Kitab Minhal al-Muslim
Minhaj_Akhlak
Sikap Tawadhu’ & Sikap Sombong
Seorang muslim bersikap Tawadhu, tetapi tidak merendahkan dirinya dan tidak juga menghinakan. Sikap Tawadhu menjadi salah satu akhlak teladannya dan salah satu sifat yang mulianya, sebagaimana Sikap Sombong tidak ada pada dirinya, begitu juga dengan sifat semisalnya. Sebab, seorang muslim bersikap Tawadhu agar menjadi mulia. Ia tidak menyombongkan diri agar tidak direndahkan. Sunnatulah menetapkan, bahwa orang-orang yang tawadhu akan ditinggikan, dan orang-orang yang sombong akan direndahkan. Rasulullah Saw bersabda, “Sedekah tidak akan mengurangi harta. Allah SWT tidak akan menambahkan bagi seorang hamba dengan kemaafan, kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang tawadhu karena Allah SWT, kecuali Dia akan meninggikannya.”(1) Dan sabdanya, “Hak Allah SWT, tidaklah sesuatu dari dunia ini meninggi, kecuali Dia akan merendahkannya.”(2) Dan sabdanya, “Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat, seperti debu yang berbentuk manusia. Mereka dinaungi kehinaan dari segala penjuru, mereka digiring menuju penjara neraka Jahannam yang bernama (Bulus), mereka merasakan panasnya seperti panasnya air mendidih karena api neraka yang mengelilinginya, dan mereka diberikan minum dari sirup-sirup penghuni neraka, bagaikan tanah liat yang rusak.”(3) Ketika telinga seorang muslim dan hatinya dihadapkan dengan kabar-kabar yang benar dari kalamullah dan kalam Rasulullah Saw seperti ini, yang kadang-kadang memuji orang-orang yang tawadhu, kadang-kadang mencela orang-orang yang sombong, sesekali memerintahkan untuk bersikap tawadhu, dan sesekali melarang bersikap sombong, maka bagaimana ia tidak akan tawadhu dan menjadikan tawadhu itu sebagai sikapnya? Bagaimana ia tidak akan menjauhi sombong dan mencela orang-orang yang bersikap sombong?
Allah SWT berfirman memerintahkan Rasul-Nya untuk bersikap Tawadhu’, “dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman." (Surat al-Syuara: 215) Dan firman-Nya, "Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong." (Surat al-Isra: 37) Dan firman-Nya yang memuji para wali-Nya dengan sifat Tawadhu, " Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir." (Surat al-Maidah: 54) Dan firman-Nya tentang balasan bagi orang-orang yang tawadhu, "Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi." (Surat al-Qashas: 83) Rasulullah Saw memerintahkan sikap Tawadhu dalam sabdanya, "Allah SWT mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap Tawadhu, tidak ada seorang pun yang berbangga-bangga kepada yang lainnyaa, dan tidak ada seorang pun yang berbuat zalim kepada yang lainnya."(4) Dan beliau mendorong untuk bersikap Tawadhu dalam sabdanya, “Tidaklah Allah SWT mengutus seorang Nabi, kecuali ia mengembala kambing.” Para sahabatnya bertanya, “Dan engkau?” Beliau menjawab, “Ya, dahulu saya mengembalakannya di tanah milik penduduk Makkah.”(5) Dan sabdanya, “Kalau saya diundang untuk makan kuraa’ (bagian di bawah mata kaki hewan dan yang tidak berdaging (sedikit daging-nya) atau Dzira' (kaki bagian atas dari hewan), maka saya akan menghadirinya. Jikalau saya dihadiahi Dzira' atau Kura', maka saya akan menerimanya."(6) Dan sabdanya untuk menjauhi sikap sombong, “Apakah kalian ingin saya beritahu tentang penduduk Neraka; Semua yang kasar, penimbung lagi kikir, dan sombong.”(7) Dan sabdanya, “Tiga orang yang tidak akan Allah SWT ajak bicara pada hari Kiamat, Dia tidak akan menyucikan mereka, tidak aka melihat mereka, dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih; Orang tua yang berzina, penguasa yang dusta, dan orang miskin yang sombong.”(8) Dan sabdanya, “Allah SWT berfirman, ‘Kemuliaan adalah sarung-Nya, kesombongan adalah selendang-Nya. Siapa yang menandingi-Ku, maka Aku akan mengazabnya.”(9) Dan sabdanya, “Ketika seseorang berjalan dengan pakaian mewah berbangga diri, mengurai rambutnya dan sombong berjalannya, tiba-tiba bumi menelannya, kemudian ia terus berteriak ketakutan sampai hari kiamat."(10)
Di antara Bentuk Sikap Tawadhu
1. Jikalau seseorang maju tampil ke depan, padahal bersamanya ada orang-orang yang kemampuannya setara dengannya, maka ia adalah orang yang sombong. Jikalau ia mundur, maka ia adalah orang yang tawadhu.
2. Jikalau ia bangkit dari tempat duduknya untuk orang yang berilmu dan memiliki keutamaan, serta membiarkan orang tadi duduk di posisinya, kemudian ia berdiri dan mengambilkan sandalnya, serta mengantarkannya ke pintu keluar, maka ia adalah orang yang tawadhu.
3. Jikalau ia berdiri untuk seseorang yang biasa, menyambutnya dengan senang dan bahagia, bertanya kepadanya dengan lemah lembut, menghadiri undangannya, membantu memenuhi kebutuhannya, dan tidak memandang dirinya lebih baik darinya, maka ia adalah orang yang Tawadhu.
4. Jikalau ia mengunjungi orang yang lebih rendah status sosialnya, atau semisalnya, dengan membawakan barangnya atau ikut membantu memenuhi kebutuhannya, maka ia adalah orang yang Tawadhu.
5. Jikalau ia duduk bersama orang-orang yang fakir, miskin, sakit, dan orang-orang yang membutuhkan, kemudian menghadiri undangan mereka dan makan bersama mereka, serta berjalan bersama mereka, maka ia adalah orang yang Tawadhu.
6. Jikalau ia makan atau minum tanpa berlebih-lebihan, dan memakai pakaian tanpa sombong, maka ia adalah orang yang Tawadhu
Di antara Contoh Mulianya Sikap Tawadhu’
1. Diriwayatkan, bahwa pada suatu malam, Umar bin Abdul Aziz didatangi oleh seorang tamu. Ketika itu, ia sedang menulis. Dan lampu, hampir saja padam. Tamu tadi berkata, “Saya mengambil lampu itu dulu untuk memperbaikinya?” Ia menjawab, “Bukanlah bentuk kebaikan bagi seseorang jikalau ia menjadikan tamunya sebagai pembantu?” Tamu itu berkata, “kalau begitu, saya akan membangunkan budak?” Ia menjawab, ‘Ia baru saja tertidur. Janganlah engkau membangunkannya.” Kemudian Umar bin Abdul Aziz mengambil pelita tersebut dan mengisinya dengan zait. Tamu itu berkata kepadanya, “Engkau melakukannya sendiri wahai Amirul Mukminin?” Ia menjawab, “Saya pergi, dan saya tetaplah Umar. Saya kembali, dan saya tetaplah Umar. Tidak ada yang kurang dariku. Sebaik-baik manusia adalah orang yang Tawadhu di hadapan Allah SWT.”
2. Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari Abu Hurairah radhiyallahu anhu memikul seikat kayu dari pasar, padahal ketika itu ia adalah gubenur di Madinah di masa pemerintahan Marwan. Ia mengatakan, “Lapangkanlah jalan bagi Gubenur, agar ia bisa lewat. Ia sedang memikul seikat kayu.”
3. Suatu kali Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu terlihat membawa daging di tangan kanannya, dan di tangan kirinya ada cambuk yang selalu dibawanya, padahal ketika itu ia adalah Amirul Mukminin dan Khalifah kaum muslimin.
4. Diriwayatkan, bahwa Ali radhiyallahu anhu membeli daging dan meletakkannya di dalam lipatan kainnya. Kemudian ada yang bertanya kepadanya, “Bolehkah dibawakan untukmu wahai Amirul Mukminin?” Ia menjawab, “Tidak, kepala keluarga lebih berhak untuk membawanya.”
5. Abu Salamah mengatakan, “Saya mengatakan kepada Abu Said al-Khudry, ‘Bagaimana pendapatmu tentang pakaian, minuman, kenderaan, dan makanan yang dibuat orang-orang sekarang ini?” Ia menjawab, “Wahai anak saudaraku, makanlah karena Allah SWT dan minumlah karena-Nya, berpakaianlah karena-Nya. Segala sesuatu yang dirasuki rasa congkak atau berbangga-bangga atau riya atau sum’ah (ingin di dengar orang), ia adalah maksiat dan berlebih-lebihan. Perbaikilah pelayanan yang ada di rumahmu, sebagaimana perbaikan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw di rumahnya; memberi makan binatang ternak, mengikat unta, membersihkan rumah, memerah susu domba, menjahit sandalnya, menambal pakaiannya yang sobek, makan bersama pelayannya, membuat adonan, membeli sesuatu di pasar, rasa malu tidak menghalanginya untuk menjinjingnya atau meletakkannya di ujung pakaiannya, berangkat menuju keluarganya, menyalami yang kaya dan fakir, dewasa dan kecil, mengucapkan salam terlebih dahulu kepada setiap orang yang ditemuinya; kecil maupun besar, berkulit hitam atau merah, merdeka atau budak dari kalangan Ahli Shalat, yaitu orang-orang yang beriman
Catatan Kaki:
(1) Diriwayatkan oleh Muslim (69) dalam Kitab al-Birr wa al-Shilat
(2) Diriwayatkan oleh Abu Daud (4802) dan al-Nasai (6/228)
(3) Diriwayatkan oleh al-Turmuzi (2492), dan al-Imam Ahmad (2/178)
(4) Diriwayatkan oleh Muslim (64) dalam Kitab al-Jannah
(5) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/116)
(6) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/201), (7/32)
(7) Diriwayatkan oleh Muslim (46, 47) dalam Kitab al-Jannah, dan al-Imam Ahmad (3/145)
(8) Diriwayatkan oleh Abu Daud (4087, 4088)
(9) Diriwayatkan oleh Muslim (136) dalam Kitab al-Birr wa al-Shilat
(10)Diriwayatkan oleh al-Bukhari (7/183)
Tidak ada komentar