Masalah-Masalah Seputar Talak

Masalah-Masalah Seputar Talak


PENGERTIAN

Pengertiannya: Talak adalah mengurai ikatan pernikahan dengan lafadz yang jelas, seperti “kamu dicerai”, atau dengan kinayah (sindiran) disertai niat Talak, seperti “Pergilah ke keluargamu.”


HUKUM

Hukumnya: Talak hukumnya Mubah untuk menghilangkan Mudharat yang ada pada salah satu pasangan suami istri, berdasarkan firman Allah SWT, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Surat al-Thalaq: 229) Dan firman-Nya, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Surat al-Thalaq: 1)

Kadangkala Talak itu hukumnya menjadi wajib jikalau mudharat yang menimpa salah satu pasangan suami istri tidak bisa dihilangkan kecuali dengannya, sebagaimana ia kadangkala bisa diharamkan jikalau menyebabkan Mudharat kepada salah satu pasangan dan tidak mewujudkan kemanfaatan apapun yang melebihi Mudharat tersebut atau menyamainya. Point pertama di atas, dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw kepada laki-laki yang mengadukan tentang buruknya lisan istrinya, “Talaklah ia.”(1). Dan point kedua, dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw, “Perempuan mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada masalah, maka haram baginya bau surga.”(2)


RUKUN-RUKUN

Rukun-Rukunnya: Talak itu memiliki tiga rukun, yaitu: 

1) Suami yang Mukallaf. Orang yang tidak berstatus sebagai suami, tidak bisa menjatuhkan Talak, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Talak itu bagi suami.”(3) Sebagaimana suami yang belum berakal, belum baligh, belum al-Mukhar (bisa menetapkan pilihan) yang tidak dipaksa, tidak bisa menjatuhkan Talaq, berdasarkan sabdanya, “Diangkat ketetapan dari tiga orang; dari orang yang tidur sampai bangun, dari anak kecil sampai bermimpi, dan dari orang yang gila sampai sadar.”(4) Dan sabdanya, “Diangkat dari umatku akibat tersalah, lupa, dan yang terpaksa melakukannya.”(5)

2) Istri yang masih berada dalam ikatan pernikahan dengan suaminya yang sudah menalaknya secara hakikat: Ia masih berada dalam ikatan suaminya dan belum keluar darinya karena al-Faskh atau Cerai. Atau secara Hukum; seperti perempuan yang menjalani Iddah dari Talak Raj’I atau Talak Bain Sughra, sehingga tidak terjadi Talak terhadap perempuan yang bukan istri dari laki-laki yang menjatuhkan Talak, tidak juga untuk perempuan yang sudah dijatuhkan Talak tiga, atau dengan al-Faskh atau dengan Talak sebelum berhubungan badan.(6) Sebab, Talak yang tidak ditujukan kepada objek yang halal (tidak terikat status apapun), maka ia adalah sesuatu yang tidak dianggap/ sia-sia, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Tidak ada Nadzar bagi anak Adam untuk sesuatu yang tidak dimilikinya,  tidak ada pemerdekaan budak untuk yang tidak dimilikinya, dan tidak ada Talak untuk sesuatu yang tidak dimilikinya.”(7)

3) Lafadz yang menunjukkan Talak, baik secara Sharih/ Jelas maupun Kinayah. Sekadar niat saja tanpa pengucapan lafadz Talak, maka itu tidak cukup dan tidak menyebabkan istri terkena Talak, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Allah SWT memaafkan dari umatku yang dibisikkan jiwanya selama mereka belum berbicara atau mengamalkannya.”(8)


JENIS-JENIS TALAK

Pembagiannya atau jenis-jenisnya: Talak itu memiliki sejumlah jenis, yaitu: 

I. Talak Sunni: 

Maksudnya, ia menjatuhkan Talak kepada istrinya yang berada dalam kondisi suci. Jikalau seorang Muslim ingin menjatuhkan Talak kepada istrinya karena mudharat yang terjadi pada salah satu di antara keduanya, yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan Talak, maka tunggulah ia sampai mengalami Haidh dan Suci. Jikalau ia sudah suci dan belum digaulinya, maka ia bisa menjatuhkannya Talak dengan sekali Talak, dengan mengatakan misalnya, “engkau di-Talak.” Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Surat al-Thalaq: 1)


II. Talak Bid’i: 

Maksudnya, seorang laki-laki menjatuhkan Talak kepada istrinya dalam kondisi Haidh atau Nifas atau dalam kondisi suci yang sudah digauli, atau menjatuhkannya Talak Tiga dalam satu kata, atau tiga kata pada saat yang sama, seperti mengucapkan, “Ia di-Talak, kemudian di-Talak, kemudian di-Talak.” Hal itu berdasarkan perintah Rasulullah Saw kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma yang suatu hari menjatuhkan Talak kepada istrinya dalam kondisi Haidh, untuk kembali melakukan rujuk kepadanya, kemudian menunggunya sampai suci, kemudian Haidh kemudian suci. Kemudian jikalau ingin, maka ia bisa meneruskan hubungannya. Jikalau ingin, ia bisa menjatuhkan Talak sebelum berhubungan badan, kemudian beliau bersabda, “Itulah Iddah yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk dijatuhkan Talak kepada para istri.”(9) Dan berdasarkan sabdanya, ketika suatu kali dikabarkan bahwa ada seorang laki-laki yang menjatuhkan Talak kepada istrinya sebanyak tiga kali dalam satu kata, “Apakah ia bermain-main dengan Kitabullah, sedangkan saya ada di antara kalian?” Tampak kemarahan besar pada dirinya.(10)

Talak Bid’i, sama dengan Talak Sunni dalam pandangan Jumhur Ulama untuk terjadinya dan kemampuannya mengurai ikatan pernikahan.


III. Talak Bain: 

Maksudnya, Talak yang menyebabkan orang yang menjatuhkan Talak (al-Muthalliq) tidak memiliki hak ruju’. Dengan dijatuhkannya Talak ini, maka posisi orang yang menjatuhkan Talak sama dengan para lelaki lainnya yang berstatus sebagai al-Khatib (Pelamar). Jikalau perempuan yang dijatuhkan Talak ingin, maka ia bisa menerimanya dengan Mahar dan Akad. Jikalau tidak ingin, maka ia bisa menolaknya. Talak Bain ini terjadi dengan lima bentuk: 

Pertama, Ia menjatuhkannya Talak Raj’I, kemudian ia membiarkannya dan tidak merujuknya sampai selesai masa Iddahnya. Maka dengan selesainya masa Iddah, istrinya sudah berstatus Bain. 

Kedua, Ia menjatuhkannya Talak dengan sejumlah harta yang dibayarkan pihak istri kepadanya sebagai Khulu’. 

Ketiga, Atau dua orang penengah menjatuhkan Talak ketika keduanya berpandangan bahwa Talak lebih baik daripada bertahan dalam pernikahan. 

Keempat, Ia menjatuhkan Talak sebelum berhubungan badan. Sebab, perempuan yang dijatuhkan Talak sebelum digauli, tidak ada kewajiban Iddahnya. Maka, dengan dijatuhkan Talak, ia sudah berstatus Bain. 

Kelima, Ia menjatuhkan Talaknya tiga kali dalam satu kata, atau beberapa kata dalam satu Majelis, atau menjatuhkan Talak Ketiga yang sebelumnya sudah menjatuhkan dua kali Talak, sehingga statusnya menjadi Bain Kubra. Istrinya itu tidak halal baginya sampai ia menikah lagi dengan laki-laki lainnya. 


IV. Talak Raj’i: 

Maksudnya, Talak yang pihak Suami masih memilik hak untuk kembali (ruju’) kepada perempuan yang dijatuhkannya Talak, walaupun tanpa keridhaan perempuan tersebut, berdasarkan firman Allah SWT, “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (Surat al-Baqarah: 228) Dan berdasarkan sabda Rasulullah Saw kepada Ibn Umar setelah menjatuhkan Talak kepada istrinya, “Rujuklah ia kembali.”(11) Talak Raj’I itu adalah Talak yang belum sampai tiga kali terhadap istri yang sudah digauli dan tanpa Ganti Rugi. Perempuan yang dijatuhkan Talak Raj’i, maka hukumnya sama dengan hokum istri biasanya dalam hal mendapatkan Nafkah, Tempat Tinggal, dan selain keduanya, sampai selesai masa Iddahnya. Jikalau masa Iddahnya selesai, maka statusnya Bain. Jikalau pihak Suami ingin merujuknya,(12) maka ia cukup mengucapkan, “Saya sudah merujukmu.” Disunnahkan untuk dipersaksikan rujuknya tersebut dengan dua saksi yang adil. 


V. Talak Sharih (Jelas). 

Maksudnya, Talak yang al-Muthalliq (orang yang  menjatuhkan Talak) tidak membutuhkan niat melakukannya, tetapi cukup dengan lafadz yang jelas, seperti dengan mengatakan, “Engkau dicerai.” Atau “Diceraikan.” Atau “Saya menceraikanmu.” Atau sejenisnya. 


VI. Talak Kinayah: 

Maksudnya, Talak yang membutuhkan niat ketika melakukannya. Sebab, lafadznya tidak jelas tujuannya, seperti dengan mengatakan, “Kembalilah ke keluargamu.” Atau “Keluarlah dari rumah.” Atau “Janganlah berbicara denganku.” Dan lafadz-lafadz sejenisnya yang tidak disebutkan kata-kata “Cerai” dan tidak juga maknanya. Untuk seperti ini, ia bukanlah Talak kecuali diniatkan Talak. Rasulullah Saw dahulu menceraikan salah seorang istrinya dengan lafadz, “Kembalilah ke keluargamu.”(13) Tidak diragui bahwa beliau berniat Talak. Jikalau tidak, maka ketika Kaab bin Malik dikatakan kepadanya, “Rasulullah Saw memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu.” Ia bertanya, “Saya menceraikannya atau apa yang harus saya lakukan?” Beliau menjawab, “Jauhilah ia dan jangan mendekatinya.” Kemudian ia berkata kepada istrinya, “Kembalilah kepada keluargamu.” Maka, istrinya itu kembali kepada keluarganya dan itu tidak dianggap sebagai Talak. 

Ini untuk al-Kinayah al-Khafiyyah (Kinayah Tersembunyi). Sedangkan untuk al-Kinayah al-Zhahirah (Kinayah Nyata), seperti dengan mengatakan, “Engkau lepas.”(14) Atau “Engkau Bain yang halal bagi semua laki-laki.” Kinayah seperti ini tidak membutuhkan niat, bahkan Talak otomatis terjadi ketika melafalkannya. 


VII. Talak al-Munajjiz (Otomatis) dan al-Muallaq (Bersyarat): 

Talak al-Munajjiz adalah Talak yang menyebabkan istri tercerai ketika itu juga, seperti dengan mengatakan, “engkau dicerai” misalnya. Maka, ketika itu juga, ia dicerai. Sedangkan Talak al-Muallaq adalah Talak yang dikaitkan dengan melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukannya, sehingga Talak tidak terjadi kecuali setelah terjadinya apa yang dikaitkan, seperti dengan mengatakan, “Jikalau engkau keluar dari rumah, maka engkau ditalak.” Atau “jikalau engkau melahirkan anak perempuan, maka engkau ditalak.” Maka, ia tidak ditalak kecuali jikalau ia keluar rumah atau melahirkan anak perempuan. 


VIII. Talak al-Takhyir (Memilih) dan Talak al-Tamlik (Memiliki): 

Maksudnya, seseorang mengatakan kepada istrinya, ”Pilihlah.” Atau “Saya memberikanmu pilihan untuk berpisah denganku atau bersamaku.” Jikalau ia memilih Talak, maka ia otomatis ditalak. Rasulullah Saw dahulu juga pernah melakukan al-Takhyir kepada para istrinya, kemudian mereka memilih untuk tetap bersamanya. Allah SWT berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini  kehidupan dunia.. “ (Surat al-Ahzab: 28)

Sedangkan untuk al-Tamlik, maksudnya seseorang mengatakan, “Saya menyerahkan urusanmu, dan urusanmu berada di tanganmu.” Jikalau ia mengatakan itu kepada istrinya, kemudian istrinya menjawab, “Saya ditalak.” Maka, ia berstatus ditalak dengan Talak satu Raj’i.(15) 


IX. Talak dengan al-Wikalah (Perwakilan) dan al-Kitabah (Penulisan): 

Jikalau seorang laki-laki mewakilkan seseorang untuk menjatuhkan Talak kepada istrinya, atau menulis sebuah surat yang memberitahukan status Talaknya, kemudian disampaikan kepada istrinya, maka istrinya itu ditalak. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah ini. Sebab, al-Wikalah itu dibolehkan dalam segala hal yang terkait dengan Hak. Dan al-Kitabah itu menduduki posisi al-Nuthq (berbicara) ketika tidak bisa dilakukan karena jarak yang jauh atau bisu, misalnya. 


X. Talak dengan al-Tahrim (Mengharamkan): (16) 

Seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau haram bagiku.”Atau “Engkau haram.” Atau “Haram.” Jikalau ia meniatkan Talak, maka ia menjadi Talak. Jikalau ia meniatkan Zhihar, maka ia Zhihar yang wajib ada Kafaratnya. Jikalau ia sama sekali tidak meniatkan Talak dan tidak pula Zhihar, atau ia meniatkan sumpah seperti dengan mengatakan, “Engkau haram jikalau engkau melakukan ini.” Kemudian ia melakukannya, maka ada Kafarat sumpahnya, tidak lain tidak bukan. Ibn Abbas radhiyallahu anhu mengatakan, “Jikalau seorang laki-laki mengharamkan istrinya, maka ia adalah sumpah yang harus dikafaratkannya (ditebusnya).” Kemudian ia mengatakan, “Kalian memiliki teladan pada diri Rasulullah Saw.”(17)


XI. Talak yang Haram: 

Maksudnya, seorang laki-laki menjatuhkan Talak kepada istrinya sebanyak tiga dalam satu kata, atau tiga kata dalam satu Majelis, seperti dengan mengatakan, “Engkau ditalak tiga kali.” Atau mengatakan, “Engkau ditalak, ditalak, ditalak.” Talak seperti ini diharamkan berdasarkan Ijma’, berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang suatu hari dikabarkan tentang seorang laki-laki menjatuhkan Talak kepada istrinya lansung tiga kali, maka beliau murka dan berkata, “Apakah ia bermain-main dengan Kitabullah, sedangkan saya ada di antara kalian?” Sampai ada seorang laki-laki yang bangkit dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya boleh  membunuhnya?”(18)

Hukum Talak ini menurut Jumhur Ulama dari kalangan Imam empat Mazhab dan selainnya, bahwa Talaknya ditetapkan menjadi tiga, istrinya yang ditalak menjadi tidak halal baginya sampai menikah lagi dengan laki-laki lainnya. Sedangkan selain Jumhur Ulama berpandangan, bahwa itu hanyalah Talak satu yang Bain atau Raj’I –ada perbedaan pendapat di antara mereka. Berbedanya pandangan para ulama dalam masalah ini, karena dalil-dalilnya juga berbeda, kemudian pemahaman yang berbeda juga dari setiap kelompok. 

Berdasarkan perbedaan pendapat para Ulama dalam masalah ini, maka –Allahu a’lam, selayaknya dilihat kondisi al-Muthalliq (suami yang menjatuhkan Talak). Jikalau tidak ada yang diinginkannya dari ucapannya “engkau talak tiga” kecuali sekadar untuk menakut-nakuti istrinya, atau bermaksud sumpah untuk mengaitkannya dengan perbuatan tertentu, dengan mengatakan, “engkau talak tiga jikalau melakukan ini” kemudian ia melakukannya, atau ia berada dalam kondisi yang marah sekali, atau ia mengucapkannya sama sekali tidak menginginkan Talak, maka ditetapkan baginya Talak satu yang Bain. Sedangkan jikalau ia menginginkan dengan ucapannya “engkau talak tiga” itu makna hakikat untuk menceraikannya dan membuatnya berada dalam status Bain sehingga tidak bisa rujuk lagi, maka ditetapkan baginya Talak tiga, tidak halal baginya sampai istrinya itu menikah lagi dengan laki-laki lainnya. Pendapat ini merupakan bentuk al-Jam’ (kompilasi) di antara dalil-dalil yang ada dan sebagai bentuk al-Rahmah (kasih sayang) terhadap umat. 


[Peringatan]

Para Ulama bersepakat bahwa perempuan yang dijatuhkan Talak Tiga jikalau menikah dengan laki-laki lainnya selain dengan suaminya yang sebelumnya, dengan pernikahan yang benar, kemudian ia merasakan madunya, dan suami barunya juga merasakan madunya;  jikalau ia kembali lagi ke suaminya yang sebelumnya, maka Talaknya yang pertama sudah selesai, sehingga ia akan menjalankan di masa yang akan datang sebanyak Tiga kali Talak. Para ulama berbeda pendapat untuk perempuan yang baru dijatuhkan Talak satu atau Talak dua, kemudian menikah dan kembali ke suaminya yang pertama; apakah pernikahan ini menghapus Talak yang pertama atau masih dihitung? Malik berpandangan bahwa pernikahannya selain dengan suami sebelumnya, tidak menyebabkan terhapusnya bilangan Talak kecuali jikalau sudah Talak tiga. Sedangkan Abu Hanifah rahimahullah berpandangan, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Ahmad, bahwa jikalau pernikahan itu menghapus Talak yang sudah tiga kali dijatuhkan, maka ia lebih utama lagi menghapuskan Talak yang bilangannya masih kurang dari tiga. Ini adalah pendapat Ibn Abbbas dan Ibn Umar radhiyallahu anhuma. Wallahu a’lam. 

Jumhur Sahabat, para Tabiin dan para Imam berpandangan bahwa budak tidak memiliki hak Talak terhadap istrinya kecuali dua kali Talak. Jikalau ia sudah menjatuhkan Talak Dua, maka istrinya berstatus Bain dan tidak halal baginya sampai menikah lagi dengan laki-laki lainnya. 


Catatan Kaki: 

(1) Diriwayatkan oleh Abu Daud (5183, 5135) dan kedudukannya shahih

(2) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (5/ 277), Ibn Majah (2055), dan al-Darimi (2/ 162)

(3) Diriwayatkan oleh Ibn Majah (2082), al-Dar Quthni (4/ 38. Dan kedudukan haditsnya Ma’lul (ada ‘Ilatnya). Hanya saja ia diamalkan karena banyaknya jalur periwayatannya, kemudian juga dikuatkan oleh al-Quran al-Karim

(4) Diriwayatkan oleh Abu Daud (4398, 4400, 4403)

(5) Dipaparkan oleh Ibn Hajar dalam Talkhis al-Habir (1/ 281), dan diriwayatkan oleh al-Thabrani. Kedudukannya shahih.

(6) Para ulama berbeda pendapat jikalau ada yang mengatakan, “Jikalau saya menikahi Fulanah –disebutkan namanya lansung, maka ia di-Talak.”

(7) Diriwayatkan oleh al-Turmudzi (1181) dan dihasankannya.

(8) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/ 190), Muslim dalam al-Iman (201, 202), al-Turmudzi (6/ 157), dan Ibn Majah (2040, 2047)

(9) Diriwayatkan oleh Muslim (1) dalam Kitab al-Thalaq

(10) Diriwayatkan oleh al-Nasai (6/ 142). Ibn Katsir mengatakan bahwa Pensanadannya Jayyid.

(11) Sudah ditakhrij di bagian sebelumnya

(12) Istri yang dijatuhkan Talak Raj’i dan belum selesai masa Iddahnya

(13) Diriwayatkan oleh al-Hakim (4/ 34, 35), Ibn Majah (2050), dan al-Dar Quthni (4/ 29). Istrinya itu adalah Bint al-Jaun yang mengatakan kepadanya ketika beliau menemuinya, “Saya berlindung kepada Allah SWT dari dirimu.” Beliau berkata, “Engkau berlindung dengan sesuatu yang besar. Kembalilah ke keluargamu.”

(14) Para ulama berbeda pendapat apakah al-Kinayah al-Jaliyyah/ al-Zhahirah menyebabkan Talak Baik atau Talak Raj’i. Jikalau Talaknya Bain, maka apakah Bain Sughra atau Bain Kubra. Malik rahimahullah berpandangan bahwa ia adalah Bain Kubra yang tidak halal kecuali menikahi suami lainnya.

(15) Malik dan sebagian ulama berpandangan bahwa perempuan yang diberikan al-Tamlik (al-Mumallakah) jikalau mengetakan, “Saya memilih Talak tiga.” Maka,ia menjadi Bain; suaminya tidak berhak lagi melakukan ruju’ terhadapnya dan menikahinya, kecuali setelah menikahi laki-laki lainnya.

(16) Masalah ini menjadi ruang perbedaan besar di kalangan para Salaf, sampai-sampai pendapatnya mencapai sekitar delapan belas pendapat. Penyebabnya, tidak adanya Nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Saya sudah menyebutkan pendapat paling Moderat terkait masalah ini, Insya Allah. 

(17) Maksudnya, Nabi Muhammad Saw pernah melakukan al-Tahrim kepada Mariyah, namun ia tidak haram baginya, dan mencukupkah diri dengan memerdekakan budak

(18) Sudah ditakhrij di bagian sebelumnya


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.