Hukum Khitan Menurut 4 (Empat) Mazhab

Hukum Khitan Menurut 4 (Empat) Mazhab


Ada dua pendapat utama dalam masalah ini di kalangan 4 Mazhab. 

Pertama, Sunnah. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi. Walaupun mereka berpandangan bahwa hukumnya sunnah. Hanya saja, dalam pandangan mereka, jikalau ada seorang laki-laki meninggalkannya, maka ia dipaksa untuk melakukannya. 

Dalam Syarh Kitab Fath al-Qadir (1/ 63): 

“Dua khitan, yaitu bagian yang dipotong dari zak*ar dan kem*alu*an, hukumnya sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita. Sebab, berjima dengan perempuan yang dikhitan lebih nikmat. Dalam Nuzhul al-Fiqh dijelaskan bahwa hukumnya sunnah bagi keduanya. Hanya saja, jikalau ditinggalkan oleh laki-laki, maka dipaksa melakukannya kecuali dikhawatirkan kematiannya. Sedangkan jikalau perempuan meninggalkannya, maka tidak dipaksa.” (Lihatlah Kitab al-Fatawa al-Hindiyah: 6/ 445)

Dalam Kitab Hasyiyah Ibn Abidin (6/ 371) dijelaskan: 

“Khitan itu sunnah bagi laki-laki, merupakan bagian dari fitrah, tidak mungkin diabaikan. Dan ia merupakan kemuliaan bagi para wanita.” 

Lebih lanjut dijelaskan (6/ 751):

“Hukum asal untuk khitan adalah sunnah, sebagaimana terdapat dalam al-Khabar. Ia merupakan salah satu syiar Islam dan kekhususannya. Jikalau penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkannya, maka Imam memeranginya. Ia tidak boleh ditinggalkan kecuali karena udzur.” 

Kemudian dilanjutkan: 

“Dan khitan bagi perempuan, hukumnya tidak sunnah, tapi kemuliaan. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah.” 

Mazhab Maliki juga berpandangan sama. Hukumnya sunnah. Dalam Syarh al-Khirsy (3/ 48) dijelaskan, “Hukumnya sunnah bagi laki-laki, yaitu memotong kulit yang menutupi. Dan mustahab bagi para wanita.” (Lihatlah Kitab Hasyiyah al-Dasuqi: 126; dan Kitab al-Syarh al-Shaghir: 2 151)

Dalam Kitab al-Fawakih al-Dawani (1/ 394) dijelaskan, “Khitan itu sunnah, dan wajib bagi laki-laki. Siapa yang meninggalkannya tanpa uzur, maka tidak boleh menjadi Imam, tidak boleh persakskannya. Bahkan Ibn Syihab mengatakan, ‘Tidak sempurna keislaman seseorang kecuali dengan khitan” 

Dan pendapat ini, juga dianut oleh sebagian pengikut Mazhab Syafii (Lihat Kitab Tharh al-Tatsrib: 2/ 75)

Kedua,  Wajib. Ini merupakan pendapat yang Masyhur dalam Mazhab Syafii. Lihatlah Kitab al-Majmu: 1/ 349; Kitab Hasyiyah Qalyubi dan Umairah (4/ 211); Kitab Tuhfah al-Muhtaj: 9/ 198; Kitab Nihayah al-Muhtaj: 8/ 35; Kitab Futuhat al-Wahhab: 5/ 173. 

Ini juga merupakan pendapat dalam Mazhab Hanbali. Lihatlah Kitab al-Muharra (1/11); Kitab Kasyyaf al-Qina’ (1/ 80); Kitab al-Mubdi’ (1/ 103); Kitab al-Raudh al-Murabba’ (1/ 237). 

Itulah pendapat 4 mazhab terkait hokum khitan atau sunat ini. 


Dalil Masing-Masing Kelompok

Membahas pendapat para ulama tanpa melihat dalil, sepertinya belum lengkap dan belum kuat. Khawatirnya, hanya sekadar logika kosong tanpa landasan hokum dari al-Quran atau Sunnah. 

Yup. Mari kita lihat dalil masing-masing kelompok. 

#Kelompok yang menyatakan sunnah

 Diriwayatkan oleh Abu al-Mulaih bin Usamah, dari bapaknya bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: 

الختان سنة للرجال، مكرمة للنساء

“Khitan itu sunnah bagi laki-laki, dan kemuliaan bagi para wanita.” (Hr Ahmad)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa ia mendengar Nabi Muhammad Saw bersabda: 

الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط

“Fitrah itu ada lima; khitan, mencukur bulu kem*alu*an, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Hr Muslim)

Al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad bahwa Silm bin Abi al-Zayyal mengatakan, “Ia mendengar al-Hasan mengatakan, ‘Apakah kalian tidak heran dengan orang ini? (maksudnya, Malik bin al-Mundzir) Ia sengaja memeriksa para sepuh penduduk Kashkar ketika mereka masuk Islam, kemudian memerintahkan mereka untuk berkhitan di musim dingin ini. Ada kabar yang sampai kepadaku bahwa ada sebagiannya yang meninggal. Ada orang Rum dan Habsyah yang masuk Islam bersama Rasulullah Saw, namun mereka tidak diperiksa sedikit pun.” 

#Kelompok yang menyatakan Wajib

Ibrahim alaihissalam itu berkhitan, dan merupakan salah satu syariatnya. Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk mengikutinyam, sebagaimana firman Allah SWT: 

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (Surat al-Nahl: 123)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

اختتن إبراهيم - عليه السلام - وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم

“Ibrahim alaihissalam berkhitan ketika beliau berusia delapan puluh tahun di al-Qadwam.” (Hr Muslim)

Diriwayatkan oleh Utsaim bin Kulaib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa ia mendatangi Nabi Muhammad Saw, kemudian mengatakan, “Saya masuk Islam.” Kemudian beliau bersabda: 

ألقِ عنك شعر الكفر

“Buang darimu rambut kekufuran.” (Hr Muslim)

Maksudnya,khitan

Kelompok ini juga berpandangan  bahwa kulit kema*lu*an yang tidak dipotong menentukan sahnya shalat, layaknya orang yang menahan najis di mulutnya. Mereka juga mengatakan bahwa membuka aurat bagi orangyang dikhitan dan melihatnya bagi yang mengkhitan, hukumnya bleh. Padahal, hokum asalnya haram. Jikalau bukan karena wajib, maka ia tidak akan dibolehkan. 

Khitan merupakan salah satu syiar agama, yang membedakan antara muslim dengan kafir. Jikalau ada seseorang berkhitan di antara korban yang tidak berkhitan, maka orang tadi dishalatkan dan dikuburkan di kuburan kaum muslimin. 

Khitan itu memotong bagian tubuh yang sehat. Jikalau bukan karena hukumnya wajib, maka ia tidak akan dibolehkan layaknya memotong jari, yang hanya dibolehkan dalam kasus Qishas. 


Kesimpulan

Itulah perbedaan pendapat di kalangan ulama 4 Mazhab seputar masalah hokum khitan atau sunat. Jalan terbaik adalah berkhitan atau bersunat bagi seorang Muslim, utamanya bagi yang sudah mencapai usia baligh. Kalau pun ada Mazhab yang menyatakan sunnah, namun tetap ditegaskan bahwa jikalau ada laki-laki yang sengaja meninggalkannya, maka dipaksa melakukannya. Bahkan, kalau ada penduduk di suatu kampung tidak mau berkhitan atau bersunat, maka diperangi oleh Imam. []