Tanggungan (al-Dhaman) Menurut Mazhab Syafii
Tanggungan (al-Dhaman) Menurut Mazhab Syafii
(Tanggungan (al-Dhaman) Menurut Mazhab Syafii, berdasarkan Kitab Matan Abi Syuja’)
( Pasal ) Barangsiapa yang disakiti, baik jiwanya, hartanya, atau istrinya, maka dia harus melawan demi pembelaan dan membunuh, serta tidak ada baginya tanggungan.(1)
Penunggang hewan ternak bertanggung jawab terhadap apa yang dirusak oleh hewan ternaknya.(2)
(Syarh Syeikh DR. Musthafa Dibb al-Bugha)
(1) Maksudnya, tidak ada tanggungan karena sesuatu yang dirusakkannya, dan tidak ada dosa karena perbuatannya. Jikalau yang ingin menyakiti itu seorang manusia, dan dia membunuhnya. Maka tidak ada Qishash baginya, tidak juga diyat dan kafarat. Jikalau yang ingin menyakitinya itu adalah hewan, dan dia membunuhnya, maka dia tidak menanggung harganya. Begitu juga jikalau dia merusak anggota badannya, atau menimbulkan ‘aib. Jikalau dia tidak mampu membela dirinya, sehingga terbunuh, maka dia syahid. Inilah yang dinamakan dalam Fiqih Islamy dengan Daf’ Ash Sha-il, yaitu orang yang ingin menzhalimi orang lain karena ingin mendapatkan hartanya, atau jiwanya, atau kehormatannya.
Dasarnya adalah firman Allah Swt, “ oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu “. [ Al Baqarah : 194 ] Maksudnya, maka tolaklah kezhalimannya dengan sepadan. Secara nyata ini menunjukkan pen-Syari’atan menolak kezhaliman dan membela diri.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud ( 4772 ) At Turmudzi ( 1420 ) dan selain keduanya, dari Sa’id bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Saw bersabda, “ Barangsiapa yang dibunuh karena membela hartanya, maka dia syahid. Barangsiapa yang dibunuh karena membela agamanya, maka dia syahid. Barangsiapa yang dibunuh karena membela darahnya, maka dia syahid. Barangsiapa yang dibunuh karena membela keluarganya, maka dia syahid “. Maksud keluarga adalah istri dan selainnya, seperti anak perempuan, saudara perempuan, ibu dan setiap orang yang akan menimbulkan ‘aib.
Bentuk Istidlal dengan Hadist ini : Jikalau kematiannya adalah syahid, maka ini menunjukkan bahwa dirinya harus bertarung. Sebagaimana halnya orang yang syahid di medan peperangan harus bertarung. Kadang – kadang pertarungan ini menuntutnya untuk membunuh orang lain. Ini menunjukkan, bahwa dirinya diidzinkan membunuh. Sesuatu yang diidzinkan, maka tidak ada tanggungannya. Jikalau dia harus membunuh, maka melakukan sesuatu yang lebih ringan dari membunuh lebih utama. Dia tidak harus melakukan sesuatu yang besar ; jikalau pelakunya melakukan sesuatu yang ringan. Jikalau dia mempu melawannya dengan teriakan dan meminta tolong, maka janganlah dia melawan dengan pukulan. Jikalau dia mampu memukul, maka janganlah dia melawan dengan memotong. Beginilah seterusnya. Membela diri itu hukumnya wajib ; jikalau yang dizhalimi adalah kehormatan dan jiwa. Karena tidak adanya tindakan untuk membela kehormatan, menunjukkan kebolehan tindakan itu bagi pelaku. Tidak ada seorang-pun yang memiliki kehormatannya ; bagaimanapun keadaannya. Tidak membela jiwa merupakan bentuk penyerahan diri kepada orang yang zhalim. Ini tidak boleh. Kecuali pelakunya adalah seorang muslim, maka dia tidak boleh melawannya. Kadang – kadang itu di-Sunnahkan baginya.
Jikalau kezhaliman itu menimpa harta, maka dia boleh melawannya dan boleh membiarkannya, karena dia memilik hak untuk memberikan hartanya kepada orang lain. Tidak ada upaya untuk melawan, bisa jadi idzin untuk mengambilnya.
Membela jiwa orang lain, begitu juga hartanya dan kehormatannya, maka ini sama hukumnya dengan membela diri sendiri, harta dan kehormatan. Ini ditunjukkan oleh Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya ( 3 / 487 ) bahwa Rasulullah Saw bersabda, “ Jikalau seorang muslim dizhalimi di sisinya, kemudian dia tidak menolongnya ; padahal dia mampu menolongnya, maka Allah akan menghinakannya pada Hari Kimat di hadapan seluruh makhluk “…
(2) Baik dirusak oleh tangannya atau kakinya, atau mulutnya dan selainnya. Karena kerusakan yang dilakukan oleh hewan ternaknya disebabkan oleh kelalaian penunggangnya.
Dasarnya adalah Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud ( 3570 ) dan selainnya, bahwa Rasulullah Saw menetapkan kepada kepada para pemilik kebun untuk menjaganya di siang hari, dan kepada para pemilik binatang ternak terhadap apa yang diperbuat oleh peliharaan mereka di malam hari “.
Bentuk Istidlal, bahwa kebiasaan yang berlaku : Para pemilik kebun menjaga kebun – kebun mereka di siang hari dan membiarkannya tanpa pengawasan di malam hari. Binatang – binatang ternak dilepaskan oleh para pemiliknya di siang hari dan menjaganya di malam hari. Rasulullah Saw menetapkan hukum berdasarkan kebiasaan ini : Jikalau para pemilik tanaman melakukan kelalaian dan tidak menjaga tanaman mereka di siang hari, kemudian binatang – binatang ternak memasukinya dan merusak bagiannya, maka itu adalah tanggungan mereka. Jikalau para pemilik binatang ternak melakukan kelalaian, mereka membiarkannya bebas di malam hari, sehingga memasuki kebun – kebun dan merusak tanaman, maka bagian yang rusak menjadi tanggungan para pemilik binatang ternak. Ketetapan Nabi Saw menunjukkan, bahwa orang yang bertanggung jawab terhadap sesuatu, kemudian dia melalaikannya, sehingga menyebabkan terjadinya sesuatu, maka itu menjadi tanggungannya.
Kerusakan yang disebabkan oleh binatang ternak di-Qiyaskan dengan mobil pada masa sekarang ini. Sopir mobil tersebut menanggung semua kerusakan yang disebabkan kelalaiannya dan perbuatannya ; padahal dia mampu menghindarinya. Di antaranya : Menyibakkan debu – debu di jalanan, tanah dan air yang kotor karena kecepatannya yang berlebihan ; jikalau hal itu memudharatkan para pejalan kaki atau orang – orang yang ada di pasar. Dia menanggung semua yang terjadi akibat perbuatannya.
Tidak ada komentar