Hudud bagi Orang yang Berzina Menurut Mazhab Syafii
Hudud bagi Orang yang Berzina Menurut Mazhab Syafii
(Hudud bagi Orang yang Berzina Menurut Mazhab Syafii, berdasarkan Kitab Matan Abi Syuja’)
Orang yang berzina terbagi dua : Muhshan dan Ghair Muhshan.
Hukuman Muhshan adalah rajam.(1)
Hukum Ghair Muhshan adalah seratus kali cambuk dan di asingkan selama setahun(2) dengan jarak Qashar ( shalat ).(3)
Syarat Ihshan ada empat perkara : Baligh, berakal, merdeka, dan adanya Jima’ dengan nikah yang Shahih.(4)
Hukuman budak laki – laki dan budak perempuan setengah hukuman orang yang merdeka.(5)
Hukum Liwath dan berjima’ dengan binatang ternak seperti hukum zina.(6)
Barangsiapa yang menggauli bukan di kemaluannya, maka diasingkan.(7) Pengasingan itu tidak mencapai had paling kecil.(8)
(Syarh Syeikh DR. Musthafa Dibb al-Bugha)
(1) Tentang Ihshan akan dijelaskan di halaman 205.
Diriwayatkan oleh Al Bukhari ( 6430 ) dan Muslim ( 1691 ) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata : Seorang laki – laki mendatangi Rasulullah Saw di Mesjid. Dia menyeru seraya berkata, “ Wahai Rasulullah, saya telah berzina “. Beliau berpaling darinya, sampai dia mengulangnya sebanyak empat kali. Ketika dia bersaksi sebanyak empat kali terhadap dirinya sendiri, maka Rasulullah Saw memanggilnya dan berkata, “ Apakah engkau gila ? “. Dia menjawab, “ Tidak “. Beliau berkata, “ Apakah engkau Muhshan ? “. Dia menjawab, “ Ya “. Maka Nabi Saw bersabda, “ Pergilah bersamanya dan rajamlah “. Jabir berkata, “ Saya adalah salah seorang yang merajamnya. Kami merajamnya di lapangan. Taktala batu mengenainya, maka dia lari. Kami mendapatkannya di Harrah, dan kami kembali merajamnya “.
Seorang laki – laki : Maksudnya, Ma’iz bin Malik Al Aslamy Radhiyallahu ‘Anhu.
Muhshan : Maksudnya, orang yang menikah.
Lapangan : Maksudnya, tempat shalat ‘id dan shalat jenazah.
Mengenainya : Maksudnya, batu mengenainya dan menyakitinya.
Harrah : Maksudnya, tempat yang memiliki batu hitam. Medinah berada di antara dua Harrah.
Diriwayatkan oleh Al Bukhari ( 6467 ) dan Muslim ( 1697 ) dari Abu Hurairah dan Khalid bin Zaid Al Jahany Radhiyallahu ‘Anhuma berkata : Seorang laki – laki mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, “ Saya bersumpah kepadamu dengan Allah, kecuali engkau harus menghukum di antara kami dengan Kitabullah “. Lawannya berkata ; dan dia lebih Ahli Fiqih dari orang sebelumnya, “ Benar, tetapkanlah hukum di antara kami dengan Kitabullah. Idzinkanlah diriku wahai Rasulullah “. Beliau berkata, “ Katakanlah “. Dia berkata, “ Anak laki – lakiku menjadi pegawai ( orang yang digaji ) untuk melayani keluarga laki – laki ini. Dia berzina dengan istrinya. Kemudian saya menebusnya dengan seratus ekor domba dan seorang pelayan. Setelah itu saya bertanya kepada sekelompok Ahli Ilmu. Mereka memberitahuku, bahwa anak laki – lakiku ini harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun, serta istri laki – laki ini harus dirajam “. Beliau berkata, “ Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, saya benar – benar akan menetapkan hukum di antara kalian dengan Kitabullah. Seratus ekor domba dan seorang pelayan akan dikembalikan kepadamu. Anak laki – lakimu harus dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun. Wahai Unais, temuilah istri laki – laki ini dan tanyakanlah. Jikalau dia mengakui, maka rajamlah “. Kemudian perempuan itu mengaku dan dirajam.
Lebih Ahli Fiqih dari orang sebelumnya : Maksudnya, lebih banyak ilmu dan pemahamannya.
Dengan Kitabullah : Maksudnya, karena hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw terdapat dalam Al Quran. Allah Swt berfirman, “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah ”. [ Al Hasyr : 7 ]
Unais : Maksudnya, Ibn Adh Dhahak Al Aslamy Radhiyallahu ‘Anhu.
(2) Allah Swt berfirman, “ Perempuan yang berzina dan laki - laki yang berzina, maka deralah tiap - tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk ( menjalankan ) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah ( pelaksanaan ) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang - orang yang beriman “. [ An Nuur : 2 ]
Cambuk : Maksudnya, pukulan.
Belas kasihan : Maksudnya, kelembuhan dan kasih sayang.
Agama Allah : Maksudnya, menjalankan hukum – hukum-Nya dan menegakkan Hudud-Nya.
Hukuman mereka : Maksudnya, pelaksaan hukuman kepada keduanya.
Sekumpulan : Maksudnya, sekolompok orang untuk mendapatkan ‘Ibrah dan menjauhkan orang lain melakukannya.
Pezina laki – laki dan pezina perempuan dalam ayat ini maksudnya adalah Ghair Muhshan ; berdasarkan dalil – dalil tentang wajibnya merajam Muhshan.
Tentang wajibnya pengasingan ditunjukkan oleh Hadits Al Bukhari dan Muslim sebelumnya di catatan kaki ke-1, halaman 203.
Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari ( 6443 ) dari Zaid bin Khalid Radhiyallahu ‘Anhu berkata : Saya mendengar Rasulullah berkata tentang orang yang berzina dan tidak Muhshan, “ Dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan setahun “.
Ibn Syihab berkata, “ Urwah bin Az Zubair memberitahuku, bahwa Umar bin Al Khattab mengasingkan ( Ghair Muhshan yang berzina ). Kemudian itu tetap menjadi Sunnah “.
Diriwayatkan oleh Muslim ( 1690 ) dari Hadits ‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘Anhu berkata : Rasulullah Saw bersabda, “ Perjaka dengan perawan : Dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun “. Maksudnya, jikalau perjaka berzina dengan perawan, maka itulah hukumannya.
Pengasingan : Maksudnya, menjauhkan dari negeri.
(3) Dan seterusnya ; sesuai dengan pandangan hakim yang adil. Tidak boleh kurang dari itu, karena tidak dianggap perjalanan lagi dan tujuan-pun tidak tercapai, yaitu menakutinya dengan menjauhkan dari keluarga dan negeri.
Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara laki – laki dan perempuan. Dalam hal ini perempuan harus ditemani oleh Mahramnya, karena dia tidak boleh melakukan perjalanan tanpa disertai oleh Mahramnya.
(4) Maksudnya, pezina itu telah menikah sebelumnya dan menggauli istrinya, serta ‘Aqad nikahnya itu Shahih, karena terpenuhi syarat – syarat dan rukun – rukun yang ditentukan dalam pernikahan secara Syara’, seperti adanya wali istri dalam pernikahan, adaya saksi – saksi yang adil dan lain – lain.
Begitu juga halnya dengan perempuan yang berzina. Dia telah menikah sebelumnya dan digauli oleh suaminya. ‘Aqad nikahnya itu persis seperti yang kami sebutkan sebelumnya.
Tidak disyaratkan pernikahan itu berlanjut. Bahkan jikalau perceraian terjadi setelah itu dan terjadi zina, maka dianggap Muhshan dan dirajam. Jikalau salah satu dari empat perkara ini tidak terpenuhi, maka pezina tidak di anggap Muhshan dan tidak ditegakkan kepadanya hukum rajam, akan tetapi dicambuk dan dipukul layaknya seorang perjaka ; walaupuan dia telah baligh dan berakal, serta di ajarkan dengan sesuatu yang akan menjauhkannya dari kekejian ini ; jikalau anak – anak kecil dan orang gila.
(5) Berdasarkan firman Allah Swt, “ Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji ( zina ), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita - wanita merdeka yang bersuami “. [ An Nisaa’ : 25 ]
Mereka melakukan : Maksudnya, budak – budak perempuan yang disebutkan di awal ayat, “ ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki “.
[ Lihat catatan kaki ke-1, halaman 158 ].
Artinya : Jikalau budak wanita terjerumus ke dalam zina, maka dirinya dihukum dengan setengah hukuman perempuan merdeka, yaitu dicambuk sebanyak lima puluh kali dan diasingkan setengah tahun, baik telah menikah maupun masih perawan. Dia dirajam, karena ini tidak bisa di-setengahkan. Budak laki – laki di-Qiyaskan dengan budak perempuan, karena maknanya sama.
(6) Liwath : Berhubungan badan dengan laki – laki melalui duburnya. Begitu juga dengan menggauli perempuan bukan Mahram, yaitu bukan istrinya – melalui dubur.
Hukuman pelakunya seperti hukuman zina, karena merupakan kekejian. Maka dirajam ; jikalau Muhshan, dicambuk dan dipukul ; jikalau selain itu.
Sedangkan objeknya, maka ditegakkan hukuman Ghair Muhshan secara mutlak ; walaupun dia orang yang telah menikah, karena pezina yang Muhshan adalah orang yang menggauli, atau digauli – dengan cara yang telah disebutkan padanannya dengan cara yang Mubah.
Barangsiapa yang digauli di duburnya, maka hal ini tidak bisa dibayangkan, sehingga dia tidak termasuk ke dalam hukum Muhshan.
Sedangkan orang yang berjima’ dengan binatang ternak, maka dia diasingkan dan tidak ada had-nya ( hukuman ). Ini berdasarkan pendapat yang kuat dan dipegang dalam mazhab, karena perbuatan ini adalah sesuatu yang tidak menimbulkan syahwat, bahkan melenceng dari tabi’at yang Shahih dan tidak disenangi oleh jiwa yang benar, sehingga tidak membutuhkan ancaman ( pelarangan ). Hukuman ( had ) itu di-Syari’atkan untuk melarang jiwa mendekati sesuatu yang disenangi oleh tabi’at dengan bentuk yang tidak Syar’i.
Dalilnya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud ( 4465 ) dan At Turmudzi ( 1455 ) dari Ibn ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “ Orang yang menggauli binatang ternak, maka tidak ada had-nya “. Perkataan seperti ini bukanlah berdasarkan logika, sehingga hukumnya Marfu’ kepada Nabi Saw.
Jikalau Had-nya tidak ada, maka wajib diasingkan, karena dia melakukan maksiat yang tidak ada had-nya dan kafarahnya.
(7) Menggauli : Maksudnya, kemaluannya menyentuh badan perempuan bukan Mahramnya atau laki – laki asing. Begitu juga halnya dengan seluruh foreplay berjima’, seperti mencium dan selainnya.
Di asingkan : Maksudnya, diajarkan sesuai dengan pandangan hakim muslim yang adil, baik pukulan, isolasi, penjara, celaan dan lainnya. Karena ini adalah perbuatan maksiat yang tidak ada had-nya dan kafaratnya.
(8) Yaitu empat puluh kali cambuk ; had peminum khamar. Pengasingan harus kurang dari ini. Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Al Baihaqy ( 8 / 327 ) dari An Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhuma berkata : Rasulullah Saw bersabda, “ Barangsiapa yang mencapai had bukan hadnya, maka dia adalah salah seorang yang zhalim “.
Bukan hadnya : Maksudnya, untuk sesuatu yang tidak mewajibkan had. Maksudnya, had paling kecil ; sebagaimana Anda ketahui.
Tidak ada komentar