Beda Laki-Laki & Perempuan Dalam Mengusap Kepala Ketika Wudhu

Beda Laki-Laki & Perempuan Dalam Mengusap Kepala Ketika Wudhu


Dari Umm al-Mukmin Aisyah radhiyallahu anha diriwayatkan, ia mengusap seluruh kepalanya. Dijelaskan oleh al-Nasai (100) dari Aisyah: 

أنها وَضَعَتْ يَدَهَا فِي مُقَدَّمِ رَأْسِهَا، ثُمَّ مَسَحَتْ رَأْسَهَا مَسْحَةً وَاحِدَةً إِلَى مُؤَخَّرِهِ، ثُمَّ أَمَرَّتْ يَدَهَا بِأُذُنَيْهَا

“Ia meletakkan tangannya di bagian depan kepalanya, kemudian mengusap seluruh kepalanya sampai bagian akhirnya, kemudian melewatkan tangannya di kedua telinganya.”

(Dishahihkan pensanadannya oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud)

Namun, ada juga riwayat shahih dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ahuma yang mencukupkan dengan mengusap sebagian kepala. Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq (1/6) dari Nafi': 

 أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي الْوَضُوءِ، فَيَمْسَحُ بِهِمَا مَسْحَةً وَاحِدَةً الْيَافُوخَ قَطْ

“Ibn Umar memasukkan kedua tangannya ke dalam air untuk berwudhu, kemudian mengusap bagian depan kepalanya dengan kedua tangannya, sekali usapan saja.”

Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah (1/ 22) dengan pensanadan yang shahih, dari Ibn Umar: 

أَنَّهُ كَانَ يَمْسَحُ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً

“Ia mengusap bagian depan kepalanya, sekali saja.” 

Ibn Hajar menjelaskan dalam Kitab Fath al-Bari (1/ 293): 

وَصَحَّ عَن ابن عمر الِاكْتِفَاء بمسح بعض الرَّأْس ، قَالَه ابن الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ وَلَمْ يَصِحَّ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَة إِنْكَار ذَلِك ، قَالَه ابن حَزْمٍ

“Shahih dari Ibn Umar yang mencukupkan diri dengan mengusap sebagian kepala. Hal ini disampaikan oleh Ibn al-Mundzir dan selainnya. Dan tidak ada riwayat shahih dari seorang pun sahabat Nabi Muhammad Saw yang mengingkarinya sebagaimana disampaikan oleh Ibn Hazm.” 


MENGUSAP KEPALA BAGI WANITA

Masalah mengusap rambut bagi perempuan, maka Imam Ahmad memiliki dua riwayat pendapat dalam masalah ini. 

Riwayat pertama, perempuan dan laki-laki hukumnya sama dalam mengusap kepala; wajib sempurna. 

Riwayat kedua, perempuan mengusap sebagian kepalanya, berbeda dengan laki-laki. Riwayat ini dishahihkan oleh kebanyakan pengikut Imam Ahmad. 

(Lihat Kitab al-Mughni: 1/ 87)

Sebab Imam Ahmad memberikan keringanan (Rukhshah) dalam masalah “mengusap kepala” bagi perempuan: 

Pertama, terkait masalah "mengusap kepala" itu yang diperbedakan maknanya oleh para Ulama. 

Kedua, kemudian riwayat Aisyah radhiyallahu anha yang melakukannya. 

Harb al-Kirmani menjelaskan: 

سئل أحمد : كيف تمسح المرأة برأسها؟ 

قال "من تحت الخمار، ولا تمسح على الخمار.

قيل له : فتمسح الرأس كله؟

 قال: قد قال بعضهم: تمسح مقدم رأسها، واختلفوا فيه.

فكأنه رخص فيه، ومذهبه: أن تمسح الرأس

Imam Ahmad ditanya: “Bagaimana wanita mengusap kepalanya?” 

Ia menjawab, “(mengusap) di bawah Jilbabnnya, dan tidak mengusap di atas Jilbabnya.” 

Ditanya lagi: “Apakah ia mengusap seluruh kepalanya.” 

Ia menjawab: “Sebagian Ulama mengatakan ia mengusap bagian depan kepalanya. Dan mereka berbeda pandangan mengenai hal ini.”

Seakan-akan ia memberikan keinganan (dalam masalah ini). Mazhabnya: Wanita itu harus mengusap seluruh kepalanya.

(Lihat Kitab Masail Harb: 125)

Utamanya, tidak mencukupkan diri dengan bagian depan kepala, karena kuatnya dalil-dalil yang menunjukkan untuk mengusap semua kepala, kemudian tidak adanya dalil-dalil shahih yang jelas lagi marfu' terkait adanya keringan dalam masalah tersebut. 

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah menjelaskan dalam Kitab Zaad al-Ma'ad (1/ 187): 

وَلَمْ يَصِحَّ عَنْهُ [يعني النبي صلى الله عليه وسلم] فِي حَدِيثٍ وَاحِدٍ أَنَّهُ اقْتَصَرَ عَلَى مَسْحِ بَعْضِ رَأْسِهِ الْبَتَّةَ، وَلَكِنْ كَانَ إِذَا مَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ كَمَّلَ عَلَى الْعِمَامَةِ

“Tidak ada riwayat shahih (dari Nabi Muhammad Saw) di satu satu hadits pun bahwa beliau mencukupkan diri dengan mengusap sebagian kepalanya. Namun, jikalau beliau mengusap bagian depan kepalanya, maka beliau menyempurnakannya dengan bagian atas ‘Imamahnya.”

Hanya saja, jikalau ada yang berpandangan bahwa perempuan mendapatkan keringan (Rukhshah) untuk membasuh bagian depan kepalanya saja, namun tidak boleh juga diingkari, sebab perbedaan pendapat dalam masalah ini cukup kuat. 

Syeikh Muhammad bin Utsaimin pernah ditanya, apakah disunnahkan bagi perempuan untuk mengusap kepalanya ketika berwudhu; dimulai dari depan kepalanya, kemudian ke bagian belakang kepala, kemudian ke bagian depannya lagi, seperti laki-laki. Maka, jawabannya: 

نعم . لأن الأصل في الأحكام الشرعية أن ما ثبت في حق الرجال ثبت في حق النساء، والعكس بالعكس ، ما ثبت في حق النساء ثبت في حق الرجال إلى بدليل ، ولا أعلم دليلاً يخصص المرأة في هذا.

وعلى هذا؛ فتمسح من مقدم الرأس إلى مؤخره ، وإن كان الشعر طويلاً فلن يتأثر بذلك ، لأنه ليس المعنى أن تضغط بقوة على الشعر حتى يتبلل أو يصعد إلى قمة الرأس ، إنما هو مسح بهدوء

“Iya, sebagai pada dasarnya dalam Hukum Syariat, apa yang ditetapkan bagi laki-laki, maka juga berlaku bagi perempuan. Begitu juga sebaliknya; apa yang diberlaku bagi perempuan, juga berlaku bagi laki-laki, kecuali ada dalilnya. Dan saya tidak mengetahui satu dalil pun yang mengkhususkan wanita dalam hal ini. 

Berdasarkan hal ini, maka ia mengusap bagian depan kepalanya sampai bagian belakanya. Jikalau rambutnya panjang, maka itu tidak masalah sama sekali. Sebab maknanya, bukan berarti ia harus menekan kuat rambutnya sampai basah atau sampai ke puncak kepala. Hanya perlu mengusap dengan tenang.” 

(Lihat Majmu' Fatwa al-Syaikh Ibn Utsaimin: 11/ 151)

Hukum Menggerakkan Kepala Atau Tubuh Dalam Shalat

Hukum Menggerakkan Kepala Atau Tubuh Dalam Shalat


Wajib bagi orang yang sedang shalat untuk merasakan sedang berdiri di hadapan Allah SWT; bermunajat kepada-Nya dengan segala pujian dan sanjungan; berdoa kepadanya agar diberikan Hidayah dan Ampunan. Dan itu tampak nyata dalam bentuk ketundukannya, kekhuysuannya dan ketawadhuannya dalam Rukuk dan Sujud. 

Tidak ada sikap yang lebih harus menjadi perhatian seseorang melebihi sikap ini. Makanya, ketika melakukannya, ia harus berada dalam kondisi anggota badan yang tenang; tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak disyariatkannya; tidak sibuk dengan jenggotnya; tidak sibuk merapikan pakaiannya, misalnya; tidak berpindah-pindah tempat; tidak melakukan sesuatu pun kecuali diizinkan dalam Syariat, seperti mengangkat kedua tangan ketika Takbir al-Ihram, ketika Rukuk, ketika Sujud, melirik ketika selesai shalat disertai salam. 

Para Ahli Fikih memiliki pandangan mengenai “Batasan Perbuatan” yang membatalkan shalat. Mereka bersepakat, salah satu yang membatalkan shalat adalah al-‘Amal al-Katsîr (Banyak Gerakan) yang tidak ada hubungannya dengan shalat, yaitu perbuatan jikalau dilihat oleh orang lain, maka ia akan berpandangan orang yang melakukannya tidak berada dalam kondisi shalat. Nah, banyak gerakan inilah yang membatalkan shalat, baik dilakukan sengaja maupun tidak. Sedangkan jikalau standanya dibawah itu; dalam artian orang yang melihat gerakannya masih menganggapnya berada dalam shalat, maka hukumnya tidak sampai membatalkan shalatnya. 

Dalam Kitab Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah dijelaskan bahwa Mazhab Syafii membatasi “Gerakan Banyak” itu dengan tiga langkat berturut-turut yang dilakukan secara yakin atau semaknanya, seperti melompat dengan sekali lompatan besar. Dan makna berurutan disini, salah satu langkah tidak terputus dari yang lainnya. Inilah pandangan yang Râjih (kuat) di kalangan mereka. 

Mazhab Hanafi berpandangan, “Banyak Gerakan” itu jikalau orang yang melihatnya, sama sekali tidak ragu lagi bahwa pelakunya tidak sedang mengerjakan shalat. Jikalau orang yang melihatnya masih meragu menyaksikannya; apakah ia sedang shalat atau tidak, maka berarti Gerakannya tidak banyak (sedikit).  

Mazhab Maliki berpandangan, “Gerakan Tidak Banyak” itu terbagi dua: Bagian yang Mutawassith (Pertengahan), seperti menghentikan shalat; hukumnya batal jikalau sengaja, namun tidak batal jikalau tidak sengaja. Kemudian Bagian yang Yasîr (sedikit), seperti memberi isyarat dan menggaruk kulit. Ini sama sekali tidak membatalkan, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak (lupa). 

Jikalau terjadi gerakan tubuh akibat Khusyu’, maka hukumnya tidak apa-apa berdasarkan kalam para Ahli Fikih. 
Pahala Puasa Asyura dan Tingkatan Puasanya

Pahala Puasa Asyura dan Tingkatan Puasanya


Suatu hari Rasulullah Saw ditanya tentang puasa Asyura. 

Maka, beliau menjawab: 

يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ

"Menggugurkan dosa tahun sebelumnya." 

Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, dengan pensanadannya kepada Abu Qatadah radhiyallahu anhu.


Ada sejumlah hadits lainnya yang terdapat dalam Shahih Muslim, mendorong kita untuk berpuasa sehari sesudahnya atau sehari sebelumnya. Di antaranya sabda Nabi Muhammad Saw: 

صوموا يوماً قبله أو يوماً بعده، خالفوا اليهود

"Berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Berbedalah dengan orang-orang Yahudi." 

Kenapa Yahudi?  Sebab, hari Asyura' adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi; Hari ketika Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa alaihissalam dan kaumnya dari kejaran Firaun. 


Ibn Hajar al-Asqalani  menjelaskan dalam Fath al-Bari bahwa ada tiga tingkatan untuk Puasa Asyura. 

Pertama, Berpuasa Sehari saja. 

Inilah tingkatan paling minimalis, yaitu hanya berpuasa di hari ke-10 bulan Muharram. Dengan puasa yang dilakukan oleh seorang Muslim, ia berhak mendapatkan fadhilahnya, yaitu mendapatkan pahala dan digugurkan dosanya setahun sebelumnya. 

Kedua, Berpuasa Disertai dengan Tanggal 9 Muharram

Artinya, kita berpuasa 2 hari; hari ke-9 dan ke-10 bulan Muharram. 

Ketiga, Berpuasa selama 3 hari, yaitu hari ke-9, ke-10, dan ke-11

Tidak diragui, inilah tingkatan yang paling tinggi dan terbaik. Selain mendapatkan pahala dan fadhilah Puasa Asyura, juga diharapkan mendapatkan pahala sempurna selama sebulan penuh. Sebab satu kebaikan, dilipatkan dengan sepuluh kebaikan. 

 مَن جَاءَ بالحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَأَزِيدُ، وَمَن جَاءَ بالسَّيِّئَةِ فَجَزَاؤُهُ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا أَوْ أَغْفِرُ

"Siapa yang membawa kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipatnya dan lebih banyak. Dan siapa yang membawa keburukan, maka balasannya satu keburukan semisalnya atau diampunkan." 

(Hr Muslim)

Pahala yang digugurkan, tentunya dosa-dosa kecil. Sedangkan dosa-dosa besar, obatnya kembali kepada Allah SWT dengan Taubat Nasuha; Tinggalkan maksiat itu sekarang ini juga, diiringi dengan penyesalan dan azzam yang kuat tidak akan mengulanginya lagi, ikhlas melakukannya karena mengharap ridha Allah SWT semata, kemudian sebelum nyawa sampai di kerongkongan, sebelum matahari terbit di sebelah Barat. 


Puasa terbaik setelah bulan Ramadhan adalah berpuasa di bulan Muharram.

Rasulullah Saw bersabda: 

أفضل الصِّيام، بعد رمضان، شَهر الله المُحَّرم، وأفضل الصلاة، بعد الفَريضة، صلاة الليل

"Sebaik-baik Puasa setelah Ramadhan adalah adalah (puasa) di bulan Muharram. Dan shalat terbaik setelah shalat wajib adalah shalat malam." 

(Hr Muslim). []

Hukum Cipika-Cipiki (Cium Pipi Kiri/Kanan)

Hukum Cipika-Cipiki (Cium Pipi Kiri/Kanan)


Secara Umum, Hukum Cium Pipi Kiri-Kanan atau dikenal juga dengan Cipika-Cipiki, bisa dibagi menjadi 3 Hukum. 

👉Pertama, Mubah

Jikalau itu dilakukan antara Laki-Laki sama Laki-Laki dan Perempuan sama Perempuan. Hanya saja ada syaratnya, yaitu harus bebas dari Fitnah, Merasakan Kenikmatan (al-Ladzzah), atau Tujuan Rusak (al-Ghard al-Fasid) seperti kefasikan; menyukai sesama jenis, dan semakna dengan itu.

👉Kedua, Sunnah

Jikalau itu dilakukan oleh pasangan Suami-Istri. Jangankan Cipika-Cipiki, jikalau statusnya sudah suami istri, maka lebih dari itu pun tidak ada masalah sama sekali. 

👉Ketiga, Haram

Jikalau Cipika-Cipiki itu dilakukan antara Laki-Laki dengan Perempuan yang tidak ada Hubungan Legal (Syar'i) sama sekali atau bukan Mahram sama sekali. Misalnya, seseorang Cipika-Cipiki dengan Ibunya atau Saudari Perempuan Kandungnya, atau Mahram Perempuannya, tidak ada masalah.


Pandangan Syeikh Athiyyah Saqr

Beliau ini merupakan salah seorang Ulama Besar al-Azhar, Mesir.

Jawabannya: 

إن كان التَّقْبيل بيْن الجنس الواحد، كالرَّجل للرجل والمرأة للمرأة فلا مانع منه شرعًا بشرْطين: 

الأوَّل : ألا يَكون فيه لذَّة. 

والثاني: ألا يكون لغَرَض فاسِد، ومنه تقْبيل يدِ الفاسق لتكْريمه، أما إن كان خَوْفًا من بطْشه فهو جَائز للضَّرورة. 

Selama masih satu jenis; sesama laki-laki atau sesama perempuan, maka DIBOLEHKAN, dengan 2 syarat: 

  1. Tidak ada al-Ladzzah (Kenikmatan) 
  2. Bukan untuk tujuan yang rusak, seperti mencium tangan pelaku kezaliman. Namun jikalau khawatir dengan kezalimannya, maka hukumnya BOLEH

Tradisi Cium Tangan dan Cium Kening (Dahi), baik kepada Ibu-Bapak, Kyai, Ustadz, atau siapa pun yang kita tuakan dan kita hormati, sesuatu yang lumrah di tengah masyarakat Muslim. Utamanya di Tradisi Pesantren (Baca: Santri)

Berikut ini, ada sejumlah Atsar yang mendukung masalah ini. Hanya saja, ini bersifat paparan. Jikalau ada yang ingin mendalami lebih dalam referensinya, silahkan merujuk dan melakukan penelitian. 

👉Nabi Muhammad Saw menyambut Jafar bin Abu Thalib ketika pulang dari Habsyah, kemudian melaziminya dan mencium keningnya.

👉Ketika Zaid bin Haritsah menemuinya di rumah Aisyah, kemudian beliau (saking gembiranya) berjalan sambil memakai pakaian. 

والله ما رأيتُه عُرْيَانًا قبْله ولا بعْده

Kemudian beliau memeluknya dan menciumnya. 

👉Para pasukan pulang yang baru dari Mu’tah, mereka mencium tangan Nabi Muhammad Saw. 

👉Ketika Allah SWT menerima pertaubatan orang-orang yang tidak ikut dalam perang Tabuk, mereka mencium tangan Nabi Muhammad Saw. 

👉Nabi Muhammad Saw mengizinkan utusan Abd al-Qays untuk mencium tangannya, bahkan kakinya.

👉Nabi Muhammad Saw mengizinkan Usaid bin Hudhair menciumnya, yaitu ketika ia meminta Nabi untuk membuka bajunya, untuk Qishas ketika dahulu pernah menusuknya dengan ranting kayu. Padahal aslinya untuk Tabarruk.

👉Ada dua orang Yahudi bertanya tentang Tis’ Ayat Bayyinat. Kemudian Nabi Muhammad Saw menjelaskannya. Setelah itu, keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya, kemudian masuk Islam. 

👉Ketika Umar bin al-Khattab mengunjungi Syam, maka Abu Ubaidah bin al-Jarrah mencium tangannya. Dalam riwayat lainnya, Abu Ubaidah bin al-Jarrah ingin mencium tangannya, namun Umar bin al-Khattab menahan tangannya. Maka, Abu Ubaidah justru memegangn kakinya dan menciumnya. 

👉Zaid bin Tsabit mencium tangan Abdullah bin Abbas ketika ia mengambilkan tunggangannya untuk menghormatinya sebagai ulama. Dan Zaid bin TSabit mencium tangannya karena ia adalah Ahli Bait

👉Orang-orang mencium tangan Salamah bin Al-Akwa' ketika mengetahuinya membaiat Nabi Muhammad Saw.


Pandangan Para Ulama

Imam Ahmad bin Hanbal dan sejumlah ulama lainnya memberingan keringanan mencium untuk memuliakan (al-Takrim) dan kebagusan agamanya (al-Tadayyun)

Imam Malik dan sejumlah ulama lainnya memakruhkan memberikan tangannya untuk dicium oran lain. Sebab, itu merupakan salah satu bentuk ujub dan kesombongan. Bahkan sebaiknya mereka menahan tangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin al-Khattab ketika Abu Ubaidah bin al-Jarrah ingin mencium tangannya. 


Kesimpulan Hukum

Ciuman di antara dua orang, hukumnya tergantung tujuannya dan tempat berciumannya. Bisa jadi karena kasih sayang (al-Hubb wa al-Rahmah), seperti ciuman bapak ke anak perempuannya atau ibu ke anak laki-lakinya. Termasuk juga ciuman saudara laki-laki terhadap saudari perempuannya, atau sebaliknya. Tidak ada masalah, selama tidak disertai syahwat. 

Ada sejumlah riwayat yang menjelaskan masalah ini.

👉Pertama, Nabi Muhammad Saw mencium anak perempuannya Fathimah ketika menemuinya. Beliau menyambutnya, menciumnya, dan menyuruhnya duduk di tempat duduknya. Bahkan, sejumlah riwayat dengan jelas menyatakan, bahwa beliau menciumnya di mulutnya, sebagaimana beliau juga menciumnya di sakit terakhirnya, yang menghantarkannya kepada kematian. 

👉Kedua, Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu anhu membesuk anaknya Aisyah radhiyallahu anha ketika sakit. Maka, ia mencium pipi anak perempuannya itu. 

👉Ketiga, Khalid bin al-Walid radhiyallahu anhu juga diriwayatkan mencium pipi saudari perempuannya. 

Ciuman itu bisajadi adalah bentuk al-Takrim (penghormatan), seperti ciuman anak laki-laki kepada ibunya, atau ciuman anak perempuan kepada bapaknya, atau ciuman terhadap bibi dari pihak ayah atau pihak ibu. Biasanya di kepala atau tangan. Itu tidak ada masalah sama sekali. Namun jikalau dilakukan di bagian-bagian yang sensitif.

Bisa jadi juga ciuman itu ada kenikmatannya atau al-Lazzah, yaitu di antara pasangan suami istri. Maka, hukumnya tidak apa-apa. Bahkan, yang lebih besar dari itu diizinkan. 

Hanya saja, ciuman di antara orang-orang yang tidak mahram, maka hukumnya Haram. 

Allahu A'lam bi al-Shawab

Apa itu Shalawat Ibrahimiyyah?

Apa itu Shalawat Ibrahimiyyah?


Ada sejumlah riwayat yang menjelaskan Shalawat Ibrahimiyyah dari Nabi Muhammad Saw. 

👉Pertama, Lafadznya: 

اللهم صل على محمد، وعلى آل محمد، كما صليت على آل إبراهيم، وبارك على محمد، وعلى آل محمد، كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد

(Allahumma Shalli ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, Kama Shallayta 'ala ali Ibrahim. Wa Barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammadi, Kama Barakta 'ala ali Ibrahim. Fil 'alamina Innaka Hamidun Majid)

👉Kedua, Lafadznya: 

اللهم صل على محمد، وعلى آل محمد، كما صليت على إبراهيم، وعلى آل إبراهيم، إنك حميد مجيد، اللهم بارك على محمد، وعلى آل محمد، كما باركت على إبراهيم، وعلى آل إبراهيم، إنك حميد مجيد

(Allahumma Shalli ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, Kama Shallayta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim. Innaka Hamidun Majid.  Wa Barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammadi, Kama Barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim. Innaka Hamidun Majid)

👉Ketiga, Lafadznya: 

اللهم صل على محمد عبدك ورسولك، كما صليت على إبراهيم ، وبارك على محمد، وعلى آل محمد، كما باركت على إبراهيم، وعلى آل إبراهيم، إنك حميد مجيد

(Allahuma Shalli 'ala Muhammadin 'Abdika wa Rasulika, Kama Shallayta 'ala Ibrahim. Wa Barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad. Kama Barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim. Innaka Hamidun Majid)

👉Keempat, Lafadznya: 

اللهم صل على محمد، وعلى أزواجه، وذريته، كما صليت على آل إبراهيم ، وبارك على محمد، وعلى أزواجه، وذريته، كما باركت على آل إبراهيم، إنك حميد مجيد

(Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa 'ala Azwajihi wa Dzurriyyatihi. Kama Shallayta 'ala ali Ibrahim. Wa Barik 'ala Muhammad wa 'ala Azwajihi wa Dzurriyyatihi. Kama Barakta 'ala ali Ibrahim. Innaka Hamidun Majid. 

Semua bentuk Shalawat Ibrahimiyyah di atas, itu shahih dari Nabi Muhammad Saw. Membaca salah satunya saja, itu sudah cukup dan shahih. Bahkan kalaupun dibaca singkat: 

اللهم صل وسلم على رسول الله

(Allahuma Shalli wa Sallim 'ala Rasulillah)

Itu sudah cukup. 

Begitu juga halnya jikalau selesai Muazzin mengumandangkan azan, maka kita bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw dengan membaca: 

اللهم رب هذه الدعوة التامة، والصلاة القائمة، آت محمدًا الوسيلة والفضيلة، وابعثه مقامًا محمودًا الذي وعدته، إنك لا تخلف الميعاد

(Allahumma Rabba Hadzihid Dakwatit Tammah, was Shalatil Qaimah. Ati Muhammadanil Wasilata wal Fadhilah, Wab'atshu Maqamam Mahmudanilladzi Wa'adtah, Innaka La Tukhliful Mi'ad)

"Ya Allah, Rabb seruan yang sempurna ini dan shalat yang akan didirikan, berikanlah Muhammad al-Wasilah dan keutamaan, bangkitkanlah ia Maqam Mahmud yang Engkau janjikan. Engkau tidak menyelisihi janji." []

Syarat-Syarat Hewan yang akan Dikurbankan

Syarat-Syarat Hewan yang akan Dikurbankan


Berkurban adalah salah satu sunnah Rasulullah Saw. Hukumnya sunnah Muakkadah menurut Jumhur Ulama, bahkan Mazhab Hanafi menyatakannya wajib. Jikalau ada kemampuan, hendaklah kita melakukannya. Sebab dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa jikalau seseorang memiliki kelapangan untuk berkurban, kemudian ia tidak berkurban, maka jangan dekati Masjid kami dan Mushallah kami, kata Rasulullah Saw. Ini adalah ancaman yang serius. 

Hanya saja, untuk terwujudnya kurban yang benar dan sesuai syariat, ada beberapa syarat yang perlu kita perhatikan ketika kita berniat untuk ikut serta berkurban di Hari Raya Idul adha atau Hari Raya Kurban. 

Apa sajakah itu?


Pertama, Hewannya Berjenis Bahīmah al-An’ām

Bahīmah al-An’ām itu adalah unta, sapi, dan domba atau kambing, baik yang berjenis al-Dha’n atau yang berjenis al-Ma’z, berdasarkan firman Allah Swt: 

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)." (Surat al-Hajj: 34)

Artinya, jikalau ada yang mau kurban selain dengan jenis di atas, maka hukumnya tidak sah dan juga merupakan jawaban bagi orang yang bertanya pertanyaan serupa. Kalau ada yang berkurban dengan ayam atau pitik atau burung unta, hukumnya tidak sah. Apalagi berkurban dengan telurnya, jelas tidak sah. 

NB: Mungkin ada yang bertanya perbedaan antara al-Dha’n dengan al-Ma’z. Begini perbedaannya, al-Dha’n adalah Domba atau biri-biri adalah ruminansia dengan rambut tebal dan dikenal oleh banyak orang. Domba dipelihara untuk dimanfaatkan rambut, daging, dan susunya. Yang paling dikenal orang adalah domba peliharaan, yang diduga keturunan dari moufflon liar dari Asia Tengah bagian Selatan dan Barat Daya. Sedangkan al-Ma’z, itu adalah jenis yang bulu saja. Kita lebih mengenalnya dengan nama Kambing Jawa, bukan Domba. 


Kedua, Mencapai Usia Tertentu

Kalau mau Kurban, Anda harus memastikan usianya sudah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Syariat. Jikalau jenis al-Dha’n, maka sudah berjenis al-Jaz’ah, yaitu sudah berusia setengah tahun. Sedankan untuk yang lainnya, harus sudah berjenis al-Tsaniyyah, yaitu jikalau unta maka sudah berusia lima tahun, jikalau sapi sudah berusia dua tahun, jikalau kambing sudah berusia setahun. 

Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw: 

لا تذبحوا إلا مسنة إلا أن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن

“Janganlah kalian menyembelih kecuali yang Musinnah, kecuali kalian sulit mendapatkanya. Hendaklah kalian menyembelih al-Dha’n yang jenis al-Jaz’ah.” (Hr Muslim)


Ketiga, Hewan Terbebas dari Cacat atau Aib yang Menyebabkannya Tidak Memenuhi Syarat Sebagai Kurban. 

Ada beberapa cacat dalam ketentuan syariat yang menyebabkan hewan yang akan dikurbankan tidak layak: 

1- Nyata Butanya, yaitu tidak memiliki mata sama sekali, atau matanya bengkak layaknya tombol remote atau matanya memutih yang menunjukkan kebutaannya. 

2-Nyata Sakitnya, yaitu sakit yang efeknya nyata pada hewan yang akan dikurbankan, seperti demam yang menyebabkanna tidak bisa berjalan dan dikembalakan, serta membuatnya tidak mau makan. Atau bisa juga luka parah yang benar-benar mempengaruhi kesehatannya. 

3-Nyata Pincangnya, yaitu cacat yang menyebabkan hewan tersebut tidak bisa berjalan dengan normal. 

4-Nyata Tidak Berfungsi Akalnya dengan Normal atau Tidak ada Otaknya, sehingga hewan tersebut berlaku tidak keras, layaknya orang gila. 

Semua hal di atas, berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang suatu hari ditanya tentang kurban apa saja yang harus dihindari, kemudian beliau menjawab: 

أربعاً : العرجاء البين ظلعها ، والعوراء البين عورها ، والمريضة البين مرضها ، والعجفاء التي لا تنقى

“Ada empat; pincang yang jelas pincanng; celek yang nyata celeknya; sakit yang jelas sakitnya; gila yang tidak bisa diselamatkan.” (Diriwayatkan oleh Imām Mālik dalam al-Muwattha’ dari hadits al-Barrā’bin ‘Âzib.” 

Dalam riwayat lainnya dalam al-Sunan, juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda dengan lafadz: 

أربع لا تجوز في الأضاحي

“Empat yang tidak boleh dijadikan kurban…” Kemudian beliau menyebutkan jenis-jenis di atas. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albāny dalam Kitab Irwā’ al-Ghalīl (1148)

Jikalau 4 jenis cacat ini ada pada hewan yang akan dikurbankan, maka ia menjadi tidak layak untuk dikurbankan. Kemudian jikalau ada cacat semisalnya atau lebih parah, maka ia juga berhukum sama, tidak boleh dijadikan korban, yang mencakup beberapa cacat berikut ini: 

  1. Buta yang tidak bisa melihat sama sekali
  2. Hewan tamak yang makan tidak berbatas, semua dimakannya. 
  3. Hewan betina yang akan melahirkan, yang susah melahirkannya sampai selesai bahaya tersebut
  4. Mengalami sesuatu yang bisa membunuhnya, seperti tercekik atau jatuh dari ketinggian, sampai selesai masalahnya.
  5. Tidak mampu berjalan dengan baik karena sakit yang dideritanya. 
  6. Terputus salah satu tangannya atau kakinya. 

Jikalau ditambahkan dengan 4 cacat yang ada di dalam hadits, maka jumlah catatnya menjadi 10. Semua cacat ini menyebabkan tidak layaknya seekor hewan dijadikan sebagai kurban. 


Keempat, Hewan Tersebut Milik Orang yang akan Berkurban

Hewan yang akan dijadikan kurban harus milik orang yang akan berkurban, atau ia memiliki izin secara syariat untuk menjadikan hewan tersebut sebagai kurban. Tidak sah jikalau ia berkurban dengan hewan yang dicurinya atau dirampoknya atau dibelinya dengan barang haram. Tidak boleh beribadah kepada Allah SWT dengan cara bermaksiat kepada-Nya. 


Kelima, Hewan yang akan Dikurbankan, Tidak ada Kaitan dengan Hak Orang Lain

Dalam kasus ini, contohnya, adalah hewan yang digadaikan. Walaupun hewan itu ada bersamanya, dititipkan kepadanya, tapi hewan tersebut tetaplah milik orang yang menggadaikan. Sehingga, jikalau ia menjadikannya sebagai hewan kurban, hukumnya tidak sah. 


Keenam, Waktu Penyembelihan Kurban Sesuatu dengan Ketentuan Syariat

Kurban haruslah disembelih di waktu-waktu yang sudah ditentukan oleh Syariat, yaitu dimulai setelah shalat Hari Raya Idul Adha di hari ke-10 bulan Dzulhijjah, dan berakhir di Maghrib hari ke-13 bulan Dzulhijjah. Jadi, ada 4 hari waktu yang bisa digunakan untuk menyembahkan, yaitu 10, 11, 12, 13 di bulan Dzuhijjah. Sehingga, jikalau ada yang menyembelih sebelum shalat Hari Raya Idul Adha dikerjakan atau setelah Maghrib di hari ke-13 bulan Dzulhijjah, maka kurbannya tidak sah. Hukumnya sama dengan sembelihan biasa. 

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri, dari al-Barrā’ bin al-‘Âzib radhiyallahu anhu bahwa  beliau bersabda: 

من ذبح قبل الصلاة فإنما هو لحم قدمه لأهله وليس من النسك في شيء

“Siapa yang menyembelih sebelum shalat, maka ia adalah daging yang dipersembahkannya untuk keluarhanya, bukan kurban sama sekali.” 

Dalam hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Jundab bin Sufyān al-Bajaly radhiyallahu anhu bahwa ia menyaksikan Rasulullah Saw bersabda: 

من ذبح قبل أن يصلي فليعد مكانها أخرى

“Siapa yang menyembelih sebelum shalat, hendaklah ia mengulangnya dengan yang lainnya.” 

Diriwayatkan oleh Nabīsyah al-Hazaly bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر لله عز وجل

“Hari Tasyriq (11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah) adalah hari makan, minum, dan dzikir mengingat Allah SWT.” (Hr Muslim)

Jikalau sampai penyembelihan kurban dari waktu yang sudah ditentukan oleh Syariat, karena alasan-alasan yang sesuai dengan Syariat, seperti hewannya kabur dan tidak ditemukan kecuali setelah berlalunya hari Tasyriq, dan itu tidak dilakukan secara sengaja, maka tidak masalah menyembelihnya setelah itu dan dianggap sebagai kurban. 

Sama kasusnya dengan seseorang yang dititipi hewan kurban, kemudian orang yang dititipi lupa menyembelihnya sampai berlalu hari Tasyriq. Maka, tidak masalah menyembelihnya dan dianggap sebagai kurban. 

Masalah atau kasus ini diqiyaskan dengan kasus orang yang ketiduran atau shalat, maka ketika sadar atau bangun, hendaklah ia segera mengerjakan shalat. Dan Hukumnya sah. 

Oke. Begitulah catatan singkat kita seputar hokum dan syarat-syarat yang harus diperhatikan untuk hewan yang akan kita jadikan sebagai kurban. Tujuannya jelas, agar kurban kita sah dan diterima oleh Allah SWT. [] 

Takbir Mutlak & Muqayyad di Hari Raya Idul Adha

Takbir Mutlak & Muqayyad di Hari Raya Idul Adha

Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan yang mulia dalam Islam. Ada sejumlah dalil yang menjelaskan masalah ini, salah satunya adalah firman Allah SWT dalam al-Quran al-Karim, Surat al-Fajr ayat 1-2: 

والفجر وليال عشر

“Demi fajar. Demi malam yang sepuluh.” 

Ibn Abbas, Ibn al-Zubair, Mujâhid dan banyak lagi para Ulama Salaf dan Khalaf lainnya menjelaskan bahwa ia adalah sepuluh hari Dzulhijjah. Ibn Katsîr menjelaskan dalam Tafsirnya Tafsir Ibn Katsîr (8/ 413) bahwa itulah pendapat yang benar. 

Beramal di sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah ini sangat dianjurkan sekali oleh Rasulullah Saw, sebagaimana terdapat dalam haditsnya. 

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ .

فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ؟

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ . إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

“Tidak ada suatu hari pun, amal shaleh ketika itu lebih dicintai oleh Allah SWT dari hari-hari ini. Para sahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Allah wahai Rasulullah?”Beliau menjawab, “Tidak juga berjihad di jalan Allah SWT. Kecuali seseorang yang berangkat dengan jiwanya dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan apapun.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari 969, al-Turmudzi 757)


Sunnahnya Takbiran di Bulan Dzulhijjah

Salah satu sunnah yang hendaklah kita jalankan di bulan Dzulhijjah ini adalah Takbiran, berdasarkan sejumlah dalil dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Dalam firman-Nya dijelaskan: 

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir." (Surat al-Hajj: 28)

Bagian yang dihitamkan dan digaris bawahi dari ayat di atas, maksudnya adalah sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah. Di hari-hari ini, kita diperintahkan untuk mengingat Allah SWT dengan bertakbir, yang kita kenal dengan istilah Takbiran. 

Dalam ayat lainnya dijelaskan: 

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya." (Surat al-Baqarah: 203)

Maksudnya adalah hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Di ketiga hari ini, kita juga diperintahkan oleh Allah SWT untuk berdzikir mengingat-Nya, dengan bertakbir atau Takbiran. 

Rasulullah Saw bersabda: 

أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر الله عز وجل

Hari-Hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir mengingat Allah SWT.” (Hr Muslim 1141) 

Kita diperintahkan untuk makan dan minum, haram berpuasa. Kemudian kita diperintahkan untuk mengingat Allah SWT dengan bertakbir atau Takbiran. Ada unsur bersenang, tapi harus tetap bernuansa ibadah. 


Bentuk dan Lafadz Takbir atau Takbiran di Bulan Dzulhijjah, Khususnya Hari Raya Idul Adha

Takbiran di bulan Dzulhijjah khususnya, dan para hari raya secara umum,ada beberapa bentuk. Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Ini beberapa bentuk di antaranya: 


Pertama: 

الله أكبر .. الله أكبر .. لا إله إلا الله ، الله أكبر .. الله أكبر .. ولله الحمد

Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Lâ Ilâha Illallah… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar … Walillâhil Hamd…


Kedua: 

الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. لا إله إلا الله ، الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. ولله الحمد

Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Lâ Ilâha Illallah… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar … Allâhu Akbar … Walillâhil Hamd…


Ketiga:

الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. لا إله إلا الله ، الله أكبر .. الله أكبر .. ولله الحمد

Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Lâ Ilâha Illallah… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar … Walillâhil Hamd…


Masalah ini sebenarnya masalah yang lapang. Sebab, memang tidak ada Nash dari Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan bentuknya harus begini dan begini. Makanya, variasinya banyak sekali yang kita dengar di tengah masyarakat. 


Waktu Untuk Takbiran di Bulan Dzulhijjah; Antara al-Takbîir al-Muthlaq dengan al-Takbîr al-Muqayyad

Takbiran itu ada dua jenis: 


Pertama, Takbir Muthlaq

Maksudnnya, Takbiran yang tidak terikat dengan apapun, selalu disunnah baik pagi maupun sore, siang maupun malam, sebelum shalat dan setelah shalat, di setiap waktu. 


Kedua, Takbir Muqayyad

Maksudnya, Takbir yang dikumandangkan terikat dengan selesainya shalat lima waktu. 


Untuk Bulan Dzulhijjah, Takbir Muthlaq disunnahkan di sepuluh hari bulan Dzulhijjah dan Hari Tasyriq, dimulai dengan masuknya bulan Dzulhijjah, yaitu dengan terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Dzul Qa’dah, sampai hari terakhir Hari Tasyriq, yaitu dengan terbenamnya matahari di hari ke-13 bulan Dzulhijjah. 

Sedangkan Takbir Muqayyad, dimulai dari fajar hari Arafah sampai terbenamnya matahari di akhir hari Tasyriq, digabungkan dengan Takbir Muthlaq. Jikalau imam sudah salah di shalat wajib, setelah ia beristighfar 3 kali dan membaca: 

اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام

Allâhumma Antas Salâm wa minkas Salâm Tabârakta Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm

Maka, setelahnya, mulailah ia bertakbir. Ini bagi yang bukan haji, ya! Jikalau hati, maka Takbir Muqayyad dimulai ketika Zuhur di hari al-Nahr. 

Itulah sedikit catatan kita seputar Takbir atau Takbiran di Bulan Dzulhijjah secara umum, dan Idul Adha secara khususnya, yang dalam bahasa tulisan ini dikenal dengan nama Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad. []

Hal-Hal yang Terlarang bagi Orang yang Mau Kurban

Hal-Hal yang Terlarang bagi Orang yang Mau Kurban


Ketika bulan Dzulhijjah sudah masuk, kemudian salah seorang di antara kita ingin ikur serta berkurban nantinya di tanggal 10 Dzulhijjah atau di Hari Tasyriq, maka ia diharamkan untuk memotong rambutnya atau bagian rambutnya atau memotong kukunya atau bagian yang mengelupas kulitnya. 

Ada yang mengatakan bahwa yang terlarang itu memotong kuku dan bulu hewannya. Ini ngawur. Salah tenan.  Saya juga mendapatkan pesan serupa dalam pesan-pesan yang viral di WhastApp, dan banyak juga yang menanyakannya kepada saya mengenai kebenarannya. Kita akan membantahnya dengan penjelasan yang ada di bagian selanjutnya. 

Tapi tidak masalah jikalau ia mau memakai pakaian baru, menggunakan Hena dan wewangian atau Parfum, tidak masalah jikalau berhubungan suami istri atau segala hal yang menjadi mukaddimah hubungan tersebut. 

Tapi perlu diingat dengan baik, keharaman ini berlaku bagi Shāhib al-Qurbān, yaitu yang menjad atas nama kurban. Keharamannya tidak berlaku bagi keluarganya, tidak juga bagi bagi panitia atau orang yang diwakilkan untuk mengurus kurban tersebut. 

Hukum tersebut berlaku bagi laki-laki dan perempuan, baik berstatusnya suami maupun istri, menikah maupun belum. Haram bagi mereka untuk memotong kukunya, memotong rambutnya, dan sejenisnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits. 


Apa dalilnya? 

Sabda Rasulullah Saw: 

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

Jikalau kalian melihat hilal Dzulhijjah, kemudian salah seorang di antara kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri untuk tidak memangkas rambutnya dan kukunya.” (Riwayat Muslim, Nomor 1977)

Para Ulama dari al-Lajnah al-Dāimah mengatakan:

يشرع في حق من أراد أن يضحي إذا أهل هلال ذي الحجة ألا يأخذ من شعره ولا من أظافره ولا بشرته شيئاً حتى يضحي ؛ لما روى الجماعة إلا البخاري رحمهم الله ، عن أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره ) ولفظ أبي داود ومسلم والنسائي : ( من كان له ذِبح يذبحه فإذا أهل هلال ذي الحجة فلا يأخذنَّ من شعره ومن أظفاره شيئاً حتى يضحي ) سواء تولى ذبحها بنفسه أو أوكل ذبحها إلى غيره ، أما من يضحِّي عنه فلا يشرع ذلك في حقه ؛ لعدم ورود شيء بذلك ، ولا يسمى ذلك إحراماً ، وإنما المحرم هو الذي يحرم بالحج أو العمرة أو بهما " انتهى .

“Disyariatkan bagi siapa yang ingin berkurban, jikalau melihat hilal Dzulhijjah untuk tidak memotong rambutnya, tidak memotong kukunya dan mengambil kulitnya sedikit pun sampai ia berkurban, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Jamā’ah selain al-Bukhāri, dari Umm Salamah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jikakalau kalian melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian ingin berkurban, maka tahanlah diri untuk memotong rambut dan kukunya.” Kmeudian hadits denan lafadz riwayat Abu Daud, Muslim, dan al-Nasāi, “Siapa yang memiliki sembelihan yang akan disembelihnya, kemudian sudah tampak hilal Dzulhijjah, maka janganlah ia memotong sedikit pun rambutnya dan kukunya, sampai ia berkurban. “ Baik ia sendiri yang akan menyembelihnya maupun akan diwakilkkannya penyembelihannya kepada orang lain. Sedangkan jikalau orang yang disembelihkan atas namanya, maka tidak disyariatkan baginya karena tidak adanya dalil yang menjelaskannya. Ini sama sekali bukan Ihrām, sebab ia hanya berlaku untuk haji dan umrah.” 

(Lihatlah Fatāwa al-Lajnah al-Dāimah, 11/ 397, 398)


Kalau Melanggar Aturan di atas, Apa Hukumannya?

Jikalau ada yang ingin berkurban, kemudian melanggar aturan di atas, dengan memotong kukunya atau memangkas rambutnya, maka tidak ada kewajiban apapun di pundaknya. Hanya saja, ia harus bertaubat dan beristighfar memohon ampunan Allah SWT. 

Ibn Hazm mengatakan dalam kitabnya al-Muhalla (6/3): 

من أراد أن يضحي ففرض عليه إذا أهل هلال ذي الحجة أن لا يأخذ من شعره ولا من أظفاره شيئا حتى يضحي , لا بحلق , ولا بقص ولا بغير ذلك , ومن لم يرد أن يضحي لم يلزمه ذلك .

Siapa yang ingin berkurban, maka wajib baginya jikalau sudah tampak Hilal Dzulhijjah untuk tidak memotong rambutnya dan rambutnya sedikit pun sampai ia berkurban. Siapa yang tidak ingin berkurban, maka tidak ada kewajibannya.” 

Ibn Quddamah al-Maqdisy mengatakan dalam Kitabnya al-Mughny (9/ 346): 

إذا ثبت هذا , فإنه يترك قطع الشعر وتقليم الأظفار , فإن فعل استغفر الله تعالى ، ولا فدية فيه إجماعا , سواء فعله عمداً أو نسياناً

“Jikalau sudah jelas, maka ia tidak memangkas rambutnya dan memotong kukunya. Jikalau ia melakukannya, maka ia beristighfar memohon ampunan Allah SWT. Tidak ada fidyah atasnya karena hal itu berdasarkan Ijma’, baik dilakukannya dengan sengaja maupun karena lupa.”


Apa Hikmah Larangan Tersebut?

Mungkin salah satu pertanyaan terakhir yang sering kita tanyakan, atau sering dipertanyakan oleh orang lain kepada kita, apa hikmah di balik larangan tersebut? Kepana kita tidak boleh memangkas rambut dan memotong kuku? 

Masalah ini dijawab oleh Imam al-Syaukāni dalam Kitabnya Nail al-Awthār (5/ 133): 

والحكمة في النهي أن يبقى كامل الأجزاء للعتق من النار

Hikmah larangannya, agar semua anggota tubuh, semuanya tetap bebas dari Neraka.” 

Baik, itulah catatan kita seputar hal-hal yang terlarang dilakukan bagi orang yang ingin berkurban atau ikut berkurban. Semoga kurban-kurban yang kita sembelih, kita tumpahkan darahnya, diterima oleh Allah SWT. Sebab, sebagaimana firman-Nya, inti kurban sebenarnya adalah Takwa dan Ikhlas. []

Hukum Syukuran Khitanan (Walimah al-Khitan)

Hukum Syukuran Khitanan (Walimah al-Khitan)


Bagaimana hokum tasyakuran atau syukuran khitanan/ sunatan menurut islam? Bagaimana hokum menghadiri undangan tersebut? Apakah dalil dari ayat atau hadits nabi (sunnah) tentang walimatul khitan?”

Pendapat Imam 4 Mazhab Mengenai Hukum Syukuran/ Walimah Khitanan & Hukum Menghadiri Undangannya

Di atas, kita sudah membahas masalah ini secara umum, namun jikalau kita mau lebih merinci masalahnya, mari kita melihat pandangan Imam 4 Mazhab mengenai masalah ini, lengkap dengan dalilnya dari al-Quran dan sunnah. 

Pendapat Pertama, Syukuran khitanan/ Walimah al-Khitan, hukumnya sunnah, kemudian menghadiri undangannya juga sunnah. Ini merupakan pendapat dari Mazhab Hanafi(Lihatlah Kitab al-Badai wa al-Shanai: 7/10), salah satu pendapat dalam Mazhab Syafii (Lihat Kitab al-Umm: 6/ 159). Dalam kitab al-Umm ini dijelaskan, “Semua undangan yang terkait dengan kepemilikan, atau nifas, atau khitan, atau peristiwa bahagia yang diundangkan oleh seseorang, maka itu dinamakan al-Walimah. Saya tidak memberikan keringanan/ dispensasi kepada seorang pun untuk tidak menghadirinya. Jikalau sampai ia tidak menghadirinya, maka ia bermaksiat kerena meninggalkannya, sebagaimana berlaku hokum yang sama untuk pesta pernikahan.” 

Pendapat ini juga salah satu pendapat dalam Mazhab Hanbali (Lihat Kitab al-Inshaf: 5/ 320)

Dalilnya apa?

Abu Hurairah radhiyallahu mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:

حق المسلم على المسلم خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس

“Hak muslim atas muslim lainnya; menjawab salam, membezuk orang yang sakit, mengantarkan jenazah, menghadiri undangan, dan mendoakan orang yang  bersin.” (Hr al-Bukhari)

Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asyari radhiyallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: 

فكوا العاني، وأجيبوا الداعي

“Bebaskanlah orang yang menderita, dan hadirilah orang yang mengundang.” (Hr al-Bukhari)

Kedua hadits di atas berhubungan dengan menjawab undangan. Sifatnya umum, mencakup semua undangan, baik walimah atau pesta pernikahan, syukuran khitanan, dan lain-lain. 

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

إذا دعي أحدكم إلى الوليمة، فليأتها

“Jikalau salah seorang di antara kalian diundang menghadiri walimah, maka datangilah.” (Hr al-Bukhari)

Dalam riwayat Ibn Abi Syaibah, dari Nafi mengatakan bahwa Ibn Umar berbagi makan untuk khitan anak-anak. 


Pendapat Kedua, Syukuran khitanan atau Walimah al-Khitan itu hukumnya sunnah bagi anak laki-laki, bukan anak perempuan. Sebab, jikalau diadakan juga syukuran bagi anak perempuan yang dikhitanan, ia akan merasa malu karenanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh al-Auzai dari pengikut Mazhab Syafii (Lihat Kitab Mughni al-Muhtaj: 4/ 403)

Dalilnya sama dengan kelompok pertama. Hanya saja, di kelompok kedua ini ada Ijtihad (pandangan) untuk membedakan antara anak laki-laki yang dikhitan dengan anak perempuan. 


Pendapat Ketiga, Syukuran Khitanan atau Walimah al-Khitan, hukumnya Mubah. Menghadiri undangannya juga Mubah. Inilah pendapat Mazhab Maliki (Lihat Kitab Mawahib al-Jalil: 34) dan Mazhab Hanbali (Lihat Kitab Muntaha al-Iradat: 3/ 33; Kitab Kassyaf al-Qanna’: 5 166).

Dalil adalah hokum dasar dalam Muamaah

الأصل في الأشياء الإباحة

“Hukum asal segala sesuatu adalah Mubah/ Boleh)

Kemudian juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw: 

ائتوا الدعوة إذا دعيتم

“Datangilah undangan jikalau kalian diundang.” (HR Muslim)

Kemubahannya ini merupakan pemalingan dari perintah di hadits di atas, karena bertentangan dengan  Atsar dari Utsman bin Abi al-Ash yang mengatakan: 

كنا لا نأتي الختان، ولا ندعى له على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Dahulu kami tidak mendatangi khitan, dan tidak diundang karenanya di zaman Rasulullah Saw.” 

Hanya saja riwayat ini dhaif/ lemah. 


Pendapat Keempat, Syukuran Khitanan itu Makruh, dan menghadirinya juga Makruh. Ini merupakan pendapat sebagian pengikut Mazhab Maliki (Lihat Kitab al-Hasyiyah: 2/ 337; Balghah al-Salik: 2/ 499) dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad (Lihat Kitab al-Inshaf: 8/ 321).

Dalilnya adalah hadits Utsman bin Abi al-Ash di atas. Makna Atsar itu dipegang, tanpa melihat hadits-hadits yang memerintahkannya. Sebab perintah menghadiri walimah adalah untuk walimah pernikahan, bukan khitanan. Begitu pendapat mereka.


Kesimpulan Hukum; Pendapat Terpilih & Catatan Penting

Tidak masalah mengadakan syukuran atau pesta atau walimah untuk acara khitan anak Anda, sebagai bentuk rasa bahagia, rasa senang, dan rasa syukur kepada Allah SWT yang sudah mengaruniakan nikmat-Nya kepada Anda. 

Ibn al-Quddamah mengatakan dalam kitabnya al-Mughni (7/ 286):

“Hukum undangan khitanan dan semua jenis undangan selain walimah adalah sunnah. Sebab dalam acara ini ada bagi-bagi makanan. Hukum mendatangi undangan ini adalah sunnah, bukan wajib. Ini adalah pendapat Malik, al-Syafii, Abu Hanifah, dan para pengikutnya. 

Menghadiri undangan, siapa saja yang mengundang, hukumnya sunnah. Sebab ketika menghadirinya, hati orang yang mengundang akan senang, jiwanya akan bahagia. Imam Ahmad pernah di undang ke acara khitanan, kemudian beliau menghadirinya dan makan makanannya.

Terkait undangan itu sendiri, khususnya bagi orang yang mengundang (yang mengadakan syukuran), tidak ada keutamaan khusus baginya, karena tidak ada dalil yang menjelaskan masalah ini dalam syariat. Kedudukanya adalah undangan tanpa sebab. Jikalau orang yang mengundang tersebut berniat syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang dikaruniakan kepada-Nya, memberi makan sahabat-sahabatnya dan bersedekah makanan, maka ia mendapatkan pahala, Insya Allah.” 

Fatwa al-Lajnah al-Daimah mengatakan: 

“Berbahagia karena khitan merupakan sesuatu yang dituntut dalam syariat. Sebab, khitan merupakan salah satu syariat Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: 

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah, dengan karunia Allah SWT dan rahmat-Nya, hendaklah mereka berbahagia. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Surat Yunus: 58)

Khitan merupakan salah satu karunia Allah SWT. Tidak masalah membuat makanan atas moment ini sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT.” 

(Lihatlah Fatawa al-Lajnah al-Daimah: 5/142)

Sebagai catatan, perlu diperhatikan bahwasanya hendaklah syukuran khitanan atau Walimah al-Khitan ini tidak mengadakan acara-acara yang bermuatan maksiat, seperti dangdutan, wayang semalan suntuk, dan selainnya. 

Dan untuk orang yang diundang, hendaklah menghadiri undangan yang diberikan kepada Anda. Jangan pula Anda bilang bidah atau sesat. Ini merupakan ruan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun satu hal pokok yang mungkn tidak boleh diabaikan; Tunaikan Hak Saudara Muslim Anda, yaitu datang jikalau diundang. []

Hukum & Pentingnya Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)

Hukum & Pentingnya Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)


Lisan itu bahasa Arab. Sudah familiar dalam Bahasa Indonesia. Artinya lidah. Tidak bertulang. Namun lebih tajam dari pedang. Jikalau pedang hanya melukai,kemudian keluar darah, diobati, kemudian sembuh. Lisan tidak begitu. Jikalau dilukai oleh lisan. Lukanya dalam dan tidak terlihat. Walaupun sudah berusaha diobati dengan kata maaf, namun lukanya tidak akan sembuh. Sakitnya mungkin meredam, Namun, suatu hari nanti akan kambuh  kembali. 


Hukum menjaganya wajib. Lazim. Banyak darah yang tumpah karena lisan yang tidak terjaga. Gara-gara bercanda yan tidak pada tempatnya, akhirnya pisau menancap di dada. Gara-gara sebutan yang tidak selayaknya, peluru sampai bersarang di kepala. Banyak sekali kasus yang berawal dari lisan ini. 


Maka, berhati-hatilah dengan lisan. Penting Hidzul Lisan atau menjaga lidah ini. 


Lidah memang tidak bertulang, namun ketajamannya tidak bisa Anda bandingkan dengan pedang atau sejenisnya. Jikalau pedang hanya bisa membuat luka fisik, namun lidah mampu membuat luka dalam, yang tentunya kesembuhannya jauh lebih susah dari yang pertama.  


Hadits-Hadits Rasulullah Saw Tentang Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)


Ada sejumlah hadits yang menjelaskan mengenai lisan ini. Kita akan memaparkan dalam tulisan ini beberapa di antaranya. 


Rasulullah Saw bersabda: 

“Sebahagian besar kesalahan anak Adam berada di lisannya.” [Diriwayatkan oleh At-Thabrany dan Ibn Abi Ad-Dunya] 

Semakin banyak Anda berbicara, maka semakin banyak kesalahan Anda. Makanya, kata pepatah “diam itu emas.” Bukan berarti diam terus, ya! Adakalanya kita harus berbicara menyampaikan pendapat, apalagi jikalau statusnya darurat; wajib; kudu dilakukan. Hanya saja, dalam status tidak perlu, santai, banyak bicara akan membuat diri seringkali jatuh ke dalam jurang masalah.


Dalam hadits lainnya dijelaskan:

مَن كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فليقُلْ خيرًا أو ليصمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ucapkanlah kebaikan atau diam.” [Muttafaq Alaihi]


Imam al-Syafii mengatakan: 

“Jikalau seseorang ingin berbicara, maka hendaklah ia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Jikalau memang ada maslahatnya, maka ia silahkan berbicara. Jikalau ragu, maka tidak usaha berbicara sampai tampak ada maslahatnya.” (Kitab al-Azkar: 114)


Dalam bahasa lainnya, mungkin bisa kita katakana, orang yang asal bicara saja, asal melambe saja, tanpa memikirkan dahulu apa yang akan diucapkannnya, maka keimanannya yang ada di dalam hatinya perlu dipertanyakan.


Rasulullah Saw bersabda: 

مَن يضمن لي ما بين لَحْيَيْهِ وما بين رِجْليه أضمن له الجنة

“Siapa yang menjamin bagiku apa yang ada di antara dua jenggotnya (kumis & jenggot) dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka saya menjamin surge baginya.” (HR al-Bukhari)


Di antara kumis dan jenggot itu adalah mulut. Dalam mulut itu ada lisan. Lisan itu lunak, tidak bertulang. Namun dosa yang dilahirkannya bisa banyak, sebagaimana pahala yang didapatkannya juga bisa banyak. Maka, mengarahkan lisan untuk selalu berada di jalan Allah SWT adalah sebuah kewajiban, sebagaimana wajibnya menjaga apa yang ada di antara kedua kaki dari dosa dan perzinaan. 


Pada suatu hari, Musa Al-Asyary bertanya kepada Rasulullah Saw: 

“Muslim manalah yang lebih baik?” 

Beliau menjawab:

مَن سلِم المسلمون من لسانه ويده

“Orang yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari]

Ya, banyak yang mengaku muslim, namun lidahnya tajam. Tidak ada satu orang pun yang berbicara dengannya, kecuali akan luka; sakit hati. Muslim yang hakiki adalah muslim yang mampu menjaga lisannya melukai batin orang lain, dan menjaga tangannya menyakiti lahir.

 

Uqbah bin Amir bertanya kepada Rasulullah Saw: 

“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?” 

Beliau menjawab:

أمسِكْ عليك لسانك، وليسَعْك بيتك، وابكِ على خطيئتك

 “Tahanlah lisanmu, maka rumahmu akan lapang, dan tangisilah kesalahanmu.” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi]


Hasan Al-Bashry meriwayatkan perkataan para sahabat, “Lisan seorang mukmin berada di belakang hatinya. Jikalau ia ingin bicara, maka ia memikirkannya dengan hatinya dan disampaikan dengan lisannya. Dan lisan orang munafik berada di hadapan hatinya. Jikalau ia ingin bicara, maka ia menyampaikannya dengan lisannya dan tidak memikirkan dengan hatinya.” [Diriwayatkan oleh Al-Kharaithy] 

Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa seorang mukallaf harus menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang menampakkan kemaslahatan. Jikalau maslahah dan mudharatnya sama, maka meninggalkannya lebih utama.”


Bahaya Lisan (Afāt al-Lisān)


Ada beberapa bahaya yang bisa ditimbulkan oleh lisan, yang harus Anda hindari dalam kehidupan sehari-hari: 


1-Ghibah

Ghibah atau gunjing adalah menyebut muslim lainnya dengan sesuatu yang dibencinya, baik berkaitan dengan agamanya, dunianya maupun badannya, atau berkaitan dirinya, atau bentuknya, atau akhlaknya, atau berkaitan dengan anaknya, atau bapaknya, atau hartanya, atau istrinya, atau pelayannya, atau budaknya, atau berkaitan dengan pakaiannnya, cara jalannya, senyumannya, keceriaannya, dan lain-lain, baik Anda menyebutnya dengan lafadz, atau isyarat, atau tulisan, atau media-media komunikasi lainnya. 


Pada suatu hari, Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabatnya:

أتدرون ما الغِيبة؟ 

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?” 

Mereka menjawab;

الله ورسوله أعلم

 “Allah Swt dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” 

Beliau berkata: 

ذكرك أخاك بما يكره

“Menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” 

Mereka bertanya: 

أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟

“Bagaimana pendapatmu jikalau saya mengatakan apa yang ada pada dirinya?”

Beliau menjawab:

إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهَتَّه

“Jikalau apa yang engkau katakan itu ada dalam dirinya, maka engkau telah mengghibahnya. Jikalau tidak, maka engkau telah melakukan kebohongan besar.” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi] 


Ada tiga point utama dalam hadits di atas: 

Pertama, Ghibah atau gunjing itu artinya menyebut saudara Anda atau muslim lainnya dengan sesuatu yang memang ada pada dirinya. Lucunya, seringkali kita dengar pelaku Ghibah berkata, “Ini bukan Ghibah, ya.” Terus ia berkata ini dan itu tentang si Anu. Ya, itu Ghibah namanya. Jikalau mengatakan yang tidak benar, itu namanya fitnah. Hihi…


Kedua, Jangan ikut serta dalam pergunjingan atau ghibah. 

Ini juga sering kita langgar. Bukannya meredakan suasana, malah ikut nimbrung nambahin. Hedeh… Itu mah sama saja ikut menambah dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk. Lama-lama nanti bicaranya akan kemana-mana, menyebut ini itu yang seharusnya tidak dibahas.


Ketiga, Kalau sudah ikut Ghibah atau Gunjing, setelah tinggalkan. 

Jikalau sudah terlanjur ikut Ghibah atau Gunjing, segera istighfar, taubat. Jangan malah nambahin lagi. “tanggung,” katanya. Hehe.. Istighfar. Mohon ampun Allah SWT. Jauhkan diri Anda segera dari perbuatan tidak baik ini. 


2-Namimah

Namimah adalah adu domba, yaitu menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lainnya dengan tujuan menimbulkan khusumat di antara mereka. 


Kedua perbuatan ini diharamkan dalam Islam, dan merupakan Ijma’ umat. Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini dalam Al-Quran dan Sunnah, seperti firman Allah Swt:


 “Janganlah sebahagian kalian mengghibah sebahagian lainnya.” [Al-Hujarat: 12] 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ  

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (Surat al-Hujurat" 112)


Dan Rasulullah Saw bersabda:

لا يدخل الجنة نمام 

“Tidak ada pernah masuk surga, seseorang yang suka mengadu domba.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]


Jadi, marilah menjaga lisan. Banyak keutamaan dan fadilah, dan manfaat di balik penjagaannya. Susah memang. Tapi disitulah ujiannya. Manusia itu makhluk social, yang tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berbicar. Apalagi wanita. Jangan ditanya. []

Hukum Khitan Menurut 4 (Empat) Mazhab

Hukum Khitan Menurut 4 (Empat) Mazhab


Ada dua pendapat utama dalam masalah ini di kalangan 4 Mazhab. 

Pertama, Sunnah. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi. Walaupun mereka berpandangan bahwa hukumnya sunnah. Hanya saja, dalam pandangan mereka, jikalau ada seorang laki-laki meninggalkannya, maka ia dipaksa untuk melakukannya. 

Dalam Syarh Kitab Fath al-Qadir (1/ 63): 

“Dua khitan, yaitu bagian yang dipotong dari zak*ar dan kem*alu*an, hukumnya sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita. Sebab, berjima dengan perempuan yang dikhitan lebih nikmat. Dalam Nuzhul al-Fiqh dijelaskan bahwa hukumnya sunnah bagi keduanya. Hanya saja, jikalau ditinggalkan oleh laki-laki, maka dipaksa melakukannya kecuali dikhawatirkan kematiannya. Sedangkan jikalau perempuan meninggalkannya, maka tidak dipaksa.” (Lihatlah Kitab al-Fatawa al-Hindiyah: 6/ 445)

Dalam Kitab Hasyiyah Ibn Abidin (6/ 371) dijelaskan: 

“Khitan itu sunnah bagi laki-laki, merupakan bagian dari fitrah, tidak mungkin diabaikan. Dan ia merupakan kemuliaan bagi para wanita.” 

Lebih lanjut dijelaskan (6/ 751):

“Hukum asal untuk khitan adalah sunnah, sebagaimana terdapat dalam al-Khabar. Ia merupakan salah satu syiar Islam dan kekhususannya. Jikalau penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkannya, maka Imam memeranginya. Ia tidak boleh ditinggalkan kecuali karena udzur.” 

Kemudian dilanjutkan: 

“Dan khitan bagi perempuan, hukumnya tidak sunnah, tapi kemuliaan. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah.” 

Mazhab Maliki juga berpandangan sama. Hukumnya sunnah. Dalam Syarh al-Khirsy (3/ 48) dijelaskan, “Hukumnya sunnah bagi laki-laki, yaitu memotong kulit yang menutupi. Dan mustahab bagi para wanita.” (Lihatlah Kitab Hasyiyah al-Dasuqi: 126; dan Kitab al-Syarh al-Shaghir: 2 151)

Dalam Kitab al-Fawakih al-Dawani (1/ 394) dijelaskan, “Khitan itu sunnah, dan wajib bagi laki-laki. Siapa yang meninggalkannya tanpa uzur, maka tidak boleh menjadi Imam, tidak boleh persakskannya. Bahkan Ibn Syihab mengatakan, ‘Tidak sempurna keislaman seseorang kecuali dengan khitan” 

Dan pendapat ini, juga dianut oleh sebagian pengikut Mazhab Syafii (Lihat Kitab Tharh al-Tatsrib: 2/ 75)

Kedua,  Wajib. Ini merupakan pendapat yang Masyhur dalam Mazhab Syafii. Lihatlah Kitab al-Majmu: 1/ 349; Kitab Hasyiyah Qalyubi dan Umairah (4/ 211); Kitab Tuhfah al-Muhtaj: 9/ 198; Kitab Nihayah al-Muhtaj: 8/ 35; Kitab Futuhat al-Wahhab: 5/ 173. 

Ini juga merupakan pendapat dalam Mazhab Hanbali. Lihatlah Kitab al-Muharra (1/11); Kitab Kasyyaf al-Qina’ (1/ 80); Kitab al-Mubdi’ (1/ 103); Kitab al-Raudh al-Murabba’ (1/ 237). 

Itulah pendapat 4 mazhab terkait hokum khitan atau sunat ini. 


Dalil Masing-Masing Kelompok

Membahas pendapat para ulama tanpa melihat dalil, sepertinya belum lengkap dan belum kuat. Khawatirnya, hanya sekadar logika kosong tanpa landasan hokum dari al-Quran atau Sunnah. 

Yup. Mari kita lihat dalil masing-masing kelompok. 

#Kelompok yang menyatakan sunnah

 Diriwayatkan oleh Abu al-Mulaih bin Usamah, dari bapaknya bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: 

الختان سنة للرجال، مكرمة للنساء

“Khitan itu sunnah bagi laki-laki, dan kemuliaan bagi para wanita.” (Hr Ahmad)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa ia mendengar Nabi Muhammad Saw bersabda: 

الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط

“Fitrah itu ada lima; khitan, mencukur bulu kem*alu*an, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Hr Muslim)

Al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad bahwa Silm bin Abi al-Zayyal mengatakan, “Ia mendengar al-Hasan mengatakan, ‘Apakah kalian tidak heran dengan orang ini? (maksudnya, Malik bin al-Mundzir) Ia sengaja memeriksa para sepuh penduduk Kashkar ketika mereka masuk Islam, kemudian memerintahkan mereka untuk berkhitan di musim dingin ini. Ada kabar yang sampai kepadaku bahwa ada sebagiannya yang meninggal. Ada orang Rum dan Habsyah yang masuk Islam bersama Rasulullah Saw, namun mereka tidak diperiksa sedikit pun.” 

#Kelompok yang menyatakan Wajib

Ibrahim alaihissalam itu berkhitan, dan merupakan salah satu syariatnya. Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk mengikutinyam, sebagaimana firman Allah SWT: 

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (Surat al-Nahl: 123)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

اختتن إبراهيم - عليه السلام - وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم

“Ibrahim alaihissalam berkhitan ketika beliau berusia delapan puluh tahun di al-Qadwam.” (Hr Muslim)

Diriwayatkan oleh Utsaim bin Kulaib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa ia mendatangi Nabi Muhammad Saw, kemudian mengatakan, “Saya masuk Islam.” Kemudian beliau bersabda: 

ألقِ عنك شعر الكفر

“Buang darimu rambut kekufuran.” (Hr Muslim)

Maksudnya,khitan

Kelompok ini juga berpandangan  bahwa kulit kema*lu*an yang tidak dipotong menentukan sahnya shalat, layaknya orang yang menahan najis di mulutnya. Mereka juga mengatakan bahwa membuka aurat bagi orangyang dikhitan dan melihatnya bagi yang mengkhitan, hukumnya bleh. Padahal, hokum asalnya haram. Jikalau bukan karena wajib, maka ia tidak akan dibolehkan. 

Khitan merupakan salah satu syiar agama, yang membedakan antara muslim dengan kafir. Jikalau ada seseorang berkhitan di antara korban yang tidak berkhitan, maka orang tadi dishalatkan dan dikuburkan di kuburan kaum muslimin. 

Khitan itu memotong bagian tubuh yang sehat. Jikalau bukan karena hukumnya wajib, maka ia tidak akan dibolehkan layaknya memotong jari, yang hanya dibolehkan dalam kasus Qishas. 


Kesimpulan

Itulah perbedaan pendapat di kalangan ulama 4 Mazhab seputar masalah hokum khitan atau sunat. Jalan terbaik adalah berkhitan atau bersunat bagi seorang Muslim, utamanya bagi yang sudah mencapai usia baligh. Kalau pun ada Mazhab yang menyatakan sunnah, namun tetap ditegaskan bahwa jikalau ada laki-laki yang sengaja meninggalkannya, maka dipaksa melakukannya. Bahkan, kalau ada penduduk di suatu kampung tidak mau berkhitan atau bersunat, maka diperangi oleh Imam. []