Masalah-Masalah Seputar Shalat Dua Hari Raya

Masalah-Masalah Seputar Shalat Dua Hari Raya (al-‘Idain)


Hukumnya dan Waktunya

Shalat Dua Hari Raya adalah Hari Raya Fitri dan Hari Raya Adha. Hukumnya Sunnah Muakkadah layaknya wajib. Allah SWT memerintahkannya dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah." (Surat al-Kautsar: 1-2) Kemudian menjadikannya sebagai titik kemenangan seorang mukmin, dalam firman-Nya, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang." (Surat al-A'la: 14-15) Kemudian Rasulullah Saw melakukannya dan merutinkannya, serta memerintahkanya, bahkan termasuk para wanita dan anak-anak. Ia merupakan salah satu Syiar Islam yang memperlihatkan keimanan dan ketakwaan. 

Waktunya adalah semenjak naiknya matahari seukuran ujung tombak, sampai tergelincirnya matahari. Waktu terbaik mengerjakan Shalat Idul Adha adalah di awal waktu, agar orang-orang bisa menyembalih kurban mereka. Kemudian mengakhikan shalat Idul Fitri, agar orang-orang bisa membayarkan zakat mereka. Sebab, begitulah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Jundub radhiyallahu anhu mengatakan, “Nabi Muhammad Saw mengerjakan Shalat Idul Fitri bersama kami, sedangkan Matahari seukuran dua ujung tombak. Kemudian mengerjakan shalat Idul Adha, sedangkan Matahari seukuran ujung tombak.”(1)


Adab-Adab yang Harus Diperhatikan

1) Mandi, menggunakan wewangian, dan memakai pakaian yang bagus, berdasarkan riwayat Anas radhiyallahu anhu, “Rasulullah Saw memerintahkna di Dua Hari Raya untuk memakai paling bagus yang kami miliki, memakai wewangian paling bagus yang kami miliki, dan berkorban dengan paling mahal yang kami dapati.”(2) Dan, “Rasulullah Saw memakai peci Burdah Hibarah di setiap Hari Raya.”(3)

2) Makan sebelum berangkat mengerjakan Shalat Idul Fitri, dan makan daging kurban setelah shalat di Hari Raya Adha, berdasarkan riwayat Buraidah radhiyallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Saw tidak akan berangkat di Hari raya Fitri sampai makan, dan tidak akan makan di Hari Raya Adha sampai kembali, kemudian makan dari kurbannya.”(4)

3) Takbir di malam hari kedua Hari Raya. Ketika Idul Adha, Takbir berlanjut sampai terakhir Hari Tasyriq. Sedangkan di Idul Fitri, sampai Imam keluar untuk memimpin shalat. 

Lafadznya: Allahu Akbar Allahu Akbar, La Ilaha Illallah, Allahu Akbar Allahu Akbar, Walillahil Hamd. Lebih disunnahkan lagi mengumandangkan Takbir ketika berangkat menuju tempat shalat, dan setelah Shalat Fardhu di tiga Hari Tasyriq, berdasarkan firman Allah SWT, “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang." (Surat al-Baqarah: 203) Dan firman-Nya, "dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang." (Surat al-A'la: 15) Dan firman-Nya, "supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu." (Surat al-Hajj: 37)

4) Berangkat ke lokasi shalat melalui suatu jalan, dan kembali melalui jalan lainnya, berdasarkan perbuatan Rasulullah Saw yang melakukan hal tersebut. Jabir mengatakan bahwa jikalau Nabi Muhammad Saw berada di Hari Raya, maka beliau membedakan jalannya.(5)

5) Mengerjakan shalat di Lapangan, kecuali darurat karena hujan dan selainnya, maka shalat bisa dikerjakan di Masjid. Sebab, Nabi Muhammad Saw membiasakan shalatnya di lapangan, sebagaimana terdapat dalam hadits Shahih. 

6) Tahniah (mengucapkan selamat), yaitu seorang muslim mengucapkan kepada muslim lainnya, “Taqabbalallahu minna wa minka”, berdasarkan riwayat bahwa para sahabat Rasulullah Saw jikalau bertemu antara sebagian dengan sebagian lainnya di hari Raya, maka mereka mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minkum”.(6)

7) Tidak masalah jikalau berlapang-lapang dalam masalah makan, minum, dan permainan yang Mubah, berdasarkan sabda Rasulullah Saw di Hari Raya Idul Adha, “Hari-Hari Tasyriq adalah hari-hari makan dan minum, serta zikir mengingat Allah SWT.”(7) Dan ucapan Anas, bahwa ketika Nabi Muhammad Saw datang di Madinah, mereka memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain. Rasulullah Saw bersabda, “Allah SWT sudah mengganti keduanya bagi kalian dengan sesuatu yang lebih baik; Hari Fitri dan Hari Adha.”(8) Dan sabda Rasulullah Saw kepada Abu Bakar radhiyallahu anhu, yang suatu kali memarahi dua anak perempuan yang mendendangkan syair di Hari Raya, “Wahai Abu Bakar, setiap kaum ada Hari Rayanya, dan hari ini adalah hari raya kita.”(9)


Sifatnya 

Sifat Shalat Hari Raya yaitu, orang-orang berangkat menuju lapangan dengan bertakbir. Ketika Matahari naik beberapa meter, maka Imam berdiri untuk mengerjakan shalat tanpa azan dan tanpa iqamah sebanyak dua rakaat. Di rakaat pertama, Imam bertakbir sebanyak tujuh kali ditambah dengan Takbiratul Ihram, dan orang-orang yang berada di belakangnya bertakbir dengan Takbirnya. Kemudian Imam membaca surat al-Fatihah dan surat al-A’la dengan mengeraskan suara (jahr). Kemudian Imam bertakbir untuk rakaat kedua sebanyak enam kali termasuk Takbirl al-Qiyam (Takbir Berdiri). Setelahnya, Imam membaca surat al-Fatihah dan surat al-Ghasyiyah, atau Surat al-Syam wa Dhuhaha. Jikalau Imam sudah salam, maka ia berdiri berkhutbah di hadapan khalayak, dan duduk ringan di sela-selanya. Ia memberikan nasehat dalam khutbahnya dan memberikan peringatan, serta menyelinginya dengan Takbir, sebagaimana ia membukanya dengan puja-puji kepada Allah SWT. Jikalau shalatnya adalah shalat Hari Raya Idul Fitri, maka ia mendorong untuk melakukan Zakat Fitri dan menjelaskan sejumlah hukumnya. Jikalau shalatnya adalah Shalat Idul Adha, maka ia mendorong untuk mengerjakan Sunnah Berkurban, kemudian menjelaskan usia yang cukup untuk hewan kurban. Jikalau ia sudah selesai, maka orang-orang pun bubar bersamanya. Sebab, tidak ada shalat Sunnah sebelumnya, dan tidak ada shalat Sunnah setelahnya. Kecuali, bagi orang yang tidak sempat mendapatkan Shalat ‘Id, maka hendaklah ia mengerjakannya sebanyak empat rakaat, berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, “Siapa yang luput darinya Shalat Hari Raya, maka hendaklah ia mengerjakan shalat sebanyak empat rakaat.” Sedangkan orang yang mendapatkan bagian dari Shalat ‘Idd tersebut, walaupun itu hanya Tasyahhud, maka ia berdiri lagi setelah salamnya Imam, kemudian ia mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat, sebagaimana jumlah rakaat yang luput darinya. 


Catatan Kaki: 

(1) Disebutkan oleh al-Zubaidi dalam Ithaf al-Sadah al-Muttaqin (3/ 392), kemudian juga dipaparkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Talkhis dan tidak mengomentarinya. Begitu juga yang dikatakan oleh al-Syaukani dalam Nail al-Awthar. 

(2) Diriwayatkan oleh al-Hakim (4/ 230) dan sanadanya tidak masalah

(3) Disebutkan oleh al-Sa’aty dalam Bada’I al-Sunan (484)

(4) Diriwayatkan oleh al-Turmudzi, dan tidak satu saja. Dishahihkan oleh Ibn al-Qatthan

(5) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/ 29)

(6) Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (3/ 319), dan disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (4/ 446)

(7) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (3/ 460)

(8) Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq dalam Mushannifnya (15566), dan disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (3/ 422)

(9) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/ 21)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.