Sunnah Menunaikan Hajat Orang Lain

Sunnah Menunaikan Hajat Orang Lain


Salah satu hal yang paling menyakitkan, ketika kita membutuhkan bantuan, kemudian karib-kerabat dan para sahabat berpaling dan menghindar tidak mau memberikan bantuan, seolah-olah tidak mau tahu sama sekali. Abai dan cuek. 

Salah satu sunnah Nabi Muhammad Saw, tidaklah beliau menyaksikan seseorang mengalami masalah atau krisis, kecuali beliau berada di sampingnya, memberikan bantuan sesuai dengan kemampuannya, baik moril maupun materil. 

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: 

 المسلمُ أخو المسلمِ لا يظلِمُه ولا يُسلِمُه مَن كان في حاجةِ أخيه كان اللهُ في حاجتِه

"Seorang Muslim, saudara bagi Muslim lainnya; tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya. Siapa yang membantu hajat (kebutuhan) saudaranya, maka Allah SWT akan membantu hajatnya." 

Sunnahnya tidak akan pernah habisnya setiap hari.

Banyak yang membutuhkan bantuan. Saudara, teman, sahabat, tetangga, dan selainnya. Lakukan sesuai kemampuan. 

Bantuan itu bisa bermacam-macam. Bisa dengan harta, atau materi tertentu. Bisa juga dengan sikap atau perbuatan. Bisa juga dengan ide atau pandangan. 

Intinya, Allah SWT akan selalu memberikan pertolongan-Nya kepada kita, kapan pun kita butuh, selama kita juga peduli dengan hajat orang lain. []

Apa yang Perlu Diingatkan dan Ditegur?

Apa yang Perlu Diingatkan dan Ditegur?

 
Hikmah Keseratus Tujuh Puluh Lima

Apa yang Perlu Diingatkan dan Ditegur?

إِنَّمَا يُذَكَّرُ مَنْ يَجُوْزُ عَلَيْهِ الْإِغْفَالُ وَإِنَّمَا يُنَبَّهُ مَنْ يُمْكِنُ مِنْهُ الْإِهْمَالُ

“Yang diingatkan itu adalah yang bisa lalai, dan yang ditegur itu adalah yang teledor.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari

Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari


Orang yang layak diingatkan tentang permintaan adalah orang yang lalai. Sifat ini adalah tabiat asli manusia, yang selalu lupa dan lalai. Jikalau ia memegang hak orang lain, kemudian tidak diingatkan, maka bisa jadi ia akan lupa dan memakannya, atau memberikannya kepada keluarganya; padahal barang itu bukan haknya. Sifat seperti ini tidak berlaku bagi Allah Swt. Dia bersih dari segala sifat kekurangan. 

Dan apa hak Anda yang berada di tangan-Nya, sehingga Anda mengingatkan-Nya. Bukankah segala sesuatu adalah milik-Nya; termasuk apa yang Anda pegang dan miliki selama ini. Kepemilikan Anda hanyalah bersifat semu, sedangkan pemilik hakikinya adalah diri-Nya. Jadi, Dia tidak perlu diingatkan, karena Dia tidak pernah lalai sekejappun. 

Dan orang yang layak ditegur adalah orang yang lalai memberikan hak orang lain. Jikalau Anda menitipkan sesuatu kepada orang lain, kemudia ia lupa mengembalikannya, maka silahkanlah Anda menegurnya, karena itu adalah hak Anda. Sifat ini juga tidak berlaku bagi Allah Swt. Dia akan memberkan hak setiap hamba-Nya, tanpa perlu ditegur. 

Intinya, jikalau Anda berdoa hanya sekedar untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan, maka ini adalah sebuah kesalahan besar. Seolah-olah Anda menuduh-Nya tidak akan memberikan bagian Anda. Jikalau Anda berdoa, maka yakinilah dan kerjakanlah sebagai bentuk Ubudiyyah Anda kepada-Nya. 

Berdoalah Selalu Kepada Allah Swt

Berdoalah Selalu Kepada Allah Swt


Hikmah Keseratus Tujuh Puluh Empat

Berdoalah Selalu Kepada Allah Swt

رُبَمَا دَلَّهُمُ الْأَدَبُ عَلَى تَرْكِ الطَّلَبِ اعْتِمَادًا عَلَى قِسْمَتِهِ وَاشْتِغَالًا بِذِكْرِهِ

 عَنْ مَسْئَلَتِهِ

“Kadangkala adab menuntun mereka untuk tidak meminta (berdoa) karena bergantung dengan pembagian Allah Swt dan sibuk dengan zikir-Nya.”


Ibn Athaillah al-Sakandari

Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari


 Kadang-kadang Adab bersama Allah Swt menuntun orang-orang Arif dan bijaksana untuk tidak meminta kepada-Nya. Mereka takut jikalau hal ini masuk dalam kategori tidak beradab terhadap-Nya; padahal Dia telah menentukan rezki para hamba-Nya semenjak zaman azali. Semua itu semata-mata karunia-Nya, bukan karena ada intervensi atau usaha dari pihak lain. 

Meminta yang dimaksudkan disini adalah berdoa untuk sekedar mendapatkan sesuatu. Sedangkan jikalau berdoa untuk menunjukkan Ubudiyyah dan menjalankan hak Rububiyyah, maka itu adalah salah satu bentuk kesempurnaan dalam diri seorang hamba. 

Orang-Orang Arif biasanya lebih sibuk dengan berzikir mengingat-Nya, baik dengan lisan maupun hati, daripada meminta dan menuntut-Nya. Jikalau mereka sibuk mengingat-Nya, maka Dia akan memberikan sesuatu lebih baik dari apa yang diberikan-Nya kepada orang-orang yang meminta. Ketika Anda menyebut-nyebut nama-Nya, bukankah hal itu menunjukkan Anda membutuhkan-Nya dan fakir di hadapan-Nya. 

Cobalah Anda perhatikan di jalanan, bagaimana seorang pengemis selalu memanggil orang kaya yang dilihatnya berjalan di hadapan-Nya. Ia tidak mengatakan secara terus-terang, bahwa ia meminta duitnya, tetapi ia hanya menyeru. Namun seruannya itu sudah menunjukkan bahwa ia membutuhkan bantuan dan pemberian orang lain. 

Itulah hanyalah sekedar contoh. Dan Allah Swt Maha Mulia dari contoh yang rendah dan hina seperti ini. 

Kehendak Allah Swt Tempat Bergantung

Kehendak Allah Swt Tempat Bergantung


Hikmah Keseratus Tujuh Puluh Tiga

Kehendak Allah Swt Tempat Bergantung

إِنَّ الْمَشِيْئَةَ يَسْتَنِدُ كُلُّ شَيْءٍ وَلَا تَسْتَنِدُ هِيَ إِلَى شَيْءٍ

“Keinginan Allah Swt adalah tempat bersandar segala sesuatu, dan ia tidak bersandar kepada apapun.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari

Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari


Segala sesuatu yang ada di dunia ini bergantung dengan keinginan Allah Swt. Jikalau Anda melihat matahari yang memancarkan cahayanya dengan sangat terangnya, maka ketahuilah bahwa itu adalah atas kehendak-Nya. Andaikan saja Dia berkehendak lain, maka bisa jadi matahari itu redup dan tidak akan memancarkan lagi sinarnya selama-lamanya. 

Anda bisa bernafas dan berjalan pada hari ini, itu adalah karena keinginan-Nya. Andaikan Dia menginginkan Anda meninggal pada detik ini juga, maka Anda tidak akan pernah bisa menyelamatkan diri; walaupun Anda memiliki kecepatan yang luar biasa. Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang menunjukkan keinginan-Nya adalah penopang segala sesuatu. 

Sedangkan keinginan-Nya, maka ia tidak bergantung dengan apapun. Dia menciptakan ini dan itu adalah berdasarkan pilihan-Nya. Tidak ada seorangpun atau apapun yang mengintervensi-Nya. Jangan Anda pernah menyangka, bahwa apa yang Anda dapatkan adalah berkat usaha Anda sendiri, atau doa Anda. Tidak, sama sekali tidak. Itu adalah keinginan-Nya, yang sudah ditakdirkan menjadi bagian Anda. 

Antara Ketetapan Azali dengan Perbuatan

Antara Ketetapan Azali dengan Perbuatan


Hikmah Keseratus Tujuh Puluh Dua

Antara Ketetapan Azali dengan Perbuatan

عَلِمَ أَنَّ الْعِبَادَ يَتَشَوَّقُوْنَ إِلَى ظُهُوْرِ سِرِّ الْعِنَايَةِ, فَقَالَ: يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ, وَعَلِمَ أَنَّهُ لَوْ خَلَّاهُمْ وَذَلِكَ لَتَرَكُوْا الْعَمَلَ اعْتِمَادًا عَلَى الْأَزَلِ, فَقَالَ: إِنَّ رَحْمَةَ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Allah Swt mengetahui bahwa para hamba ingin mengetahui rahasia pertolongan-Nya, sehingga Dia berfirman: Dia mengkhususkan dengan rahmat-Nya siapapun yang diinginkan-Nya. Dia juga mengetahui bahwa jikalau mereka dibiarkan, tentu mereka tidak akan mau beramal, karena berpegang dengan apa yang sudah di tetapkan pada zaman Azali, sehingga Dia berfirman: Rahmat Allah Swt dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari

Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari


Allah Swt Maha Tahu mengenai apa yang tersirat di dalam hati Anda; sebagaimana Dia mengetahui semua detail perbuatan lahir yang Anda lakukan. Dia mengetahui, bahwa Anda ingin mengetahui rahasia para hamba; kenapa orang ini mendapatkan keistimewaan seperti ini, dan orang itu mendapatkan keistimewaan seperti itu. Untuk menuntaskan keinginan tahuan Anda ini, maka Dia menegaskan di dalam Al-Quran Al-Karim:   

“Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [Al-Baqarah: 105]

Artinya, Dia berhak memberikan keistimewaan tertentu kepada siapapun yang diinginkan-Nya. Dan ini tidak ada kaitannya dengan usaha seperti ini, maka akan mendapatkan hasil seperti ini; seperti yang diklaim sebahagian besar masyarakat. Ini berkaitan dengan hibah-Nya. Selama ini, pemikiran yang berkembang di kalangan masyarakat, bahwa jikalau seseorang ingin mendapatkan kelebihan tertentu, misalnya tahan besi, atau tidak mempan peluru dan sebagainya, maka ia harus mengamalkan ibadah-ibadah tertentu. Ini sama sekali tidak benar, dan tidak ada dalil yang menjelaskan, bahkan bisa masuk dalam kategori syirik, karena beribadah untuk mengharapkan sesuatu selain-Nya. Semua yang didapatkan oleh seseorang adalah karunia-Nya semata. 

Selain itu, Dia jugalah yang menentukan, siapakah di antara para hamba-Nya yang masuk ke dalam ketegori orang-orang yang mendapatkan hidayah-Nya dan berbahagia di Akhirat kelak, dan siapa pula yang masuk ke dalam kategori orang-orang yang sengsara dan akan mendiami nerakanya di Akhirat kelak. Semua itu sudah ada dalam catatan-Nya. 

Jikalau mereka diberitahukan tentang rahasia para hamba, maka mereka akan meninggalkan amal kebajikan, karena bergantung dengan apa yang sudah ditetapkan di Lauh Mahfudz. Padahal, amalan-amalan yang dkerjakannya selama di dunia ini adalah jalan dan sarana menggapai apa yang diharapkannya. Mereka akan menyangka, bahwa orang-orang yang sudah ditakdirkan bahagia, maka ia akan tetap bahagia; walaupun tidak beramal sama sekali. Dan orang-orang yang sudah ditakdirkan sengsara, maka ia akan sengsara; walaupuan melakukan banyak amalan. 

Untuk menghilangkan prasangka buruk ini, maka Dia berfirman dalam Al-Quran Al-Karim: 

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” [Al-A’raaf: 56]

Artinya, rahmat Allah Swt dekat dari orang-orang Muhsinin, yaitu orang-orang yang rajin mengerjakan amal shaleh. Dan ia jauh dari orang-orang Musi-in, yaitu orang-orang yang gemar mengerjakan amal-amal kejahatan. Ketentuan-Nya memang sudah ada semenjak zaman azali, namun perlu diingat bahwa Dia menjadikan alamat-alamat dan tanda-tanda yang menunjukkan masing-masing kelompok. Jikalau ia rajin mengerjakan amal-amal kebajikan, maka tentu ia termasuk kelompok Ihsan. Jikalau sebaliknya, tentu ia akan jauh dari sifat Ihsan. Dan Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan amalan para hamba-Nya. 

Tidak selayaknya seorang muslim meninggalkan amal kebajikan, ketaatan dan ibadah, karena bergantung dengan ketetapan Azali. Sama sekali tidak pantas.