Hal-Hal yang Terlarang bagi Orang yang Mau Kurban

Hal-Hal yang Terlarang bagi Orang yang Mau Kurban


Ketika bulan Dzulhijjah sudah masuk, kemudian salah seorang di antara kita ingin ikur serta berkurban nantinya di tanggal 10 Dzulhijjah atau di Hari Tasyriq, maka ia diharamkan untuk memotong rambutnya atau bagian rambutnya atau memotong kukunya atau bagian yang mengelupas kulitnya. 

Ada yang mengatakan bahwa yang terlarang itu memotong kuku dan bulu hewannya. Ini ngawur. Salah tenan.  Saya juga mendapatkan pesan serupa dalam pesan-pesan yang viral di WhastApp, dan banyak juga yang menanyakannya kepada saya mengenai kebenarannya. Kita akan membantahnya dengan penjelasan yang ada di bagian selanjutnya. 

Tapi tidak masalah jikalau ia mau memakai pakaian baru, menggunakan Hena dan wewangian atau Parfum, tidak masalah jikalau berhubungan suami istri atau segala hal yang menjadi mukaddimah hubungan tersebut. 

Tapi perlu diingat dengan baik, keharaman ini berlaku bagi Shāhib al-Qurbān, yaitu yang menjad atas nama kurban. Keharamannya tidak berlaku bagi keluarganya, tidak juga bagi bagi panitia atau orang yang diwakilkan untuk mengurus kurban tersebut. 

Hukum tersebut berlaku bagi laki-laki dan perempuan, baik berstatusnya suami maupun istri, menikah maupun belum. Haram bagi mereka untuk memotong kukunya, memotong rambutnya, dan sejenisnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits. 


Apa dalilnya? 

Sabda Rasulullah Saw: 

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

Jikalau kalian melihat hilal Dzulhijjah, kemudian salah seorang di antara kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri untuk tidak memangkas rambutnya dan kukunya.” (Riwayat Muslim, Nomor 1977)

Para Ulama dari al-Lajnah al-Dāimah mengatakan:

يشرع في حق من أراد أن يضحي إذا أهل هلال ذي الحجة ألا يأخذ من شعره ولا من أظافره ولا بشرته شيئاً حتى يضحي ؛ لما روى الجماعة إلا البخاري رحمهم الله ، عن أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره ) ولفظ أبي داود ومسلم والنسائي : ( من كان له ذِبح يذبحه فإذا أهل هلال ذي الحجة فلا يأخذنَّ من شعره ومن أظفاره شيئاً حتى يضحي ) سواء تولى ذبحها بنفسه أو أوكل ذبحها إلى غيره ، أما من يضحِّي عنه فلا يشرع ذلك في حقه ؛ لعدم ورود شيء بذلك ، ولا يسمى ذلك إحراماً ، وإنما المحرم هو الذي يحرم بالحج أو العمرة أو بهما " انتهى .

“Disyariatkan bagi siapa yang ingin berkurban, jikalau melihat hilal Dzulhijjah untuk tidak memotong rambutnya, tidak memotong kukunya dan mengambil kulitnya sedikit pun sampai ia berkurban, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Jamā’ah selain al-Bukhāri, dari Umm Salamah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jikakalau kalian melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian ingin berkurban, maka tahanlah diri untuk memotong rambut dan kukunya.” Kmeudian hadits denan lafadz riwayat Abu Daud, Muslim, dan al-Nasāi, “Siapa yang memiliki sembelihan yang akan disembelihnya, kemudian sudah tampak hilal Dzulhijjah, maka janganlah ia memotong sedikit pun rambutnya dan kukunya, sampai ia berkurban. “ Baik ia sendiri yang akan menyembelihnya maupun akan diwakilkkannya penyembelihannya kepada orang lain. Sedangkan jikalau orang yang disembelihkan atas namanya, maka tidak disyariatkan baginya karena tidak adanya dalil yang menjelaskannya. Ini sama sekali bukan Ihrām, sebab ia hanya berlaku untuk haji dan umrah.” 

(Lihatlah Fatāwa al-Lajnah al-Dāimah, 11/ 397, 398)


Kalau Melanggar Aturan di atas, Apa Hukumannya?

Jikalau ada yang ingin berkurban, kemudian melanggar aturan di atas, dengan memotong kukunya atau memangkas rambutnya, maka tidak ada kewajiban apapun di pundaknya. Hanya saja, ia harus bertaubat dan beristighfar memohon ampunan Allah SWT. 

Ibn Hazm mengatakan dalam kitabnya al-Muhalla (6/3): 

من أراد أن يضحي ففرض عليه إذا أهل هلال ذي الحجة أن لا يأخذ من شعره ولا من أظفاره شيئا حتى يضحي , لا بحلق , ولا بقص ولا بغير ذلك , ومن لم يرد أن يضحي لم يلزمه ذلك .

Siapa yang ingin berkurban, maka wajib baginya jikalau sudah tampak Hilal Dzulhijjah untuk tidak memotong rambutnya dan rambutnya sedikit pun sampai ia berkurban. Siapa yang tidak ingin berkurban, maka tidak ada kewajibannya.” 

Ibn Quddamah al-Maqdisy mengatakan dalam Kitabnya al-Mughny (9/ 346): 

إذا ثبت هذا , فإنه يترك قطع الشعر وتقليم الأظفار , فإن فعل استغفر الله تعالى ، ولا فدية فيه إجماعا , سواء فعله عمداً أو نسياناً

“Jikalau sudah jelas, maka ia tidak memangkas rambutnya dan memotong kukunya. Jikalau ia melakukannya, maka ia beristighfar memohon ampunan Allah SWT. Tidak ada fidyah atasnya karena hal itu berdasarkan Ijma’, baik dilakukannya dengan sengaja maupun karena lupa.”


Apa Hikmah Larangan Tersebut?

Mungkin salah satu pertanyaan terakhir yang sering kita tanyakan, atau sering dipertanyakan oleh orang lain kepada kita, apa hikmah di balik larangan tersebut? Kepana kita tidak boleh memangkas rambut dan memotong kuku? 

Masalah ini dijawab oleh Imam al-Syaukāni dalam Kitabnya Nail al-Awthār (5/ 133): 

والحكمة في النهي أن يبقى كامل الأجزاء للعتق من النار

Hikmah larangannya, agar semua anggota tubuh, semuanya tetap bebas dari Neraka.” 

Baik, itulah catatan kita seputar hal-hal yang terlarang dilakukan bagi orang yang ingin berkurban atau ikut berkurban. Semoga kurban-kurban yang kita sembelih, kita tumpahkan darahnya, diterima oleh Allah SWT. Sebab, sebagaimana firman-Nya, inti kurban sebenarnya adalah Takwa dan Ikhlas. []

Sunnah Berdiam Diri (I'tikaf) di Masjid Setelah Shalat Subuh

Sunnah Berdiam Diri (I'tikaf) di Masjid Setelah Shalat Subuh


Salah satu kebiasaan Rasulullah Saw setelah menunaikan shalat Subuh adalah berdiam diri di Masjid, berzikir kepada Allah SWT sampai terbitnya matahari. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى الْفَجْرَ جَلَسَ فِي مُصَلَّاهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَسناء

"Bahwa Nabi Saw jikalau sudah menunaikan shalat fajar (subuh), maka beliau duduk di Masjidnya sampai terbitnya matahari dengan indah." 

Maksud dengan "indah" disini adalah "meningginya", sekira-kira seperempat jam setelah Syuruq. 

Sunnah ini tentunya membutuhkan persiapan. Khususnya, persiapan waktu. Dimulai dengan tidur lebih awal agar tidak mengantuk berat di waktu fajar, atau memastikan tidak ada kegiatan urgen setelah shalat Subuh. Intinya, dipersiapkan waktu dan badan untuk menjalankannya. 

Dari riwayat al-Turmudzi, dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda, "Siapa yang mengerjakan shalat Subuh dengan berjamaah, kemudian ia duduk berzikir kepada Allah SWT sampai terbitnya matahari, kemudian shalat 2 rakaat, maka baginya pahala haji dan umrah." Kemudian beliau melanjutkan, "Sempurna, sempurna, sempurna." 

Haji dan Umrah adalah ibadah yang membutuhkan biaya yang besar. Apalagi haji, di Indonesia membutuhkan antrian yang panjang. Namun, Allah SWT melalui lisan Rasulnya memberikan kesempatan bagi setiap Muslim, mendapatkan pahala besar tersebut, walaupun ia masih berada di Negerinya. [] 

Sunnah Menyambung Silaturrahim dengan Orang yang Memutusnya

Sunnah Menyambung Silaturrahim dengan Orang yang Memutusnya


Seringkali kita menyangka, menyambung silaturrahim itu hanya dengan karib kerabat yang suka berbuat baik kepada kita. Sedangkan mereka yang suka berlaku jahat, tidak layak disilaturrahimi. Apalagi jikalau mereka yang mulai memutusnya.

Nyatanya, dalam Islam, silaturrahim yang hakiki itu adalah menyambung hubungan dengan orang-orang yang justru lebih dahulu memutus hubungan dengan kita. 

Ya, mereka yang sengaja memutusnya. 

Berat? Memang! Tapi disinilah pahala besarnya sekaligus ujiannya. 

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari Abdullah bin Amru radhiyallahu anhu, Nabi Saw bersabda: 

ليس الواصل بالمكافِئ، ولكن الواصل الذي إذا قُطعت رحمه وصلها

"Bukanlah orang yang menyambung silaturrahim itu dengan yang setara. Akan tetapi, orang yang menyambung silaturrahim itu adalah orang yang jikalau diputus silaturrahimnya, maka ia menyambungnya." 

Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, saya memiliki kerabat yang saya menyambung silaturrahim dengan mereka, namun mereka memutusnya. Saya berbuat baik kepada mereka, namun mereka berbuat buruk. Saya bersikap santun kepada mereka, namun mereka masa bodoh." 

Beliau menjawab, "Jikalau kondisinya sebagaimana Anda katakan, maka seakan-akan Anda meyuapi mereka dengan abu panas. Allah SWT akan selalu membantu Anda menghadapi mereka, selama Anda berada dalam keadaan seperti itu." 

Kadangkala pangkal masalah ini adalah kesalahpahaman. Pihak yang memutuskan menyangka di atas kebenaran, sebagaimana pihak yang diputuskan juga merasakan hal yang sama. Hati dan kepala yang dingin diperlukan agar solusi bisa ditemukan. 

Sunnah besar ini, mungkin bisa menjadi jalan kebaikan bagi kita bersama. []

Sunnah Memperbukakan Orang yang Berpuasa

Sunnah Memperbukakan Orang yang Berpuasa


Memberikan makan kepada orang yang kelaparan, pahalanya besar di dalam Islam. Dan pahalanya akan semakin besar, kalau seandainya orang yang kelaparan itu adalah orang yang sedang berpuasa, yang sedang menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. 

Ya. Sunnah yang kita bahas kali ini adalah Memperbukakan orang yang sedang berpuasa. 

Tidak harus orang fakir. Orang yang ekonominya menengah atau atas, juga masuk ke dalam objek sunnah ini. Semuanya. Dari golongan dan strata ekonomi apapun. 

Dalam hadits Shahih yang diriwayatkan al-Turmudzi dan selainnya, dari Zaid bin Khalid al-Juhani, Rasulullah Saw bersabda: 

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Siapa yang memperbukakan orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala semisalnua, tanpa dikurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun." 

Berapa besar pahalanya? 

Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu 'anhu menjawabnya. Ia mendengar Rasulullah Saw bersabda: 

 من صامَ يومًا في سبيلِ اللهِ زحزحَ اللَّهُ وجْهَهُ عنِ النَّارِ بذلِكَ اليومِ سبعينَ خريفًا

"Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah SWT, maka dijauhkan wajahnya dari Neraka karena hari yang dipuasakannya itu sebanyak 70 kharif (tahun)." 

Orang yang berpuasa dijauhkan dari Neraka, maka yang memperbukakan juga mendapatkan pahala yang sama. 

Kita bisa mengamalkan sunnah ini dengan memberikan menu buka sederhana atau lebih baik lagi kepada orang-orang yang berpuasa, baik wajib maupun sunnah. Kalau kita kebingungan kemana akan diarahkan, maka banyak pondok pesantren yang santrinya rutin puasa sunnah, seperti senin dan kamis, serta puasa-puasa sunnah lainnya. 

Semoga kita semuanya dimudahkan dalam kebaikan dan ketaatan. []

Sunnah Menyebarkan Salam

Sunnah Menyebarkan Salam


Masyarakat yang damai, penuh cinta dan kasih sayang merupakan masyarakat dambaan setiap Insan. Dan Rasulullah Saw sudah menjelaskan wasilah untuk meraihnya. Salah satunya adalah dengan menyebarkan salam. 

Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi Saw bersabda: 

لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا، ولا تؤمنوا حتى تحابوا، أوَلا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم؟ أفشوا السلام بينكم

"Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman, sampai kalian saling mencintai. Apakah kalian ingin aku tunjukkan sesuatu yang jikalau kalian melakukannya, maka kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian." 

Dan, ini bukan sekadar kepada orang yang kita kenal, namun juga yang tidak kita kenal. Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Amr, ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw tentang amalan apakah yang terbaik dalam Islam. Beliau menjawab, "Anda memberi makan (kepada orang lain), kemudian Anda mengucapkan salam kepada orang yang Anda kenal dan tidak Anda kenal." 

Semakin sering mengucapkan salam dan semakin lengkap ucapan salamnya, maka semakin banyak pahalanya. Dalam riwayat al-Turmudzi, dari Imran bin Hushain, ada seseorang mendatangi Nabi Muhammad Saw dan berucap, "Assalamualaikum." Beliau berkata, "sepuluh (pahala)." Kemudian datang lagi yang lainnya dan mengatakan, "Assalamualaikum warahmatullah." Beliau berkata, "Dua puluh." Kemudian datang lagi yang lainnya dan berkata, "Assalamualaikum warahmatullah wa barakatuhu." Beliau berkata, "Tiga puluh."

Ringan. Banyak pahala. 

Kita bisa mengucapkan salam ketika masuk rumah, kepada teman-teman di tempat kerja, kepada para pedagang dan pembeli yang ditemui di pasar, kepada orang-orang yang ditemui di jalan, kepada orang-orang yang kita temui di bis, kereta, pesawat, dan lain sebagainya. 

Termasuk kalau mendapati perkumpulan, maka ini juga kesempatan mendapatkan pahala salam. [] 

Hukum Syukuran Khitanan (Walimah al-Khitan)

Hukum Syukuran Khitanan (Walimah al-Khitan)


Bagaimana hokum tasyakuran atau syukuran khitanan/ sunatan menurut islam? Bagaimana hokum menghadiri undangan tersebut? Apakah dalil dari ayat atau hadits nabi (sunnah) tentang walimatul khitan?”

Pendapat Imam 4 Mazhab Mengenai Hukum Syukuran/ Walimah Khitanan & Hukum Menghadiri Undangannya

Di atas, kita sudah membahas masalah ini secara umum, namun jikalau kita mau lebih merinci masalahnya, mari kita melihat pandangan Imam 4 Mazhab mengenai masalah ini, lengkap dengan dalilnya dari al-Quran dan sunnah. 

Pendapat Pertama, Syukuran khitanan/ Walimah al-Khitan, hukumnya sunnah, kemudian menghadiri undangannya juga sunnah. Ini merupakan pendapat dari Mazhab Hanafi(Lihatlah Kitab al-Badai wa al-Shanai: 7/10), salah satu pendapat dalam Mazhab Syafii (Lihat Kitab al-Umm: 6/ 159). Dalam kitab al-Umm ini dijelaskan, “Semua undangan yang terkait dengan kepemilikan, atau nifas, atau khitan, atau peristiwa bahagia yang diundangkan oleh seseorang, maka itu dinamakan al-Walimah. Saya tidak memberikan keringanan/ dispensasi kepada seorang pun untuk tidak menghadirinya. Jikalau sampai ia tidak menghadirinya, maka ia bermaksiat kerena meninggalkannya, sebagaimana berlaku hokum yang sama untuk pesta pernikahan.” 

Pendapat ini juga salah satu pendapat dalam Mazhab Hanbali (Lihat Kitab al-Inshaf: 5/ 320)

Dalilnya apa?

Abu Hurairah radhiyallahu mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:

حق المسلم على المسلم خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس

“Hak muslim atas muslim lainnya; menjawab salam, membezuk orang yang sakit, mengantarkan jenazah, menghadiri undangan, dan mendoakan orang yang  bersin.” (Hr al-Bukhari)

Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asyari radhiyallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: 

فكوا العاني، وأجيبوا الداعي

“Bebaskanlah orang yang menderita, dan hadirilah orang yang mengundang.” (Hr al-Bukhari)

Kedua hadits di atas berhubungan dengan menjawab undangan. Sifatnya umum, mencakup semua undangan, baik walimah atau pesta pernikahan, syukuran khitanan, dan lain-lain. 

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

إذا دعي أحدكم إلى الوليمة، فليأتها

“Jikalau salah seorang di antara kalian diundang menghadiri walimah, maka datangilah.” (Hr al-Bukhari)

Dalam riwayat Ibn Abi Syaibah, dari Nafi mengatakan bahwa Ibn Umar berbagi makan untuk khitan anak-anak. 


Pendapat Kedua, Syukuran khitanan atau Walimah al-Khitan itu hukumnya sunnah bagi anak laki-laki, bukan anak perempuan. Sebab, jikalau diadakan juga syukuran bagi anak perempuan yang dikhitanan, ia akan merasa malu karenanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh al-Auzai dari pengikut Mazhab Syafii (Lihat Kitab Mughni al-Muhtaj: 4/ 403)

Dalilnya sama dengan kelompok pertama. Hanya saja, di kelompok kedua ini ada Ijtihad (pandangan) untuk membedakan antara anak laki-laki yang dikhitan dengan anak perempuan. 


Pendapat Ketiga, Syukuran Khitanan atau Walimah al-Khitan, hukumnya Mubah. Menghadiri undangannya juga Mubah. Inilah pendapat Mazhab Maliki (Lihat Kitab Mawahib al-Jalil: 34) dan Mazhab Hanbali (Lihat Kitab Muntaha al-Iradat: 3/ 33; Kitab Kassyaf al-Qanna’: 5 166).

Dalil adalah hokum dasar dalam Muamaah

الأصل في الأشياء الإباحة

“Hukum asal segala sesuatu adalah Mubah/ Boleh)

Kemudian juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw: 

ائتوا الدعوة إذا دعيتم

“Datangilah undangan jikalau kalian diundang.” (HR Muslim)

Kemubahannya ini merupakan pemalingan dari perintah di hadits di atas, karena bertentangan dengan  Atsar dari Utsman bin Abi al-Ash yang mengatakan: 

كنا لا نأتي الختان، ولا ندعى له على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Dahulu kami tidak mendatangi khitan, dan tidak diundang karenanya di zaman Rasulullah Saw.” 

Hanya saja riwayat ini dhaif/ lemah. 


Pendapat Keempat, Syukuran Khitanan itu Makruh, dan menghadirinya juga Makruh. Ini merupakan pendapat sebagian pengikut Mazhab Maliki (Lihat Kitab al-Hasyiyah: 2/ 337; Balghah al-Salik: 2/ 499) dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad (Lihat Kitab al-Inshaf: 8/ 321).

Dalilnya adalah hadits Utsman bin Abi al-Ash di atas. Makna Atsar itu dipegang, tanpa melihat hadits-hadits yang memerintahkannya. Sebab perintah menghadiri walimah adalah untuk walimah pernikahan, bukan khitanan. Begitu pendapat mereka.


Kesimpulan Hukum; Pendapat Terpilih & Catatan Penting

Tidak masalah mengadakan syukuran atau pesta atau walimah untuk acara khitan anak Anda, sebagai bentuk rasa bahagia, rasa senang, dan rasa syukur kepada Allah SWT yang sudah mengaruniakan nikmat-Nya kepada Anda. 

Ibn al-Quddamah mengatakan dalam kitabnya al-Mughni (7/ 286):

“Hukum undangan khitanan dan semua jenis undangan selain walimah adalah sunnah. Sebab dalam acara ini ada bagi-bagi makanan. Hukum mendatangi undangan ini adalah sunnah, bukan wajib. Ini adalah pendapat Malik, al-Syafii, Abu Hanifah, dan para pengikutnya. 

Menghadiri undangan, siapa saja yang mengundang, hukumnya sunnah. Sebab ketika menghadirinya, hati orang yang mengundang akan senang, jiwanya akan bahagia. Imam Ahmad pernah di undang ke acara khitanan, kemudian beliau menghadirinya dan makan makanannya.

Terkait undangan itu sendiri, khususnya bagi orang yang mengundang (yang mengadakan syukuran), tidak ada keutamaan khusus baginya, karena tidak ada dalil yang menjelaskan masalah ini dalam syariat. Kedudukanya adalah undangan tanpa sebab. Jikalau orang yang mengundang tersebut berniat syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang dikaruniakan kepada-Nya, memberi makan sahabat-sahabatnya dan bersedekah makanan, maka ia mendapatkan pahala, Insya Allah.” 

Fatwa al-Lajnah al-Daimah mengatakan: 

“Berbahagia karena khitan merupakan sesuatu yang dituntut dalam syariat. Sebab, khitan merupakan salah satu syariat Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: 

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah, dengan karunia Allah SWT dan rahmat-Nya, hendaklah mereka berbahagia. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Surat Yunus: 58)

Khitan merupakan salah satu karunia Allah SWT. Tidak masalah membuat makanan atas moment ini sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT.” 

(Lihatlah Fatawa al-Lajnah al-Daimah: 5/142)

Sebagai catatan, perlu diperhatikan bahwasanya hendaklah syukuran khitanan atau Walimah al-Khitan ini tidak mengadakan acara-acara yang bermuatan maksiat, seperti dangdutan, wayang semalan suntuk, dan selainnya. 

Dan untuk orang yang diundang, hendaklah menghadiri undangan yang diberikan kepada Anda. Jangan pula Anda bilang bidah atau sesat. Ini merupakan ruan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun satu hal pokok yang mungkn tidak boleh diabaikan; Tunaikan Hak Saudara Muslim Anda, yaitu datang jikalau diundang. []