Para Wanita yang Haram Dinikahi (Mahram)

 Para Wanita yang Haram Dinikahi (Mahram)


Para Wanita yang Mahram Abadi atau Haram Dinikahi Selama-lamanya

a) Para Wanita Mahram Karena Nasab/ Keturunan. Mereka adalah Ibu dan Nenek secara Mutlak(1) ke atas, anak perempuan dan anak perempuannya ke bawah, anak perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuannya ke bawah, saudari perempuan secara Mutlak dan anak-anak perempuannya; anak-anak perempuan dari anak laki-lakinya ke bawah, bibi dari pihak ayah secara mutlak ke atas, bibi dari pihak ibu secara Mutlak ke atas, anak perempuan dari saudara laki-laki secara Mutlak, anak perempuan dari anak perempuannya ke bawah, berdasarkan firman Allah SWT, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.” (Surat al-Nisa: 23)

b) Para Wanita Karena al-Mushaharah (Pernikahan). Mereka adalah Istri dari Bapak, Istri dari Kakek ke atas, berdasarkan firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.” (Surat al-Nisa: 22) Ibu dari Istri dan Neneknya ke atas, anak perempuan Istri jikalau sudah berhubungan dengan ibunya, begitu juga dengan anak perempuan dari anak perempuan Istri atau anak perempuan dari anak laki-lakinya, berdasarkan firman-Nya, “ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (Surat al-Nisa: 23) Istri dari anak laki-laki atau anak laki-laki dari anak laki-laki, berdasarkan firman-Nya, “(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu).” (Surat al-Nisa: 23)

c) Para Wanita Mahram Karena Susuan (al-Radha’ah). Mereka adalah semua wanita yang menjadi Mahram karena Nasab/ Keturunan, berupa ibu, anak-anak perempuan, para saudari perempuan, para bibi dari pihak bapak, para bibi dari pihak ibu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak-anak perempuan dari saudari perempuan, berdasarkan firman Allah SWT, “Diharamkan karena susuan, apa yang diharamkan karena keturunan.”(2)

Susuan yang menyebabkan terjadinya Mahram adalah yang kurang dari dua tahun, kemudian dipastikan sampainya air susu dengan sebenar-benarnya ke kerongkongan orang yang disusui dan dianggap sebagai persusuan, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Sekali hisap dan dua kali hisap, tidak menyebabkan Mahram.”(3) Sebab sekali hisapan adalah sesuatu yang remeh, air susu tidak akan sampai ke kerongkongan karena jumlahnya sedikit. 


[Peringatan]

Suami perempuan yang menyusui (al-Murdhi’ah) dianggap sebagai bapak al-Radhi’ (orang yang disusui), sehingga anak-anaknya yang bukan dari al-Murdhiah menjadi saudara-saudaranya, kemudian ibu-ibu dari bapaknya menjadi Mahram baginya, begitu juga dengan saudari-saudari perempuannya, para bibinya dari pihak bapak, dan bapak bibinya dari pihak ibu. Semuanya. Sebagaimana hokum yang berlaku bagi al-Murdhi’ah, semua anak-anaknya dari suami manapun, menjadi saudara bagi al-Radhi’, berdasarkan sabda Rasulullah Saw kepada Aisyah radhiyallahu anha, “Izinkanlah Aflah saudara Abu al-Quais. Sebab ia adalah pamanmu.” Istrinya dahulu menyusi Aisyah.(4) Hadits itu menetapkan Mahram “Paman” karena susuan, sehingga semua yang disebutkan di atas mengikuti hukumnya. 

Saudara laki-laki dari al-Radhi’ dan saudari-saudarari perempuannya, sama sekali tidak menjadi Mahram bagi orang-orang yang menjadi Mahram bagi al-Radhi’ tadi, sebab mereka tidak melakukan al-Radha’ah (susuan) sepertinya, sehingga dibolehkan bagi saudara laki-lakinya untuk menikahi perempuan yang menyusui saudaranya atau ibunya atau anak perempuannya, sebagaimana dibolehkan bagi saudari perempuannya untuk menikah dengan suami perempuan yang menyusui saudaranya atau saudari perempuannya, atau bapaknya atau anak laki-lakinya misalnya. 

Apakah istri dari anak laki-laki susuan sama hukumnya dengan istri dari anak laki-laki kandung? Jumhur Ulama berpandangan bahwa ia sama dengan istri dari anak kandung. Ulama yang berpandangan lainnya berpandangan bahwa istri dari anak laki-laki itu menjadi Mahram karena al-Mushaharah, sedangkan al-Radha’ (susuan) tidak menyebabkan Mahram kecuali dalam skala keturunan saja. 

d) Al-Mula’anah (Saling Melaknat). Diharamkan bagi seseorang menikahi istrinya yang sudah dilaknatnya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Dua orang yang saling melaknat, jikalau keduanya berpisah, maka keduanya tidak berkumpul lagi selama-lamanya.”(5)


Para Wanita yang Menjadi Mahram Sementara (Muaqqat) atau Haram Dinikahi Sementara

a) Saudari perempuan istri sampai saudarinya dicerai dan selesai masa Iddahnya atau meninggal, berdasarkan firman Allah SWT ketika menjelaskan para wanita yang menjad Mahram, “dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara.” (Surat al-Nisa: 23)

b) Bibi Istri dari pihak Bapaknya atau Bibinya dari Pihak Ibunya, tidak boleh dinikahi sampai diceraikan anak perempuan saudaranya atau anak perempuan saudarinya, kemudian selesai Iddahnya atau meninggal, berdasarkan riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Saw melarang seorang perempuan dinikahi (dimadu) dengan bibinya dari pihak bapaknya atau bibinya dari pihak ibunya.”(6)

c) Al-Muhshanah (Perempuan yang Sudah Menikah). Sampai ia ditalak atau menjadi janda dan selesai Iddahnya, berdasarkan firman Allah SWT ketika menjelaskan para wanita yang Mahram, “dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami.” (Surat al-Nisa: 24)

d) Perempuan yang Berada Dalam Massa Iddah Karena Iddah atau Wafat sampai selesai masa Iddahnya, begitu juga diharamkan melamarnya, namun tidak masalah jikalau sekadar al-Ta’ridh (penawaran), seperti dengan mengatakan, “Saya tertarik kepadamu.” Berdasarkan firman Allah SWT, “dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya.” (Surat al-Baqarah: 235)

e) Perempuan yang sudah ditalak tiga kali sampai menikah lagi dan bercerai karena talak atau kematian, serta selesai masa Iddahnya, berdasarkan firman Allah SWT, “maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (Surat al-Baqarah: 230)

f) Perempuan yang berzina sampai ia bertaubat dari perzinaan, dan itu diketahuinya sendiri dengan seyakin-yakinnya dan selesai masa Iddahnya, berdasarkan firman Allah SWT, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (Surat al-Nur: 3) Dan berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Pezina yang dicambuk tidak menikah kecuali dengan semisalnya.”(7)


Catatan Kaki: 

(1) Baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah

(2) Diriwayatkan oleh al-Nasai (4/ 169/ 171), Ibn Majah (1845), dan al-Imam Ahmad (1/ 339)

(3) Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Radha’ (5)

(4) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/ 222), Muslim dalam al-Radha’ (5), al-Nasai (6/ 103), dan al-Imam Ahmad (6/ 33-37)

(5) Diriwayatkan oleh al-Dar Quthni (3/ 276). Malik berkata dalam al-Muwattha’, “Sunnah bagi kami, dua orang yang saling melaknat, keduanya tidak saling menikahi lagi selama-lamanya.”

(6) Diriwayatkan oleh al-Turmudzi (1126), al-Nasai (6/ 97), dan al-Imam Ahmad (1/ 372)

(7) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (2/ 324)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.