Syarat-Syarat Hewan yang akan Dikurbankan

Syarat-Syarat Hewan yang akan Dikurbankan


Berkurban adalah salah satu sunnah Rasulullah Saw. Hukumnya sunnah Muakkadah menurut Jumhur Ulama, bahkan Mazhab Hanafi menyatakannya wajib. Jikalau ada kemampuan, hendaklah kita melakukannya. Sebab dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa jikalau seseorang memiliki kelapangan untuk berkurban, kemudian ia tidak berkurban, maka jangan dekati Masjid kami dan Mushallah kami, kata Rasulullah Saw. Ini adalah ancaman yang serius. 

Hanya saja, untuk terwujudnya kurban yang benar dan sesuai syariat, ada beberapa syarat yang perlu kita perhatikan ketika kita berniat untuk ikut serta berkurban di Hari Raya Idul adha atau Hari Raya Kurban. 

Apa sajakah itu?


Pertama, Hewannya Berjenis Bahīmah al-An’ām

Bahīmah al-An’ām itu adalah unta, sapi, dan domba atau kambing, baik yang berjenis al-Dha’n atau yang berjenis al-Ma’z, berdasarkan firman Allah Swt: 

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)." (Surat al-Hajj: 34)

Artinya, jikalau ada yang mau kurban selain dengan jenis di atas, maka hukumnya tidak sah dan juga merupakan jawaban bagi orang yang bertanya pertanyaan serupa. Kalau ada yang berkurban dengan ayam atau pitik atau burung unta, hukumnya tidak sah. Apalagi berkurban dengan telurnya, jelas tidak sah. 

NB: Mungkin ada yang bertanya perbedaan antara al-Dha’n dengan al-Ma’z. Begini perbedaannya, al-Dha’n adalah Domba atau biri-biri adalah ruminansia dengan rambut tebal dan dikenal oleh banyak orang. Domba dipelihara untuk dimanfaatkan rambut, daging, dan susunya. Yang paling dikenal orang adalah domba peliharaan, yang diduga keturunan dari moufflon liar dari Asia Tengah bagian Selatan dan Barat Daya. Sedangkan al-Ma’z, itu adalah jenis yang bulu saja. Kita lebih mengenalnya dengan nama Kambing Jawa, bukan Domba. 


Kedua, Mencapai Usia Tertentu

Kalau mau Kurban, Anda harus memastikan usianya sudah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Syariat. Jikalau jenis al-Dha’n, maka sudah berjenis al-Jaz’ah, yaitu sudah berusia setengah tahun. Sedankan untuk yang lainnya, harus sudah berjenis al-Tsaniyyah, yaitu jikalau unta maka sudah berusia lima tahun, jikalau sapi sudah berusia dua tahun, jikalau kambing sudah berusia setahun. 

Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw: 

لا تذبحوا إلا مسنة إلا أن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن

“Janganlah kalian menyembelih kecuali yang Musinnah, kecuali kalian sulit mendapatkanya. Hendaklah kalian menyembelih al-Dha’n yang jenis al-Jaz’ah.” (Hr Muslim)


Ketiga, Hewan Terbebas dari Cacat atau Aib yang Menyebabkannya Tidak Memenuhi Syarat Sebagai Kurban. 

Ada beberapa cacat dalam ketentuan syariat yang menyebabkan hewan yang akan dikurbankan tidak layak: 

1- Nyata Butanya, yaitu tidak memiliki mata sama sekali, atau matanya bengkak layaknya tombol remote atau matanya memutih yang menunjukkan kebutaannya. 

2-Nyata Sakitnya, yaitu sakit yang efeknya nyata pada hewan yang akan dikurbankan, seperti demam yang menyebabkanna tidak bisa berjalan dan dikembalakan, serta membuatnya tidak mau makan. Atau bisa juga luka parah yang benar-benar mempengaruhi kesehatannya. 

3-Nyata Pincangnya, yaitu cacat yang menyebabkan hewan tersebut tidak bisa berjalan dengan normal. 

4-Nyata Tidak Berfungsi Akalnya dengan Normal atau Tidak ada Otaknya, sehingga hewan tersebut berlaku tidak keras, layaknya orang gila. 

Semua hal di atas, berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang suatu hari ditanya tentang kurban apa saja yang harus dihindari, kemudian beliau menjawab: 

أربعاً : العرجاء البين ظلعها ، والعوراء البين عورها ، والمريضة البين مرضها ، والعجفاء التي لا تنقى

“Ada empat; pincang yang jelas pincanng; celek yang nyata celeknya; sakit yang jelas sakitnya; gila yang tidak bisa diselamatkan.” (Diriwayatkan oleh Imām Mālik dalam al-Muwattha’ dari hadits al-Barrā’bin ‘Âzib.” 

Dalam riwayat lainnya dalam al-Sunan, juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda dengan lafadz: 

أربع لا تجوز في الأضاحي

“Empat yang tidak boleh dijadikan kurban…” Kemudian beliau menyebutkan jenis-jenis di atas. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albāny dalam Kitab Irwā’ al-Ghalīl (1148)

Jikalau 4 jenis cacat ini ada pada hewan yang akan dikurbankan, maka ia menjadi tidak layak untuk dikurbankan. Kemudian jikalau ada cacat semisalnya atau lebih parah, maka ia juga berhukum sama, tidak boleh dijadikan korban, yang mencakup beberapa cacat berikut ini: 

  1. Buta yang tidak bisa melihat sama sekali
  2. Hewan tamak yang makan tidak berbatas, semua dimakannya. 
  3. Hewan betina yang akan melahirkan, yang susah melahirkannya sampai selesai bahaya tersebut
  4. Mengalami sesuatu yang bisa membunuhnya, seperti tercekik atau jatuh dari ketinggian, sampai selesai masalahnya.
  5. Tidak mampu berjalan dengan baik karena sakit yang dideritanya. 
  6. Terputus salah satu tangannya atau kakinya. 

Jikalau ditambahkan dengan 4 cacat yang ada di dalam hadits, maka jumlah catatnya menjadi 10. Semua cacat ini menyebabkan tidak layaknya seekor hewan dijadikan sebagai kurban. 


Keempat, Hewan Tersebut Milik Orang yang akan Berkurban

Hewan yang akan dijadikan kurban harus milik orang yang akan berkurban, atau ia memiliki izin secara syariat untuk menjadikan hewan tersebut sebagai kurban. Tidak sah jikalau ia berkurban dengan hewan yang dicurinya atau dirampoknya atau dibelinya dengan barang haram. Tidak boleh beribadah kepada Allah SWT dengan cara bermaksiat kepada-Nya. 


Kelima, Hewan yang akan Dikurbankan, Tidak ada Kaitan dengan Hak Orang Lain

Dalam kasus ini, contohnya, adalah hewan yang digadaikan. Walaupun hewan itu ada bersamanya, dititipkan kepadanya, tapi hewan tersebut tetaplah milik orang yang menggadaikan. Sehingga, jikalau ia menjadikannya sebagai hewan kurban, hukumnya tidak sah. 


Keenam, Waktu Penyembelihan Kurban Sesuatu dengan Ketentuan Syariat

Kurban haruslah disembelih di waktu-waktu yang sudah ditentukan oleh Syariat, yaitu dimulai setelah shalat Hari Raya Idul Adha di hari ke-10 bulan Dzulhijjah, dan berakhir di Maghrib hari ke-13 bulan Dzulhijjah. Jadi, ada 4 hari waktu yang bisa digunakan untuk menyembahkan, yaitu 10, 11, 12, 13 di bulan Dzuhijjah. Sehingga, jikalau ada yang menyembelih sebelum shalat Hari Raya Idul Adha dikerjakan atau setelah Maghrib di hari ke-13 bulan Dzulhijjah, maka kurbannya tidak sah. Hukumnya sama dengan sembelihan biasa. 

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri, dari al-Barrā’ bin al-‘Âzib radhiyallahu anhu bahwa  beliau bersabda: 

من ذبح قبل الصلاة فإنما هو لحم قدمه لأهله وليس من النسك في شيء

“Siapa yang menyembelih sebelum shalat, maka ia adalah daging yang dipersembahkannya untuk keluarhanya, bukan kurban sama sekali.” 

Dalam hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Jundab bin Sufyān al-Bajaly radhiyallahu anhu bahwa ia menyaksikan Rasulullah Saw bersabda: 

من ذبح قبل أن يصلي فليعد مكانها أخرى

“Siapa yang menyembelih sebelum shalat, hendaklah ia mengulangnya dengan yang lainnya.” 

Diriwayatkan oleh Nabīsyah al-Hazaly bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر لله عز وجل

“Hari Tasyriq (11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah) adalah hari makan, minum, dan dzikir mengingat Allah SWT.” (Hr Muslim)

Jikalau sampai penyembelihan kurban dari waktu yang sudah ditentukan oleh Syariat, karena alasan-alasan yang sesuai dengan Syariat, seperti hewannya kabur dan tidak ditemukan kecuali setelah berlalunya hari Tasyriq, dan itu tidak dilakukan secara sengaja, maka tidak masalah menyembelihnya setelah itu dan dianggap sebagai kurban. 

Sama kasusnya dengan seseorang yang dititipi hewan kurban, kemudian orang yang dititipi lupa menyembelihnya sampai berlalu hari Tasyriq. Maka, tidak masalah menyembelihnya dan dianggap sebagai kurban. 

Masalah atau kasus ini diqiyaskan dengan kasus orang yang ketiduran atau shalat, maka ketika sadar atau bangun, hendaklah ia segera mengerjakan shalat. Dan Hukumnya sah. 

Oke. Begitulah catatan singkat kita seputar hokum dan syarat-syarat yang harus diperhatikan untuk hewan yang akan kita jadikan sebagai kurban. Tujuannya jelas, agar kurban kita sah dan diterima oleh Allah SWT. [] 

Takbir Mutlak & Muqayyad di Hari Raya Idul Adha

Takbir Mutlak & Muqayyad di Hari Raya Idul Adha

Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan yang mulia dalam Islam. Ada sejumlah dalil yang menjelaskan masalah ini, salah satunya adalah firman Allah SWT dalam al-Quran al-Karim, Surat al-Fajr ayat 1-2: 

والفجر وليال عشر

“Demi fajar. Demi malam yang sepuluh.” 

Ibn Abbas, Ibn al-Zubair, Mujâhid dan banyak lagi para Ulama Salaf dan Khalaf lainnya menjelaskan bahwa ia adalah sepuluh hari Dzulhijjah. Ibn Katsîr menjelaskan dalam Tafsirnya Tafsir Ibn Katsîr (8/ 413) bahwa itulah pendapat yang benar. 

Beramal di sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah ini sangat dianjurkan sekali oleh Rasulullah Saw, sebagaimana terdapat dalam haditsnya. 

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ .

فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ؟

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ . إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

“Tidak ada suatu hari pun, amal shaleh ketika itu lebih dicintai oleh Allah SWT dari hari-hari ini. Para sahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Allah wahai Rasulullah?”Beliau menjawab, “Tidak juga berjihad di jalan Allah SWT. Kecuali seseorang yang berangkat dengan jiwanya dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan apapun.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari 969, al-Turmudzi 757)


Sunnahnya Takbiran di Bulan Dzulhijjah

Salah satu sunnah yang hendaklah kita jalankan di bulan Dzulhijjah ini adalah Takbiran, berdasarkan sejumlah dalil dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Dalam firman-Nya dijelaskan: 

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir." (Surat al-Hajj: 28)

Bagian yang dihitamkan dan digaris bawahi dari ayat di atas, maksudnya adalah sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah. Di hari-hari ini, kita diperintahkan untuk mengingat Allah SWT dengan bertakbir, yang kita kenal dengan istilah Takbiran. 

Dalam ayat lainnya dijelaskan: 

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya." (Surat al-Baqarah: 203)

Maksudnya adalah hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Di ketiga hari ini, kita juga diperintahkan oleh Allah SWT untuk berdzikir mengingat-Nya, dengan bertakbir atau Takbiran. 

Rasulullah Saw bersabda: 

أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر الله عز وجل

Hari-Hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir mengingat Allah SWT.” (Hr Muslim 1141) 

Kita diperintahkan untuk makan dan minum, haram berpuasa. Kemudian kita diperintahkan untuk mengingat Allah SWT dengan bertakbir atau Takbiran. Ada unsur bersenang, tapi harus tetap bernuansa ibadah. 


Bentuk dan Lafadz Takbir atau Takbiran di Bulan Dzulhijjah, Khususnya Hari Raya Idul Adha

Takbiran di bulan Dzulhijjah khususnya, dan para hari raya secara umum,ada beberapa bentuk. Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Ini beberapa bentuk di antaranya: 


Pertama: 

الله أكبر .. الله أكبر .. لا إله إلا الله ، الله أكبر .. الله أكبر .. ولله الحمد

Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Lâ Ilâha Illallah… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar … Walillâhil Hamd…


Kedua: 

الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. لا إله إلا الله ، الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. ولله الحمد

Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Lâ Ilâha Illallah… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar … Allâhu Akbar … Walillâhil Hamd…


Ketiga:

الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. لا إله إلا الله ، الله أكبر .. الله أكبر .. ولله الحمد

Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Lâ Ilâha Illallah… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar … Walillâhil Hamd…


Masalah ini sebenarnya masalah yang lapang. Sebab, memang tidak ada Nash dari Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan bentuknya harus begini dan begini. Makanya, variasinya banyak sekali yang kita dengar di tengah masyarakat. 


Waktu Untuk Takbiran di Bulan Dzulhijjah; Antara al-Takbîir al-Muthlaq dengan al-Takbîr al-Muqayyad

Takbiran itu ada dua jenis: 


Pertama, Takbir Muthlaq

Maksudnnya, Takbiran yang tidak terikat dengan apapun, selalu disunnah baik pagi maupun sore, siang maupun malam, sebelum shalat dan setelah shalat, di setiap waktu. 


Kedua, Takbir Muqayyad

Maksudnya, Takbir yang dikumandangkan terikat dengan selesainya shalat lima waktu. 


Untuk Bulan Dzulhijjah, Takbir Muthlaq disunnahkan di sepuluh hari bulan Dzulhijjah dan Hari Tasyriq, dimulai dengan masuknya bulan Dzulhijjah, yaitu dengan terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Dzul Qa’dah, sampai hari terakhir Hari Tasyriq, yaitu dengan terbenamnya matahari di hari ke-13 bulan Dzulhijjah. 

Sedangkan Takbir Muqayyad, dimulai dari fajar hari Arafah sampai terbenamnya matahari di akhir hari Tasyriq, digabungkan dengan Takbir Muthlaq. Jikalau imam sudah salah di shalat wajib, setelah ia beristighfar 3 kali dan membaca: 

اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام

Allâhumma Antas Salâm wa minkas Salâm Tabârakta Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm

Maka, setelahnya, mulailah ia bertakbir. Ini bagi yang bukan haji, ya! Jikalau hati, maka Takbir Muqayyad dimulai ketika Zuhur di hari al-Nahr. 

Itulah sedikit catatan kita seputar Takbir atau Takbiran di Bulan Dzulhijjah secara umum, dan Idul Adha secara khususnya, yang dalam bahasa tulisan ini dikenal dengan nama Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad. []

Hal-Hal yang Terlarang bagi Orang yang Mau Kurban

Hal-Hal yang Terlarang bagi Orang yang Mau Kurban


Ketika bulan Dzulhijjah sudah masuk, kemudian salah seorang di antara kita ingin ikur serta berkurban nantinya di tanggal 10 Dzulhijjah atau di Hari Tasyriq, maka ia diharamkan untuk memotong rambutnya atau bagian rambutnya atau memotong kukunya atau bagian yang mengelupas kulitnya. 

Ada yang mengatakan bahwa yang terlarang itu memotong kuku dan bulu hewannya. Ini ngawur. Salah tenan.  Saya juga mendapatkan pesan serupa dalam pesan-pesan yang viral di WhastApp, dan banyak juga yang menanyakannya kepada saya mengenai kebenarannya. Kita akan membantahnya dengan penjelasan yang ada di bagian selanjutnya. 

Tapi tidak masalah jikalau ia mau memakai pakaian baru, menggunakan Hena dan wewangian atau Parfum, tidak masalah jikalau berhubungan suami istri atau segala hal yang menjadi mukaddimah hubungan tersebut. 

Tapi perlu diingat dengan baik, keharaman ini berlaku bagi Shāhib al-Qurbān, yaitu yang menjad atas nama kurban. Keharamannya tidak berlaku bagi keluarganya, tidak juga bagi bagi panitia atau orang yang diwakilkan untuk mengurus kurban tersebut. 

Hukum tersebut berlaku bagi laki-laki dan perempuan, baik berstatusnya suami maupun istri, menikah maupun belum. Haram bagi mereka untuk memotong kukunya, memotong rambutnya, dan sejenisnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits. 


Apa dalilnya? 

Sabda Rasulullah Saw: 

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

Jikalau kalian melihat hilal Dzulhijjah, kemudian salah seorang di antara kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri untuk tidak memangkas rambutnya dan kukunya.” (Riwayat Muslim, Nomor 1977)

Para Ulama dari al-Lajnah al-Dāimah mengatakan:

يشرع في حق من أراد أن يضحي إذا أهل هلال ذي الحجة ألا يأخذ من شعره ولا من أظافره ولا بشرته شيئاً حتى يضحي ؛ لما روى الجماعة إلا البخاري رحمهم الله ، عن أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره ) ولفظ أبي داود ومسلم والنسائي : ( من كان له ذِبح يذبحه فإذا أهل هلال ذي الحجة فلا يأخذنَّ من شعره ومن أظفاره شيئاً حتى يضحي ) سواء تولى ذبحها بنفسه أو أوكل ذبحها إلى غيره ، أما من يضحِّي عنه فلا يشرع ذلك في حقه ؛ لعدم ورود شيء بذلك ، ولا يسمى ذلك إحراماً ، وإنما المحرم هو الذي يحرم بالحج أو العمرة أو بهما " انتهى .

“Disyariatkan bagi siapa yang ingin berkurban, jikalau melihat hilal Dzulhijjah untuk tidak memotong rambutnya, tidak memotong kukunya dan mengambil kulitnya sedikit pun sampai ia berkurban, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Jamā’ah selain al-Bukhāri, dari Umm Salamah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jikakalau kalian melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian ingin berkurban, maka tahanlah diri untuk memotong rambut dan kukunya.” Kmeudian hadits denan lafadz riwayat Abu Daud, Muslim, dan al-Nasāi, “Siapa yang memiliki sembelihan yang akan disembelihnya, kemudian sudah tampak hilal Dzulhijjah, maka janganlah ia memotong sedikit pun rambutnya dan kukunya, sampai ia berkurban. “ Baik ia sendiri yang akan menyembelihnya maupun akan diwakilkkannya penyembelihannya kepada orang lain. Sedangkan jikalau orang yang disembelihkan atas namanya, maka tidak disyariatkan baginya karena tidak adanya dalil yang menjelaskannya. Ini sama sekali bukan Ihrām, sebab ia hanya berlaku untuk haji dan umrah.” 

(Lihatlah Fatāwa al-Lajnah al-Dāimah, 11/ 397, 398)


Kalau Melanggar Aturan di atas, Apa Hukumannya?

Jikalau ada yang ingin berkurban, kemudian melanggar aturan di atas, dengan memotong kukunya atau memangkas rambutnya, maka tidak ada kewajiban apapun di pundaknya. Hanya saja, ia harus bertaubat dan beristighfar memohon ampunan Allah SWT. 

Ibn Hazm mengatakan dalam kitabnya al-Muhalla (6/3): 

من أراد أن يضحي ففرض عليه إذا أهل هلال ذي الحجة أن لا يأخذ من شعره ولا من أظفاره شيئا حتى يضحي , لا بحلق , ولا بقص ولا بغير ذلك , ومن لم يرد أن يضحي لم يلزمه ذلك .

Siapa yang ingin berkurban, maka wajib baginya jikalau sudah tampak Hilal Dzulhijjah untuk tidak memotong rambutnya dan rambutnya sedikit pun sampai ia berkurban. Siapa yang tidak ingin berkurban, maka tidak ada kewajibannya.” 

Ibn Quddamah al-Maqdisy mengatakan dalam Kitabnya al-Mughny (9/ 346): 

إذا ثبت هذا , فإنه يترك قطع الشعر وتقليم الأظفار , فإن فعل استغفر الله تعالى ، ولا فدية فيه إجماعا , سواء فعله عمداً أو نسياناً

“Jikalau sudah jelas, maka ia tidak memangkas rambutnya dan memotong kukunya. Jikalau ia melakukannya, maka ia beristighfar memohon ampunan Allah SWT. Tidak ada fidyah atasnya karena hal itu berdasarkan Ijma’, baik dilakukannya dengan sengaja maupun karena lupa.”


Apa Hikmah Larangan Tersebut?

Mungkin salah satu pertanyaan terakhir yang sering kita tanyakan, atau sering dipertanyakan oleh orang lain kepada kita, apa hikmah di balik larangan tersebut? Kepana kita tidak boleh memangkas rambut dan memotong kuku? 

Masalah ini dijawab oleh Imam al-Syaukāni dalam Kitabnya Nail al-Awthār (5/ 133): 

والحكمة في النهي أن يبقى كامل الأجزاء للعتق من النار

Hikmah larangannya, agar semua anggota tubuh, semuanya tetap bebas dari Neraka.” 

Baik, itulah catatan kita seputar hal-hal yang terlarang dilakukan bagi orang yang ingin berkurban atau ikut berkurban. Semoga kurban-kurban yang kita sembelih, kita tumpahkan darahnya, diterima oleh Allah SWT. Sebab, sebagaimana firman-Nya, inti kurban sebenarnya adalah Takwa dan Ikhlas. []

Sunnah Berdiam Diri (I'tikaf) di Masjid Setelah Shalat Subuh

Sunnah Berdiam Diri (I'tikaf) di Masjid Setelah Shalat Subuh


Salah satu kebiasaan Rasulullah Saw setelah menunaikan shalat Subuh adalah berdiam diri di Masjid, berzikir kepada Allah SWT sampai terbitnya matahari. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى الْفَجْرَ جَلَسَ فِي مُصَلَّاهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَسناء

"Bahwa Nabi Saw jikalau sudah menunaikan shalat fajar (subuh), maka beliau duduk di Masjidnya sampai terbitnya matahari dengan indah." 

Maksud dengan "indah" disini adalah "meningginya", sekira-kira seperempat jam setelah Syuruq. 

Sunnah ini tentunya membutuhkan persiapan. Khususnya, persiapan waktu. Dimulai dengan tidur lebih awal agar tidak mengantuk berat di waktu fajar, atau memastikan tidak ada kegiatan urgen setelah shalat Subuh. Intinya, dipersiapkan waktu dan badan untuk menjalankannya. 

Dari riwayat al-Turmudzi, dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda, "Siapa yang mengerjakan shalat Subuh dengan berjamaah, kemudian ia duduk berzikir kepada Allah SWT sampai terbitnya matahari, kemudian shalat 2 rakaat, maka baginya pahala haji dan umrah." Kemudian beliau melanjutkan, "Sempurna, sempurna, sempurna." 

Haji dan Umrah adalah ibadah yang membutuhkan biaya yang besar. Apalagi haji, di Indonesia membutuhkan antrian yang panjang. Namun, Allah SWT melalui lisan Rasulnya memberikan kesempatan bagi setiap Muslim, mendapatkan pahala besar tersebut, walaupun ia masih berada di Negerinya. [] 

Sunnah Menyambung Silaturrahim dengan Orang yang Memutusnya

Sunnah Menyambung Silaturrahim dengan Orang yang Memutusnya


Seringkali kita menyangka, menyambung silaturrahim itu hanya dengan karib kerabat yang suka berbuat baik kepada kita. Sedangkan mereka yang suka berlaku jahat, tidak layak disilaturrahimi. Apalagi jikalau mereka yang mulai memutusnya.

Nyatanya, dalam Islam, silaturrahim yang hakiki itu adalah menyambung hubungan dengan orang-orang yang justru lebih dahulu memutus hubungan dengan kita. 

Ya, mereka yang sengaja memutusnya. 

Berat? Memang! Tapi disinilah pahala besarnya sekaligus ujiannya. 

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari Abdullah bin Amru radhiyallahu anhu, Nabi Saw bersabda: 

ليس الواصل بالمكافِئ، ولكن الواصل الذي إذا قُطعت رحمه وصلها

"Bukanlah orang yang menyambung silaturrahim itu dengan yang setara. Akan tetapi, orang yang menyambung silaturrahim itu adalah orang yang jikalau diputus silaturrahimnya, maka ia menyambungnya." 

Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, saya memiliki kerabat yang saya menyambung silaturrahim dengan mereka, namun mereka memutusnya. Saya berbuat baik kepada mereka, namun mereka berbuat buruk. Saya bersikap santun kepada mereka, namun mereka masa bodoh." 

Beliau menjawab, "Jikalau kondisinya sebagaimana Anda katakan, maka seakan-akan Anda meyuapi mereka dengan abu panas. Allah SWT akan selalu membantu Anda menghadapi mereka, selama Anda berada dalam keadaan seperti itu." 

Kadangkala pangkal masalah ini adalah kesalahpahaman. Pihak yang memutuskan menyangka di atas kebenaran, sebagaimana pihak yang diputuskan juga merasakan hal yang sama. Hati dan kepala yang dingin diperlukan agar solusi bisa ditemukan. 

Sunnah besar ini, mungkin bisa menjadi jalan kebaikan bagi kita bersama. []

Sunnah Memperbukakan Orang yang Berpuasa

Sunnah Memperbukakan Orang yang Berpuasa


Memberikan makan kepada orang yang kelaparan, pahalanya besar di dalam Islam. Dan pahalanya akan semakin besar, kalau seandainya orang yang kelaparan itu adalah orang yang sedang berpuasa, yang sedang menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. 

Ya. Sunnah yang kita bahas kali ini adalah Memperbukakan orang yang sedang berpuasa. 

Tidak harus orang fakir. Orang yang ekonominya menengah atau atas, juga masuk ke dalam objek sunnah ini. Semuanya. Dari golongan dan strata ekonomi apapun. 

Dalam hadits Shahih yang diriwayatkan al-Turmudzi dan selainnya, dari Zaid bin Khalid al-Juhani, Rasulullah Saw bersabda: 

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Siapa yang memperbukakan orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala semisalnua, tanpa dikurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun." 

Berapa besar pahalanya? 

Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu 'anhu menjawabnya. Ia mendengar Rasulullah Saw bersabda: 

 من صامَ يومًا في سبيلِ اللهِ زحزحَ اللَّهُ وجْهَهُ عنِ النَّارِ بذلِكَ اليومِ سبعينَ خريفًا

"Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah SWT, maka dijauhkan wajahnya dari Neraka karena hari yang dipuasakannya itu sebanyak 70 kharif (tahun)." 

Orang yang berpuasa dijauhkan dari Neraka, maka yang memperbukakan juga mendapatkan pahala yang sama. 

Kita bisa mengamalkan sunnah ini dengan memberikan menu buka sederhana atau lebih baik lagi kepada orang-orang yang berpuasa, baik wajib maupun sunnah. Kalau kita kebingungan kemana akan diarahkan, maka banyak pondok pesantren yang santrinya rutin puasa sunnah, seperti senin dan kamis, serta puasa-puasa sunnah lainnya. 

Semoga kita semuanya dimudahkan dalam kebaikan dan ketaatan. []

Sunnah Menyebarkan Salam

Sunnah Menyebarkan Salam


Masyarakat yang damai, penuh cinta dan kasih sayang merupakan masyarakat dambaan setiap Insan. Dan Rasulullah Saw sudah menjelaskan wasilah untuk meraihnya. Salah satunya adalah dengan menyebarkan salam. 

Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi Saw bersabda: 

لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا، ولا تؤمنوا حتى تحابوا، أوَلا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم؟ أفشوا السلام بينكم

"Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman, sampai kalian saling mencintai. Apakah kalian ingin aku tunjukkan sesuatu yang jikalau kalian melakukannya, maka kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian." 

Dan, ini bukan sekadar kepada orang yang kita kenal, namun juga yang tidak kita kenal. Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Amr, ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw tentang amalan apakah yang terbaik dalam Islam. Beliau menjawab, "Anda memberi makan (kepada orang lain), kemudian Anda mengucapkan salam kepada orang yang Anda kenal dan tidak Anda kenal." 

Semakin sering mengucapkan salam dan semakin lengkap ucapan salamnya, maka semakin banyak pahalanya. Dalam riwayat al-Turmudzi, dari Imran bin Hushain, ada seseorang mendatangi Nabi Muhammad Saw dan berucap, "Assalamualaikum." Beliau berkata, "sepuluh (pahala)." Kemudian datang lagi yang lainnya dan mengatakan, "Assalamualaikum warahmatullah." Beliau berkata, "Dua puluh." Kemudian datang lagi yang lainnya dan berkata, "Assalamualaikum warahmatullah wa barakatuhu." Beliau berkata, "Tiga puluh."

Ringan. Banyak pahala. 

Kita bisa mengucapkan salam ketika masuk rumah, kepada teman-teman di tempat kerja, kepada para pedagang dan pembeli yang ditemui di pasar, kepada orang-orang yang ditemui di jalan, kepada orang-orang yang kita temui di bis, kereta, pesawat, dan lain sebagainya. 

Termasuk kalau mendapati perkumpulan, maka ini juga kesempatan mendapatkan pahala salam. []