Sikap Malu (al-Haya') dalam Islam
Seorang muslim selalu menjaga dirinya dan memiliki sikap malu. Malu itu sudah menjadi sikapnya. Malu merupakan sebagian dari iman, dan iman adalah akidah seorang muslim dan tiang kehidupannya. Rasulullah Saw bersabda, “Iman itu tujuh puluh lima atau enam puluh lima cabang. Paling afdhalnya adalah La Ilaha Illallah, dan paling rendahnya adalah membuang duri di jalanan. Dan sikap malu adalah salah satu cabang keimanan.”(1) Rahasia di balik penetapan “Sikap Malu sebagai bagian dari iman” adalah, sebab keduanya menyerukan kebaikan, menjauhkan dari keburukan. Iman itu mendorong kaum mukmin untuk menjalankan ketaatan dan meninggalkan maksiat. Dan sikap malu menghalangi pelakunya untuk tidak lalai bersyukur kepada Zat yang Maha Memberikan nikmat dan memberikan hak kepada yang berhak mendapatkannya, sebagaimana sikap malu itu juga menghalanginya melakukan perbuatan yang buruk atau berkata buruk, sebagai upayanya menjaga diri dari celaan dan cacian. Berdasarkan hal ini, sikap malu adalah kebaikan. Dan ia tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan. Sebagaimana riwayat shahih dari Rasulullah Saw, “Sikap Malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.”(2) Dan sabdanya dalam riwayat Muslim, “Sikap Malu itu, semuanya baik.”
Kebalikan dari Sikap Malu itu adalah al-Badza’ (Tidak Tahu Malu), suka berkata dan berbuat keji, berkata-kata kasar. Seorang muslim itu bukanlah seseorang yang suka berbuat keji atau pelaku kekejian. Sebab, itu adalah salah satu sifat penduduk Neraka. Dan seorang muslim, Insya Allah, salah salah satu penghuni surga. Tidak dikenal dalam akhlaknya, sikap “Tidak Tahu Malu dan Kasar.” Dalil masalah ini adalah sabda Rasulullah Saw, “Sikap Malu merupakan bagian dari keimanan, dan iman itu berada di surga. Dan Sikap Tidak Tahu Malu merupakan bagian dari Kekasaran, dan kekasaran berada di Neraka.”(3)
Teladan seorang muslim dalam akhlak yang agung dan mulia ini adalah Rasulullah Saw; penghulu orang-orang yang terdahulu dan kemudian. Sebab, beliau lebih pemalu dari gadis perawan yang dipingit, sebagaimana hal itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Said, yang menjelaskan, “Jikalau beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka kami mengetahuinya dari wajahnya.”
Ketika seorang muslim menyeru untuk menjaga sikap Malu dan menumbuhkannya di dalam diri, maka itu artinya ia menyerukan kebaikan dan menunjukkan kebajikan. Sebab, sikap malu merupakan bagian dari iman, dan iman adalah kumpulan fadhilah (keutamaan) dan unsur kebaikan. Dalam al-Shahih dijelaskan, bahwa Rasulullah Saw melewati seorang laki-laki yang menasehati saudaranya untuk bersikap malu, kemudian beliau bersabda, “Biarkan dirinya, sebab Malu merupakan bagian dari iman.”(4) Dengan begitu, Rasulullah Saw menyeru seorang Muslim untuk mempertahankan sikap Malu di dalam dirinya dan melarangnya untuk menanggalkannya. Walaupun, sikap Malunya itu akan membuatnya kehilangan sejumlah haknya. Sebab, hilangnya sejumlah hak yang dimiliki oleh seseorang, jauh lebih baik daripada ia kehilangan sikap Malu yang merupakan bagian dari keimanannya dan keistimewaannya sebagai manusia, serta merupakan inti kebaikannya. Semoga Allah SWT merahmati seorang perempuan yang kehilangan anaknya. Kemudian, ia berhenti di suatu kaum dan bertanya kepada mereka tentang anaknya. Ada di antara mereka yang menjawab, “Ia bertanya tentang anaknya dengan menggunakan cadar?” Ia berkata, “Kehilangan anakku lebih baik bagiku dari kehilangan rasa Malu, wahai para lelaki.”(5)
Sikap malu yang ada dalam diri seorang muslim, tidak menghalanginya untuk menyampaikan kebenaran atau mencari ilmu, atau memerintahkan kebaikan, atau mencegah kemungkaran. Usamah bin Zaid, orang yang dicintai oleh Rasulullah Saw dan anak dari orang yang dicintainya, pernah memberikan syafaat (keringanan) kepada seorang perempuan di dekat Rasulullah Sae. Beliau berkata kepadanya dengan penuh kemarahan, “Apakah engkau memberikan syafaat (keringanan) dalam hukum Allah SWT wahai Usamah? Demi Allah, jikalau Fulanah mencuri, maka saya akan memotong tangannya.”(6)
Sikap Malu tidak menghalangi Umm Sulaim al-Anshariyyah untuk mengatakan, “Wahai Rasulullah, Allah SWT tidak malu dengan kebenaran, apakah perempuan itu harus mandi jikalau bermimpi?” Rasulullah Saw menjawab, dan beliau tidak terhalang untuk menjawabnya karena Sikap Malu, “Ya, jikalau ia melihat air.”(7) Suatu kali Umar berkhutbah tentang mahalnya mahar, kemudian seorang perempuan mengatakan, “Allah SWT memberikannya kepada kami, dan engkau melarangnya wahai Umar? Bukanlah Allah SWT berfirman, “sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun." (Surat al-Nisa: 20) Sikap Malu tidak menghalanginya untuk membela hak para wanita, dan Sikap Malu tidak menghalangi Umar untuk mengucapkan maaf dengan berkata, “Semua orang lebih pintar darimu, wahai Umar.” Sebagaimana suatu kali ia berkhutbah di tengah khalayak kaum muslimin. Ketika itu, ia memakai dua pakaian. Ia memerintahkan seluruh rakyatnya untuk mendengarkan dan patuh. Kemudian ada salah seorang di antara kaum muslimin yang berkata, “Kami tidak akan mendengarkan dan tidak akan mematuhinya wahai Umar. Engkau memakai dua pakaian, sedengkan kami hanya memakai satu pakaian saja.” Kemudian Umar memanggil dengan suara keras, “Wahai Abdullah bin Umar.” Anaknya menjawab, “Ya, bapakku.” Ia berkata, “Demi Allah, bukankanlah salah satu pakaianku ini adalah pakaianmu yang engkau berikan kepadaku?” Ia menjawab, “Ya, demi Allah.” Kemudian laki-laki tadi berkata, “Sekarang, kami akan mendengarkan dan akan patuh wahai Umar.” Lihatlah, bagaimana Sikap Malu tidak menghalangi laki-laki tadi untuk berkata, dan tidak juga menghalangi Umar untuk mengakui.
Seorang muslim merasa malu terhadap makhluk Allah SWT, sehingga ia tidak memperlihatkan auratnya kepada mereka, tidak melalaikan hak mereka, tidak menyelisihi kebaikan yang mereka sampaikan, tidak berbicara buruk kepada mereka atau dengan sesuatu yang tidak mereka sukai. Ia juga merasa malu terhadap Khalik (Allah SWT), sehingga ia tidak lalai menaati-Nya, tidak lalai bersyukur atas nikmat-Nya. Sebab, ia menyaksikan bagaimana kuasa-Nya terhadap dirinya dan pengetahuan-Nya tentang dirinya, sebagai bentuk implementasi dari ucapan Ibn Mas’ud, “Malulah kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya. Jagalah kepala dan kesadarannya, jagalah perut dan isinya, ingatlah kematian dan kehancuran.”(8) Dan sabda Rasulullah Saw, “Dan Allah SWT lebih berhak untuk dimalui dari manusia.”(9)
Catatan Kaki:
(1) Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Iman (58)
(2) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (8/35) dan Muslim dalam Kitab al-Iman (60)
(3) Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Iman (59), dan al-Imam Ahmad (912, 501) dengan sanad yang shahih. Maksud kekasaran berada di Neraka, bahwa pelakunya berada di Neraka sebagaimana orang yang beriman berada di Surga.
(4) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/12), (8/35), Abu Daud (4795), dan al-Nasai (8/121)
(5) Diriwayatkan Abu Daud (2488)
(6) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (4/213), Abu Daud (4373), dan al-Turmudzi (1430)
(7) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/78), (4/160)
(8) Diriwayatkan oleh al-Mubdziry secara Marfu’, dan dikuatkan Mauqufnya di Ibn Mas’ud radhiyallahu anhu
(9) Diriwayatkan oleh Abu Daud (4017) dan al-Turmudzi (2794). Hadits lengkapnya: Dari Abu Hurairah berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aurat kami, bagian manakah yang boleh diperlihatkan dan yang harus dijaga?’
Tidak ada komentar