Sikap Jujur (al-Shidq) Menurut Islam
Seorang muslim itu adalah sosok yang jujur, mencintai kejujuran dan melaziminya, baik lahir maupun batin, dalam segala ucapannya maupun dalam segala perbuatannya. Sebab, kejujuran akan mengantarkannya kepada kebajikan, dan kebajikan akan mengantarkannya ke surga. Dan surga adalah tujuan paling tinggi seorang muslim dan puncak harapannya. Dusta adalah lawan dari jujur dan anonimnya, mengantarkan kepada maksiat. Dan maksiat akan mengajarkannya ke Neraka. Dan Neraka adalah tempat yang paling ditakuti seorang muslim dan paling dihindarinya.
Seorang muslim, tidak memandang “kejujuran” sekadar sifat baik yang harus ada di dalam dirinya, tapi juga melihatnya ke sisi yang lebih jauh. Ia berpandangan, bahwa jujur merupakan salah satu penyempurna keimanannya dan pelengkap keislamannya. Sebab, Allah SWT memerintahkannya untuk bersikap jujur dan memuji orang-orang yang menghiasi dirinya dengan sifat ini, sebagaimana Rasulullah Saw memerintahkannya dan menyerukannya. Allah SWT berfirman memerintahkan sikap jujur ini, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. " (Surat al-Taubah: 119) Dan pujian-Nya terhadap pelakunya, "ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah." (Surat al-Ahzab: 23) Dan firman-Nya, "laki-laki dan perempuan yang benar." (Surat al-Ahzab: 35) Dan firman-Nya, "Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Surat al-Zumar: 33) Dan sabda Rasulullah Saw yang memerintahkannya, “Kalian harus jujur, sebab kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan, dan kebajikan akan mengantarkan ke surga. Seseorang akan terus bersikap jujur sampai ia ditetapkan di sisi Allah SWT sebagai orang yang jujur. Hati-hati dengan Dusta. Sebab, dusta akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan mengantarkan ke Neraka. Seseorang akan terus berdusta, sampai ia ditetapkan di sisi Allah SWT sebagai pendusta.”(1)
Kejujuran itu memilih buah baik yang akan dipanen oleh orang-orang yang jujur, dan inilah jenis-jenisnya:
1. Ketentraman jiwa dan ketenangan hati, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Jujur itu ketenangan.”(2)
2. Berkah dalam penghasilan dan bertambahnya kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Dua yang berjual beli berada dalam khiyar (hak pilih) selama keduanya belum berpisah. Jikalau keduanya bersikap jujur dan saling terbuka, maka diberkahilah perdagangan keduanya. Jikalau keduanya saling menutupi dan saling berdusta, maka dihapuslah keberkahan perdagangan keduanya.”(3)
3. Mendapatkan kedudukan para syahid, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Siapa yang meminta kesyahidan kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya, maka Allah SWT akan mengantarkannya ke posisi para syahid, walaupun ia meninggal di atas tempat tidurnya.”(4)
4. Selamat dari hal yang tidak disukai. Dihikayatkan, bahwa ada seseorang yang lari ke rumah seseorang shaleh. Ia berkata, “Sembunyikan diriku dari orang yang sedang mencariku.” Ia berkata, “Tidurlah disini.” Kemudian ia meletakkan ikatan daun kurma di atas badannya. Ketika para pencarinya mencarinya dan menanyakannya, maka ia menjawab, “Ini dia di bawah ikatan daun kurma.” Mereka menyangka bahwa orang shaleh ini mempermainkan mereka. Maka, mereka meninggalkannya. Kemudian, laki-laki tadi selamat karena berkah kejujuran orang yang shaleh.
Kejujuran itu ada Tanda-Tandanya
1. Jujur dalam Berkata. Jikalau seorang muslim berkata, maka ia tidak mengatakan kecuali yang hak dan jujur. Jikalau ia memberitahukan suatu kabar, maka ia tidak memberitahukannya kecuali sesuai dengan realitanya. Sebab, perkataan dusta merupakan bentuk kemunafikan dan salah satu tandanya. Rasulullah Saw bersabda, “Tanda munafik itu ada tiga; Jikalau berbicara, dusta; jikalau berjanji, menyelisihi; dan jikalau dipercaya, khianat.”(5)
2. Jujur dalam Muamalah. Jikalau seorang muslim bermuamalah dengan yang lainnya, maka ia tidak menipu, tidak berdusta, dan tidak berbohong, apapun kondisinya.
3. Jujur dalam Azzam. Jikalau seorang muslim berazzam untuk melakukan sesuatu yang layak dilakukannya, maka ia tidak ragu-ragu melakukannya, bahkan ia terus melangkah mengerjakannya tanpa menoleh kepada apapun, atau peduli dengan yang lainnya sampai ia menyelesaikan pekerjaannya.
4. Jujur dalam Janji. Jikalau seorang muslim berjanji kepada yang lainnya, maka ia akan menjalankan janjinya. Sebab, mengingkari janji adalah salah satu tanda kemunafikan, sebagaimana sudah dijelaskan di hadits sebelumnya.
5. Jujur dengan Kondisi. Seorang muslim tidak berpenampilan dengan penampilan palsu, zahirnya tidak menyelisihi batinnya. Ia tidak memakai pakaian menipu, tidak bersikap riya, dan tidak membebani dirinya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Orang yang merasa kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya, seperti orang yang memakai dua pakaian palsu.”(6) Artinya, orang yang berhias dan bergaya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti orang yang memakai dua pakaian rombeng agar ia terlihat zuhud, padahal ia tidak zuhud dan tidak juga miskin.
Di antara Contoh Mulia Kejujuran
1. Diriwayatkan oleh al-Turmudzi dari Abdullah bin al-Hamsa’ berkata, “Kami bertransaksi dengan Rasulullah Saw sebelum beliau diutus menjadi Nabi. Masih ada jualan miliknya yang tersisa. Kemudian saya berjanji akan mendatanginya di tempatnya. Namun saya terlupa dan baru ingat setelah tiga hari. Kemudian saya mendatanginya, dan ternyata beliau masih berada di tempatnya, seraya berkata, “Wahai Anak Muda, engkau menyusahkanku. Saya berada di sini semenjak tiga hari menunggumu.”
Apa yang terjadi kepada Nabi kita Muhammad Saw juga terjadi kepada kakek buyutnya Ismail bin Ibrahim sang Khalilullah, sampai Allah SWT memuji dalam Kitab-Nya yang mulia, “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi." (Surat Maryam: 54)
2. Suatu hari, al-Hajjaj bin Yusuf berkhutbah/ berpidato dengan durasi yang lama, kemudian salah seorang yang hadir berkata, “Shalat dulu, sebab waktu tidak menunggumu, Rabb tidak memberikanmu izin menunda.” Al-Hajjaj bin Yusuf memerintahkan penjaganya agar orang tersebut dipenjara. Kemudian, datanglah kaumnya dan menyatakan bahwa laki-laki itu gila. Al-Hajjaj mengatakan, “Jikalau ia mengaku gila, maka saya akan membebaskannya dari penjara.” Laki-laki itu menjawab, “Tidak layak bagiku mengkufuri nikmat yang sudah diberikan oleh Allah SWT kepadaku, dengan menyematkan sifat gila kepada diriku yang Allah SWT selamatkan diriku darinya.” Ketika al-Hajjaj menyaksikan kejujurannya, maka ia membebaskannya.
3. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah, bahwa suatu kali ia mencari hadits dari seseorang. Ia menyaksikan kuda orang itu berlari, dan orang tersebut mengarahkan selendangnya kepada kuda, seakan-akan di dalam selendangnya itu ada gandum, dan kudanya mengejarnya untuk mengambilnya. Al-Bukhari bertanya, “Apakah ada gandum bersamamu?” Ia menjawab, “Tidak, tetapi saya membuatnya seolah-olah ada.” Al-Bukhari berkata, “Saya tidak akan mengambil hadits dari orang yang berdusta kepada binatang ternak.” Inilah pemisalan mulia dari al-Bukhari terkait kejujuran.
Catatan Kaki:
(1) Diriwayatkan oleh Muslim (105) dalam Kitab al-Birr wa al-Shilat
(2) Diriwayatkan oleh al-Turmudzi (2518) dan dishahihkannya dengan lafadz, “Tinggalkanlah apa yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak membuatmu ragu. Kejujuran itu adalah ketenangan, dan dusta itu adalah keraguan.”
(3) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/76, 77, 84, 85)
(4) Diriwayatkan oleh Muslim (157) dalam Kitab al-Imarah
(5) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/15), (3/236), Muslim (107, 109) dalam Kitab al-Iman, dan al-Imam Ahmad (1/357)
(6) Diriwayatkan oleh Muslim (126, 127) dalam Kitab al-Libas
Tidak ada komentar