perempuan berdiri di belakang keduanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Sebaik-baik shaf para lelaki adalah awalnya, dan paling buruknya adalah akhirnya. Sebaik-baik shaf para wanita adalah akhirnya, dan paling buruknya adalah awalnya.”(14)
Kemudian berdasarkan perbuatan Rasulullah Saw yang dalam sebuah peperangan, sedang mengerjakan shalat. Kemudian datanglah Jabir dan berdiri di bagian kirinya. Maka, Rasulullah Saw memutarnya dan menempatkannya di bagian kanannya. Kemudian datang lagi Jabbar bin Sakhr di bagian kirinya. Maka, Rasulullah Saw memegang keduanya dengan kedua tanganya dan menempatkan keduanya di belakangnya.”(15) Dan berdasarkan riwayat Anas radhiyallahu anhu bahwa suatu hari Rasulullah Saw shalat bersamanya dan ibunya, “Kemudian beliau menempatkanku di bagian kanannya, dan menempatkan perempuan di belakang kami.”(16) Dan riwayatnya juga, “Saya dibariskan bersama Yatim lainnya di belakang Rasulullah Saw, dan perempuan tua di belakang kami.”(17)
Sutrah Imam adalah Sutrah bagi yang di Belakangnya
Jikalau Imam shalat menghadap ke suatu sutrah, maka Makmum tidak membutuhkan sutrah lainnya. Sebab, pernah sebuah tombak ditancapkan oleh Nabi Saw, kemudian beliau shalat menghadapnya. Dan beliau tidak memerintahkan kepada seorang pun yang berada di belakangnya untuk meletakkan Sutrah lainnya.(18)
Wajibnya Mutaba’ah (Mengikuti) Imam
Seorang Makmum wajib mengikuti Imamnya, haram baginya mendahuluinya, dan makruh jikalau sama dengannya. Jikalau mendahuluinya ketika Takbiratul Ihram, maka ia harus mengulang shalatnya. Jikalau tidak, batal shalatnya. Begitu juga, shalatnya akan batal jikalau mengucapkan salam sebelumnya. Jikalau ia mendahuluinya ketika rukuk atau sujud atau bangkit dari keduanya, maka ia harus balik lagi untuk rukuk atau sujud setelah Imam. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Imam itu ada untuk diikuti. Maka, janganlah kalian berbeda dengannya. Jikalau ia Takbir, maka Takbirlah. Jikalau ia rukuk, maka rukuklah. Jikalau ia mengucapkan “sami’allahu liman hamidahu”, maka ucapkanlah “allahumma rabbana walakal hamd”. Jikalau ia sujud, maka sujudlah. Jikalau ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk seluruhnya.”(19) Dan sabdanya, “Apakah tidak khawatir salah seorang di antara kalian jikalau mengangkat kepalanya sebelum Imam, kemudian Allah SWT mengubah kepalanya dengan kepala keledai, atau mengubah bentuknya dengan bentuk keledai.”(20)
Imam Meminta Digantikan Makmum Karena Udzur
Jikalau Imam teringat ketika sedang shalat bahwa ia berhadats, atau ia baru saja mengalami hadast (dalam shalatnya), atau berdarah, atau ada sesuatu yang menganggunya dan membuatnya tidak mampu melanjutkan shalat bersama yang lainnya, maka ia bisa meminta maklum yang ada di belakangnya untuk menggantikannya dan menyempurnakan shalat bersama jamaah yang lainnya, kemudian ia bisa pergi. Umar radhiyallahu anhu pernah meminta Abdurrahman bin Auf untuk menggantikannya ketika ia ditusuk dalam shalatnya,(21) kemudian Ali radhiyallahu anhu juga pernah minta digantikan karena luka yang mengenai dirinya.(22)
Imam Meringankan Shalat
Disunnahkan bagi Imam untuk tidak memanjangkan shalatnya, kecuali bacaan rakaat pertama. Jikalau ia berharap agar jamaah yang terlambat bisa mendapatinya, maka sunnah Rasulullah Saw adalah memanjangkannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Jikalau salah seorang di antara kalian mengimami orang banyak, maka ringankanlah. Sebab, di antara mereka ada yang lemah, ada yang sakit, dan ada yang tua. Jikalau ia shalat sendirian, maka panjangkanlah sesuai keinginannya.”(23)
Makruhnya Keimaman Orang yang Dibenci Jamaah
Dimakruhkan bagi seseorang menjadi Imam, bagi khalayak yang tidak menyukainya, yaitu jikalau sebab kebencian mereka itu bersifat agamis (al-Karahah al-Diniyah), berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Tiga orang yang shalat mereka tidak akan diangkat di atas kepala mereka, walaupun sejengkal; seseorang yang mengimami suatu kaum, yang mereka membencinya; perempuan yang tidur di malam hari sedangkan suaminya murka; dan dua orang bersaudara yang saling bermarahan.”(24)
Siapa yang Berada di Belakang Imam & Berpalingnya Imam Setelah Salam
Disunnahkan untuk berada di belakang Imam, orang yang ahli ilmu dan memiliki keutamaan, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Hendaklah berada di bekalangku di antara kalian, orang yang Ulul Ilmu wan Nuha (punya ilmu dan keutamaan).”(25) Sebagaimana disunnahkan bagi Imam jikalau sudah salam, untuk berputar dari tempat shalatnya ke arah kanan, kemudian menghadapkan wajahnya ke jamaah. Sebab, Rasulullah Saw melakukannya. Hal ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Turmudzi, kemudian dihasankannya dari Qubaishah bin Halb, dari bapaknya berkata, “Nabi Saw mengimami kami, kemudian beliau berpaling ke kedua sisinya; ke kanannya dan ke kirinya.”
Meluruskan Shaf
Disunnahkan bagi Imam dan para Makmum untuk meluruskan shaf, sampai ia benar-benar lurus. Sebab, Rasulullah Saw menghadap khalayak dan mengatakan:
تَرَاصُّوا واعْتَدِلُوا
“Rapatkanlah dan luruskanlah.”(26)
Dan mengatakan:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ
“Luruskanlah shaf kalian. Meluruskan Shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat.”(27)
Beliau bersabda, “Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah SWT akan membuat berbeda wajah-wajah kalian.”(28) Dan sabdanya, “Tidaklah ada satu langkah pun yang lebih besar pahalanya, melebihi langkah yang dilangkahkan oleh seseorang menuju celah di dalam shaf, kemudian ia menutupinya.”(29)
Catatan Kaki:
(1) Diriwayatkan oleh Ibn Majah (1081) dan kedudukannya Dhaif. Hanya saja Jumhur Ulama mengamalkan maknanya.
(2) Dalam lafadz lainnya “orang yang paling dahulu Islamnya”.
(3) Diriwayatkan oleh Abu Daud (582), al-Imam Ahmad (3/163), dan al-Nasai (2/76)
(4) Diriwayatkan oleh Muslim (53) dalam Kitab al-Masajid
(5) Sudah di-Takhrij di bagian sebelumnya
(6) Diriwayatkan oleh Abu Daud (585)
(7) Diriwayatkan oleh Abu Daud (591)
(8) Diriwayatkan oleh Abu Daud (595)
(9) Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid (9/46, 181)
(10) Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Shahihnya, dan kedudukannya shahih
(11) Diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam Mu’jam Kabirnya (8/209), dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (3/126)
(12) Diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam Mu’jam Kabirnya (8/209), dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (3/126)
(13) Saya tidak mendapati periwayatannya.
(14) Diriwayatkan oleh Muslim (28) dalam Kitab al-Shalat
(15) Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya
(16) Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya
(17) Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya
(18) Hadits yang Muttafaq alaih
(19) Diriwayatkan oleh al-Turmudzi (261), al-Imam Ahmad (2/230), dan al-Nasai (38) dalam al-Imamah
(20) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/177), Muslim (114) dalam Kitab al-Shalat, dan al-Turmudzi (582)
(21) Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya
(22) Diriwayatkan oleh Said bin Manshur.
(23) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (2/271), al-Nasai (2/294)
(24) Diriwayatkan oleh Ibn Majah (971) dengan pensanadan yang hasan
(25) Diriwayatkan oleh Muslim (28) dalam Kitab al-Shalat
(26) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (3/125, 229)
(27) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/184), Muslim (124) dalam Kitab al-Shalat, dan Abu Daud (668)
(28) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (4/227)
(29) Disebutkan oleh al-Zubaidi dalam Ithaf Sadah al-Muttaqin (9/145), dan disebutkan oleh al-Mudziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib (1/322)
Tidak ada komentar