Hukum Menggerakkan Kepala Atau Tubuh Dalam Shalat

Hukum Menggerakkan Kepala Atau Tubuh Dalam Shalat


Wajib bagi orang yang sedang shalat untuk merasakan sedang berdiri di hadapan Allah SWT; bermunajat kepada-Nya dengan segala pujian dan sanjungan; berdoa kepadanya agar diberikan Hidayah dan Ampunan. Dan itu tampak nyata dalam bentuk ketundukannya, kekhuysuannya dan ketawadhuannya dalam Rukuk dan Sujud. 

Tidak ada sikap yang lebih harus menjadi perhatian seseorang melebihi sikap ini. Makanya, ketika melakukannya, ia harus berada dalam kondisi anggota badan yang tenang; tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak disyariatkannya; tidak sibuk dengan jenggotnya; tidak sibuk merapikan pakaiannya, misalnya; tidak berpindah-pindah tempat; tidak melakukan sesuatu pun kecuali diizinkan dalam Syariat, seperti mengangkat kedua tangan ketika Takbir al-Ihram, ketika Rukuk, ketika Sujud, melirik ketika selesai shalat disertai salam. 

Para Ahli Fikih memiliki pandangan mengenai “Batasan Perbuatan” yang membatalkan shalat. Mereka bersepakat, salah satu yang membatalkan shalat adalah al-‘Amal al-Katsîr (Banyak Gerakan) yang tidak ada hubungannya dengan shalat, yaitu perbuatan jikalau dilihat oleh orang lain, maka ia akan berpandangan orang yang melakukannya tidak berada dalam kondisi shalat. Nah, banyak gerakan inilah yang membatalkan shalat, baik dilakukan sengaja maupun tidak. Sedangkan jikalau standanya dibawah itu; dalam artian orang yang melihat gerakannya masih menganggapnya berada dalam shalat, maka hukumnya tidak sampai membatalkan shalatnya. 

Dalam Kitab Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah dijelaskan bahwa Mazhab Syafii membatasi “Gerakan Banyak” itu dengan tiga langkat berturut-turut yang dilakukan secara yakin atau semaknanya, seperti melompat dengan sekali lompatan besar. Dan makna berurutan disini, salah satu langkah tidak terputus dari yang lainnya. Inilah pandangan yang Râjih (kuat) di kalangan mereka. 

Mazhab Hanafi berpandangan, “Banyak Gerakan” itu jikalau orang yang melihatnya, sama sekali tidak ragu lagi bahwa pelakunya tidak sedang mengerjakan shalat. Jikalau orang yang melihatnya masih meragu menyaksikannya; apakah ia sedang shalat atau tidak, maka berarti Gerakannya tidak banyak (sedikit).  

Mazhab Maliki berpandangan, “Gerakan Tidak Banyak” itu terbagi dua: Bagian yang Mutawassith (Pertengahan), seperti menghentikan shalat; hukumnya batal jikalau sengaja, namun tidak batal jikalau tidak sengaja. Kemudian Bagian yang Yasîr (sedikit), seperti memberi isyarat dan menggaruk kulit. Ini sama sekali tidak membatalkan, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak (lupa). 

Jikalau terjadi gerakan tubuh akibat Khusyu’, maka hukumnya tidak apa-apa berdasarkan kalam para Ahli Fikih. 
Hukum Menunda Shalat Isya

Hukum Menunda Shalat Isya


Ada dalil yang menunjukkan sunnahnya menunda shalat Isya, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana sabda Nabi Saw yang suatu hari menundanya sampai sepertiga malam seraya berkata: 

إنه لوقتها لولا أن أشق على أمتي

"Inilah waktunya jikalau aku tidak memberatkan umatku." (HR Abu Daud)

Jikalau tidak ada kesulitan, maka menundanya adalah lebih baik. Namun, jangan sampai menundanya melewati tengah malam, berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Amru, dari Nabi Saw bersabda: 

وقت العشاء إلى نصف الليل

"Waktu Isya sampai pertengahan malam." (Hr Muslim)

Sedangkan jikalau menundanya akan menyulitkan, maka terbaiknya adalah menyegerakan, berdasarkan riwayat Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, Nabi Saw bersabda: 

كان النبي صلى الله عليه وسلم في العشاء إذا رآهم اجتمعوا عجل ، وإذا رآهم أبطئوا أخر

"Nabi Saw dalam shalat Isya jikalau melihat mereka sudah berkumpul, maka beliau menyegerakan. Jikalau beliau mereka melihat lambat, maka beliau mengakhirkan." (Hr Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lainnya: 

كان النبي صلى الله عليه وسلم يستحب أن يؤخر العشاء

"Nabi Saw suka menuda Isya."(Hr Ahmad)


Kesimpulannya: 

Disunnahkan menundanya jikalau jikalau tidak ada kesulitan. Dan itu tidak boleh melewati tengah malam. []