Jenis-Jenis Talak Menurut Mazhab Syafii
(Jenis-Jenis Talak Menurut Mazhab Syafii, Berdasarkan Kitab Matan Abi Syuja’)
( Pasal ) Thalaq itu terbagi dua : Sharih dan Kinayah.
Sharih itu memiliki tiga lafadz : Thalaq, Firaq ( pisah ) dan Siraah ( lepas ). Thalaq yang diucapkan secara Sharih tidak membutuhkan niat.(1)
Kinayah : Semua lafadz yang mengandung makna Thalaq dan selainnya. Ini membutuhkan niat.(2)
Dalam hal ini, para perempuan ada dua jenis : Jenis Sunnah dan bid’ah ketika men-Thalaq mereka. Mereka adalah perempuan – perempuan yang mengalami haidh. Sunnah : Thalaq dijatuhkan ketika suci dan tidak digauli. Bid’ah : Thalaq yang dijatuhkan ketika haidh, atau ketika suci ; akan tetapi digaulinya.(3)
Jenis yang tidak sunnah dan bid’ah ketika men-Thalaq mereka. Mereka ada empat orang : Perempuan kecil, perempuan monopaus, perempuan hamil, serta perempuan yang di-Khulu’ dan belum digauli.
(Syarh Syeikh DR. Musthafa Dibb al-Bugha)
(1) Karena Lafadz – lafadz berasal dari Syara’ dan diulang – ulang dalam Al Quran dengan makna Thalaq.
Allah Swt berfirman, “ Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri – isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi ) iddahnya ( yang wajar ) “. [ Ath Thalaq : 1 ]
Allah Swt berfirman, “ dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik “. [ Al Ahzab : 28 ]
Allah Swt berfirman, “ atau lepaskanlah mereka dengan baik “. [ Ath Thalaq : 2 ]
(2) Seperti mengatakan, “ Kembalilah kepada keluargamu “. “ Engkau bukanlah istriku “. “ Engkau bebas “.
Jikalau laki – laki itu berniat Thalaq, maka Thalaq-pun terjadi. Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari ( 4955 ) dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, bahwa taktala Binti Al Jun ( anak perempuan Jun ) menemui Rasulullah Saw, dia berkata, “ Saya berlindung kepada Allah dari dirimu “. Beliau berkata, “ Engkau telah berlindung dengan Dzat Yang Maha Agung. Kembalilah kepada keluargamu “.
Jikalau laki – laki itu tidak berniat Thalaq, maka Thalaq tidak terjadi. Hal ini ditunjukkan oleh :
Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari ( 4156 ) dan Muslim ( 2769 ) tentang peristiwa ketidak ikut sertaan Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu dalam perang Tabuk. Dia berkata, “ Taktala berlalu empat puluh hari dari lima puluh hari masa itu ; sedangkan wahyu terlambat turunnya, maka datanglah utusan Rasulullah Saw dan berkata, ‘ Sesungguhnya Rasulullah Saw memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu “. Saya berkata, “ Saya men-Thalaqnya atau apa yang harus saya lakukan ? “. Dia menjawab, “ Jauhilah dirinya dan jangan mendekatinya “. Dia melanjutkan : Saya berkata kepada istriku, “ Kembalilah kepada keluargamu “.
Dia melakukan itu karena takut akan menyelisihi perintah Rasulullah Saw, serta akan menyebabkannya bergaul dengan istrinya ; jikalau istrinya itu tetap tinggal bersamanya. Taktala taubatnya diterima, maka istrinya kembali kepadanya. Nabi Saw tidak memerintahkannya untuk menceraikan istrinya, atau melakukan ‘Aqad baru. Hal ini menunjukkan, bahwa lafadz : Kembalilah kepada keluargamu, bukanlah bentuk lafadz Thalaq.
(3) Hal ini ditunjukkan oleh Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari ( 4953 ) dan Muslim ( 1471 ) dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa dia men-Thalaq istrinya ketika sedang haidh pada masa Rasululah Saw. Maka Umar bin Al Khattab menanyakan hal ini kepada Rasulullah Saw, dan beliau menjawab, “ Perintahkanlah dirinya untuk rujuk. Kemudian hendaklah dia memegangnya sampai suci, kemudian haidh, kemudian suci. Kemudian jikalau dia ingin, maka dia bisa memegang setelahnya. Jikalau dia ingin, maka dia bisa men-Thalaq sebelum berhubungan badan dengannya. Itulah ‘Iddah yang diperintahkan oleh Allah ketika perempuan di-Thalaq “. Maksudnya adalah firman Allah Swt, “ Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri – isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi ) iddahnya ( yang wajar ) “. [ Ath Thalaq : 1 ]
Pada waktu mereka ( menghadapi ) iddahnya : Karena pada waktu ini dimulailah ‘Iddahnya semenjak jatuhnya Thalaq. Berbeda jikalau Anda men-Thalaqnya ketika haidh, karena dia tidak memulai ‘Iddahnya sampai haidhnya berhenti. Jikalau laki – laki itu men-Thalaqnya setelah melakukan Jima’, maka bisa jadi perempuan itu hamil ; padahal dia ingin men-Thalaq perempuan yang hamil, sehingga hal itu menjadi penyesalan.