Wali & Saksi Pernikahan Menurut Mazhab Syafii
Wali & Saksi Pernikahan Menurut Mazhab Syafii
(Wali & Saksi Pernikahan Menurut Mazhab Syafii, berdasarkan Kitab Matan Abi Syuja’)
( Pasal ) Akad nikah tidak sah, kecuali jikalau ada wali dan dua orang saksi yang adil.(1) Wali dan dua orang saksi membutuhkan enam syarat : Islam,(2) baligh, akal, merdeka, laki – laki dan adil.(3( Hanya saja pernikahan dengan perempuan Dzimmi tidak membutuhkan ke-Islaman seorang wali. Pernikahan budak perempuan tidak membutuhkan adilnya seorang majikan.
Wali paling utama adalah bapak, kemudian kakek ; bapaknya dari bapak, kemudian saudara laki – laki seibu sebapak, kemudian saudara laki – laki sebapak, kemudian anak laki – laki dari saudara laki – laki seibu sebapak, kemudian anak laki – laki dari saudara laki – laki sebapak, kemudian paman, kemudian anak laki – lakinya berdasarkan urutan ini. Jikalau ‘Ashabah tidak ada, maka tuan yang memerdekakan, kemudian ‘Ashabahnya, kemudian hakim.(4)
Tidak boleh secara terang – terangan melamar perempuan yang masih berada dalam ‘Iddah, dan boleh meng-kinayahkannya, serta menikahinya setelah menyelesaikan ‘Iddahnya.(5)
Perempuan ada dua jenis : Janda dan gadis. Bapak dan kakek boleh memaksa gadis untuk menikah. Sedangkan janda, maka tidak boleh menikahkannya ; kecuali setelah menyampaikan kepadanya dan meminta idzinnya.(6)
(Syarh Syeikh DR. Musthafa Dibb al-Bugha)
(1) Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “ Tidak ada pernikahan, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Pernikahan apa saja yang tidak disertai hal ini, maka bathil “.
Diriwayatkan oleh Ibn Hibban ( 1247 ) dan berkata, “ Yang lainnya tidak Shahih ketika menyebutkan dua orang saksi “.
Diriwayatkan oleh Abu Daud ( 2085 ) dan At Turmudzi ( 1101 ) dari Abu Musa Al Asy’ary Radhiyallahu ‘Anhu berkata : Rasulullah Saw bersabda, “ Tidak ada pernikahan, kecuali dengan wali “.
Diriwayatkan oleh Ad Dar Quthny, dari Abu Hurairaj Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Saw bersabda, “
Perempuan tidak menikahkan perempuan lainnya, serta tidak menikahkan dirinya sendiri “. Dahulu kami mengatakan, “ Perempuan yang menikahkan dirinya sendiri adalah perempuan pezina “. [ 3 / 227 ].
(2) Berdasarkan firman Allah Swt, “ Dan orang - orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka ( adalah ) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain “. [ At Taubah : 71 ] Persaksian adalah perwalian, dan persaksian non muslim tidak diterima kepada seorang muslim.
(3) Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “ Tidak ada pernikahan, kecuali dengan wali yang Mursyid dan dua orang saksi yang adil “. Diriwayatkan oleh Al Imam Asy Syafi’I dalam Musnadnya. Al Imam Ahmad mengatakan, “ Ini adalah sesuatu paling Shahih dalam bab ini “. [ Mughni Al Muhtaj 3 / 155. Lihatlah catatan kake ke-4, halaman 160 ].
(4) Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “ Sulthan ( penguasa ) adalah wali bagi orang yang tidak ada walinya “.
Diriwayatkan oleh Abu Daud ( 2083 ) At Turmudzi ( 1102 ) dan selain keduanya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.
(5) Berdasarkan firman Allah Swt, “ Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita - wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan ( keinginan mengawini mereka ) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut - nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan ( kepada mereka ) perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam ( bertetap hati ) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya “. [ Al Baqarah : 235 ]
Meminang : Maksudnya, meng-isyaratkan keinginan kalian untuk menikah.
Secara rahasia : Maksudnya, janganlah kalian berjanji menikahi mereka dengan sembunyi – sembunyi.
Ber-Azzam untuk ber-Aqad nikah : Maksudnya, mewujudkan keinginan untuk melaksanakan ‘Aqad nikah.
‘Iddah adalah masa yang ditetapkan oleh Allah dalam Kitab-Nya.
Diriwayatkan oleh Muslim ( 1480 ), bahwa Fathimah binti Qais di-Thalaq oleh suaminya. Dia telah men-Thalaqnya secata total ( tiga kali ). Maka Nabi Saw berkata kepadanya ( Fathimah ), “ Jikalau engkau telah selesai, maka beritahulah diriku “.
(6) Diriwayatkan oleh Muslim ( 1421 ) dari Ibn ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Saw bersabda, “ Janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya. Dan gadis diminta pendapatnya, dan idzinnya itu adalah diamnya “.
Janda adalah perempuan yang telah memiliki suami sebelumnya.
Lebih berhak terhadap dirinya : Maksudnya, lebih utama untuk memperlihatkah keinginannya dan penolakannya.
Diminta pendapatnya : Maksudnya, ditanyai.
Bermusyawarah dengannya bukanlah sesuatu yang wajib.
Tidak ada komentar