Tawakkal Kepada Allah SWT & Bergantung dengan Diri Sendiri

Seorang muslim memandang “Tawakkal kepada Allah SWT” dalam seluruh perbuatannya, bukan sekadar kewajiban akhlaki/ etika semata. Tetapi, ia memandangnya sebagai kewajiban agama dan menganggapnya sebagai Akidah Islam. Sebab, itu merupakan perintah Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (Surat al-Maidah: 23) Dan firman-Nya, “Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal." (Surat Ali Imran: 122) Karena itulah, bertawakkal mutlak hanya kepada Allah SWT merupakan bagian dari akidah seorang mukmin. 


Seorang muslim menghamba kepada Allah SWT, dengan bertawakkal kepada-Nya dan bersimpuh seutuhnya di hadapan-Nya. Ia tidak memahami tawakkal layaknya orang-orang yang tidak mengerti Islam dan para musuh akidah, yang berpandangan bahwa tawakkal hanyalah sekadar kata yang diucapkan lisan, disimpankan hati, digerakkan kedua bibir, yang tidak dipahami oleh logika, tidak diserap oleh pikiran, atau memahaminya sebagai sesuatu yang tidak perlu dijalankan sebabnya dan tidak butuh diamalkan, cukup Qanaah dan ridha dengan kehinaan dan kerendahan di bawah syiar Tawakkal kepada Allah SWT serta rela dengan ketetapan segala Qadar. Tidak, tidak selama-lamanya. Tapi, seorang muslim memahami tawakkal kepada Allah SWT yang merupakan bagian dari keimanannya dan akidahnya, sebagai ketaatan kepada Allah SWT dengan menjalankan segala sebab yang harus dikerjakannya atau dimasukinya untuk amalan apapun, tidak tamak mendapatkan hasilnya tanpa mengerjakan sebab-sebabnya, tidak megharapkan konklusi tanpa ada mukaddimahnya. Hanya saja, buah dari semua sebab dan konklusi dari semua mukaddimah, sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT. Sebab, Dialah yang Mampu melakukan segala sesuatu, bukan selain-Nya. 


Bagi seorang muslim, tawakkal adalah amalan dan harapan, ketenangan hati dan ketentraman jiwa, serta keyakinan yang pasti bahwa apa yang diinginkan oleh Allah SWT akan terjadi, dan apa yang tidak diinginkanNya tidak akan terjadi, dan bahwa Dia tidak akan mengabaikan pahala bagi yang sudah bagus amalannya. 


Seorang muslim mengimani sunnah-sunnah Allah SWT terhadap alam semesta, sehingga berpandangan bahwa semua amalan itu ada sebab-sebab yang harus dijalankan, membutuhkan kerja keras untuk mendapatkannya dan menyempurnakannya. Ia sama sekali tidak berpandangan bahwa mengerjakan sebab-sebab saja cukup sebagai jaminan akan mendapatkan tujuan dan menggapai cita. Tidak, bahkan ia memandang bahwa sebab itu tidak lebih dari sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT, yang wajib dipatuhi sebagaimana perintah-Nya dan larangan-Nya yang lainnya. Sedangkan masalah hasil dan konklusi yang dicitakan, maka ia menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Sebab, Dialah yang mampu melakukannya, bukan selain-Nya. Apa yang diinginkan-Nya, maka akan terjadi. Dan apa yang tidak diinginkan-Nya, maka tidak akan terjadi. Berapa banyak orang yang bekerja keras, namun ia sama sekali tidak mencicipi buah usaha dan kerjas kerasnya. Berapa banyak orang yang menanam, namun ia tidak sempat memanen yang ditanamnya. 


Karena itulah, seorang muslim berpandangan bahwa bergantung kepada sebab semata dan menganggapnya “segalanya” untuk mewujudkan impian, adalah kekufuran dan kesyirikan. Ia juga berpandangan bahwa tidak melakukan sebab-sebab yang seharusnya dilakukan untuk amalan apapun dan mengabaikannya, padahal ia mampu melakukannya dan melaksanakannya, adalah kefasikan dan maksiat yang diharamkan oleh Allah SWT.


Seorang muslim berpandangan, bahwa semua sebab berpangkal dari falsafah yang disarikan dari ruh Islam dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Dalam semua peperangan yang panjang yang dilakukannya dan jumlahnya banyak sekali, Rasulullah Saw tidak memasukinya begitu saja, tanpa mempersiapkan bekal dan semua sebab/ faktor yang akan mendatangkan kemenangan. Beliau sendiri yang memilih lokasi perangnya dan waktunya.  Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw, bahwa beliau tidak akan melakukan serangan ketika cuaca masih panas, sampai hawanya menjadi dingin (sejuk). Dan cuaca itu terasa enak di akhir siang. Itu dilakukannya setelah membuat rancangan dan mengatur strategi. Jikalau beliau sudah melakukan semua unsur-unsur materi yang dibutuhkan untuk memenangkan peperangan, maka beliau mengangkat kedua tangannya ke langit memohon kepada Allah dengan berucap: “Ya Allah, Zat yang menurunkan al-Quran, menjalankan awan-awan, menghancurkan segala kelompok, hancurkanlah mereka dan bantulah kami menghadapi mereka.”(1) Begitulah petunjuk Rasulullah Saw, yang menggabungkan antara unsur-unsur al-Madiyah (materi) dan unsur-unsur al-Ruhiyah (ruh), kemudian menggantungkan masalah kesuksesannya kepada Rabbnya, menyerahkan masalah keberhasilannya dan kemenangannya kepada keinginan Penguasannya. Ini adalah contoh!


Contoh lainnya.  Rasulullah Saw menunggu perintah Allah SWT untuk hijrah ke Madinah, setelah sebagian besar para sahabatnya hijrah terlebih dahulu ke wilayah tersebut. Kemudian, turunlah izin dari Allah SWT untuk melakukan hijrah. Apakah rentetan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw untuk hijrahnya ini? Ia adalah: 

1. Mencari sebaik-baik teman, yaitu sahabatnya Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu yang akan menemaninya selama perjalanan menuju Negeri Hijrah. 

2. Mempersiapkan bekal perjalanan, berupa makanan dan minuman. Asma’ binti Abu Bakar mengikatnya di pinggangnya, sampai-sampai ia digelari dengan Dzat al-Nithaqain. 

3. Mempersiapkan kenderaan terbaik yang dikenderainya dalam perjalanan yang sulit lagi panjang ini. 

4. Mencari penunjuk jalan yang paham dengan seluk-beluk perjalanan dan rintangan-rintangannya, yang bisa dijadikan sebagai guide dan penuntun dalam perjalanan yang sulit ini. 

5. Ketika ingin keluar meninggalkan rumahnya yang sudah diawasi musuh dan sudah dikepung,agar tidak bisa ditangkap, beliau memerintahkan anak pamannya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu untuk tidur di kasurnya. Tujuannya, agar bisa mengelabui musuhnya yang semenjak malam sudah menunggu keluarnya. Kemudian beliau pergi dan meninggalkan musuhnya yang sedang menunggunya terbangun dari tempat tidurnya. Beliau melihat mereka dari celah-celah lubang yang ada di pintu. 

6. Ketika kaum musyrikin mencarinya dan mengejarnya bersama sahabatnya Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu anhu yang lari bersamanya, beliau menuju Gua Tsaur, kemudian memasukinya agar bisa bersembunyi dari para pencarinya, yang ingin membunuhnya dan iri kepadanya. 

7. Ketika Abu Bakar berkata kepadanya, “Jikalau ada salah seorang di antara mereka yang melihat kedua kakinya, maka ia akan meihat kita wahai Rasulullah Saw.” Beliau menjawab, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Bakar dengan dua orang yang ketiganya adalah Allah SWT?”(2)


Peristiwa yang menyibak hakikat iman dan tawakkal ini, merupakan bukti bagaimana Rasulullah Saw tidak mengingkari wujud al-Asbab (sebab) dan tidak bergantung semata dengan semua sebab-sebab itu. Dan sebab terakhir yang harus dijalani seorang mukmin adalah, menghempaskan dirinya di hadapan Allah SWT, menyerahkan urusannya hanya kepada-Nya dengan penuh keyakinan dan ketenangan. Ketika Rasulullah Saw sudah menggunakan semua jalan agar bisa selamat, sampai-sampai harus menempatkan dirinya di dalam gua gelap yang dihuni oleh kalajengking dan ular, maka beliau berkata dengan penuh kepercayaan diri sebagai seorang mukmin dan penuh keyakinan sebagai seorang yang bertawakkal, kepada sahabatnya yang dirasuki ketakutan, “Jangan bersedih, Allah SWT bersama kita. Bagaimana pendapatmu wahai Abu Bakar dengan dua orang yang ketiganya adalah Allah SWT?!”


Hidayah Kenabian dan Pengajaran Nabawi ini, dijadikan oleh seorang muslim sebagai “Pandangan Hidupnya Terhadap al-Asbab”. Ini bukanlah bid’ah dan dibuat-buat. Ia adalah sesuatu yang ada dan diteladani dari Nabi Muhammad Saw. 


Terkait masalah bergantung dengan diri sendiri, maka seorang muslim tidak memahaminya layaknya pemahaman orang-orang terhijab dari dirinya sendiri, akibat  maksiat-maksiat yang mereka lakukan, yaitu pemahaman bahwa maksud bergantung itu adalah memutuskan hubungan dengan Allah SWT, bahwa seorang hamba sendirilah yang menentukan segala amalannya, menentukan usahanya dan segala keuntungannya, bahwa Allah SWT tidak bisa intervensi dalam semua hal itu. 

Maha Suci Allah SWT dari apa yang mereka bayangkan…


Ketika seorang muslim mengatakan wajibnya bergantung dengan dirinya sediri dalam mencari rezeki dan bekerja, maka maksudnya adalah tidak menampakkan rasa butuhnya kepada siapa pun selain Allah SWT, tidak memperlihatkan kebutuhannya kepada selain Penguasanya. Jikalau ia bisa sendiri melakukan pekerjaanya, maka ia tidak menyandarkannya kepada orang lain. Jikalau ia mampu memenuhi sendiri kebutuhannya, maka ia tidak meminta bantuan orang lain dan tidak juga pertolongan selain-Nya. Sebab, perbuatan seperti itu berarti menggantungkan hati kepada selain Allah SWT. Dan ini adalah perbuatan yang tidak disukai seorang muslim dan tidak diridhainya. 


Dalam hal ini, seorang muslim menempuh jalannya para shalihin dan meniti sunnahnya para shiddiqin. Jikalau salah seorang di antara mereka ada yang cambuknya jatuh dari tangannya, padahal ia sedang berada di atas kudanya, maka ia akan turun dan mengambilnya sendiri, tidak meminta selainnya untuk mengambilkannya. Dahulu, Rasulullah Saw membaiat seorang muslim untuk menunaikan shalat, membayarkan zakat, dan tidak meminta kebutuhannya kepada seorang pun selain Allah SWT. 


Jikalau seorang muslim menjalani hidupnya dengan akidah seperti ini, berupa tawakkal kepada-Nya dan bergantung dengan dirinya sendiri, maka ia akan memberikan nutrisi kepada akidahnya dan menumbuhkan etikanya dengan asupan lintasan pikirannya dari waktu ke waktu, berdasarkan ayat-ayat mencerahkan dan hadits-hadits Nabi yang menjadi landasan akidahnya, inspirasi etikanya. Dan itu berdasarkan firman Allah SWT, “Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati." (Surat al-Furqan: 58) Dan firma-Nya, “dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (Surat Ali Imran: 173) Dan firman-Nya, “Dan Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.” (Surat Ali Imran: 159) Dan sabda Rasulullah Saw, “Jikalau kalian benar-benar bertawakkal kepada Allah SWT, maka Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, yang berangkat di pagi hari dalam kondisi lapar dan pulang dalam kondisi kenyang.”(3) Dan doa beliau jikalau keluar rumah: 

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

“Dengan nama Allah, saya bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan upaya kecuali di tangan-Nya.”(4)


Dan sabdanya tentang 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab, “Merekalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak ber-kay (berobat dengan besi panas), tidak bertathayyur. Mereka hanya tawakkal kepada Rabb mereka.”(5)


Catatan Kaki: 

(1) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (4/53), Muslim (20, 21) dalam Kitab al-Jihad, dan al-Turmudzi (1678)

(2) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (4/246), (5/4)

(3) Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (1/30)

(4) Sudah ditakhrij di bagian sebelumnya

(5) Diriwayatkan oleh Muslim (198), dan al-Imam Ahmad (1/321, 454)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.