Hukum & Pentingnya Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)

Hukum & Pentingnya Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)


Lisan itu bahasa Arab. Sudah familiar dalam Bahasa Indonesia. Artinya lidah. Tidak bertulang. Namun lebih tajam dari pedang. Jikalau pedang hanya melukai,kemudian keluar darah, diobati, kemudian sembuh. Lisan tidak begitu. Jikalau dilukai oleh lisan. Lukanya dalam dan tidak terlihat. Walaupun sudah berusaha diobati dengan kata maaf, namun lukanya tidak akan sembuh. Sakitnya mungkin meredam, Namun, suatu hari nanti akan kambuh  kembali. 


Hukum menjaganya wajib. Lazim. Banyak darah yang tumpah karena lisan yang tidak terjaga. Gara-gara bercanda yan tidak pada tempatnya, akhirnya pisau menancap di dada. Gara-gara sebutan yang tidak selayaknya, peluru sampai bersarang di kepala. Banyak sekali kasus yang berawal dari lisan ini. 


Maka, berhati-hatilah dengan lisan. Penting Hidzul Lisan atau menjaga lidah ini. 


Lidah memang tidak bertulang, namun ketajamannya tidak bisa Anda bandingkan dengan pedang atau sejenisnya. Jikalau pedang hanya bisa membuat luka fisik, namun lidah mampu membuat luka dalam, yang tentunya kesembuhannya jauh lebih susah dari yang pertama.  


Hadits-Hadits Rasulullah Saw Tentang Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)


Ada sejumlah hadits yang menjelaskan mengenai lisan ini. Kita akan memaparkan dalam tulisan ini beberapa di antaranya. 


Rasulullah Saw bersabda: 

“Sebahagian besar kesalahan anak Adam berada di lisannya.” [Diriwayatkan oleh At-Thabrany dan Ibn Abi Ad-Dunya] 

Semakin banyak Anda berbicara, maka semakin banyak kesalahan Anda. Makanya, kata pepatah “diam itu emas.” Bukan berarti diam terus, ya! Adakalanya kita harus berbicara menyampaikan pendapat, apalagi jikalau statusnya darurat; wajib; kudu dilakukan. Hanya saja, dalam status tidak perlu, santai, banyak bicara akan membuat diri seringkali jatuh ke dalam jurang masalah.


Dalam hadits lainnya dijelaskan:

مَن كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فليقُلْ خيرًا أو ليصمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ucapkanlah kebaikan atau diam.” [Muttafaq Alaihi]


Imam al-Syafii mengatakan: 

“Jikalau seseorang ingin berbicara, maka hendaklah ia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Jikalau memang ada maslahatnya, maka ia silahkan berbicara. Jikalau ragu, maka tidak usaha berbicara sampai tampak ada maslahatnya.” (Kitab al-Azkar: 114)


Dalam bahasa lainnya, mungkin bisa kita katakana, orang yang asal bicara saja, asal melambe saja, tanpa memikirkan dahulu apa yang akan diucapkannnya, maka keimanannya yang ada di dalam hatinya perlu dipertanyakan.


Rasulullah Saw bersabda: 

مَن يضمن لي ما بين لَحْيَيْهِ وما بين رِجْليه أضمن له الجنة

“Siapa yang menjamin bagiku apa yang ada di antara dua jenggotnya (kumis & jenggot) dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka saya menjamin surge baginya.” (HR al-Bukhari)


Di antara kumis dan jenggot itu adalah mulut. Dalam mulut itu ada lisan. Lisan itu lunak, tidak bertulang. Namun dosa yang dilahirkannya bisa banyak, sebagaimana pahala yang didapatkannya juga bisa banyak. Maka, mengarahkan lisan untuk selalu berada di jalan Allah SWT adalah sebuah kewajiban, sebagaimana wajibnya menjaga apa yang ada di antara kedua kaki dari dosa dan perzinaan. 


Pada suatu hari, Musa Al-Asyary bertanya kepada Rasulullah Saw: 

“Muslim manalah yang lebih baik?” 

Beliau menjawab:

مَن سلِم المسلمون من لسانه ويده

“Orang yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari]

Ya, banyak yang mengaku muslim, namun lidahnya tajam. Tidak ada satu orang pun yang berbicara dengannya, kecuali akan luka; sakit hati. Muslim yang hakiki adalah muslim yang mampu menjaga lisannya melukai batin orang lain, dan menjaga tangannya menyakiti lahir.

 

Uqbah bin Amir bertanya kepada Rasulullah Saw: 

“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?” 

Beliau menjawab:

أمسِكْ عليك لسانك، وليسَعْك بيتك، وابكِ على خطيئتك

 “Tahanlah lisanmu, maka rumahmu akan lapang, dan tangisilah kesalahanmu.” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi]


Hasan Al-Bashry meriwayatkan perkataan para sahabat, “Lisan seorang mukmin berada di belakang hatinya. Jikalau ia ingin bicara, maka ia memikirkannya dengan hatinya dan disampaikan dengan lisannya. Dan lisan orang munafik berada di hadapan hatinya. Jikalau ia ingin bicara, maka ia menyampaikannya dengan lisannya dan tidak memikirkan dengan hatinya.” [Diriwayatkan oleh Al-Kharaithy] 

Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa seorang mukallaf harus menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang menampakkan kemaslahatan. Jikalau maslahah dan mudharatnya sama, maka meninggalkannya lebih utama.”


Bahaya Lisan (Afāt al-Lisān)


Ada beberapa bahaya yang bisa ditimbulkan oleh lisan, yang harus Anda hindari dalam kehidupan sehari-hari: 


1-Ghibah

Ghibah atau gunjing adalah menyebut muslim lainnya dengan sesuatu yang dibencinya, baik berkaitan dengan agamanya, dunianya maupun badannya, atau berkaitan dirinya, atau bentuknya, atau akhlaknya, atau berkaitan dengan anaknya, atau bapaknya, atau hartanya, atau istrinya, atau pelayannya, atau budaknya, atau berkaitan dengan pakaiannnya, cara jalannya, senyumannya, keceriaannya, dan lain-lain, baik Anda menyebutnya dengan lafadz, atau isyarat, atau tulisan, atau media-media komunikasi lainnya. 


Pada suatu hari, Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabatnya:

أتدرون ما الغِيبة؟ 

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?” 

Mereka menjawab;

الله ورسوله أعلم

 “Allah Swt dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” 

Beliau berkata: 

ذكرك أخاك بما يكره

“Menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” 

Mereka bertanya: 

أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟

“Bagaimana pendapatmu jikalau saya mengatakan apa yang ada pada dirinya?”

Beliau menjawab:

إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهَتَّه

“Jikalau apa yang engkau katakan itu ada dalam dirinya, maka engkau telah mengghibahnya. Jikalau tidak, maka engkau telah melakukan kebohongan besar.” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi] 


Ada tiga point utama dalam hadits di atas: 

Pertama, Ghibah atau gunjing itu artinya menyebut saudara Anda atau muslim lainnya dengan sesuatu yang memang ada pada dirinya. Lucunya, seringkali kita dengar pelaku Ghibah berkata, “Ini bukan Ghibah, ya.” Terus ia berkata ini dan itu tentang si Anu. Ya, itu Ghibah namanya. Jikalau mengatakan yang tidak benar, itu namanya fitnah. Hihi…


Kedua, Jangan ikut serta dalam pergunjingan atau ghibah. 

Ini juga sering kita langgar. Bukannya meredakan suasana, malah ikut nimbrung nambahin. Hedeh… Itu mah sama saja ikut menambah dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk. Lama-lama nanti bicaranya akan kemana-mana, menyebut ini itu yang seharusnya tidak dibahas.


Ketiga, Kalau sudah ikut Ghibah atau Gunjing, setelah tinggalkan. 

Jikalau sudah terlanjur ikut Ghibah atau Gunjing, segera istighfar, taubat. Jangan malah nambahin lagi. “tanggung,” katanya. Hehe.. Istighfar. Mohon ampun Allah SWT. Jauhkan diri Anda segera dari perbuatan tidak baik ini. 


2-Namimah

Namimah adalah adu domba, yaitu menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lainnya dengan tujuan menimbulkan khusumat di antara mereka. 


Kedua perbuatan ini diharamkan dalam Islam, dan merupakan Ijma’ umat. Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini dalam Al-Quran dan Sunnah, seperti firman Allah Swt:


 “Janganlah sebahagian kalian mengghibah sebahagian lainnya.” [Al-Hujarat: 12] 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ  

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (Surat al-Hujurat" 112)


Dan Rasulullah Saw bersabda:

لا يدخل الجنة نمام 

“Tidak ada pernah masuk surga, seseorang yang suka mengadu domba.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]


Jadi, marilah menjaga lisan. Banyak keutamaan dan fadilah, dan manfaat di balik penjagaannya. Susah memang. Tapi disitulah ujiannya. Manusia itu makhluk social, yang tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berbicar. Apalagi wanita. Jangan ditanya. []

Hukum Khitan Menurut 4 (Empat) Mazhab

Hukum Khitan Menurut 4 (Empat) Mazhab


Ada dua pendapat utama dalam masalah ini di kalangan 4 Mazhab. 

Pertama, Sunnah. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi. Walaupun mereka berpandangan bahwa hukumnya sunnah. Hanya saja, dalam pandangan mereka, jikalau ada seorang laki-laki meninggalkannya, maka ia dipaksa untuk melakukannya. 

Dalam Syarh Kitab Fath al-Qadir (1/ 63): 

“Dua khitan, yaitu bagian yang dipotong dari zak*ar dan kem*alu*an, hukumnya sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita. Sebab, berjima dengan perempuan yang dikhitan lebih nikmat. Dalam Nuzhul al-Fiqh dijelaskan bahwa hukumnya sunnah bagi keduanya. Hanya saja, jikalau ditinggalkan oleh laki-laki, maka dipaksa melakukannya kecuali dikhawatirkan kematiannya. Sedangkan jikalau perempuan meninggalkannya, maka tidak dipaksa.” (Lihatlah Kitab al-Fatawa al-Hindiyah: 6/ 445)

Dalam Kitab Hasyiyah Ibn Abidin (6/ 371) dijelaskan: 

“Khitan itu sunnah bagi laki-laki, merupakan bagian dari fitrah, tidak mungkin diabaikan. Dan ia merupakan kemuliaan bagi para wanita.” 

Lebih lanjut dijelaskan (6/ 751):

“Hukum asal untuk khitan adalah sunnah, sebagaimana terdapat dalam al-Khabar. Ia merupakan salah satu syiar Islam dan kekhususannya. Jikalau penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkannya, maka Imam memeranginya. Ia tidak boleh ditinggalkan kecuali karena udzur.” 

Kemudian dilanjutkan: 

“Dan khitan bagi perempuan, hukumnya tidak sunnah, tapi kemuliaan. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah.” 

Mazhab Maliki juga berpandangan sama. Hukumnya sunnah. Dalam Syarh al-Khirsy (3/ 48) dijelaskan, “Hukumnya sunnah bagi laki-laki, yaitu memotong kulit yang menutupi. Dan mustahab bagi para wanita.” (Lihatlah Kitab Hasyiyah al-Dasuqi: 126; dan Kitab al-Syarh al-Shaghir: 2 151)

Dalam Kitab al-Fawakih al-Dawani (1/ 394) dijelaskan, “Khitan itu sunnah, dan wajib bagi laki-laki. Siapa yang meninggalkannya tanpa uzur, maka tidak boleh menjadi Imam, tidak boleh persakskannya. Bahkan Ibn Syihab mengatakan, ‘Tidak sempurna keislaman seseorang kecuali dengan khitan” 

Dan pendapat ini, juga dianut oleh sebagian pengikut Mazhab Syafii (Lihat Kitab Tharh al-Tatsrib: 2/ 75)

Kedua,  Wajib. Ini merupakan pendapat yang Masyhur dalam Mazhab Syafii. Lihatlah Kitab al-Majmu: 1/ 349; Kitab Hasyiyah Qalyubi dan Umairah (4/ 211); Kitab Tuhfah al-Muhtaj: 9/ 198; Kitab Nihayah al-Muhtaj: 8/ 35; Kitab Futuhat al-Wahhab: 5/ 173. 

Ini juga merupakan pendapat dalam Mazhab Hanbali. Lihatlah Kitab al-Muharra (1/11); Kitab Kasyyaf al-Qina’ (1/ 80); Kitab al-Mubdi’ (1/ 103); Kitab al-Raudh al-Murabba’ (1/ 237). 

Itulah pendapat 4 mazhab terkait hokum khitan atau sunat ini. 


Dalil Masing-Masing Kelompok

Membahas pendapat para ulama tanpa melihat dalil, sepertinya belum lengkap dan belum kuat. Khawatirnya, hanya sekadar logika kosong tanpa landasan hokum dari al-Quran atau Sunnah. 

Yup. Mari kita lihat dalil masing-masing kelompok. 

#Kelompok yang menyatakan sunnah

 Diriwayatkan oleh Abu al-Mulaih bin Usamah, dari bapaknya bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: 

الختان سنة للرجال، مكرمة للنساء

“Khitan itu sunnah bagi laki-laki, dan kemuliaan bagi para wanita.” (Hr Ahmad)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa ia mendengar Nabi Muhammad Saw bersabda: 

الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط

“Fitrah itu ada lima; khitan, mencukur bulu kem*alu*an, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Hr Muslim)

Al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad bahwa Silm bin Abi al-Zayyal mengatakan, “Ia mendengar al-Hasan mengatakan, ‘Apakah kalian tidak heran dengan orang ini? (maksudnya, Malik bin al-Mundzir) Ia sengaja memeriksa para sepuh penduduk Kashkar ketika mereka masuk Islam, kemudian memerintahkan mereka untuk berkhitan di musim dingin ini. Ada kabar yang sampai kepadaku bahwa ada sebagiannya yang meninggal. Ada orang Rum dan Habsyah yang masuk Islam bersama Rasulullah Saw, namun mereka tidak diperiksa sedikit pun.” 

#Kelompok yang menyatakan Wajib

Ibrahim alaihissalam itu berkhitan, dan merupakan salah satu syariatnya. Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk mengikutinyam, sebagaimana firman Allah SWT: 

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (Surat al-Nahl: 123)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

اختتن إبراهيم - عليه السلام - وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم

“Ibrahim alaihissalam berkhitan ketika beliau berusia delapan puluh tahun di al-Qadwam.” (Hr Muslim)

Diriwayatkan oleh Utsaim bin Kulaib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa ia mendatangi Nabi Muhammad Saw, kemudian mengatakan, “Saya masuk Islam.” Kemudian beliau bersabda: 

ألقِ عنك شعر الكفر

“Buang darimu rambut kekufuran.” (Hr Muslim)

Maksudnya,khitan

Kelompok ini juga berpandangan  bahwa kulit kema*lu*an yang tidak dipotong menentukan sahnya shalat, layaknya orang yang menahan najis di mulutnya. Mereka juga mengatakan bahwa membuka aurat bagi orangyang dikhitan dan melihatnya bagi yang mengkhitan, hukumnya bleh. Padahal, hokum asalnya haram. Jikalau bukan karena wajib, maka ia tidak akan dibolehkan. 

Khitan merupakan salah satu syiar agama, yang membedakan antara muslim dengan kafir. Jikalau ada seseorang berkhitan di antara korban yang tidak berkhitan, maka orang tadi dishalatkan dan dikuburkan di kuburan kaum muslimin. 

Khitan itu memotong bagian tubuh yang sehat. Jikalau bukan karena hukumnya wajib, maka ia tidak akan dibolehkan layaknya memotong jari, yang hanya dibolehkan dalam kasus Qishas. 


Kesimpulan

Itulah perbedaan pendapat di kalangan ulama 4 Mazhab seputar masalah hokum khitan atau sunat. Jalan terbaik adalah berkhitan atau bersunat bagi seorang Muslim, utamanya bagi yang sudah mencapai usia baligh. Kalau pun ada Mazhab yang menyatakan sunnah, namun tetap ditegaskan bahwa jikalau ada laki-laki yang sengaja meninggalkannya, maka dipaksa melakukannya. Bahkan, kalau ada penduduk di suatu kampung tidak mau berkhitan atau bersunat, maka diperangi oleh Imam. []

Hukum & Nisab Zakat Penghasilan (Zakat Profesi)

Hukum & Nisab Zakat Penghasilan (Zakat Profesi)


Dalam setiap zakat itu, wajib ada dua hal yang harus terpenuhi, yaitu Haul dan Nisab. Haul adalah jangka waktu setahun dari kepemilikan barang yang akan dizakatkan. Sedangkan Nisab adalah standar ukuran pengeluarannya.

Terkait Haul, Rasulullah Saw bersabda: 

من استفاد مالا فلا زكاة عليه حتى يحول عليه الحول

“Siapa yang mendapatkan manfaat harta, maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai masuk haulnya.” (Hr al-Turmudzi). 

Sedangkan untuk Nisabnya, berdasandar kepada sabda Rasulullah Saw: 

ليس فيما دون خمس أواق من الورق صدقة

“yang tidak sampai lima uqiyah, tidak ada kewajiban zakatnya.” (Muslim). 

Lima Uqiyah itu, setara dengan 85 gram emas, atau 595 gram perak. Tinggalkan dikalikan saja. 

Contoh, jikalau sekarang ini, harga emas per gram 500. 000, maka dikali 85, hasilnya adalah 42.500.000. Gaji per bulan berarti sekitar 3.500.000. Artinya, jikalau gaji Anda dalam setahun, sudah mencapai jumlah ini, maka sudah ada kewajiban zakatnnya, dengan syarat: 

“Uangnya Anda simpan. Jikalau Anda gunakan untuk kebutuhan pokok Anda, maka artinya tidak ada kewajiban zakatnya karena kurang Nisabnya. Kecuali setelah Anda gunakan, uangnya masih sisa dan mencapai Nisab, maka wajib zakatnya.”   

Atau dengan arti lain. Gaji Anda misalnya 7 juta. 4 juta Anda simpan. 3 jutanya Anda gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dalam setahun, uang tabungan Ana akan mencapai Nisab. Nah, itu ada kewajiban zakatnya. Tapi, ditunggu dulu setahun sejak mencapai Nisabnya agar tercapai Haulnya. Sebenyaknya 2,5%. 

Masih bingung? 

Sisa gaji Anda , Anda tabung 4 juta sebulan. Dalam setahun, ada bulan Desember (misalnya) mencapai 48 juta. Itu sudah sampai Nisabnya. Tapi belum Haul. Anda harus nunggu setahun dulu untuk mengeluarkannya, yaitu di bulan Desember tahun depan. Begitu. 

Itu cara pertama mengeluarkan zakat penghasilan atau zakat profesi. Inilah yang dipakai oleh Banyak ulama, sesuai dengan fatwa MUI 2003 tentang zakat profesi. Dan inilah yang paing masyhur, mengqiyaskannya dengan zakat harta (kekayaan atau simpanan). 

….

Cara kedua, yang juga digunakan oleh sebagian ulama, utamanya di zaman kontemporer adalah mengqiyaskan masa pengeluarannya dengan zakat pertanian. 

Allah SWT berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Surat al-Baqarah: 267)

Dalam ayat lainnya dijelaskan: 

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ 

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (Surat al-Anam: 141)

Nisab zakat pertanian adalah 653 gram Gabah kering, atau setara dengan 520 kg beras. Dengan cara ini, jikalau gaji mencapai nisab, maka dikeluarkan setiap kali menerima gaji. 

Mari kita lihat!

520 kg beras, di kali 10. 000 (harga beras saat ini), sama dengan 5.200.000. Jikalau Anda sudah memiliki gaji 5. 200.000 atau lebih setiap bulannya, maka wajib mengeluarkan zakatnya setiap kali menerimanya, yaitu 2,5 % tanpa perlu menunggu haul lagi, sama dengan zakat pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya setiap kali panen. 

Siapa yang Berhak Menerimanya Zakat Penghasilan/ Zakat Profesi

Sama dengan zakat lainnya. Ada delapan kelompok yang berhak menerimanya. Anda mau menyalurkannya sendiri, jikalau ada waktu, silahkan. Jikalau Anda mau menyalurkannya melalui lembaga zakat, juga tidak masalah. Banyak lembaga zakat yang kredibel dan terpercaya sekarang ini. 

Orang-orang yang berhak menerima zakat itu adalah fakir-miskin, amil, muallaf, fi sabilillah, gharim, dan ibn sabil

Cara mana yang harus dipakai?

Jikalau Anda bertanya kepada saya, maka pendapat yang kuat dan berdasar adalah pendapat yang pertama. Artinya, gaji Anda diakumulasikan dulu selama tahun, yaitu bagian yang ditabung dan diluar yang biasanya digunakan atau dipakai, selain yang dkonsumsi, kemudian jikalau mencapai nisabnya dan sudah masuk haulnya, barulah dikeluarkan zakatnya.

Hanya saja, kelemahannya, kita seringkali berkilah untuk yang satu ini. “Duit bulanan habis untuk beli beras.” “Duit habis untuk bayar hutang.” Dan banyak lagi alasan lainnya, sehingga kita tidak pernah membayar zakat. Uang kita habis untuk kepentingan kita sendiri, baik memang kepenting yang hakiki maupun kepentingan yang dibuat-buat. Tidak ada sedekah, tidak ada zakat, padahal gaji besar.

Dan untuk kehati-hatian, tidak masalah memakai cara yang kedua, apalagi jikalau gaji Anda sudah besar. Keluarkan saja 2,5%nya. Niatkan sebagai zakat penghasilan atau profesi Anda. Jikalau tidak masuk zakat, paling tidak ia akan masuk sedekah. Pahalanya sama atau mungkin lebih besar. Allah yang Maha Tahu. Paling tidak, Anda ada usaha untuk membersihkan harta yang Anda terima dari pekerjaan atau profesi Anda.  

Apalagi arti 2,5% dari gaji Anda yang sudah mencapai angka 5 jutaan setiap bulannya. Hanya sekitar 125 ribuan. Mungkin, harga data internet handphone Anda saja, jauh lebih mahal dari itu. Mungkin, harga Anda sekali duduk saja di restoran-restoran, jauh lebih mahal dari itu. Mungkin, harga baju Anda dan celana Anda, jauh lebih mahal dari itu. Bagi Anda, itu murah. Sedikit. Kecil. 

Hanya saja, setan bermain disini. Anda digoda dengan segala cara agar Anda tidak menunaikannya. Ditakut-takutinya dengan kefakiran dan kemiskinin, dibisikkan “Tidak usah dikeluarkan. Uang 125 ribu, lumayan buat ajak anak istri makan di Rumah Makan Sederhana.” []

Sunnah Mendamaikan (al-Islah)

Sunnah Mendamaikan (al-Islah)


Dalam riwayat al-Turmudzi, dari Abu al-Darda' radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: 

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ

"Apakah kalian ingin aku beritahu tentang sesuatu yang lebih baik dari derajat puasa, shalat, dan sedekah." 

Mereka menjawab, "Ya, wahai Rasulullah." 

Beliau menjelaskan, "Memperbaiki (mendamaikan) perselihan. Sebab, rusaknya hubungan adalah penghancur." 

Maka, kita bisa mendapatkan derajat mulia ini, yang lebih afdhal dari derajat puasa, shalat, dan sedekah, dengan mendamaikan perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, antara bapak dengan anaknya, antara saudara dengan saudaranya, antara teman dengan temannya, antara tetangga dengan tetangganya, bahkan mendamaikan dua orang yang bertikai di jalanan yang kita sama sekali tidak mengenalnya. 

Islah (mendamaikan perselisihan) merupakan usaha agung untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat ini, sebagaimana adu domba atau merusak hubungan yang sudah terjalin merupakan amalan buruk yang bisa jadi akan mencampakkan kita ke Neraka. 

Maka, hendaklah kita menjadi perekat yang menjahit ikatan yang sobek, bukan malah membuatnya makin tersobek. []

Sunnah Senyum

Sunnah Senyum


Senyumlah. Alanglah indahnya dunia ini jikalau dipenuhi dengan senyuman. Khususnya dalam Masyarakat Islam. 

Betapa banyak kepedihan akan terasa ringan ketika senyuman menyertai setiap urusan. Ya, walaupun bukan berarti bebas dari Masalah dan Krisis. 

Begitulah Rasulullah Saw. Selalu tersenyum. Betapa pun beratnya urusan yang dipikul; betapa pun banyaknya ujian yang ditimpakan. 

Diriwayakan oleh al-Turmudzi, dishahihkan oleh Syeikh Albani, dari Abdullah bin al-Harits radhiyallahu anhu: 

ما رأَيْتُ أحدًا أكثرَ تبسُّمًا مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم

"Saya tidak melihat seorang pun yang lebih banyak senyumnya dari Rasulullah Saw."

Senyum itu "sihir", kata orang. 

Mampu menundukan banyak hal dan "menjinakkan" siapa pun. []

Sunnah Menuntut Ilmu

Sunnah Menuntut Ilmu


Menuntut ilmu; salah satu sunnah Nabi Saw sepanjang hajat, dari ayunan sampai ke liang lahat. 

Diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: 

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ 

"Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah mudahkan baginya (dengan menuntut ilmu itu) jalan menuju surga." 

Maka, sunnah ini salah satunya terwujud dengan kehadiran kita di majelis-majelis ilmu yang ada di Masjid-Masjid di sekitar kita. 

Hadirilah dan pastikan ada jejak kita di kajian tersebut. Ada orang yang tidak bisa mendengar, namun hadir di Majelis ilmu, semata-mata ingin mendapatkan pahala dan rahmat Allah SWT yang ada dalam Majelis ilmu. Tentu kita yang punya indera lengkap dan sehat, seharusnya lebih semangat untuk hadir. 

Jikalau tidak ada Majelis di Masjid, ruang online terbuka besar sekarang ini. Kajian-Kajian yang mencerdaskan, bisa didapati dengan mudah. Daripada kuotanya digunakan untuk sekadar menghibur diri dengan video-video yang tidak jelas juntrungnya, mending hadirilah kajian Online atau menyaksikan kajian Online. 

Majelis ilmu bukan hanya mencakup "ilmu agama", namun juga "ilmu umum", seperti Ilmu kedokteran, Teknik, Pertanian, Perdagangan, dan selainnya. Selama ilmu itu bermanfaat, maka ia masuk ke dalam hadits ini. Allah SWT akan memberikan ganjaran kebaikan bagi yang menghadiri Majelis dan dimudahkan baginya jalan untuk nantinya mendapatkan Jannah. 

Niatkan setiap langkah kita ke Majelis-Majelis ilmu untuk mendapatkan ridha Allah SWT. []

Sunnah di Balik Azan

Sunnah di Balik Azan


Azan merupakan panggilan Tauhid, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Thabari. Ibadah agung yang keutamaannya bukan saja untuk orang yang mengumandangkannya. Tapi juga bagi kita yang mendengarnya. 

Inilah 5 sunnah yang terkait degan Azan, yang bisa menjadi amalan kita. 

👉Pertama, Mengulang Bacaan Azan

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Said al-Khudry radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: 

إذا سمعتم النداء فقولوا مثل ما يقول المؤذن

"Jikalau kalian mendengar Azan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan Muazzin." 

Kecuali ketika bacaan Hayya 'alas Sholah dan Hayya 'alal Falah, maka kita mengucapkan La Haula wa la Quwwata Illa billah, berdasarkan riwayat al-Bukhari, dari Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhuma ketika mendengar Hayya 'alas Shalah, maka ia mengucapkan La Haula wa La Quwwata Illa Billah, kemudian berkata lagi: "Beginilah kami mendengar Nabi kalian mengucapkan." 


👉Kedua, Bershalawat kepada Rasulullah Saw setelah azan. 

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Amru radhiyallahu anhuma, Nabi Saw bersabda: 

 ثم صلوا على، فإنه من صلى عليه صلاة صلى الله عليه بها عشرا

"Kemudian bershalawatkan kepadaku. Siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah SWT bershalawat kepadanya sepuuluh kali." 


👉Ketiga, Memohon kedudukan al-Wasilah bagi Rasulullah Saw. 

Beliau bersabda, lanjutan hadits sebelumnya: 

ثم سلوا الله لي الوسيلة، فإنها منزلة في الجنة لا تنبغي الا لعبد من عباد الله، وأرجو أن أكون أنا هو، فمن سأل لي الوسيلة خلت له الشفاعة

"Kemudian mohonlah al-Wasilah bagiku. Ia adalah kedudukan di surga yang tidak layak kecuali bagi hamba Allah SWT. Aku berharap , itu adalah aku. Siapa yang memohonkan al-Wasilah bagiku, maka ia berhak mendapatkan Syafaatku." 


👉Keempat, Mengucapkan persaksian Tauhid, menyatakan keridhaan kita kepada Allah SWT, Rasul-Nya, agama ISlam. 

Diriwayatkan oleh Muslim, dari Saad bin Abi Waqqash, dari Rasulullah Saw bersabda: 

من قال حين يسمع المؤذن: أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأن محمدا عبده ورسوله، رضيت بالله ربا وبمحمد رسولا وبالإسلام دينا غفر له ذئبه

"Siapa yang mengucapkan ketika mendengar Muazzin: La Ilaha Illallah Wahdahu la Syarika Lahu wa Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu, Radhitu billahi Rabban wa bi Muhammadin Rasulan wa bil Islami dinan, maka diampunkan dosanya." 


👉Kelima, Berdoa kepada Allah SWT dengan apapun yang kita inginkan. Doa Mustajab, Insya Allah. 

Diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Nasai, Ahmad, dan dishahihkan oleh al-Albani, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu, seseorang berkata kepada Rasulullah Saw, "Wahai Rasulullah, para Muazzin mengungguli kami." Maka, beliau berkata: 

فل كما يقولون، فإذا انتهيت فسل تغطة

"Katakanlah sebagaimana mereka ucapkan. Jikalau Anda selesai, maka mintalah, engkau akan diberi."

Semoga bisa menjadi amalan kita semua. []

Sunnah Berbagi (Memberi) Makanan

Sunnah Berbagi (Memberi) Makanan


Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim diceritakan, suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, "Amalan apakah yang terbaik dalam Islam?" 

Kemudian beliau menjawab: 

تطعم الطعام، ونقرأ السلام على من عرفت ومن لم تعرف

"Anda memberi (berbagi) makanan, mengucapkan salam kepada orang yang Anda kenal dan tidak Anda kenal." 

Maka, kebiasaan berbagi makanan yang banyak kita dapati di Negeri ini, baik di hari Jumat atau di hari-hari lainnya, baik di Masjid maupun di Jalanan, atau di tempat-tempat lainnya, baik kepada orang-orang yang membutuhkan maupun tidak, merupakan sunnah Nabi Saw. 

Kenapa mencakup orang-orang yang tidak membutuhkan? Sebab hadits di atas bersifat umum. Maka, berbagi kepada teman, sahabat, tetangga, para pegawai dan pekerja, juga masuk ke dalam pembahasan hadits. 

Salah satu tujuan utama dari sunnah ini adalah menyebarkan ruh kasihsayang sesama manusia. Bahkan, juga kepada Non Muslim.[]

Hukum dan Doa yang Dibaca Ketika Menyembelih Hewan Kurban

Hukum dan Doa yang Dibaca Ketika Menyembelih Hewan Kurban


Pada dasarnya, kita disunnahkan ketika menyembelih kurban untuk membaca doa berikut ini: 

بسم الله ، والله أكبر ، اللهم هذا منك ولك ، هذا عني (هذا عن فلان ) اللهم تقبل من فلان وآل فلان (ويسمي نفسه

Bismillāh. Wallāhu Akbar. Allāhumma Hadzā Minak wa Laka. Hadzā ‘Annī/ Hadzā ‘an Fulān. Allāhumma Taqabbal min Fulān wa Âli Fulān

“Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Ya Allah, ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ini dariku (Jikalau ia sendiri yang menyembelihnya. Jikalau bukan ia yang lansung menyembelihnya, diwakilkan panitia kurban, diganti dengan: Ini dariku - Hadzā ‘an Fulān) Ya Allah, terimalah dari Fulan (sebutkan nama Shāhibul Qurbān) dan Keluarga (sebutkan nama Shāhibul Qurbān)

Doa yang sunnah dibaca, itu seperti diatas. Wajibnya, ini batas minimal yang dibaca oleh orang yang akan menyembelih, baik yang menyembelih itu adalah pemilik kurban itu sendiri maupun panitia kurban adalah: 

Bismillah; Dengan nama Allah SWT. 

Kalau sudah membaca Bismillah, hokum kurbannya sudah sah. Halal. Dan sudah sesuai dengan Syariat Islam. 


Hadits-Hadits yang Menjelaskan Tentang Doa Ini

Ada beberapa hadits yang menjelaskan doa yang dibaca ketika akan menyembelih kurban ini, di antaranya diriwayatkan oleh Anas bin Mālik radhiyallahu anhu: 

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

Nabi Saw berkurban dengan dua domba yang berwarna putih yang ada hitamnya dan bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangannya, menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas samping kambing.” (HR al-Bukhāri 5565, Muslim 1966)

Diriwayatkan dari ‘Âisyah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah Saw memerintahkan untuk diambil domba yang bertanduk, kemudian dibawakanlah kepadanya untuk dikurbankan, kemudian beliau bersabda: 

يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ

 “Wahai Aisyah, bawa pisau kesini.” 

Kemudian beliau berkata lagi: 

اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ

“Asahlah ia dengan batu.” 

Kemudian Aisyah mengasahnya. Setelah itu, beliau mengambil pisau dan mengambil dombanya, kemudian membaringkannya dan menyembelihnya seraya membaca: 

بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Dengan nama Allah. Ya Allah, Terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad, serta dari Umat Muhammad.” 

Beliau berkurban dengan itu. (Hr Muslim 1967)

Diriwayatkan oleh Jābir bin Abdullāh radhiyallahu anhu bahwa ia menyaksikan Nabi Muhammad Saw di Hari Raya Idul Adha mengerjakan shalat di lapangan. Ketika beliau selesai berkhutbah, maka beliau turun dari mimbarnya, kemudian dibawalah kepadanya seekor domba dan menyembelihnya dengan tangannya sendiri, seraya membaca: 

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

“Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Ini dariku dan dari orang yang belum berkurban dari umatku.” (Hr al-Turmudzi, dishahihkan oleh al-Albāni)

Dalam beberapa riwayat, ada tambahan: 

اللهم إن هذا منك ولك

“Ya Allah, ini dari-Mu dan untuk-Mu.” 

(Lihatlah Irwā al-Ghalīl 1138, 1152)

Nah, itu sejumlah hadits atau sunnah yang menjelaskan doa yang kita baca ketika akan menyembelih kurban. Gampangkan? 


Masalah-Masalah yang Sering Dipertanyakan

Ada beberapa pertanyaan yang sering dipertanyakan terkait masalah ini. 

Pertama, Apakah doa menyembelih kurban (qurban) yang sesuai sunnah Rasulullah Saw? 

Inilah doa menyembelih kuban yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw, sesuai dengan Manhaj Salaf, Ahli Sunnah wal Jamaah. Jikalau kita bisa membaca bentuk sempurna sebagaimana di atas, itu lebih baik. Jikalau tidak, cukup dengan Bismillah. Dengan Nama Allah SWT. 

Kedua, Bagaimana Doa yang dibaca ketika menyembelih kurban sendiri atau kurban milik orang lain? 

Masalah ini juga sudah kita jelaskan di atas. Jikalau kita lansung sendiri yang menyembalihnya, maka dibaca ‘Annī (dariku). Jikalau kita panitia yang menyembelih sebagai wakil dari pemilik kurban, maka kita baca: 

“Hadzā ‘Annī/ Hadzā ‘an Fulān. Allāhumma Taqabbal min Fulān wa Âli Fulān”

Kata-kata Fulan diganti saja dengan nama pemilik kurban. Kalau namanya Jono,maka sebut namanya sebagai ganti Fulan. 

Ketiga, Bagaimana Doanya jikalau pemilik kurbannya ada 7 orang? 

Gampang, bagian doa yang ini: 

“Hadzā ‘Annī/ Hadzā ‘an Fulān. Allāhumma Taqabbal min Fulān wa Âli Fulān“

Kata-kata Fulan, Anda ganti dengan nama-nama para pemilik kurban yang berjumlah 7 orang. Sebutkan satu-satu. []

Hukum Suami Menikah Lagi Setelah Istrinya Meninggal

Hukum Suami Menikah Lagi Setelah Istrinya Meninggal


Masalah ini akan kita jawab dari dua sisi; pertama, sisi hokum. Kedua, sisi norma dan etika. 


Mari kita lihat dulu dari sisi hokum. Secara hokum Islam, tidak ada masalah bagi seorang suami untuk menikah lagi setelah istrinya meninggal. Lansung menikah, juga tidak masalah. Sebab, bagi laki-laki tidak ada yang namanya Iddah atau Ihdad (masa berkabung). 


Keduanya hanya berlaku bagi para wanita. Inilah yang dijelaskan oleh Ibn al-Quddamah dalam Kitabnya al-Mughni (8/ 125): 

“Istri yang ditinggal mati oleh suaminya, menjauhi wewangian dan berhias… Ini dinamakan dengan al-Ihdad (berkabung). Kami tidak mendapatinya adanya perbedaan di kalangan ulama tentang kewajibannya bagi perempuan yang ditingal mati suaminya.” 


Dalam fatwa al-Lajnah al-Daimah (20/ 479) dijelaskan: 

“Wajib bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya untuk melakukan Iddah dan Ihdad.”


Bagi laki-laki, tidak ada kewajiban tersebut. Jikalau istrinya sudah meninggal, maka selesai sudah hubungan keduanya. Cerai sudah. Tidak ada Iddah, dan tidak ada kewajiban untuk Ihdad. 


Untuk catatan saja bagi kita semuanya, ada tiga hal yang menyebabkan putusnya hubungan pernikahan: 

Pertama, Faskh/ Nikahnya Batal. Banyak hal yang menyebabkan hal ini. Nanti akan coba kita tulis masalah ini secara khusus. Sebagai contohnya, ketika salah satu pasangan yang sudah sah menikah secara Islam, kemudian salah satunya murtad; keluar dari Islam, maka nikahnya Faskh; batal demi agama. 


Kedua, Talak/ Cerai. Jikalau sudah cerai, dan istri sudah selesai masa Iddah, habis masa ruju’ dalam Talak Raj’I, maka keduanya tidak boleh berhubungan sama sekali, haram tinggal serumah. Statusnya sudah bukan lagi suami istri. Masalah ini juga panjang dan luas, akan kita bahas juga di artikel khusus. 


Ketiga, Mati/ Meninggal/ Wafat. Jikalau salah satu pasangan meninggal, maka terputuslah hubungan suami-istri di antara keduanya. Bagi istri, wajib ada Iddah dan al-Ihdad. Tidak bagi laki-laki. 


Artinya apa? 

Artinya, jikalau di suami menikah lagi setelahnya, lansung atau nanti, hukumnya sah-sah saja. Tidak masalah. Apalagi jikalau istrinya baru satu. Jangankan setelah kematiannya. Ketika istrinya masih hidup saja, ia bisa menikah lagi dengan wanita lainnya. Sebab jatahnya memang empat. Asalkan memang mampu. Jangan asal mau poligami saja. Makan sehari saja ga lurus, mau poligami pula, itu dengkul dimana?


Ini juga yang dijelaskan dalam Kitab al-Muwsuah al-Fiqhiyyah (2/ 105): 

أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا إحْدَادَ عَلَى الرَّجُلِ

“Para ulama berijma bahwa tidak ada al-Ihdad bagi laki-laki.” 


Sekarang, mari kita lihat secara etika. Kalau kita berbicara masalah etika, kita harus melihat secara budaya, social, dan faktor sekelilingnya. Maka, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan: 


  1. Kesiapan diri; Diri dan Materi. Ya, jangan asal mau menikah saja. Udah siap mental diri apa belum? Menikah lagi, artinya akan menghadapi suasana baru, orang baru, karakter baru. Pikirkanlah semua hal yang terkait dengan hal ini. Jangan sampai pernikahan yang niatnya mendapatkan mawaddah wa rahmah, malah berujung sengsara. Kemudian materi juga. Siapkan. Jangan bekal badan doang. 
  2. Pertimbangan juga perasaan keluarga istri dan anak-anak. Kalau masalah hitam putih saja, kan sudah jelas. Hukumnya sah, boleh. Tapi, bagaimana perasaan anak-anak Anda; ibunya baru meninggal, Anda lansung menikah, seolah-olah tidak ada kesedihan di balik musibah kematian. Apalagi keluarga besar sang istri, tentu akan lebih berburuk sangka. Manajemen hati dan perasaan itu penting juga. Jangan abaikan. 


Pasangan Suami-Istri di Surga Kelak; Akhirat


Istri yang mencintai suaminya, dan suami yang mencintai istrinya, tidak usah khawatir. Jikalau Anda berdua berpisah di dunia. Itu hanyalah perpisalahan sementara. Asalkan Anda berdua dari golongan Ahli Islam, Ahli Syahadat, maka Anda berdua akan berkumpulkan lagi di surge kelak. Orang yang menjadi suami Anda di surge, yang Anda dicintai dengan sepenuh hati Anda, akan menjadi suami Anda lagi kelak di surge. Bahkan, Anda akan dikumpulkan dan dipertemukan dengan seluruh anak-anak Anda, cucu-cucu Anda, dan seluruh keturunan Anda. 


Inilah yang dijelaskan dalam firman Allah SWT: 

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ 

Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya." (Surat al-Thur: 21)


Di antara doa para malaikat pemikul Arsy adalah: 

رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ 

Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Surat Ghafir: 8) []

Hukum Ziarah Kubur

Hukum Ziarah Kubur


Pada dasarnya, hokum Ziarah kubur adalah sunnah. Sebab ia mengingatkan akhirat, kemudian juga akan bermanfaat bagi Mayat dengan mendapatkan doa dan Istighfar. 

Rasulullah Saw bersabda: 

قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه فزوروها فإنها تذكر بالآخرة

 “Dahulu saya melarang kalian untuk menziarahi kubur. Maka, sudah diizinkan Muhammad untuk menziarahi kuburan ibunya. Sebab, iaa mengingatkan kalian akan akhirat.” (Hr al-Turmudzi)

Di awal sejarahnya, berdasarkan hadits ini, memang ziarah kubur itu dilarang secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan. Namun setelahnya, hukumnya diubah oleh Rasulullah Saw, dengan diizinkan. Sebab ada kemanfaatannya bagi diri yang berziarah. 

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Muhammad Saw menziarahi kuburan ibunya, kemudian beliau menangis dan membuat menangis orang-orang yang ada di sekitarnya, kemudian beliau bersabda: 

استأذنت ربي في أن أستغفر لها فلم يؤذن لي ، واستأذنته في أن أزور قبرها فأذن لي ، فزوروا القبور فإنها تذكر بالموت

“Saya memohon izin kepada Rabbku agar bisa memohonkan ampunan baginya, namun saya tidak diizinkan. Kemudian saya memohon izin kepadanya agar saya bisa menziarahi kuburannya, maka Dia mengizinanku. Maka. Ziarahilah kubur, sebab ia mengingatkan akhirat.” (HR Muslim)

Hukum sunnahnya ini, merupakan kesepakatan para ulama. Bahkan Ibn Hazm al-Andalusi menyatakan hukumnya wajib menziarahi kubur berdasarkan kedua hadits di atas. Dalam artian, jikalau Anda tidak menziarahi kubur, maka Anda berdosa kata Ibn Hazm. 

Tapi… Sekali lagi Tapi…Ingat dengan baik!

Kecuali, jikalau kuburan itu atau Jenazahnya berada jauh, bagi yang ingin menziarahinya harus bersusah payah melakukan perjalanan dan mengadakan rihlah khusus. Maka ketika itu, ia tidak disyariatkan, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: 

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد، المسجد الحرام ومسجدي هذا والمسجد الأقصى

 “Janganlah diupayakeraskan perjalanan kecuali ke tiga Masjid; Masjidil Haram, Masjid saya ini, dan Masjid al-Aqsha.” (HR Bukhari dan Muslim)


Hukum Ziarah Kubur bagi Para Wanita/ Muslimah

Masalah hokum ziarah kubur bagi wanita atau muslimah, agak sedikit berbeda dengan hokum di atas. Sebab, khusus untuk wanita, ada dalil khusus dalam hal ini, yang kedua dalilnya saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya dalam  kandungan hukumnya.

Pertama, hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه فزوروها فإنها تذكر بالآخرة

 “Dahulu saya melarang kalian untuk menziarahi kubur. Maka, sudah diizinkan Muhammad untuk menziarahi kuburan ibunya. Sebab, iaa mengingatkan kalian akan akhirat.” (Hr al-Turmudzi)


Laki-laki dan perempuan, tercakup dalam keumuman hadits ini. Bukan saja laki-laki  yang butuh peringatan akan akhiratnya, namun perempuan juga. Kedudukannya sama, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: 

النساء شقائق الرجال

“Para wanita itu kansungnya para laki-laki.” 

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Majah, dan al-Turmudzi, bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

لعن الله زوارات القبور

“Allah SWT melaknat para wanita peziarah kubur.” 

Zahirnya, kedua hadis di atas saling kontradiksi, saling  bertentangan. Makanya, dalam masalah ini, ada tiga pendapat ulama. 

Kelompok Pertama, mereka membolehkannya berdasarkan hadits yang pertama. Kelompok Kedua, mereka melarangnya secara mutlak berdasakan hadits yang kedua. Jikalau ada wanita yang berziarah kubur, maka ia akan mendapatkan laknat Allah SWT. Kelompok ketiga, mereka berusaha mengkompromikan antara kedua dalil, sehingga lahir hokum kebolekahannya tapi dengan syarat. 

Menurut saya, mengikuti sejumlah ulama lainnya, pendapat yang ketiga adalah pendapat yang kuat. Tidak masalah perempuan itu berziarah kubur, asalkan tidak dilakukan berulang-ulang dan berkali-kali. Sedangkan jikalau tidak sering melakukannya dan tidak dilakukan berulang-ulang, maka sebagian ulama menyatakan kemakruhannya. 

Ulama yang membolehkan, bukan boleh begitu saja, ya. Mereka juga menetapkan syarat: tidak melakukan kemungkaran di kuburan, seperti meratap di kuburan, atau berteriak, atau berangkat untuk ziarah dengan bertabarruj, atau berdoa kepada si Mayat dan meminta hajatnya, atau perbuatan terlarang lainnya.

Orang yang menziarahi kuburan kaum muslimin, mengucapkan apa yang diucapkan oleh Rasulullah Saw ketika menziarahi al-Baqi’, yaitu: 

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, وَأَنَا إِنْ شَاءَ اللَّه بِكُمْ لَاحِقُوْن, أَنْتُمْ فَرَطُنَا وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ, نَسْأَل اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ, اللَّهُمَّ اغْفِر لَهُمْ, اللَّهُمَّ ارْحَمَهُمْ

“Keselamatan bagi kalian wahai para penghuni negeri dari kalangan mukminin dan muslimin. Saya dengan izin Allah SWT akan mengikuti kalian. Kalian adalah pendahulu kami, dan kami pengikut kalian. Kami memohon Allah SWT bagi kami dan kalian semuanya keselamata. Ya Allah, ampunilah mereka. Ya Allah, rahmatilah mereka.” (Hr Muslim)[]

Hukum Mewarnai Rambut

Hukum Mewarnai Rambut


Mau tampil gagah atau cantik, merupakan sesuatu yang bernilai pahala di sisi Allah SWT. Dan rambut adalah salah satu karunia keindahan yang diberikan-Nya kepada para hamba, yang harus dijaga dan dirawat dengan sebaiknya. 

Dalam haditsnya, Rasulullah Saw bersabda: 

من كان له شَعرٌ فليُكرمه

“Siapa yang memiliki rambut, maka muliakanlah.” (HR Abu Daud)

“Muliakanlah”, maksudnya dijaga dengan sebaik-baiknya; dibersihkan, dishampooi, dirapikan. Jangan sampai rambut gondrong, katanya mengikuti sunnah Nabi, namun apek; bau busuk; banyak kutu. Itu namanya menghinakan rambut, merendahkan sunnah Nabi. 

Dalam hadits lainnya dijelaskan: 

إن الله جميلٌ يحب الجمال

“Allah itu Indah, dan menyukai keindahan.” (HR Muslim)

Dan salah satu bentuk keindahan itu adalah mewarnai rambut. 


Hukum Mewarnai Rambut Dalam Islam, Selain dengan Hitam

Ulama bersepakat, mewarnai rambut dengan warna apapun, menjadi merah atau kuning atau apapun itu, selain dengan warna hitam, maka hukumnya boleh. Tidak masalah, mau mewarnainya dengan henna, atau dengan za'faran, dan lain sebagainnya. 

Mewakili fikih Mazhab Hanafi, dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (44/45): “Para syeikh rahimahumullah bersepakat bahwa menginai bagi laki-laki dengan warna merah adalah sunnah, dan ia merupakan salah satu cirri kaum muslimin dan tanda mereka.” 

Kemudian dikatakan oleh al-Hashfaky al-Hanafy (Kitab al-Durr al-Mukhtar: 6/ 422): “Disunnahkan bagi laki-laki menginai rambutnya dan jenggotnya.” 

Mewakili pendapat Mazhab Maliki, dijelaskan dalam al-Dzakhirah (Kitab al-Fawakih al-Dawani ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qayrawani: 8/ 191) dijelaskan, “Mereka bersepakat bolehnya mengubah uban dengan al-Shafrah, Inai, dan al-Katm. Mereka hanya berbeda pendapat tentang mana yang lebih baik; mengerjakannya atau meninggalkannya. Dalam hal ini, Imam Malik ada dua pendapat.” 

Ibn Abdil Barr mengatakan (Kitab al-Istidzakar: 8/ 439): “Para ulama tidak berbeda pendapat tentang bolehnya berinai dengan henna, al-Katm, dan semisal keduanya.” 

Mewakili pendapat Mazhab Syafii, dijelaskan dalam Kitab al-Majmu (1/ 293-294): “Disunnahkan menginai uban dengan kuning atau merah. Ini disepakati oleh para sahabat kami, di antara yang terang-terang menyatakannya adalah al-Shumairy, al-Baghawy, dan selainnya.” 

Mewakili pendapat dalam Mazhab Hanbali, dijelaskan dalam Kitab al-Mughni (1/ 105): “Disunnahkan menginai uban dengan selain warna hitam. Ahmad mengatakan: Saya melihat orang tua yang menginai rambutnya, dan saya bahagia melihatnya.” 

Apa dalil mereka? 

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

إن اليهود والنصارى لا يصبغون فخالفوهم

“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak berinai, maka bedalah dengan mereka.” (HR Bukhari)

Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah bahwa ketika Fathu Makkah dibawalah Abu Quhafah mendatangi Nabi Muhammad Saw; rambutnya dan jenggotnya sudah memutih. Kemudian beliau bersabda: 

غيروا هذا بشيءٍ واجتنبوا السَّواد

“Ubahlah ini dengan sesuatu, dan jauhilah yang hitam.” (Hr Muslim)

Rasulullah Saw bersabda: 

غيِّروا الشيب ولا تشبَّهوا باليهود

“Ubahlah uban dan janganlah kalian menyerupai yahudi.” (HR al-Turmudzi)

Abu Umamah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw berjalan bersama sekelompok sepuh Anshar yang jenggot mereka sudah memutih, kemudian beliau bersabda: 

يا معشر الأنصار، حَمِّّروا وصَفِّروا وخالفوا أهل الكتاب

“Wahai sekalian Ashar, merahkanlah dan kuningkanlah, berbedalah dengan Ahli Kitab.” (Hr Ahmad)

Umm Salamah radhiyallahu anha meriwayatakan bahwa ia melihat rambut Nabi Muhammad Saw merah. (HR Bukhari)

Abu Ramtsah meriwayatkan bahwa ia dan bapaknya mendatangi Nabi Muhammad Saw, dan mereka mendapati jenggot Nabi Muhammad Saw dipenuhi inai. (Hr Bukhari)


Hukum Mewarnai Rambut dengan Warna Hitam

Dalam masalah mewarnai rambut dengan warna hitam ini, ada point yang disepakati para ulama dan ada point yang mereka berbeda pendapat dalam menyikapinya. 

Point yang disepakati itu ada dua: 

Pertama, Mereka bersepakat bolehnya menginai atau mewarnai rambut dengan warna hitam ketika berjihad, sebagaimana dijelaskan dalam al-Fatawa al-Hindiyah(44/ 45): “Sedangkan menginai dengan hitam, siapa saja pasukan perang yang melakukannya, agar semakin ditakuti musuh, maka itu tindakan terpuji. Masalah ini disepakati oleh para syeikh.” 

Hal yang sama juga diungkapkan oleh al-Syarwani al-Syafii: 9/ 375: “Menginai rambut dengan hitam, hukumnya haram, kecuali bagi yang berjihad melawan kaum kafirin, maka tidak masalah.”

Ada sejumlah pendapat ulama lain dari mazhab yang sama atau Mazhab lainnya, mengungkapkan pendapat serupa. Intinya, kenapa diizinkan di medan jihad, untuk menakuti para musuh, agar para pasukan kelihatan muda dan kuat. Kalau ubanan, khawatir akan membuat musuh semakin percaya diri, sehingga melahirkan kekuatan lebih. 

Kedua, Mereka sepakat tidak bolehnya mewarnai rambut dengan warna hitam dengan niat al-Talbis (menyembunyikan fakta) dan al-Khada’ (menipu). Misalnya, orang yang sudah usia tua, mau menikahi gadis, maka ia sengaja menghitamkan rambutnya, agar sang gadis tertarik menikah dengannya dan menyangkanya masih muda. Ini jelas. Disepakati keharamannya oleh seluruh Mazhab. 

Dalilnya sabda Rasulullah Saw: 

من غشّنا فليس منّا

“Siapa yang menipu kami, bukan bagian dari kami.” (Hr Muslim)

Sedangkan point yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya mewarnai rambut dengan warna hitam bagi yang tidak dalam kondisi berjihad, kemudian tidak juga ada niat untuk melakukan al-Talbis kepada orang lain atau al-Khada’. 

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini: 

Pertama: Makruh dengan warna hitam, kecuali bagi orang yang berjihad. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Syafii tapi pendapat ini tidak dijadikan pegangan alam Mazhab, serta juga merupakan pendapat Mazhab Hanbali. 

Dalil mereka adalah hadits Abu Quhafah yang sudah kita paparkan di atas, yang disuruh untuk menjauhi warna hitam. Hanya saja, larangan disini, dipalingkan maknanya dari haram ke makruh. Karena kata-katanya “jauhilah” bukan “janganlah”. 

Kedua, Haram mewarnai rambut dengan warna hitam. Inilah pendapat yang paling shahih dalam Mazhab Syafii, dan salah satu pendapat dalam Mazhab Hanbali. 

Dalilnya sama dengan di atas, yaitu hadits mengenai Abu Quhafah. Hanya saja, larangan “jauhilah hitam” itu dimakna al-Tahrim; haram. 

Ketiga, Boleh mewarnai rambut dengan warna hitam, selama tidak mengandung unsure al-Talbis dan al-Khada’. Ini adalah pendapat Abu Yusuf, Muhammad bin Sirin, dan Ishaq bin Rahawaih. 

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw: 

إن أحسن ما اختضبتم به لهذا السَّواد، أرغب لنسائكم فيكم وأهيب لكم في صدور عدوِّكم

“Sebaik-baik yang kalian gunakan untuk ini adalah hitam, lebih menarik bagi para wanita kalian dan lebih ditakuti di hadapan musuh kalian.” (HR Ibn Majah)

Kemudian juga diriwayatkan banyak para sahabat dan para tabiin yang menginai rambut mereka dengan warna hitam, salah satu tokok utamanya adalah dua orang cucu Nabi; al-Hasan dan al-Husain. Ibn Qayyim al-Jauziyah menjelaskan dalam Kitabnya Zaad al-Maad (4/ 368): 

“Memang benar riwayat yang menyatakan bahwa al-Hasan dan al-Husain menginai rambut mereka dengan warna hitam.”

Keempat, Boleh mewarnai rambut dengan warna hitam bagi wanita dengan seizing suaminya. Ini merupakan salah satu pendapat dalam Mazhab Syafii, namun tidak dijadikan sebagai pegangan dalam Mazhab. Artinya, bagi wanita yang belum menikah, tidak boleh. Bagi yang sudah menikah, tapi tidak ada izin suaminya, tidak boleh juga. 

Tapi syaratnya harus berhijab ya. Kalau tidak berhijab, ya haram. Mutlak. 

Kelima, Boleh bagi perempuan, tapi tidak laki-laki. Hanya saja pendapat ini lemah sekali. Ini merupakan pendapat al-Qary dalam kitabnya Mirqat al-Mafatih. 

Kesimpulannya, mewarna rambut dengan warna hitam, hukumnya paling tinggi itu Makruh. Tidak sampai haram. Sebab, ada beberapa riwayat yang menjelaskan para sahabat yang menggunakan warna hitam untuk menginai rambutnya, salah satunya cucu nabi. Apalagi lafadz haditsnya “jauhilah” bukan “janganlah”.  Dan tidak masalah juga dengan pendapat Mubah atau boleh. Asalkan tidak ada niat al-Talbis atau al-Khada’, yaitu niat menipu orang lain, menampakkan diri masih muda padahal udah tua Bangka, pengen dapat gadis tidak sadar usia. 

Namun untuk kehati-hatian; hindarilah mewarnai rambut dengan hitam, apalagi yang warna sudah memutih, usia sudah tua. 


Catatan-Catatan

Oke, di ujung catatan ini, saya ada beberapa catatan: 

  • Cat rambut atau mewarnai rambut itu halal-halal saja, baik laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, selain warna hitam. Tapi.. sekali lagi tapi. Jangan sampai bermirip-miripan dengan non muslim atau kaum kafir atau kaum musyrikin ya, seperti nyatanya sekarang. Dikenal juga dengan istilah Tasyabbuh bi al-Kuffar Bagi perempuan, silahkan saja, tapi harus berjilbab. Rambut itu aurat.
  • Apa hukum mewarnai rambut yang belum beruban? Tidak masalah. Sudah dijelaskan di atas. Pahamkan?!
  • Menyemir uban dengan warna hitam, sudah kita jelaskan pendapat para ulama dalam masalah ini. Untuk kehati-hatian, ya tidak usah. Jikalau mau juga, niatnya jangan sampai al-Talbis dan al-Khada’. Jikalau sudah terlanjur di warnai dengan hitam, ya niatnya jangan sampai salah. Kalau niat awalnya salah, ya segera diperbaiki.[]

Hukum Tato (Tattoo) Dalam Islam

Hukum Tato (Tattoo) Dalam Islam


Dalam kajian Syariah, Tato itu dikenal dengan istilah al-Wasym. Hukumnya haram. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. 

Pertama, mengubah ciptaan Allah SWT 

Kulit sudah bagus, kok digambar-gambar? Permanen pula! 

Kedua, Menyakiti diri sendiri 

Proses pembuatan Tato itu pakai Jarum. Otomatis menyakiti diri sendiri. Padahal tidak ada manfaatnya dan tidak ada gunanya. Hanya gaya-gayaan saja. 

Allah SWT berfirman: 

إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَرِيدًا (117) لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (118) وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا

Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka, (QS. 4:117) yang dilaknat Allah dan syaitan itu mengatakan: ‘Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba-Mu bagian yang sudah ditentukan (untukku), (QS. 4:118) dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya”. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS. 4:119)

Sabda Rasulullah Saw; 

  لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّه

"Allah melaknat perempuan yang membuat tato dan orang yang minta dibuatkan tato, orang yang minta dicabutkan bulu alisnya, orang-orang yang menghias giginya untuk mempercantik dirinya, dan orang yang mengubah ciptaan Allah." [HR. al-Bukhari]

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu bahwas Rasulullah saw melaknat perempuan yang menyambung rambutnya dan perempuan yang minta disambungkan rambutnya, perempuan yang membuat tato dan perempuan yang minta dibuatkan tato. [HR Muslim]

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu bahwa Nabi saw melaknat orang yang membuat tato dan orang yang minta dibuatkan tato, orang-orang yang meminta dicabutkan bulu alisnya untuk mempercantik dirinya, dan orang yang mengubah ciptaan Allah. [HR. at-Tirmidzi]

Kabar itu sampai kepada seorang perempuan dari kalangan Bani Asad, namanya Umm Yaqub. Ia berkata kepada Abdullah bin Umar: 

“Saya mendengar, engkau melaknat ini dan ini.” 

Ia menjawab: 

“Kenapa saya tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah Saw dan orang yang dijelaskan dalam Kitabullah.” 

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu mengatakan: 

لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ

"Dilaknat perempuan yag menyambung rambutnya dan perempuan yang minta disambungkan rambutnya, perempuan yang mencabut bulu alisnya dan perempuan yang minta dicabutkan bulu alisnya, perempuan yang membuat tato dan perempuan yang minta dibuatkan tato." [HR. al-Bukhari]

Nah, hokum di atas, berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Haram bukan saja bagi laki-laki, namun juga bagi perempuan. 


3 Metode Tato Permanen yang Diharamkan

Tato Permanen itu ada tiga cara melakukannya. Semua hukumnya haram. Perhatikan masing-masingnya dan penjelasan hukumnya. 

Pertama, Cara Tradisional, yaitu menusuk-nusukkan jarum ke kulit, kemudian darahnya keluar, dipakaikan alcohol atau bahan tato. Hukumnya jelas Haram. Ini al-Nawawi menjelaskan masalah kitab dalam Kitabnya Syarh al-Nawawi ala Muslim (14/ 106)

Kedua, Menggunakan Bahan Kimia atau Operasi untuk Mengubah sebagian warna kulit atau seluruhnya. Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menjelaskan dalam Kitabnya Majmu Fatawa al-Syeikh al-Utsaimin (17/ No.4) bahwa hukumnya Haram jikalau perubahan itu bersifat permanen. 

Ketiga, Metode Tato Temporer, tapi dengan jangka waktu yang lama, sampai setahun. Syeikh Abdullah bin Jibrin pernah ditanya masalah ini, dan beliau menjawab bahwa hukumnya tidak boleh karena tercakup dalam hadits larangan untuk bertato. 

Artinya, jikalau jenis Tato tadi masuk ke dalam ketiga jenis di atas, maka hukumnya Haram. Haram. Dan Haram. 


Hukum Tato (Tattoo) dengan Henna Menurut Islam

Menggunakan Henna, sebanarnya tidak tepat disebut Tato. Hukumnya tidak masuk di bagian ini. Ia adalah sesuatu yang dibolehkan dalam Islam. Sebab ia adalah ukiran dan pewarnaan dikulit yang sifatnya sementara, yang akan hilangnya setelah beberapa jangka. 

Namun ada syaratnya yang  harus diperhatikan, kata Syeikh Muhammad Shaleh al-Munjid, sebagaimana dijelaskannya di situs pribadinya, yaitu:

  • Ukirannya bersifat Temporer, bukan permanen
  • Bukan ukiran yang bernyawa
  • Tidak memperlihatkan hiasan tersebut ke laki-laki yang bukan mahramnya
  • Bahannya tidak mengandung sesuatu yang membahayakan kulit
  • Tidak menyerupai para wanita fasik dan Non Muslim
  • Tidak membuat ukiran dengan symbol bermuatan kesesatan
  • Tidak membuat ukirannya di aurat atau dekat aurat.

Imam al-Shanany menjelaskan dalam Kitabnya Subul al-Salam (1/ 150): 

“Tato itu, dalam sejumlah hadits dijelaskan, sebabnya adalah mengubah ciptaan Allah SWT. Namun tidak dikatakan berhenna dan selainnya, tercakup dalam sebab ini. Jikalau memang tercakup, seharusnya ada Ijmanya. Sebab ia sudah ada di zaman Nabi Muhammad Saw.” 

Dalam kitab Majmu Fatawa al-Syeikh al-Utsaimin (17/ NO. 4) dijelaskan ketika ditanya masalah ini: 

“Jikalau perubahannya tidak permanen, seperti Henna, maka hukumnya tidak apa-apa, sebab ia bisa dihilangnya, sama dengan celak, blush on, bergincu.”


Hukum Menghilangkan Tato & Hukum Shalat Orang Bertato

Tato itu adalah sesuatu yang diharamkan dalam Syariat Islam, sebagaimana dijelaskan di atas, lengkap dengan dalil-dalinya dan pandangan para ulama dalam masalah ini. 

Maka, tugas utama yang harus dijalankan adalah bertaubat nasuha kepada Allah SWT.  Kemudian jikalau bisa dihilangkan, maka dihilangnya. Jikalau tidak bisa, maka tidak masalah. Asalkan sudah ada usaha keras untuk menghilangnya. 

Al-Rafii menjelaskan, “Tato dihilangnya dengan pengobatan. Jikalau tidak mungkin dilakukan kecuali dengan melukai, maka tidak usah dilukai. Dan tidak ada dosa atas dirinya.” 

Intinya, selama tidak membahayakan, maka menghilangkannya tetap harus diusahakan. Apalagi sekarang sudah ada teknologi penghilang Tato. Gratis pula, yang diinisiasi beberapa pegiat hijrah. Berusahalah. Jikalau tidak bisa juga, karena sebab materi atau kesehatan atau uzur syari lainnya, tidak masalah. 

Shalat dan wudhu yang Anda lakukan, insya Allah tetap sah. Sebab Anda sudah ada usaha untuk menuju lebih baik, yaitu usaha menghilangkannya. Hanya saja, belum mampu mewujudkannya karena sebab-sebab syari. []