Masalah-Masalah Seputar Persaksian & Qadha Menurut Mazhab Syafii
Masalah-Masalah Seputar Persaksian & Qadha Menurut Mazhab Syafii
(Masalah-Masalah Seputar Persaksian & Qadha/ Qadhi/ Hakim(1) Menurut Mazhab Syafii, berdasarkan Kitab Matan Abu Syuja’)
Tidak boleh memegang jabatan hakim,(2) kecuali orang yang memenuhi lima belas perkara :
Islam,(3) baligh, berakal, merdeka,(4) laki – laki,(5) adil,(6) mengetahui hukum – hukum Kitab dan Sunnah,(7) mengetahui Ijma’,(8) mengetahui perbedaan,(9) mengetahui cara – cara Ijtihad,(10) Mengetahui bagian dari Bahasa Arab,(11) mengetahui Tafsir Kitabullah,(12) mendengar, melihat, mampu menulis dan sadar.(13)
di-Sunnahkan, agar dia berkedudukan di pusat negeri ; di tempat orang banyak,(14) tidak ada penjaganya,(15) tidak duduk di Mesjid untuk menetapkan hukum.(16)
Dua orang yang berkhusumat disamakan dalam tiga perkara : Tempat duduk, lafadz dan pandangan.(17)
Dia tidak boleh menerima hadiah dari orang – orang yang menjadi objek pekerjaannya.(18)
Dia menghindari penetapan hukum di dalam sepuluh keadaan : Ketika marah, lapar, haus, syahwat luar biasa,(19) sedih, bahagia berlebih – lebihan, ketika sakit, menahan buang air besar dan buang air kecil, ketika ngantuk, panas dan dingin luar biasa.(20)
Orang yang dituduh tidak ditanyai, kecuali setelah sempurnanya tuduhan.(21) Tidak memintanya bersumpah, kecuali setelah menanyakan penuduh.(22) Tidak dituntunkan hujjah kepada pihak lawan dan tidak juga memberinya pemahaman tentang perkataan yang dilontarkan.(23) Serta tidak berbuat kasar kepada para saksi.(24)
Persaksian tidak diterima, kecuali dari orang yang jelas keadilannya.(25) Persaksian seorang musuh tidak diterima kepada musuhnya, tidak juga persaksian bapak kepada anaknya, serta persaksian anak kepada bapaknya.(26)
Surat hukum seorang hakim kepada hakim lainnya tidak diterima, kecuali setelah dua orang saksi menyaksikan isinya.(27)
(Syarh Syeikh DR. Musthafa Dibb al-Bugha)
(1) Secara bahasa, Qadha’ memiliki beberapa makna. Di antaranya : Hukum. Allah Swt berfirman, “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik - baiknya “. [ Al Israa’ : 23 ] Maksudnya, hukum.
Menurut Syara’ : Memisahkan pertikaian di antara dua orang atau lebih dengan hukum Allah Swt.
Dasar pen-Syari’atannya :
Berbagai ayat, di antaranya firman Allah Swt, “ dan ( menyuruh kamu ) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil “. [ An Nisaa’ : 58 ] dan firman-Nya, “ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah [ Al Maidah : 49 ].
Berbagai Hadits, di antaranya adalah riwayat Abu Daud ( 3582 ) dan selainnya, dari ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu berkata : Rasulullah Saw mengutusku ke Yaman sebagai hakim. Maka saya bertanya, “ Wahai Rasulullah, engkau mengutusku ; padahal saya masih muda – Dalam riwayat Al Hakim ( 4 / 93 ) : Engkau mengutusku kepada orang – orang yang telah berumur ; padahal saya masih muda –. Saya tidak memiliki ilmu tentang penetapan hukum ? “. Beliau berkata, “ Sesungguhnya Allah akan menunjuki hatimu dan mengokohkan lidahmu “. Saya tetap menjadi hakim, atau : Saya tidak pernah ragu menetapkan hukum setelah itu.
Masih muda : Maksudnya, pemuda.
Orang – orang yang berumur : Maksudnya, tua – tua dan berumur.
Saya tidak memiliki ilmu : Maksudnya, saya tidak memiliki pengalaman sebelumnya.
Saya tetap menjadi hakim : Maksudnya, mengetahui ketetapan hukum.
Dalil – dalil lainnya akan dipaparkan di pembahasannya, yaitu tentang hukum “ surat hakim “.
Persaksian : Menyaksikan sesuatu dengan mata. Yaitu, memberitahukan sesuatu yang disaksikan, atau diketahui dengan lafadz khusus. Menurut Syara’ : Pemberitahuan untuk menetapkan hak seseorang atas orang lain dengan lafadz khusus.
Dasar pen-Syari’atannya :
Berbagai ayat, di antaranya adalah firman Allah Swt, “ hendaklah kamu jadi orang - orang yang selalu menegakkan ( kebenaran ) karena Allah, menjadi saksi dengan adil “. [ Al Maidah : 8 ] dan firman-Nya, “ Janganlah kalian menyembunyikan persaksian “. [ Al Baqarah : 283 ]
Sebahagian Hadits akan dijelasan di pembahasannya, yaitu tentang hukum.
(2) Tidak sah jabatannya. Penguasa tidak boleh mengangkatnya ; sebagaimana dia berdosa jikalau menerimanya.
(3) Tidak sah menyerahkan jabatan hakim kepada orang kafir di negeri Islam ; walaupun untuk menghukum di antara orang – orang kafir. Berdasarkan firman Allah Swt, “ dan Allah sekali - kali tidak akan memberi jalan kepada orang - orang kafir untuk memusnahkan orang - orang yang beriman “. [ An Nisaa’ : 141 ] Tidak ada jalan paling agung, kecuali menjadi hakim untuk kaum muslimin, atau di negeri – negeri mereka.
(4) Karena kekurangan orang yang tidak memenuhi salah satu sifat ini.
(5) Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “ Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan “. [ Diriwayatkan oleh Al Bukhari ( 4163 ) dari Abu Bakrah Radhiyallahu ‘Anhu ].
(6) Karena perkataan orang yang tidak adil ; tidak bisa dipercaya, serta kezhaliman tidak akan bisa dihindarkan dalam penetapan hukumnya. Penjelasan tentang adil akan dijelaskan di pasal persaksian.
(7) Hukum – hukum yang tetap di dalam keduanya. Serta bagian yang Muhkam, dan bagian yang Mansukh. Kemudian mengetahui hukum – hukum umum yang berkaitan dengan keduanya agar bisa meng-Istinbathkan hukum – hukum Far’iyyah ; sebagaimana bisa men-Tarjih di antara dalil – dalil yang ada ketika terjadi benturan.
(8) Maksudnya, hukum – hukum yang di-Ijma’kan, sehingga tidak diselisihi di dalam ketetapan hukumnya. Ijma’ menurut istilah para Ahli Fiqih dan Ahli Ushul adalah kesepakatan seluruh Mujtahid umat di dalam suatu masa terhadap suatu hukum Syar’I tentang kejadian yang tidak ada Nash hukumnya dalam Kitab atau Sunnah.
Jikalau Ijma’ ini telah terjadi, maka ia menjadi hukum yang di-Ijma’kan menurut Syara’ dan harus dijalankan. Tidak boleh seorang kaum muslimin-pun menyelisihinya. Tidak boleh bagi para Mujtahid ; walaupun di masa lainnya, mengkaji dan meng-Ijtihadkan peristiwa yang telah di-Ijma’kan hukumnya.
(9) Perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum, serta para Tabi’in dan Imam Mujtahid setelah mereka ; dalam permasalahan yang sedang ditanganinya. Agar dia mengetahui apa yang di-Ijtihadkan dan dihukumnya.
(10) Maksudnya, cara – cara yang akan mengantarkannya untuk meng-Istinbathkan hukum dengan dalil – dalilnya, serta bagaimana ber-Istidlal dengan dalil – dalil tersebut untuk menghasilkan berbagai hukum.
(11) Maksudnya, memiliki pengetahuan tentang Bahasa Arab, Isytiqaq Lafadznya dan Tashrif-nya, serta bentuk – bentuk ‘Irabnya. Karena ini adalah bahasa Syara’ dari Kitab dan Sunnah.
(12) Dasar keenam syarat sebelumnya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud ( 3573 ) dan selainnya, dari Buraidah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Saw bersabda, “ Para hakim itu terbagi tiga : Satunya berada di Surga, dan dua orang lagi berada di Neraka. Hakim yang berada di Surga : Seorang laki – laki yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum dengannya. Seorang laki – laki yang mengetahui kebenaran, kemudian zhalim dalam menetapkan hukum, maka dia berada dalam Neraka. Seorang laki – laki yang menetapkan hukum kepada orang banyak berdasarkan kejahilan, maka dia berada di dalam Neraka “.
Berdasarkan kejahilan : Maksudnya, tidak memiliki pengetahuan yang akan mengantarkannya untuk menetapkan hukum dengan kebenaran yang diridhoi oleh Allah Swt.
Dikatakan dalam Al Iqna’ ( 2 / 277 ), “ Hakim yang dijalankan ketetapan hukumnya adalah hakim yang pertama. Sedangkan hakim kedua dan ketiga, maka hukumnya tidak ada artinya “.
Diriwayatkan oleh Al Bukhari ( 6919 ) dan Muslim ( 1716 ) dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa dirinya mendengar Rasulullah Saw bersabda , “ Jikalau seorang hakim menetapkan hukum dan ber-Ijtihad, kemudian benar, maka baginya dua pahala. Jikalau dia menetapkan hukum dan ber-Ijtihad, kemudian salah, maka baginya satu pahala “.
Ijtihad : Maksudnya, mengerahkan kemampuan untuk mengenal permasalahan dan mengetahui keberanan.
Benar : Maksudnya, betul dan tepat ketetapan hukumnya.
Salah : Maksudnya, betul dan perkara itu masuk dalam ketetapannya.
Hadits ini menunjukkan, bahwa hakim yang menetapkan hukum di antara manusia dan dijalankan hukumnya adalah orang yang memiliki kemampuan ber-Ijtihad. Keahlian ber-Ijtihad tidak akan terpenuhi, kecuali dengan terwujudnya syarat – syarat ini.
An Nawawy Rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim ( 12 / 13 ) : Para Ulama berkata, “ Kaum muslimin ber-Ijma’ bahwa Hadits ini tentang hakim ‘Alim yang berhak menetapkan hukum. Jikalau dia benar, maka dia berhak mendapatkan dua pahala : Pahala kebenarannya dan pahala Ijtihadnya. Jikalau dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala, yaitu Ijtihadnya….Sedangkan orang yang tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh baginya menetapkan hukum. Jikalau dia menetapkan hukum, maka tidak ada baginya pahala ; bahkan dia berdosa dan hukumnya tidak dilaksanakan, baik itu sesuai dengan kebenaran maupun tidak. Karena kesesuaiannya adalah kebetulan – Yaitu, tanpa maksud – bukan berdasarkan landasaran Syara’. Dia berdosa dengan semua hukum yang ditetapkannya, baik bersesuaian dengan kebenaran maupun tidak. Semuanya ditolak dan tidak dima’afkan satu-pun. Dalam As Sunan telah disebutkan : Para hakim itu terbagi tiga ……Kemudian dipaparkan Hadits Abu Daud sebelumnya “.
(13) Tidak lalai, agar tidak ditipu. Syarat ini berdasarkan logika dan teori. Jikalau tidak, maka hukumnya Sunnah. Disyaratkan mendengar, agar dia mampu membedakan antara pengakuan dan pengingkaran. Disyaratkan melihat, agar dia bisa membedakan antara orang – orang yang berkhusumat dengan para saksi, mengetahui penuntut dan orang yang dituntut, karena orang buta tidak mampu membedakan kecuali dengan suara, dan suara itu kadang – kadang mirip antara satu orang dengan orang lainnya.
Pendapat paling benar, bahwa pandai menulis itu bukanlah Syarat. Kecuali jikalau dia tidak memiliki penulis yang dipercayainya.
(14) Maksudnya, agar mudah mengenalnya, baik bagi warga negara maupun orang asing.
(15) Yaitu, penjaga yang akan menghalangi orang lain darinya ketika menetapkan hukum, dan menghalanginya masuk. Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud ( 2948 ) At Turmudzi ( 1332 ) dan selain keduanya, dari Abu Maryam Al Azdy Radhiyallahu ‘Anhu berkata : Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, “ Barangsiapa yang dikuasakan oleh Allah terhadap perkara kaum muslimin, kemudian dia menutup diri memenuhi kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, maka Allah akan menutup diri memenuhi kebutuhannya dan kefakirannya “.
Ini jikalau tidak ada keramaian yang membutuhkan seorang penjaga untuk mengatur berbagai urusan.
(16) Untuk menghindari keberisikan, kesalahan dan khusumat. Kadang – kadang dibutuhkan kehadiran orang – orang yang tidak boleh berdiam diri di Mesjid, seperti wanita – wanita haidh ; di Majelis hukum. Serta orang – orang yang tidak layak memasuki Mesjid, seperti anak – anak kecil, orang – orang gila dan orang – orang kafir.
(17) Maksudnya, lirikan. Janganlah lebih sering melihat kepada salah seorang yang berkhusumat dan lebih banyak menghadapnya dari pihak kedua ; sebagaimana tidak mengkhususkannya dengan suatu perkataan atau salam ; tanpa menyertai pihak lainnya. Begitu juga halnya dengan seluruh bentuk penghormatan.
Dasarnya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Ad Dar Quthny ( 4 / 205 ) dari Umm Salamah Radhiyallahu ‘Anhu berkata : Rasulullah Saw bersabda, “ Barangsiapa yang diuji dengan memegang jabatan hakim di antara orang banyak, maka hendaklah dirinya bersikap adil di antara mereka : Dalam pandangannya, isyaratnya dan tempat duduknya. Janganlah mengangkat suaranya kepada salah seorang yang berkhusumat dan tidak meninggikannya kepada yang lainnya “.
(18) Maksudnya, orang – orang yang menemuinya untuk menyelesaikan pertikaian mereka dan melerai pertentangan di antara mereka.
Dasarnya adalah Hadits yang diriwayatkan Al Bukhari ( 6260 ) dan Muslim ( 1832 ) dari Abu Humaid As Sa-idy Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Saw mengangkat seorang ‘Amil. Kemudian ‘Amil itu datang ketika selesai mengerjakan pekerjaannya. Dia berkata, “ Wahai Rasulullah, ini untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku “. Maka beliau bertanya kepadanya, “ Apakah jikalau engkau duduk di rumah bapakmu dan ibumu, kemudian engkau dapat menyaksikan : Apakah engkau diberi hadiah atau tidak ? “. Kemudian Rasulullah Saw berdiri di sore hari setelah menunaikan shalat. Kemudian ber-Syahadat dan memuji Allah dengan ucapan – ucapan yang layak. Setelah itu berkata, “ Amma Ba’du : Apakah yang dilakukan seorang ‘Amil yang kita angkat. Kemudian dia mendatangi kita seraya berkata, ‘ Ini adalah hasil pekerjaan kalian, dan ini dihadiahkan untukku ‘. Apakah jikalau dia duduk di rumah bapaknya dan ibunya, kemudian dia bisa melihat : Apakah dirinya diberi hadiah atau tidak ?. Demi jiwa Muhammad yang berada dalam genggaman-Nya, tidaklah salah seorang di antara kalian menipu suatu bagian darinya, kecuali dia akan memikulnya pada Hari Kiamat di pundaknya : Jikalau itu adalah unta, maka dia akan membawanya dalam keadaan bersuara ( Rugha’ ). Jikalau itu adalah sapi, maka dia akan membawanya dalam keadaan bersuara ( Khuwar ). Jikalau itu adalah domba, maka dia akan membawanya dalam keadaan bersuara ( Tai’ar ). Saya telah menyampaikan kepada kalian “. Kemudian Rasulullah Saw mengangkat tangannya, sampai kami melihat putih ketiaknya. Dalam riwayat lainnya dari Ahmad ( 5 / 424 ), “ Hadiah – hadiah bagi para ‘Amil adalah penipuan “.
Mengangkat seorang ‘Amil : Maksudnya, memberinya tugas untuk mengumpulkan harta.
Hasil tugas kalian : Maksudnya, tugas yang kalian bebani kepadaku.
Menipu ( Al Ghulul ) : Maksudnya, makna sebenarnya adalah mengambil Ghanimah sebelum dibagi. Hadiah untuk ‘Amil dinamakan dengan Ghulul, karena keduanya sama dari sisi penipuan dan melalaikan amanah. Biasanya, hadiah adalah sesuatu yang dibawa oleh ‘Amil karena tugas ini. Karena itulah diharamkan ; sebagaimana halnya Ghulul.
Rugha’ : Maksudnya, suara unta.
Khuwar : Maksudnya, suara sapi.
Tai’ar : Maksudnya, suara domba dan kambing.
Putih ketiaknya : Maksudnya, bagian dalamnya ; karena tingginya mengangkat kedua tangan. Dalam Hadits ini adalah kata – kata ‘Ifrah’, maksudnya : Warna putih yang bercampur dengan warna tanah. Begitu juga dengan warna bagian dalam ketiak.
Hal ini jikalau dia adalah orang yang sedang menangani khusumat, yaitu mengkaji suatu permasalahan, atau orang yang biasanya tidak pernah mendapatkan hadiah sebelum memegang jabatan hakim. Sedangkan jikalau dia biasanya menerima hadiah dan tidak sedang menyelesaikan khusumat, maka dia boleh menerimanya ; jikalau tidak lebih dari kebiasaan, baik dari segi isi dan cara. Jikalau lebih, maka dilihat dulu : Jikalau kelebihan itu ada pengaruh nyatanya, maka tidak diterima. Jikalau tidak, maka diterima.
Perkara yang harus diperhatikan : Ini jikalau pembicaraan ketika memberikan hadiah ; tidak ada maksud nyata. Jikalau maksudnya agar tidak menghukum dengan hak, atau menahan diri untuk menghukum dengan hak, maka itu adalah suap dan merupakan salah satu besar. Hakim berdosa karena menerimanya ; sebagaimana berdosa orang yang memberikannya dan orang yang mengurusnya.
Diriwayatkan oleh At Turmudzi ( 1336 ) dan selainnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata : Rasulullah Saw melaknat orang yang menyuap dan disuap untuk menetapkan hukum. Dalam riwayat Ahmad ( 5 / 279 ) dari Tsauban Radhiyallahu ‘Anhu berkata : Rasulullah Saw melaknat orang yang memberi suap, orang yang menerima suap dan perantara. Maksudnya, penghubung di antara keduanya.
Hukumnya sama dengan hadiah : Menghadiri resepsi pernikahan, berkunjung, bertamu dan lainnya. Kecuali jikalau resepsi umum, seperti resepsi pernikahan dan resepsi khitan ; jikalau pemiliknya menyebar luaskan undangan dan tidak sedang berkhusumat. Dia harus menghadirinya dengan syarat : Itu tidak boleh menyibukkannya dari tugas – tugas kehakiman.
(19) Maksudnya, keinginan berJima’.
(20) Dan keadaan – keadaan lainnya yang menyebabkan keguncangan jiwa, kejelekan akhlak dan kerisauan pikiran.
Dasarnya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari ( 6739 ) dan Muslim ( 1717 ) dari Abu Bakrah Radhiyallahu ‘Anhu berkata : Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, “ Janganlah seorang hakim menetapkan hukum di antara dua orang ; padahal dia dalam keadaan marah “. Diriwayatkan oleh Ibn Majah ( 2316 ), “ Janganlah seorang hakim menetapkan hukum…”. Dalam riwayat lain, “ Tidak layak seorang hakim menetapkan hukum…”.
Semua yang disebutkan sebelumnya dikaitkan dengan marah, karena maknanya sama dari segi berubahnya jiwa dan keluar dari tabi’at yang layak untuk mengkaji, berfikir dan ber-ijtihad untuk mengetahui hukum.
Larangan disini menunjukkan ke-Makruhan. Jikalau dia menetapkan hukum di salah satu keadaan ini, maka hukumnya tetap dilaksanakan.
(21) Maksudnya, setelah penuduh selesai menjelaskan tuduhannya.
(22) Maksudnya, setelah penuduh meminta hakim untuk menyumpah orang yang dituduh, karena memenuhi sumpah dari orang yang dituduh adalah hak penuduh, sehingga tergantung dengan idzinnya dan tuntutannya.
(23) Mengenalkannya bagaimana cara menuduh atau menjawab, atau bagaimana cara mengaku atau mengingkari, karena hal ini menampakkan kecondongan kepadanya dan memudharatkan khusumatnya. Ini diharamkan.
(24) Maksudnya, tidak menyulitkan mereka, serta menyakiti mereka dengan perkataan dan lainnya, seperti memperolok – olokkan mereka, atau menentang perkataan mereka, atau bersikap keras terhadap mereka agar mengenal cara memikul persaksian, menampakkan kejujuran dan kesempurnaan akal, karena hal itu akan membuat mereka enggan bersaksi dan memikulnya, atau melaksanakannya ; padahal manusia membutuhkannya. Allah Swt berfirman, “ dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan “. [ Al Baqarah : 282 ].
(25) Jelas keadilannya berdasarkan pengatahuan hakim terhadap saksi, atau dengan rekomendasi dua orang adil yang ada bersamanya. Penjelasan tentang keadilan dan dalilnya akan dibahas setelah dua pasal berikutnya.
(26) Karena tuduhan permusuhan terhadap musuh, rasa cinta terhadap bapak atau anak. Dasar penolakan persaksiannya adalah tuduhan ( Tuhmah ) ; sebagaimana disebutkan dan selainnya. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud ( 3601 ) dan selainnya, dari Abdulllah bin ‘Amru bin Al ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhuma berkata : Rasulullah Saw bersabda, “ Tidak boleh persaksian laki – laki pengkhianat dan perempuan pengkhianat, tidak juga pezina laki – laki dan pezina perempuan, tidak juga orang yang memiliki rasa dengki kepada saudaranya “.
Dalam riwayat At Turmudzi ( 2299 ), “ Tidak juga orang yang dituduh dengan loyalitas dan kekerabatan “.
Rasa dengki : Maksudnya, iri, khianat dan kebencian.
(27) Maksudnya, jikalau hakim menetapkan hukum kepada orang yang tidak ada di hadapannya. Kemudian dia menulis surat kepada hakim yang berada di negeri pelaku dengan hukum yang ditetapkannya untuk dijalankan. Maka dalam hal ini disyaratkan persaksian dua orang terhadap surat itu. keduanya menyaksikan isinya di hadapan hakim.
Tidak ada komentar