Syarat-Syarat Wajib & Shalat-Shalat yang Disunnahkan Menurut Mazhab Syafii

Syarat-Syarat Wajib & Shalat-Shalat yang Disunnahkan Menurut Mazhab Syafii


(Syarat-Syarat Wajib & Shalat-Shalat yang Disunnahkan Menurut Mazhab Syafii, berdasarkan Kitab Matan Abi Syuja’)


(Pasal) Syarat wajib shalat ada tiga: Islam, baligh dan berakal. Semuanya adalah batasan Taklif (pembebanan hukum)(1)


Shalat yang di-Sunnahkan ada lima: Dua hari raya, dua Kusuf dan Istisqa’.

 

Sunnah yang mengiringi ibadah wajib ada tujuh belas raka’at: Dua raka’at Fajar,(2) empat raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya,(3) empat raka’at sebelum ‘Ashar,(4) dua raka’at setelah Maghrib,(5) tiga raka’at setelah Isya’; salah satunya adalah witir.(6)


Tiga ibadah Sunnah yang hukumnya Sunnah Muakkad(7): Shalat malam,(8) Shalat Dhuha,(9) shalat Tarawih.(10) 


(Syarh Syeikh Dr. Musthafa Dibb al-Bugha)


(1) Artinya, jikalau syarat–syarat yang disebutkan ini ada, maka Taklif untuk mengerjakan shalat dan cabang–cabang Syari’ah lainnya pun ada. Jikalau tidak ada, maka Taklif pun tidak ada. 


Syarat keislaman, ditunjukkan oleh Hadits riwayat Al-Bukhari (1331) dan Muslim (19) dari Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Saw mengutus Mu’adz ke Yaman dan bersabda: 

"Serulah mereka menuju persaksian, bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad itu adalah Rasulullah. Jikalau mereka mena’atinya, maka ajarkanlah bahwa Allah mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat lima waktu sehari semalam…"

 

Syarat akal dan baligh ditunjukkan oleh Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud (4403) dan selainnya, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw bersabda: 

"Pena (hukum) diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, dan orang gila sampai sadar."

 

Bermimpi: Maksudnya, Baligh.

  

(2) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1116) dan Muslim (724) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: 

"Tidak ada ibadah sunnah yang paling dijaga oleh Nabi Saw melebihi dua raka’at fajar."

 

Ibadah Sunnah : Yaitu, tambahan dari Fardhu.

  

(3) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1127) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Saw tidak meninggalkan empat raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sebelum pagi." 


Yaitu, shalat Fajar. Riwayat Muslim (730): Beliau shalat di rumahku empat raka’at sebelum Zhuhur, kemudian berangkat dan shalat bersama orang banyak. Setelah itu beliau masuk dan shalat dua raka’at.

 

Beliau menambah dua raka’at setelahnya, sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Khamsah dan dishahihkan oleh At-Turmudzi (427, 428) dari Umm Habibah radhiyallahu ‘anhu berkata: 

"Barangsiapa yang shalat empat raka’at sebelum Zhuhur dan empat raka’at setelahnya, maka Allah mengharamkannya dari Neraka." 


Shalat Jum’at itu seperti Zhuhur, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karena merupakan pengganti. Sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (881) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Jikalau salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat Jum’at, maka shalatlah empat raka’at setelahnya."

 

Diriwayatkan oleh At-Turmudzi (523), bahwa Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu shalat empat raka’at sebelum Jum’at dan empat raka’at setelahnya. Zhahirnya, ini adalah Tauqif. Artinya, ilmunya sesuai dengan perbuatan Nabi Saw. 

  

(4) Diriwayatkan oleh At-Turmudzi dan dihasankannya (430) dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Saw bersabda: 

"Mudah–mudahan Allah merahmati seorang laki–laki yang shalat empat raka’at sebelum ‘Ashar." 

Beliau mengerjakannya dua rakat’at dua raka’at. Sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi (429) dan selainnya, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Saw shalat empat raka’at sebelum ‘Ashar, dipisah dengan salam di antara semuanya. 

  

(5) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1126) dan Muslim (729) dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, saya menjaga sepuluh raka’at dari Nabi Saw: Dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at setelahnya, dua raka’at sebelum Maghrib di rumahnya, dua raka’at setelah Isya’ di rumahnya, dua raka’at sebelum Shubuh. Itu adalah sa’at dimana Nabi Saw tidak boleh ditemui."


Sepuluh raka’at yang disebutkan dalam Hadits ini lebih kuat dari selainnya. Kesunnahan raka’at lainnya ditunjukkan oleh dalil- dalil yang lainnya.

 

Disunnahkan shalat dua raka’at yang ringan sebelum shalat Maghrib. Sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (599) dan Muslim (837) dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: 

"Ketika kami di Medinah, jikalau mu’adzin mengumandangkan adzan untuk shalat Maghrib, maka orang–orang bersegera menuju tiang. Kemudian mereka shalat dua raka’at dua raka’at, sehingga ketika orang asing masuk ke dalam Mesjid, maka dia akan menyangka bahwa shalat telah dikerjakan, karena banyaknya orang yang mengerjakan keduanya." 


Tiang: Maksudnya, penyanggah yang digunakan untuk meninggikan loteng. 


Bersegera menuju tiang: Maksudnya, setiap mereka menuju tiang untuk berdiri di belakangnya. 


Dua raka’at dua raka’at: Maksudnya, setiap orang shalat dua raka’at dan tidak menambahnya. 


Disunnahkan juga shalat dua raka’at yang ringan sebelum shalat Isya’. Sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari ( 601 ) dan Muslim ( 838 ) dari Abdullah bin Mufaddhal Radhiyallahu ‘Anhu berkata: "Nabi Saw bersabda, ‘Di antara dua adzan ada shalat, di antara dua adzan ada shalat." Ketika ketiganya beliau bersabda, “Bagi siapa yang ingin."

 

Maksud dua adzan adalah adzan dan Iqamah. 

  

(6) Sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma sebelumnya (catatan kaki ke-2 halaman 44), dan juga diriwayatkan oleh Muslim (752) berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Witir adalah seraka’at di akhir malam."

 

Ini adalah bilangan witir paling sedikit. Paling tengahnya adalah tiga raka’at, dan paling banyaknya adalah sebelas raka’at.


Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1071) dan Muslim (736), lafadz ini adalah riwayatnya,  serta selain keduanya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma berkata:

"Rasulullah Saw shalat di antara waktu selesai shalat Isya’ sampai Fajar sebanyak sebelas raka’at, salam di setiap dua raka’at dan witir dengan satu raka’at. Jikalau muazzin shalat Fajar diam, dan Fajar telah dilihatnya, serta muazzin mendatanginya, maka beliau bangkit dan shalat dua raka’at yang ringan. Setelah itu beliau berbaring di atas  sisi kanan badannya, sampai muazzin mendatanginya untuk Iqamah." 


Dua raka’at yang ringan: Maksudnya, dua raka’at Fajar. 


Diriwayatkan oleh Abu Daud (1422) dan selainnya, dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Witir itu adalah hak. Barangsiapa yang ingin Witir sebanyak lima raka’at, maka hendaklah dia melakukannya. Barangsiapa yang ingin Witir sebanyak tiga raka’at, maka hendaklah dia melakukannya. Barangsiapa yang ingin Witir sebanyak satu raka’at, maka hendaklah dia melakukannya."

 

Hak : Maksudnya, yang di-Syari’atkan dan diperintahkan. 

  

(7) Maksudnya, setelah ibadah–ibadah Sunnah yang diperintahkan pelaksanaanya secara berjama’ah, dan ibadah–ibadah sunnah Rawatib yang dilakukan setelah shalat– shalat Fardhu. Yang pertama karena keutamaan berjama’ah, dan yang kedua karena ikatannya dengan shalat Fardhu. 

  

(8) Diriwayatkan oleh Muslim (1163) dan selainnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Saw ditanya, ‘Shalat apakah yang lebih utama setelah shalat Fardhu?" Beliau menjawab, “Shalat di pertengahan malam."

 

Pertengahan malam: Maksudnya, tengah–tengahnya dan sa’at–sa’at konsentrasi untuk ibadah.


Dinamakan Qiyam Al-Lail, dan dinamakan Tahajjud jikalau Anda melakukannya setelah tidur. Allah Swt berfirman, “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu." [Surat Al-Isra’: 79]


Artinya: Tinggalkan tidur dan bangunlah, kemudian shalatlah dan bacalah Al-Quran. 


Sebagai tambahan bagimu: Artinya, sebagai tambahan (khususnya) untuk shalat– shalat Fardhu yang diwajibkan kepadamu.

  

(9) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1880) dan Muslim (721) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sahabatku mewasiatkan kepadaku tiga perkara: Berpuasa tiga hari di setiap bulan, dua raka’at Dhuha dan shalat Witir sebelum tidur."


Jumlah raka’atnya paling minimal adalah dua raka’at, sesuai dengan jumlah yang disebutkan dalam Hadits tadi. Jumlah paling banyaknya adalah delapan raka’at, sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari (350) dan Muslim (336), lafadz ini adalah riwayatnya, dari Umm Hani’ Radhiyallahu ‘Anha, bahwa taktala Fath Makkah, dia mendatangi Rasulullah Saw; ketika itu beliau berada di puncak Mekkah. Kemudian beliau mandi, dan ditutup oleh Fathimah. Setelah itu beliau mengambil pakaiannya dan memakainya. Kemudian beliau shalat Dhuha sebanyak delapan raka’at." 


Lebih baik dipisah setiap dua raka’at, sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud (1290) dari Umm Hani’, bahwa Rasulullah Saw shalat Dhuha delapan raka’at ketika Fath Mekkah, salam setiap dua raka’at. 


Waktunya dimulai ketika matahari naik sampai tergelincir. Lebih baik mengerjakannya ketika berlalu seperempat siang. Diriwayatkan oleh Muslim (848) dan selainnya, dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Saw berangkat menemui penduduk Quba’ ketika mereka sedang mengerjakan shalat Dhuha’, maka beliau bersabda, ‘Shalat orang–orang yang taubat adalah ketika anak unta kepanasan di waktu Dhuha."

 

Kepanasan karena panasnya padang pasir/ terik matahari. 

  

(10) Dinamakan Qiyam Ramadhan. Jumlahnya dua puluh raka’at di setiap malam Ramadhan. Setiap dua raka’at dengan satu salam. Waktunya adalah di antara waktu Isya’ dan shalat Fajar. Shalat dikerjakan sebelum shalat Witir.


Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (37) Muslim (759) dan selain keduanya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Barangsiapa yang mendirikan Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan, maka diampuni dosanya yang telah berlalu."


Keimanan: Maksudnya, membenarkan bahwa ini adalah hak. 

Keikhlasan: Maksudnya, Ikhlas karena Allah Swt.


Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (882) dan Muslim (761), lafadz ini adalah riwayatnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa pada suatu malam Nabi Saw shalat di Mesjid, maka orang–orang shalat mengikutinya. Besoknya, beliau kembali shalat, dan orang– orang menjadi banyak. Kemudian mereka kembali berkumpul pada hari ketiga– keempat, akan tetapi beliau tidak kunjung keluar menemui mereka. Ketika di pagi hari, beliau bersabda, “Saya telah melihat apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian, kecuali saya khawatir; jikalau ini di-Fardhukan kepada kalian." Itu terjadi pada bulan Ramadhan.


Apa yang kalian lakukan: Maksudnya, kalian berkumpul untuk mengerjakan shalat, dan menungguku. 


Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1906) dari Abdurrahman bin Abdul Qary berkata, “Saya berangkat ke Mesjid bersama Umar bin Al-Khattab di bulan Ramadhan. Ternyata orang–orang berkelompok–kelompok. Seorang laki–laki shalat sendirian. Seorang laki–laki shalat, dan diikuti oleh sekelompok orang. Maka Umar berkata, “Menurutku (alangkah baiknya) jikalau mereka disatukan dengan satu orang Qari’, maka itu lebih baik." Kemudian dia berazzam dan mengumpulkan mereka dengan dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab. Ketika pada malam lainnya saya berangkat bersamanya, ternyata orang–orang shalat dengan mengikuti Qari’ mereka. Maka Umar berkata, “Sebaik–baik bid’ah (hal yang baru) adalah ini. Orang–orang yang mengerjakannya di akhir malam lebih baik dari orang–orang yang mengerjakannnya di awalnya." 


Sekumpulan orang disini maksudnya adalah kurang dari sepuluh orang. 


Sebaik – baik bid’ah adalah ini: Maksudnya, perbuatan ini baik. Bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat–buat tanpa contoh sebelumnya. Kadang–kadang bid’ah ini baik dan disyari’atkan; jikalau sesuai dengan Syara’ dan ada kebaikannya. Kadang–kadang tercela dan ditolak; jikalau bertentangan dengan Syara’ dan mengandung kejelekan. Jikalau tidak bertentangan dengan Syara’ dan tidak ada dasarnya, maka hukumnya Mubah (boleh.


Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan selainnya dengan Isnad Shahih (2 /996), bahwa mereka mengerjakan (shalat Tarawih) di bulan Ramadhan pada masa Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu sebanyak dua puluh raka’at. Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwattha’ (1 /115 ), bahwa orang–orang mengerjakan shalat (Tarawih) di bulan Ramadhan pada masa Umar sebanyak dua puluh tiga raka’at. Al-Baihaqi menyatukan kedua riwayat  Bahwa tiga raka’at adalah Witir.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.