Masalah-Masalah Seputar Riba Dalam Islam
Masalah-Masalah Seputar Riba Dalam Islam
Pengertian
Pengertiannya: Tambahan sesuatu yang khusus terhadap harta. Jenisnya ada dua: Riba al-Fadhl dan Riba al-Nasiah. Makna Riba al-Fadhl adalah, menjual satu jenis dari barang-barang yang mengandung riba, dengan jenisnya yang sama secara al-tafadhul (tidak sama). Contohnya, menjual satu Qinthar Gandum dengan satu seperempat Qinthar Gandum, misalnya; atau menjual satu sha’ kurma dengan satu setengah sha’ kurma, misalnya; atau menjual satu Uqiyah perak dengan satu Uqiyah plus satu dirham perak, misalnya.
Riba al-Nasiah ada dua jenis: Riba al-Jahiliyah, yaitu yang dijelaskan keharamannya oleh Allah SWT dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda]." (Surat Ali Imran: 130) Hakikatnya, seseorang memiliki piutang kepada yang lainnya dalam jangka waktu tertentu. Kemudian ketika habis masanya, maka ia mengatakan, “Anda melunasinya atau saya akan menambah jumlahnya untuk Anda?” Jikalau orang tadi tidak melunasinya, maka ditambahlah persenannya dan dimundurkanlah jangka waktunya. Begitulah, hutangnya berlipat sampai waktu tertentu, bahkan sampai berlipat-lipat. Di antara bentuk Riba al-Jahiliyah juga, memberinya sepuluh dinar, misalnya, dengan ketentuan membayarnya lima belas dinar sampai jangka waktu tertentu, baik jarak waktunya dekat maupun jauh.
Riba al-Nasiah, yaitu menjual sesuatu yang masuk dalam kategori barang Riba, seperti salah satu dari emas dan perak, atau Gandum, atau kurma, dengan jenis lainnya yang juga masuk dalam kategori barang Riba dengan cara al-Nasiah (menunda/ tidak tunai). Contohnya, seseorang menjual satu Qinthar kurma dengan satu Qinthar Gandum sampai jangka waktu tertentu, misalnya; atau menjual sepuluh dinar emas dengan seratus dua puluh dirham perak sampai jangka waktu tertentu, misalnya.
Hukum
Hukumnya: Riba itu diharamkan berdasarkan firman Allah SWT, “Dan Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Surat al-Baqarah: 275) Dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda]." (Surat Ali Imran: 130) Dan sabda Rasulullah Saw, “Allah SWT melaknat pemakan riba, yang memberinya, dua orang saksinya, dan yang menulisnya.”(1) Dan sabdanya, “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang, padahal ia mengetahuinya, maka itu lebih dahsyat dari tiga puluh enam kali berzina.”(2) Dan sabdanya, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu. Paling ringannya, seseorang menikahi ibunya. Dan riba yang paling tinggi adalah kehormatan seorang Muslim.”(3) Dan sabdanya, “Jauhilah tujuh hal yang menghancurkan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Mempersekutukan Allah SWT, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah SWT kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina para wanita mukminah lalai yang berstatus sudah menikah.”(4)
Hikmah Pengharaman
Hikmah Pengharamannya: Di antara hikmah pengharaman riba, selain hikmah umum yang ada pada semua hukum syariat berupa ujian keimanan seorang hamba ketika melakukan ketaatan dan ketika meninggalkannya, adalah:
i. Menjaga harta seorang Muslim, agar tidak diambil secara batil
ii. Mengarahkan seorang Muslim untuk memproduktifitaskan hartanya dalam berbagai bentuk usaha yang mulia, bebas dari segala bentuk kebohongan dan penipuan, jauh dari semua hal yang menyebabkan pertikaian di antara kaum muslimin dan menimbulkan kebencian, seperti dengan bertani, membuat industri, berdagang dengan cara yang benar dan bersih.
iii. Menutup segala jalan di hadapan seorang Muslim, yang bisa menyebabkannya bermusuhan dengan saudara Muslim lainnya dan membuatnya bertikai, yang membuatnya membencinya dan tidak menyukainya.
iv. Menjauhkan seorang Muslim dari sesuatu yang akan menyebabkan kehancurannya. Sebab, memakan riba adalah tindakan yang zalim lagi lalim, dan hukuman untuk kedua perbuatan tersebut sungguh menyeramkan. Allah SWT berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri." (Surat Yunus: 23) Dan sabda Rasulullah Saw, “Takutlah kalian dengan kezaliman, sebab kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat. Takutlah kalian dengan kekikiran, sebab ia sudah menghancurkan orang-orang sebelum kalian, yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan hal-hal yang diharamkan.”(5)
v. Membuka pintu-pintu kebaikan bagi seorang Muslim agar bisa menjadi bekalnya di akhirat, dengan memberikan pinjaman kepada saudara Muslimnya tanpa bunga, atau memberikannya hutangan dan menunggu kemudahannya untuk membayarnya, kemudian juga memberikannya kemudahan dan menyayanginya berharap keridhaaan Allah SWT. Hal ini akan menumbuhkan kasih sayang di antara kaum Muslimin, memunculkan ruh persaudaraan dan saling cinta di antara mereka.
Hukum-Hukumnya
i. Ushul Riba: Ushul Riba itu ada enam, yaitu emas, perak, Gandum, al-Syair, kurma, dan Garam, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Emas dengan emas, perak dengan perak, Gandum dengan Gandum, al-Syair dengan al-Syair, kurma dengan kurma, Garam dengan Garam; semisal, sama, dan tunai. Jikalau jenis-jenis ini berbeda, maka juallah sesuai keinginan kalian asalkan tunai.”(6)
Para ulama dari kalangan para Sahabat, para Tabiin, dan para Imam –semoga Allah SWT merahmati mereka, menqiyaskan semua yang bersesuaian dengan jenis-jenis ini dalam makna dan ‘Illat, dari setiap yang ditakar atau yang ditimbang, dari makanan yang disimpan. Hukum yang sama berlaku untuk semua jenis biji-bijian, Zaitun, Madu, dan Daging. Said bin al-Musayyib rahimahullah mengatakan, “Tidak ada Riba kecuali pada sesuatu yang ditakar atau ditimbang, dari yang dimakan atau diminum.”
ii. Riba dalam Semua barang Riba Tercakup Dalam Tiba Bentuk:
Pertama, Satu jenis dijual dengan jenisnya yang sama, seperti emas dengan emas, perak dengan perak, Gandum dengan Gandum, dengan cara al-Tafadhul (tidak sama), berdasarkan riwayat al-Syeikhain bahwa Bilal datang menghadap Nabi Muhammad Saw dengan Kurma Barni, kemudian beliau bertanya, “Dari mana ini wahai Bilal?” Ia menjawab, “Kami memiliki kurma yang jelek, kemudian saya menjualnya dua Sha’ dengan satu Sha’ agar bisa diberikan sebagai makanan kepada Nabi Muhammad Saw.” Beliau berkata, “Hentikan. Riba… Riba… Jangan lakukan. Namun, jikalau engkau ingin membeli, maka juallah kurma tersebut, kemudian belilah dengan hasil penjualannya.”
Kedua, Dua jenis yang berbeda diperjual belikan, seperti emas dengan perak, atau Gandum dengan Kurma, sebagiannya dengan sebagian lainnya, salah satunya ada ketika akad dan satunya lagi tidak ada, dan itu berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Janganlah jual yang ghaib (yang tidak ada di majelis akad) dengan tunai.”(7) Dan sabdanya, “Juallah emas dengan perak secara tunai.” Dan sabdanya, “Emas dengan uang kertas adalah riba, kecuali tunai.”(8)
Ketiga, Satu jenis dijual dengan jenisnya yang sama, hanya saja salah satunya tidak ada di majelis akad, kemudian dijual dengan cara al-Nasiah (tidak tunai), seperti menjual emas dengan emas, atau kurma dengan kurma, semisal dan sama, hanya saja salah satunya tidak ada di majelis akad, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Gandum dengan Gandum adalah riba, kecuali tunai.”(9)
iii. Tidak ada Riba Jikalau Tunai dan Berbeda Jenisnya:
Tidak masuk dalam akad Riba, transaksi jual beli yang berbeda antara harga dan barangnya kecuali salah satunya al-Nasiah(10) (ditunda wujudnya/ tidak ada di majelis akad), asalkan bukan emas dan perak. Boleh menjual emas dengan perak secara al-Tafadhul, menjual Gandum dengan Gandum secara al-Tafadhul, asalkan Tunai. Maksudnya, salah satunya tidak ghaib/ tidak ada di majelis akad. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Jikalau barang-barang ini berbeda, maka juallah sesuai keinginan kalian, asalkan tunai.”(11)
Sebagaimana tidak ada Riba dalam jual beli barang-barang yang mengandung Riba, jikalau dilakukan secaara tunai, baik barangnya ada di majelis akad maupun tidak, baik harganya atau barangnya tidak diberikan di majelis akad maupun diberikan. Rasulullah Saw dahulu memberi unta Jabir bin Abdullah dalam perjalanan dan belum membayarkan harganya kecuali di Madinah, sebagaimana beliau memperbolehkan al-Salam dengan sabdanya, “Siapa yang melakukan al-Salaf terhadap sesuatu, maka lakukanlah dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan waktu yang jelas.”(12) Makna al-Salam adalah, harganya dibayarkan terlebih dahulu dengan tunai, dan pemberian barangnya ditunda sampai jangka waktu yang lama.
iv. Jenis-Jenis Riba:
Riba itu banyak jenisnya. Pendapat yang dipegang oleh Jumhur Ulama dari kalangan para Sahabat dan para Imam, bahwa emas itu satu jenis, perak itu satu jenis, Gandum itu satu jenis, al-Syair itu satu jenis, semua jenis kurma itu satu jenis, al-Qathani itu banyak jenisnya, kacang itu satu jenis, kacang Arab itu satu jenis, padi itu satu jenis, jagung itu satu jenis, semua jenis Zaitun itu satu jenis, madu itu satu jenis, daging itu berjenis-jenis; sehingga daging unta itu satu jenis,(13) daging sapi itu satu jenis, daging domba itu satu jenis, daging burung itu satu jenis, dan daging ikan dengan segala jenisnya itu satu jenis.
v. Makanan-Makanan yang Tidak Mengandung Riba:
Tidak mengandung Riba untuk semisal buah-buahan dan sayur-sayuran, sebab di satu sisi ia tidak disimpan. Kemudian, di masa pertama umat ini, semua itu tidak termasuk sesuatu yang ditakar atau di timbang di sisi lainnya. Sebagaimana halnya, semua itu bukanlah jenis makanan pokok layaknya biji-bijian dan daging, yang ada Nash sharih lagi Shahih dari Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan hukumnya.
[Peringatan] Pertama: Bank
Bank pada hari ini, di seluruh dunia Islam, sebagian besarnya berinteraksi dengan Riba, bahkan uang yang disimpan di tempat tersebut di atas riba murni, sehingga tidak boleh berhubungan dengannya kecuali karena kondisinya darurat, seperti mentransfer dari satu Negara ke Negara lainnya. Berdasarkan hal ini, wajib hukumnya bagi orang-orang shaleh dari kalangan kaum Muslimin untuk membuat Bank-Bank Islami yang jauh dari Riba dan terbebas dari segala Muamalahnya.
Inilah kira-kira bentuk Bank Islami yang diusulkan pembentukannya; Kaum Muslimin dari suatu negeri berkumpul dan bersepakat untuk membentuk sebuah “rumah” yang mereka namakan dengan “Khazanah al-Jamaah/ Kantong Jamaah”, kemudian mereka memilih salah seorang di antara mereka yang amanah lagi berilmu, mampu memegang administrasinya dan menjalankan kerjanya. Kerja ‘Kantong” ini terbatas pada beberapa hal berikut ini:
1) Menerima Tabungan (menjaga amanah para saudara lainnya) tanpa kompensasi.
2) Memberikan pinjaman, yaitu memberikan pinjaman kepada kaum Muslimin sesuai dengan gaji mereka dan pekerjaan mereka tanpa bunga.
3) Ikut terlibat di bidang pertanian, perdagangan, property, dan industry. Al-Khazanah menanam saham di setiap bidang yang dianggap bisa mewujudkan hasil dan keuntungan.
4) Membantu proses transfer mata uang yang dimiliki kaum Muslimin dari satu Negara ke Negara lainnya tanpa upah, yaitu jikalau memiliki cabang di Negara yang menjadi tujuan Transfer.
5) Setiap awal tahun, diaudit perhitungan al-Khazanah, kemudian keuntungan-keuntungannya dibagikan kepada orang-orang yang ikut menanam saham sesuai dengan besaran saham mereka.
Kedua: Al-Ta’min (Asuransi)
Tidak masalah jikalau kaum Muslimin di suatu Negeri membuat sebuah al-Shunduq (kotak), kemudian mereka menanam saham disitu sesuai dengan persentasi gaji bulanan mereka, atau sesuai dengan jumlah yang mereka sepakati. Bagian tertentu setiap pribadinya sama. Dengan ketentuan, al-Shunduq itu adalah Waqaf khusus bagi orang-orang yang terlibat. Siapa yang mengalami musibah besar, seperti kebakaran, atau kehilangan harta, atau cacat badan, maka diberikan bantuan dari al-Shunduq tersebut untuk meringankan musibahnya. Hanya saja perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini:
1) Orang yang menanamkan saham, niatnya adalah ikhlas karena Allah SWT untuk mendapatkan pahala atas perbuatannya.
2) Kadar yang diberikan kepada orang-orang yang tertimpa musibah itu sama, sebagaimana juga dibatasi bagian orang-orang yang menanamkan saham, tegak di atas pondasi al-Musawah al-Tammah (benar-benar setara).
3) Tidak masalah mengembangkan harta al-Shunduq dengan al-Mudharabah al-Tijariyah (bagi hasil bisnis) atau mendanai bisnis property, dan kegiatan-kegiatan industry yang hukumnya Mubah.
Catatan Kaki:
(1) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (1/ 393, 402), Abu Daud dalam al-Buyu’ (4), al-Turmudzi (1206) dan dishahihkannya, dan Ibn Majah (2277)
(2) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (5/ 225)
(3) Diriwayatkan oleh Ibn Majah (2274)
(4) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (4/ 212), Muslim (145) dalam Kitab al-Iman, dan Abu Daud (2874)
(5) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (2/ 92), dan al-Hakim (1/ 11)
(6) Diriwayatkan oleh Muslim (15) dalam Kitab al-Musaqah
(7) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (3/ 73)
(8) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (1/ 24, 35, 45), dan Ibn Majah (3259)
(9) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/ 79, 96, 97), Muslim (15) dalam Kitab al-Musaqah, dan al-Imam Ahmad (248)
(10) Para ulama berbeda pendapat tentan hukum jual beli hewan dengan hewan secara al-Nasiah (tidak tunai) karena saling kontradiksinya dalil-dalil yang ada. Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw memerintahkan Abdullah bin Umar untuk membeli satu ekor unta dengan dua ekor unta sampai jangka waktu terntentu, dan itu dilakukan karena memang ada hajat (kebutuhan). Sebagaimana juga ada riwayat yang menjelaskan larangan untuk menjual hewan secara al-Nasiah. Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran adalah, wallahu a’lam, pendapat yang menyatakan bahwa jual beli hewan dengan hewan itu terlarang, selama tidak ada status darurat yang mengharuskannya terjadi. Sedangkan jikalai dilakukan secara Tunai, maka hukumnya boleh, baik al-Tafadhul (tidak sama) maupun tidak ada al-Tafadhul, sebagaimana terdapat dalam al-Shahih.
(11) Sudah ditakhrij di bagian sebelumnya
(12) Diriwayatkan oleh Muslim (127, 128) dalam Kitab al-Musaqah, al-Turmudzi (1311, 1321), al-Nasai (7/ 90), dan Ibn Majah (3280)
(13) Malik rahimahullah berpandangan bahwa daging unta, sapi dan domba adalah satu jenis, sehingga antara yan satu dengan yang lainnya tidak bisa dijual dengan al-Tafadhul dan tidak juga dengan al-Nasiah.
Tidak ada komentar