Iman Terhadap Rububiyyah Allah SWT Terhadap Segala Sesuatu

Iman Terhadap Rububiyyah Allah SWT Terhadap Segala Sesuatu


Seorang muslim mengimani Rububiyyah Allah SWT terhadap segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Rububiyyah-Nya terhadap sekalian alam. Sebab utamanya, karena hidayah Allah SWT, kemudian berdasarkan dalil-dalil Naqli dan Aqli berikut ini:

DALIL NAQLI

1-Pemberitahuan Allah SWT sendiri mengenai Rububiyyah-Nya, yang berfirman ketika memuji diri-Nya sendiri: 

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat al-Fâtihah: 2). 


Kemudian firman-Nya yang menegaskan Rububiyyah-Nya: 

“Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah".” (Surat al-Ra’d: 16)


Allah SWT berfirman menjelaskan Rububiyyah-Nya dan Ilahiyyah-Nya:

 “"Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah orang yang meyakini.  * Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu. " (Surat al-Dukhan: 7-8)


Dia juga berfirman, mengingatkan perjanjian yang dibuat anak manusia ketika mereka masih berada di Sulbi bapak mereka, bahwa mereka akan mengimani Rububiyyah-Nya, menyembah-Nya, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya:

 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".” (Surat al-A’râf: 172)


Dia berfirman sebagai hujjah bantahan terhadap kaum muslimin dan menuntun mereka untuk memberikan jawaban:

 “Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?"  * Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah". Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" (Surat al-Mukminûn: 86-87)


2-Pemberitahuan Para Nabi dan Para Rasul mengenai Rububiyyah-Nya, persaksian mereka dan ikrar mereka mengenai hal itu. 

Adam alaihissalam menyatakan dalam doanya: 

“"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Surat al-A’râf: 23) 


Nuh dalam aduannya kepada Allah SWT: 

"Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.” (Surat Nûh: 21) 


Dan ucapannya: 

“"Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku; * maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang yang mukmin besertaku"." (Surat al-Syu’arâ: 117-118) 


Doa Ibrahim alaihissalam untuk Makkah al-Haram al-Syarîf, untuk dirinya sendiri dan anak keturunannya:

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. " (Surat Ibrahim: 35) 


Yusuf alaihissalam berkata dalam pujian kepada Allah SWT dan doanya: 

“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Surat Yusûf: 101) 


Musa dalam beberapa permintaannya (doanya): 

“"Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku." (Surat Tâhâ: 25-29) 


Harun kepada Bani Israel: 

“sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.” (Surat Tâhâ: 90) 


Zakariya berkata dalam Istirhâmnya (mengharapkan rahmat Allah SWT): 

"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.” (Surat Maryam: 4)

 

Kemudian juga berkata dalam doanya: 

"Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.” (Surat al-Anbiyâ’: 89) 


Isa dalam jawabannya terhadap Allah SWT: 

“"Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu"." (Surat al-Mâaidah: 117) 


Kemudian berkata kepada kaumnya:

"Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Surat al-Mâaidah: 72)


Nabi kita; Muhammad Saw, begitu dengan para Rasul lainnya, jikalau tertimpa kesusahan (kegelisahan), maka akan mengatakan:

“Tidak ada ilah melainkan Allah yang Maha Besar lagi Maha mulia, tidak ada ilah melainkan Allah Rabb ‘Arsy yang agung, tidak ada Ilah melainkan Allah rabb langit dan rabb bumi, rabb ‘Arsy yang mulia.” (1)


Para Nabi dan Para Rasul, semuanya mengakui Rububiyyah Allah SWT dan mendakwahkan-Nya. Mereka adalah manusia yang paling sempurna pengetahuannya, paling sempurna akalnya, paling terpercaya ucapannya, paling mengenal Allah SWT dengan segala sifat-Nya, dibandingkan dengan semua makhluk yang ada di muka bumi ini. 


3-Milyaran Ulama (Ilmuwan) dan para Bijak mengimani Rububiyyah-Nya terhadap mereka dan terhadap segala sesuatu. Mereka mengakuinya dan meyakininya dengan pasti. 


4-Milyaran manusia yang berakal pintar dan berakhlak baik, bahkan jumlahnya tidak terhitung, mengimani Rububiyyah-Nya terhadap sekalian makhluk. 


DALIL AQLI

Di antara bukti logik yang benar, yang menunjukkan Rububiyyah Allah SWT terhadap segala sesuatu adalah berikut ini:

1-Allah SWT menciptakan segala sesuatu. Semua orang mengakui, bahwa dalam masalah penciptaan, tidak ada seoran pun yang mengklaim melakukannya atau mampu melakukannya selain Allah SWT, walaupun ciptaan itu hanyalah berupa makhluk kecil dan remeh, bahkan walaupun hanya berupa selembar bulu di tubuh manusia atau binatang, atau bulu kecil di sayap burung, atau daun di cabang pohon. Apalagi, untuk menciptakan tubuh yang sempurna atau tubuh yang hidup, atau seukuran satu gram besar atau beberapa gram saja. 


Allah SWT berfirman tentang penetepan sifat al-Khaliqiyyah al-Muthlaqah (penciptaan mutlak) yang dimiliki-Nya, yang tidak dimiliki selain-Nya:

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. " (Surat al-A’râf: 54) 


Dan firman-Nya: 

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (Surat al-Ŝaffât: 96) 


Kemudian memuji diri-Nya sendiri terkait al-Khâliqiyyah ini:

“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” (Surat al-An’âm: 1) 


Dan firman-Nya: 

“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya-lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Surat al-Rûm: 27) 


Jadi, bukankah al-Khâliqiyyah-Nya (sifat penciptaan-Nya) terhadap segala sesuatu itu adalah bukti wujud-Nya dan Rububiyyah-Nya? Ya, dan kami menjadi saksi atas hal itu. 


2-Allah SWT sendirilah yang memberikan rezeki. Tidak ada satu binatang melata pun di muka bumi, atau berenang di lautan, atau bersembunyi di rerumputan, kecuali Allah SWT pencipta rezekinya, pemberinya petunjuk untuk mendapatkannya, bagaimana cara mendapatkannya, dan bagaimana cara memanfaatkannya. 


Mulai dari semut sebagai binatang paling kecil, sampai manusia sebagai jenis paling sempurna dan paling mulia, semua membutuhkan wujud Allah SWT, takwîn-Nya, makanan-Nya dan rezeki-Nya. Allah SWT adalah satu-satunya yang mengadakannya, membuatnya, memberinya makan, dan memberinya rezeki. Inilah sejumlah ayat Kitabullah yang menegaskan fakta ini dan menetapkan hakikatnya. 


Allah SWT berfirman: 

“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan." (Surat Abasa: 24-31)


Dan firman-Nya: 

“Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. " (Surat Ťâhâ: 53-54) 


Dan berfirman, yang tidak ada ilah kecuali diri-Nya, dan tidak ada Rabb selain-Nya: 

“Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (Surat al-Hijr: 22) 


Dan berfirman, yang tidak ada Pemberi Rezeki kecuali diri-Nya: 

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.” (Surat Hûd: 6)


Jikalau sudah jelas ketentuannya, dan tidak ada yang menentangnya, bahwa tidak ada pemberi rezeki kecuali Allah SWT, maka itu adalah bukti Rububiyyah-Nya kepada sekalian makhluk-Nya. 


3-Persaksian Fitrah manusia yang masih lurus terhadap Rububiyyah Allah SWT dan penetapannya secara terang-terangan. Selama seseorang itu belum rusak fitrahnya, maka ia akan merasakan di lubuk hatinya yang terdalam bahwa ia lemah dan tidak mampu berbuat apapun di hadapan Penguasa yang Maha Kaya lagi Maha Kuat, bahwa ia tunduk terhadap segala tindakan-Nya dan pengaturan-Nya, kemudian mengucapkan dengan keras tanpa ragu-ragu sedikit pun bahwa Dia adalah Allah Rabbnya dan Rabb segala sesuatu. 


Jikalau fakta ini sudah diakui, tanpa ada seorang pun yang berfitrah lurus menentangnya atau mendebatnya, maka layak disebutkan disini sebagai bahan tambahan tentang sejumlah pengakuan para pemuka penyembah berhala terkait fakta ini yang termaktub dalam al-Quran al-Karim, yaitu mengenai Rububiyyah Allah SWT dalam penciptaan dan terhadap segala sesuatu. 


Allah SWT berfirman: 

“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan menjawab: "Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Surat al-Zukhruf: 9) 


Dan firman-Nya: 

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah".” (Surat al-‘Ankabût: 61) 


Dan firman-Nya: 

“Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah"." (Surat al-Mukminûn: 86-87)


4-Kuasa Allah SWT terhadap segala sesuatu, tindakan-Nya yang mutlak terhadap segala hal, dan pengaturan-Nya terhadap apapun, merupakan bukti Rububiyyah-Nya. Semua mengakui bahwa manusia seperti makhluk hidup lainnya di alam semesta ini, tidak memiliki kekuasaan terhadap dirinya sendiri. Buktinya, ketika pertama kali dilahirkan ke muka bumi ini, ia bertelanjang, berkepala terbuka (tidak ada tutup kepala), dan tidak beralas kaki. Kemudian, nanti ketika akan meninggalkan dunia dan berpisah dengannya, ia juga tidak akan memiliki apapun selain kain kafan yang menutupi tubuhnya. Maka, bagaimana bisa dikatakan: “Manusia memiliki kuasa terhadap dirinya sendiri di dunia ini?”


Jikalau manusia, yang merupakan makhluk paling mulia di alam semesta ini, bukanlah penguasanya, maka siapakah penguasanya? Penguasanya adalah Allah SWT, dan hanya Dia satu-satunya, tanpa perlu diperdebatkan, tanpa perlu dikeragui, dan tanpa perlu dipertanyakan.


Apa yang dikatakan dan diakui terkait al-Mulkiyah (kekuasaan) Allah SWT, juga dikatakan dan diakui terkait tindakan (al-Tasharruf) dan pengaturan (al-Tadbir)-Nya terhadap segala urusan kehidupan ini. 


Jadi, demi Allah, semua itu adalah sifat Rububiyyah; Mencipta… Memberi rezeki… Berkuasa… Bertindak… Dan mengatur. Dahulu, hal itu sudah diakui oleh para pesohor penyembah berhala, yang ungkapan mereka termaktub dalam berbagai surat al-Quran al-Karîm. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan." (Surat Yûnus: 31-32) []


Catatan Kaki: 

(1) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (8/93), juga diriwayatkan oleh Muslim (21) dalam Kitab al-Dzikr wa al-Du’â

Kewajiban Beriman kepada Allah SWT

Kewajiban Beriman kepada Allah SWT


Seorang muslim beriman kepada Allah SWT dengan membenarkan wujud-Nya, Dialah yang menciptakan langit dan bumi, mengetahui yang nyata dan yang ghaib, Rabb segala sesuatu dan Penguasanya, Tidak ada Ilah melainkan diri-Nya, tidak ada Rabb selain-Nya. Dia Maha Mulia yang disifati dengan segala kesempurnaan, suci dari segala kekurangan. Semua itu berdasarkan petunjuk (hidayah) Allah SWT sebelum petunjuk apapun,(1)  kemudian berdasarkan dalil-dalil naqli dan aqli berikut ini. 

DALIL NAQLI

 1-Allah SWT memberitahukan sendiri mengenai wujud-Nya, mengenai ketuhanan-Nya kepada para makhluk-Nya, tentang Asmâ’-Nya (nama-nama) dan Shifat-Nya (sifat-sifat). Dan itu tertera dalam al-Quran al-Karim: 

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat al-A’râf: 54)


Kemudian firman-Nya ketika menyeru Musa alaihissalam di pinggir lembah di bagian paling kanannya, di pada tempat yang diberkahi berupa sebatang pohon kayu:

“Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat al-Qašaš: 30)


Dan firman-Nya: 

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Surat Ťaha: 14)


Dan firman-Nya yang mengagungkan diri-Nya sendiri, menyebut asmâ-Nya dan šifat-Nya: 

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. * Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. * Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Surat al-Hasyr: 22-24)


Kemudian firman-Nya yang memuji diri-Nya sendiri: 

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. * Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. * Yang menguasai di Hari Pembalasan.” (Surat al-Fâtihah: 2-4)


Dan firman-Nya untuk kita kaum muslimin: 

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Surat al-Anbiyâ’: 92)


Kemudian dalam ayat surat al-Mukminûn: “Dan Aku adalah Tuhanmu, maka Bertakwalah kepada Aku.” 


Kemudian firman-Nya yang membantah tuduhahan adanya Rabb selain diri-Nya atau Tuhan selainnya di Bumi dan di Langit: 

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (Surat al-Anbiyâ’: 22)


2-Pemberitahun sekitar 124 ribu Nabi dan Rasul mengenai wujud Allah SWT dan tentang ketuhananya kepada seluruh alam, tentang makhluk-Nya, tentang apa yang dilakukan-Nya terhadap makhluk-Nya, tentang asmâ-Nya dan Ŝifat-Nya. Tidak ada seorang Nabi atau Rasul pun kecuali Allah SWT sudah berbicara kepadanya atau mengutus utusan kepadanya atau menetapkan di dalam hatinya sesuatu yang memastikan bahwa itu adalah Kalamullah atau wahyu-Nya yang ditujukan kepadanya. 


Kabar yang disampaikan oleh jumlah yang besar ini, dari kalangan manusia-manusia yang suci dan terbaik, menjadi suatu kemustahilan dalam logika manusia untuk didustai, sebagaimana jumlah yang besar ini tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Kabar yang mereka sampaikan tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, kemudian mereka mewujudkannya, memastikan kebenarannya, dan meyakininya, merupakan sebuah bukti. Mereka adalah manusia terbaik, memiliki jiwa paling suci, logika paling kuat, dan pembicaraan yang paling layak dipercayai. 


3-Berimannya milyaran manusia, mereka meyakini wujud Allah SWT, beribadah kepada-Nya dan menaati-Nya adalah bukti lainnya. Padahal biasanya, cukup dengan satu dua orang saja, sesuatu itu sudah layak dipercayai. Bagaimana dengan Jamaah, umat, dan jumlah manusia yang tidak terhitung? Ditambah dengan bukti logika dan fitrah manusia yang membenarkan apa yang mereka percayai dan diberitahukan tentangnya, yang mereka sembah dan mendekatkan diri kepada-Nya. 


4-Pemberitahuan jutaan Ulama (Ilmuwan) mengenai wujud Allah SWT, Ŝifat-Nya, asmâ-Nya, dan ketuhanan-Nya terhadap segala sesuatu, serta kemampuan-Nya melakukan segala sesuatu, merupakan bukti selanjutnya. Dengan bukti itu, mereka menyembah-Nya dan menaati-Nya, mereka mencintai-Nya dan membenci karena-Nya. 


DALIL AQLI

1-Wujud Alam yang beraneka ragam, kemudian wujud makhluk yang banyak dan beraneka jenis ini merupakan bukti wujud Penciptanya, dan ia adalah Allah SWT. Sebab, tidak ada di alam ini yang mengklaim penciptaannya selain diri-Nya. Logika manusia tidak bisa menerima jikalau sesuatu itu  ada tanpa ada yang mengadakannya. Bahkan, sesuatu yang sederhana saja, tidak mungkin ada tanpa ada yang mengadakannya, seperti makanan tanpa ada memasaknya, atau bentangan karpet di tanah tanpa ada yang membentangnya? Maka, bagaimana dengan alam yang besar ini, berupa langit dan semua yang tercakup di dalamnya, berupa semesta, matahari, bulan, dan bintang-bintang; semuanya berbeda ukurannya, kadarnya, spektrumnya, dan perjalanannya, kemudian juga dengan bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya, berupa manusia, jin, dan hewan, dengan jenis dan pribadi yang berbeda warna dan bahasa, berbeda dalam pengetahuan dan pemahaman, kekhasan dan identitas, kemudian semua yang tersimpan di dalamnya berupa barang tambang yang  beraneka warna dan manfaatnya, kemudian semua yang mengalir di atasnya berapa sungai-sungai, kemudian laut-laut yang melingkupi daratannya, kemudian tumbuhan dan pepohohan yang tumbuh di atasnya yang buah-buahannya berbeda; berbeda jenisnya, rasanya, dan baunya, khasnya, dan manfaatnya. 


2-Wujud kalam Allah SWT di hadapan kita, yang kita baca, kita tadabburi dan kita berusaha memahami makna-maknanya, merupakan bukti wujud-Nya. Mustahil, jikalau ada kalam tapi tidak ada yang mengucapkannya. Tidak mungkin ada kata jikalau tidak ada yang mengatakannya.


Kalam-Nya adalah bukti wujud-Nya. Apalagi, kalam-Nya itu mencakup pensyariatan paling kokoh yang dikenal umat manusia, undang-undang paling lurus yang mampu mewujudkan banyak kebaikan bagi kemanusiaan, sebagaimana ia mencakup teori-teori ilmiah yang paling bisa dipercaya, kemudian juga mencakup banyak perkara-perkara ghaib dan peristiwa-peristiwa sejarah. Ia benar dalam semua yang disampaikannya. Sepanjang masa, tidak ada satu pun syariatnya yang tidak mampu mewujudkan kemaslahatan, walaupun masa dan tempatnya berbeda. Tidak ada satu teori terbaru pun dari sekian banyak teori ilmiyah yang mampu membantah kebenarannya, serta tidak ada satu kabar ghaib pun yang dikabarkan yang berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Sebagaimana, tidak ada seorang pun sejawaran, siapapun itu, yang berani mengkritik satu kisah saja dari sekian banyak kisah yang sudah disebutkannya dan menganggapnya dusta, atau berani mendustakannya atau menafikan salah satu kejadian dari sekian banyak kejadian sejarah yang ditunjukkannya atau dirincikan kejadiannya. 


Kalam yang bijaksana seperti ini, mustahil bagi logika manusia untuk menuduhnya sebagai karya salah seorang anak manusia. Sebab, keberadaannya jauh di atas kemampuan manusia dan tingkat pengetahuan mereka. Jikalau ia bukanlah kalam manusia, maka itu artinya ia adalah kalam pencipta manusia. Ia adalah bukti wujud-Nya, ilmu-Nya, kemampuan-Nya, dan kebijaksanaan-Nya. 


3-Adanya sistem yang detail dalam sunnah-sunnah kauniyah, dalam penciptaan dan Takwîn, pertumbuhan dan perkembangan bagi seluruh makhluk hidup di alam ini. Semuanya tunduk terhadap sunnatullah, terikat dengannya, dan tidak bisa meninggalkannya sedikit pun. Manusia, misalnya, dimulai dengan wujudnya sebagai mani di dalam rahim, kemudian melalui sejumlah tahapan menakjubkan yang tidak bisa diintervensi siapapun selain Allah SWT, sampai ia lahir sebagai manusia normal. Ini adalah hal penciptaan dan takwîn. Dalam hal pertumbuhan dan perkembangan, maka wujudnya dimulai dari masa bayi dan anak-anak, kemudian menjadi pemuda, kemudian menjadi dewasa dan tua. 


Sunnah-sunnah umum yang berlaku bagi manusia dan hewan ini, berlaku juga untuk pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Begitu juga dengan planet-planet dan benda-benda langit. Semuanya tunduk dengan sunnah-sunnah yang sudah ditentukan, tidak bisa dilanggar dan keluar dari garis yang sudah ditetapkan. Jikalau keluar dari garisnya atau ada sejumlah planet keluar dari garis peredarannya, maka selesailah kehidupan ini. 


Dengan dalil-dalil logika ini, dan dengan dalil-dalil Naqli ini, seorang muslim beriman kepada Allah SWT dan dengan Rububiyyah-Nya terhadap segala sesuatu, serta Ilahiyyah-Nya bagi yang terdahulu dan yang kemudian. Dengan dasar keimanan dan keyakinan ini, kehidupan seorang muslim menjalani semua urusan. 


Catatan kaki: 

(1)Ini sesuai dengan firman Allah SWT: 

وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ

“Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.” (Surat al-A’râf: 43)

Sunnah Tasmiyah Sebelum Makan

Sunnah Tasmiyah Sebelum Makan


Membaca doa sebelum makan merupakan salah satu Sunnah Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Salamah radhiyallahu anhu berkata, "Aku berada di rumah Nabi Saw. Tanganku bergerak kemana-mana di jamuan. Kemudian beliau berkata kepadaku, "Wahai anak kecil, baca Basmallah, makan dengan tangan kananmu, dan makanlah yang dekat darimu." 

Jikalau suatu kali kita terlupa membaca Tasmiyah, kita bisa melakukannya ketika sedang makan. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Turmudzi, Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad, dan selainnya, dari Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah Saw bersabda: "Jikalau salah seorang di antara kalian makan, maka bacalah Bismillah. Jikalau ia lupa (membacanya) di awalnya, maka hendaklah membaca: 

بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ

"Dengan nama Allah SWT di awalnya dan di akhirnya." 

Bacaan Bismillah ini akan memberikan kita kekuatan untuk menghadapi setan dalam kegiatan sehari-hari yang kita jalani. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, ia mendengar Nabi Saw bersabda, "Jikalau seseorang masuk ke dalam rumahnya, kemudian ia menyebut Allah SWT ketika memasukinya dan ketika makannya, maka setan akan berkata, "Tidak ada tempat bermalam bagi kalian dan tidak ada makan malam." Namun jikalau ia masuk (ke rumahnya), kemudian tidak menyebut nama Allah SWT ketika memasukinya, maka setan akan berkata, "Kalian mendapatkan tempat bermalam." Dan jikalau ia tidak menyebut nama Allah SWT ketika makan, maka setan akan berkata, "Kalian sudah mendapatkan tempat bermalam dan makan malam."

Maka, jangan lupa Tasmiyah.[]

Hukum & Pentingnya Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)

Hukum & Pentingnya Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)


Lisan itu bahasa Arab. Sudah familiar dalam Bahasa Indonesia. Artinya lidah. Tidak bertulang. Namun lebih tajam dari pedang. Jikalau pedang hanya melukai,kemudian keluar darah, diobati, kemudian sembuh. Lisan tidak begitu. Jikalau dilukai oleh lisan. Lukanya dalam dan tidak terlihat. Walaupun sudah berusaha diobati dengan kata maaf, namun lukanya tidak akan sembuh. Sakitnya mungkin meredam, Namun, suatu hari nanti akan kambuh  kembali. 


Hukum menjaganya wajib. Lazim. Banyak darah yang tumpah karena lisan yang tidak terjaga. Gara-gara bercanda yan tidak pada tempatnya, akhirnya pisau menancap di dada. Gara-gara sebutan yang tidak selayaknya, peluru sampai bersarang di kepala. Banyak sekali kasus yang berawal dari lisan ini. 


Maka, berhati-hatilah dengan lisan. Penting Hidzul Lisan atau menjaga lidah ini. 


Lidah memang tidak bertulang, namun ketajamannya tidak bisa Anda bandingkan dengan pedang atau sejenisnya. Jikalau pedang hanya bisa membuat luka fisik, namun lidah mampu membuat luka dalam, yang tentunya kesembuhannya jauh lebih susah dari yang pertama.  


Hadits-Hadits Rasulullah Saw Tentang Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)


Ada sejumlah hadits yang menjelaskan mengenai lisan ini. Kita akan memaparkan dalam tulisan ini beberapa di antaranya. 


Rasulullah Saw bersabda: 

“Sebahagian besar kesalahan anak Adam berada di lisannya.” [Diriwayatkan oleh At-Thabrany dan Ibn Abi Ad-Dunya] 

Semakin banyak Anda berbicara, maka semakin banyak kesalahan Anda. Makanya, kata pepatah “diam itu emas.” Bukan berarti diam terus, ya! Adakalanya kita harus berbicara menyampaikan pendapat, apalagi jikalau statusnya darurat; wajib; kudu dilakukan. Hanya saja, dalam status tidak perlu, santai, banyak bicara akan membuat diri seringkali jatuh ke dalam jurang masalah.


Dalam hadits lainnya dijelaskan:

مَن كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فليقُلْ خيرًا أو ليصمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ucapkanlah kebaikan atau diam.” [Muttafaq Alaihi]


Imam al-Syafii mengatakan: 

“Jikalau seseorang ingin berbicara, maka hendaklah ia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Jikalau memang ada maslahatnya, maka ia silahkan berbicara. Jikalau ragu, maka tidak usaha berbicara sampai tampak ada maslahatnya.” (Kitab al-Azkar: 114)


Dalam bahasa lainnya, mungkin bisa kita katakana, orang yang asal bicara saja, asal melambe saja, tanpa memikirkan dahulu apa yang akan diucapkannnya, maka keimanannya yang ada di dalam hatinya perlu dipertanyakan.


Rasulullah Saw bersabda: 

مَن يضمن لي ما بين لَحْيَيْهِ وما بين رِجْليه أضمن له الجنة

“Siapa yang menjamin bagiku apa yang ada di antara dua jenggotnya (kumis & jenggot) dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka saya menjamin surge baginya.” (HR al-Bukhari)


Di antara kumis dan jenggot itu adalah mulut. Dalam mulut itu ada lisan. Lisan itu lunak, tidak bertulang. Namun dosa yang dilahirkannya bisa banyak, sebagaimana pahala yang didapatkannya juga bisa banyak. Maka, mengarahkan lisan untuk selalu berada di jalan Allah SWT adalah sebuah kewajiban, sebagaimana wajibnya menjaga apa yang ada di antara kedua kaki dari dosa dan perzinaan. 


Pada suatu hari, Musa Al-Asyary bertanya kepada Rasulullah Saw: 

“Muslim manalah yang lebih baik?” 

Beliau menjawab:

مَن سلِم المسلمون من لسانه ويده

“Orang yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari]

Ya, banyak yang mengaku muslim, namun lidahnya tajam. Tidak ada satu orang pun yang berbicara dengannya, kecuali akan luka; sakit hati. Muslim yang hakiki adalah muslim yang mampu menjaga lisannya melukai batin orang lain, dan menjaga tangannya menyakiti lahir.

 

Uqbah bin Amir bertanya kepada Rasulullah Saw: 

“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?” 

Beliau menjawab:

أمسِكْ عليك لسانك، وليسَعْك بيتك، وابكِ على خطيئتك

 “Tahanlah lisanmu, maka rumahmu akan lapang, dan tangisilah kesalahanmu.” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi]


Hasan Al-Bashry meriwayatkan perkataan para sahabat, “Lisan seorang mukmin berada di belakang hatinya. Jikalau ia ingin bicara, maka ia memikirkannya dengan hatinya dan disampaikan dengan lisannya. Dan lisan orang munafik berada di hadapan hatinya. Jikalau ia ingin bicara, maka ia menyampaikannya dengan lisannya dan tidak memikirkan dengan hatinya.” [Diriwayatkan oleh Al-Kharaithy] 

Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa seorang mukallaf harus menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang menampakkan kemaslahatan. Jikalau maslahah dan mudharatnya sama, maka meninggalkannya lebih utama.”


Bahaya Lisan (Afāt al-Lisān)


Ada beberapa bahaya yang bisa ditimbulkan oleh lisan, yang harus Anda hindari dalam kehidupan sehari-hari: 


1-Ghibah

Ghibah atau gunjing adalah menyebut muslim lainnya dengan sesuatu yang dibencinya, baik berkaitan dengan agamanya, dunianya maupun badannya, atau berkaitan dirinya, atau bentuknya, atau akhlaknya, atau berkaitan dengan anaknya, atau bapaknya, atau hartanya, atau istrinya, atau pelayannya, atau budaknya, atau berkaitan dengan pakaiannnya, cara jalannya, senyumannya, keceriaannya, dan lain-lain, baik Anda menyebutnya dengan lafadz, atau isyarat, atau tulisan, atau media-media komunikasi lainnya. 


Pada suatu hari, Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabatnya:

أتدرون ما الغِيبة؟ 

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?” 

Mereka menjawab;

الله ورسوله أعلم

 “Allah Swt dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” 

Beliau berkata: 

ذكرك أخاك بما يكره

“Menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” 

Mereka bertanya: 

أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟

“Bagaimana pendapatmu jikalau saya mengatakan apa yang ada pada dirinya?”

Beliau menjawab:

إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهَتَّه

“Jikalau apa yang engkau katakan itu ada dalam dirinya, maka engkau telah mengghibahnya. Jikalau tidak, maka engkau telah melakukan kebohongan besar.” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi] 


Ada tiga point utama dalam hadits di atas: 

Pertama, Ghibah atau gunjing itu artinya menyebut saudara Anda atau muslim lainnya dengan sesuatu yang memang ada pada dirinya. Lucunya, seringkali kita dengar pelaku Ghibah berkata, “Ini bukan Ghibah, ya.” Terus ia berkata ini dan itu tentang si Anu. Ya, itu Ghibah namanya. Jikalau mengatakan yang tidak benar, itu namanya fitnah. Hihi…


Kedua, Jangan ikut serta dalam pergunjingan atau ghibah. 

Ini juga sering kita langgar. Bukannya meredakan suasana, malah ikut nimbrung nambahin. Hedeh… Itu mah sama saja ikut menambah dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk. Lama-lama nanti bicaranya akan kemana-mana, menyebut ini itu yang seharusnya tidak dibahas.


Ketiga, Kalau sudah ikut Ghibah atau Gunjing, setelah tinggalkan. 

Jikalau sudah terlanjur ikut Ghibah atau Gunjing, segera istighfar, taubat. Jangan malah nambahin lagi. “tanggung,” katanya. Hehe.. Istighfar. Mohon ampun Allah SWT. Jauhkan diri Anda segera dari perbuatan tidak baik ini. 


2-Namimah

Namimah adalah adu domba, yaitu menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lainnya dengan tujuan menimbulkan khusumat di antara mereka. 


Kedua perbuatan ini diharamkan dalam Islam, dan merupakan Ijma’ umat. Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini dalam Al-Quran dan Sunnah, seperti firman Allah Swt:


 “Janganlah sebahagian kalian mengghibah sebahagian lainnya.” [Al-Hujarat: 12] 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ  

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (Surat al-Hujurat" 112)


Dan Rasulullah Saw bersabda:

لا يدخل الجنة نمام 

“Tidak ada pernah masuk surga, seseorang yang suka mengadu domba.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]


Jadi, marilah menjaga lisan. Banyak keutamaan dan fadilah, dan manfaat di balik penjagaannya. Susah memang. Tapi disitulah ujiannya. Manusia itu makhluk social, yang tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berbicar. Apalagi wanita. Jangan ditanya. []

Hukum Khitan Menurut 4 (Empat) Mazhab

Hukum Khitan Menurut 4 (Empat) Mazhab


Ada dua pendapat utama dalam masalah ini di kalangan 4 Mazhab. 

Pertama, Sunnah. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi. Walaupun mereka berpandangan bahwa hukumnya sunnah. Hanya saja, dalam pandangan mereka, jikalau ada seorang laki-laki meninggalkannya, maka ia dipaksa untuk melakukannya. 

Dalam Syarh Kitab Fath al-Qadir (1/ 63): 

“Dua khitan, yaitu bagian yang dipotong dari zak*ar dan kem*alu*an, hukumnya sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita. Sebab, berjima dengan perempuan yang dikhitan lebih nikmat. Dalam Nuzhul al-Fiqh dijelaskan bahwa hukumnya sunnah bagi keduanya. Hanya saja, jikalau ditinggalkan oleh laki-laki, maka dipaksa melakukannya kecuali dikhawatirkan kematiannya. Sedangkan jikalau perempuan meninggalkannya, maka tidak dipaksa.” (Lihatlah Kitab al-Fatawa al-Hindiyah: 6/ 445)

Dalam Kitab Hasyiyah Ibn Abidin (6/ 371) dijelaskan: 

“Khitan itu sunnah bagi laki-laki, merupakan bagian dari fitrah, tidak mungkin diabaikan. Dan ia merupakan kemuliaan bagi para wanita.” 

Lebih lanjut dijelaskan (6/ 751):

“Hukum asal untuk khitan adalah sunnah, sebagaimana terdapat dalam al-Khabar. Ia merupakan salah satu syiar Islam dan kekhususannya. Jikalau penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkannya, maka Imam memeranginya. Ia tidak boleh ditinggalkan kecuali karena udzur.” 

Kemudian dilanjutkan: 

“Dan khitan bagi perempuan, hukumnya tidak sunnah, tapi kemuliaan. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah.” 

Mazhab Maliki juga berpandangan sama. Hukumnya sunnah. Dalam Syarh al-Khirsy (3/ 48) dijelaskan, “Hukumnya sunnah bagi laki-laki, yaitu memotong kulit yang menutupi. Dan mustahab bagi para wanita.” (Lihatlah Kitab Hasyiyah al-Dasuqi: 126; dan Kitab al-Syarh al-Shaghir: 2 151)

Dalam Kitab al-Fawakih al-Dawani (1/ 394) dijelaskan, “Khitan itu sunnah, dan wajib bagi laki-laki. Siapa yang meninggalkannya tanpa uzur, maka tidak boleh menjadi Imam, tidak boleh persakskannya. Bahkan Ibn Syihab mengatakan, ‘Tidak sempurna keislaman seseorang kecuali dengan khitan” 

Dan pendapat ini, juga dianut oleh sebagian pengikut Mazhab Syafii (Lihat Kitab Tharh al-Tatsrib: 2/ 75)

Kedua,  Wajib. Ini merupakan pendapat yang Masyhur dalam Mazhab Syafii. Lihatlah Kitab al-Majmu: 1/ 349; Kitab Hasyiyah Qalyubi dan Umairah (4/ 211); Kitab Tuhfah al-Muhtaj: 9/ 198; Kitab Nihayah al-Muhtaj: 8/ 35; Kitab Futuhat al-Wahhab: 5/ 173. 

Ini juga merupakan pendapat dalam Mazhab Hanbali. Lihatlah Kitab al-Muharra (1/11); Kitab Kasyyaf al-Qina’ (1/ 80); Kitab al-Mubdi’ (1/ 103); Kitab al-Raudh al-Murabba’ (1/ 237). 

Itulah pendapat 4 mazhab terkait hokum khitan atau sunat ini. 


Dalil Masing-Masing Kelompok

Membahas pendapat para ulama tanpa melihat dalil, sepertinya belum lengkap dan belum kuat. Khawatirnya, hanya sekadar logika kosong tanpa landasan hokum dari al-Quran atau Sunnah. 

Yup. Mari kita lihat dalil masing-masing kelompok. 

#Kelompok yang menyatakan sunnah

 Diriwayatkan oleh Abu al-Mulaih bin Usamah, dari bapaknya bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: 

الختان سنة للرجال، مكرمة للنساء

“Khitan itu sunnah bagi laki-laki, dan kemuliaan bagi para wanita.” (Hr Ahmad)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa ia mendengar Nabi Muhammad Saw bersabda: 

الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط

“Fitrah itu ada lima; khitan, mencukur bulu kem*alu*an, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Hr Muslim)

Al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad bahwa Silm bin Abi al-Zayyal mengatakan, “Ia mendengar al-Hasan mengatakan, ‘Apakah kalian tidak heran dengan orang ini? (maksudnya, Malik bin al-Mundzir) Ia sengaja memeriksa para sepuh penduduk Kashkar ketika mereka masuk Islam, kemudian memerintahkan mereka untuk berkhitan di musim dingin ini. Ada kabar yang sampai kepadaku bahwa ada sebagiannya yang meninggal. Ada orang Rum dan Habsyah yang masuk Islam bersama Rasulullah Saw, namun mereka tidak diperiksa sedikit pun.” 

#Kelompok yang menyatakan Wajib

Ibrahim alaihissalam itu berkhitan, dan merupakan salah satu syariatnya. Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk mengikutinyam, sebagaimana firman Allah SWT: 

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (Surat al-Nahl: 123)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

اختتن إبراهيم - عليه السلام - وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم

“Ibrahim alaihissalam berkhitan ketika beliau berusia delapan puluh tahun di al-Qadwam.” (Hr Muslim)

Diriwayatkan oleh Utsaim bin Kulaib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa ia mendatangi Nabi Muhammad Saw, kemudian mengatakan, “Saya masuk Islam.” Kemudian beliau bersabda: 

ألقِ عنك شعر الكفر

“Buang darimu rambut kekufuran.” (Hr Muslim)

Maksudnya,khitan

Kelompok ini juga berpandangan  bahwa kulit kema*lu*an yang tidak dipotong menentukan sahnya shalat, layaknya orang yang menahan najis di mulutnya. Mereka juga mengatakan bahwa membuka aurat bagi orangyang dikhitan dan melihatnya bagi yang mengkhitan, hukumnya bleh. Padahal, hokum asalnya haram. Jikalau bukan karena wajib, maka ia tidak akan dibolehkan. 

Khitan merupakan salah satu syiar agama, yang membedakan antara muslim dengan kafir. Jikalau ada seseorang berkhitan di antara korban yang tidak berkhitan, maka orang tadi dishalatkan dan dikuburkan di kuburan kaum muslimin. 

Khitan itu memotong bagian tubuh yang sehat. Jikalau bukan karena hukumnya wajib, maka ia tidak akan dibolehkan layaknya memotong jari, yang hanya dibolehkan dalam kasus Qishas. 


Kesimpulan

Itulah perbedaan pendapat di kalangan ulama 4 Mazhab seputar masalah hokum khitan atau sunat. Jalan terbaik adalah berkhitan atau bersunat bagi seorang Muslim, utamanya bagi yang sudah mencapai usia baligh. Kalau pun ada Mazhab yang menyatakan sunnah, namun tetap ditegaskan bahwa jikalau ada laki-laki yang sengaja meninggalkannya, maka dipaksa melakukannya. Bahkan, kalau ada penduduk di suatu kampung tidak mau berkhitan atau bersunat, maka diperangi oleh Imam. []