Hukum Syukuran Khitanan (Walimah al-Khitan)

Hukum Syukuran Khitanan (Walimah al-Khitan)


Bagaimana hokum tasyakuran atau syukuran khitanan/ sunatan menurut islam? Bagaimana hokum menghadiri undangan tersebut? Apakah dalil dari ayat atau hadits nabi (sunnah) tentang walimatul khitan?”

Pendapat Imam 4 Mazhab Mengenai Hukum Syukuran/ Walimah Khitanan & Hukum Menghadiri Undangannya

Di atas, kita sudah membahas masalah ini secara umum, namun jikalau kita mau lebih merinci masalahnya, mari kita melihat pandangan Imam 4 Mazhab mengenai masalah ini, lengkap dengan dalilnya dari al-Quran dan sunnah. 

Pendapat Pertama, Syukuran khitanan/ Walimah al-Khitan, hukumnya sunnah, kemudian menghadiri undangannya juga sunnah. Ini merupakan pendapat dari Mazhab Hanafi(Lihatlah Kitab al-Badai wa al-Shanai: 7/10), salah satu pendapat dalam Mazhab Syafii (Lihat Kitab al-Umm: 6/ 159). Dalam kitab al-Umm ini dijelaskan, “Semua undangan yang terkait dengan kepemilikan, atau nifas, atau khitan, atau peristiwa bahagia yang diundangkan oleh seseorang, maka itu dinamakan al-Walimah. Saya tidak memberikan keringanan/ dispensasi kepada seorang pun untuk tidak menghadirinya. Jikalau sampai ia tidak menghadirinya, maka ia bermaksiat kerena meninggalkannya, sebagaimana berlaku hokum yang sama untuk pesta pernikahan.” 

Pendapat ini juga salah satu pendapat dalam Mazhab Hanbali (Lihat Kitab al-Inshaf: 5/ 320)

Dalilnya apa?

Abu Hurairah radhiyallahu mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:

حق المسلم على المسلم خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس

“Hak muslim atas muslim lainnya; menjawab salam, membezuk orang yang sakit, mengantarkan jenazah, menghadiri undangan, dan mendoakan orang yang  bersin.” (Hr al-Bukhari)

Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asyari radhiyallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: 

فكوا العاني، وأجيبوا الداعي

“Bebaskanlah orang yang menderita, dan hadirilah orang yang mengundang.” (Hr al-Bukhari)

Kedua hadits di atas berhubungan dengan menjawab undangan. Sifatnya umum, mencakup semua undangan, baik walimah atau pesta pernikahan, syukuran khitanan, dan lain-lain. 

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

إذا دعي أحدكم إلى الوليمة، فليأتها

“Jikalau salah seorang di antara kalian diundang menghadiri walimah, maka datangilah.” (Hr al-Bukhari)

Dalam riwayat Ibn Abi Syaibah, dari Nafi mengatakan bahwa Ibn Umar berbagi makan untuk khitan anak-anak. 


Pendapat Kedua, Syukuran khitanan atau Walimah al-Khitan itu hukumnya sunnah bagi anak laki-laki, bukan anak perempuan. Sebab, jikalau diadakan juga syukuran bagi anak perempuan yang dikhitanan, ia akan merasa malu karenanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh al-Auzai dari pengikut Mazhab Syafii (Lihat Kitab Mughni al-Muhtaj: 4/ 403)

Dalilnya sama dengan kelompok pertama. Hanya saja, di kelompok kedua ini ada Ijtihad (pandangan) untuk membedakan antara anak laki-laki yang dikhitan dengan anak perempuan. 


Pendapat Ketiga, Syukuran Khitanan atau Walimah al-Khitan, hukumnya Mubah. Menghadiri undangannya juga Mubah. Inilah pendapat Mazhab Maliki (Lihat Kitab Mawahib al-Jalil: 34) dan Mazhab Hanbali (Lihat Kitab Muntaha al-Iradat: 3/ 33; Kitab Kassyaf al-Qanna’: 5 166).

Dalil adalah hokum dasar dalam Muamaah

الأصل في الأشياء الإباحة

“Hukum asal segala sesuatu adalah Mubah/ Boleh)

Kemudian juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw: 

ائتوا الدعوة إذا دعيتم

“Datangilah undangan jikalau kalian diundang.” (HR Muslim)

Kemubahannya ini merupakan pemalingan dari perintah di hadits di atas, karena bertentangan dengan  Atsar dari Utsman bin Abi al-Ash yang mengatakan: 

كنا لا نأتي الختان، ولا ندعى له على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Dahulu kami tidak mendatangi khitan, dan tidak diundang karenanya di zaman Rasulullah Saw.” 

Hanya saja riwayat ini dhaif/ lemah. 


Pendapat Keempat, Syukuran Khitanan itu Makruh, dan menghadirinya juga Makruh. Ini merupakan pendapat sebagian pengikut Mazhab Maliki (Lihat Kitab al-Hasyiyah: 2/ 337; Balghah al-Salik: 2/ 499) dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad (Lihat Kitab al-Inshaf: 8/ 321).

Dalilnya adalah hadits Utsman bin Abi al-Ash di atas. Makna Atsar itu dipegang, tanpa melihat hadits-hadits yang memerintahkannya. Sebab perintah menghadiri walimah adalah untuk walimah pernikahan, bukan khitanan. Begitu pendapat mereka.


Kesimpulan Hukum; Pendapat Terpilih & Catatan Penting

Tidak masalah mengadakan syukuran atau pesta atau walimah untuk acara khitan anak Anda, sebagai bentuk rasa bahagia, rasa senang, dan rasa syukur kepada Allah SWT yang sudah mengaruniakan nikmat-Nya kepada Anda. 

Ibn al-Quddamah mengatakan dalam kitabnya al-Mughni (7/ 286):

“Hukum undangan khitanan dan semua jenis undangan selain walimah adalah sunnah. Sebab dalam acara ini ada bagi-bagi makanan. Hukum mendatangi undangan ini adalah sunnah, bukan wajib. Ini adalah pendapat Malik, al-Syafii, Abu Hanifah, dan para pengikutnya. 

Menghadiri undangan, siapa saja yang mengundang, hukumnya sunnah. Sebab ketika menghadirinya, hati orang yang mengundang akan senang, jiwanya akan bahagia. Imam Ahmad pernah di undang ke acara khitanan, kemudian beliau menghadirinya dan makan makanannya.

Terkait undangan itu sendiri, khususnya bagi orang yang mengundang (yang mengadakan syukuran), tidak ada keutamaan khusus baginya, karena tidak ada dalil yang menjelaskan masalah ini dalam syariat. Kedudukanya adalah undangan tanpa sebab. Jikalau orang yang mengundang tersebut berniat syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang dikaruniakan kepada-Nya, memberi makan sahabat-sahabatnya dan bersedekah makanan, maka ia mendapatkan pahala, Insya Allah.” 

Fatwa al-Lajnah al-Daimah mengatakan: 

“Berbahagia karena khitan merupakan sesuatu yang dituntut dalam syariat. Sebab, khitan merupakan salah satu syariat Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: 

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah, dengan karunia Allah SWT dan rahmat-Nya, hendaklah mereka berbahagia. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Surat Yunus: 58)

Khitan merupakan salah satu karunia Allah SWT. Tidak masalah membuat makanan atas moment ini sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT.” 

(Lihatlah Fatawa al-Lajnah al-Daimah: 5/142)

Sebagai catatan, perlu diperhatikan bahwasanya hendaklah syukuran khitanan atau Walimah al-Khitan ini tidak mengadakan acara-acara yang bermuatan maksiat, seperti dangdutan, wayang semalan suntuk, dan selainnya. 

Dan untuk orang yang diundang, hendaklah menghadiri undangan yang diberikan kepada Anda. Jangan pula Anda bilang bidah atau sesat. Ini merupakan ruan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun satu hal pokok yang mungkn tidak boleh diabaikan; Tunaikan Hak Saudara Muslim Anda, yaitu datang jikalau diundang. []

Sunnah Mengakhirkan Sahur

Sunnah Mengakhirkan Sahur


Kalau kita ingin berpuasa, salah satu Sunnah Nabi Muhammad Saw yang kita diperintahkan untuk menjaganya adalah Sahur. Dan di dalam sahur itu sendiri, ada lagi sunnah lainnya, yaitu mengakhirkan Sahur. 

Sunnah yang satu ini, akan memberikan kepada kita kemampuan untuk menjalani puasa, kemudian juga memberikan kekuatan untuk memikul ujian lapar dan dahaga. 

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit yang suatu hari bercerita, "Kami pernah bersahur bersama Nabi Muhammad Saw, kemudian kami bangkit mengerjakan shalat." Kemudian Anas bin Malik bertanya, "Berapa jarak antara Azan dan Sahur." Ia menjawab, "Sekadar 50 ayat." 

Jadi, jarak antara sahur dengan Subuh itu hanya beberapa menit saja. 

Kita sendiri, mungkin juga banyak yang lainnya, seringkali menunda sahur dengan niat untuk kuat berpuasa, tapi tidak disertai niat untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw. Idealnya, kita niatkan kebaikan tersebut. 

Jangan juga ada yang berkata, "Saya kuat puasa tanpa sahur." Iya, mungkin kuat, tapi kita kehilangan sunnah. Sahur itu bukan sekadar untuk kekuatan berpuasa. Lebih dari itu mengikut sunnah Nabi Muhammad Saw. 

Dan lebih parah lagi, bisa jadi kita masuk ke dalam kelompok yang tidak berpaling dari Sunnah Nabi Muhammad Saw. 

"Bersahurkanlah kalian," Sabda Nabi Saw, sebagaimana diriwayatkan Muslim. "Sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan."[]

Sunnah Berbagi Hadiah

Sunnah Berbagi Hadiah


Memberi Hadiah kepada orang lain, siapa pun itu, adalah salah satu sunnah Nabi Saw. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dijelaskan, Rasulullah Saw bersabda: 

تَهَادُوا تَحَابُّوا

"Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai." 

Ada kebahagiaan tersendiri yang akan dirasakan ketika seseorang mendapatkan hadiah dari orang lain. Walaupun mungkin yang diberikan itu hanya sesuatu yang sederhana. Disitulah bentuk perhatiannya. Rasa cinta dan kasih sayang di antara sesama akan semakin tumbuh merekah. 

Makanya, Nabi Muhammad Saw menerima hadiah sederhana sekalipun. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Anas bin Malik radhiyallahu anhu bercerita bahwa Barirah menghadiahkan daging kepada Nabi Saw.

Daging tersebut pada awalnya adalah sedekah yang diberikan kepada Barirah. Beliau pun menerimanya dan berkata: 

 هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ 

"Baginya sedekah, bagi kita hadiah." 

Hadiah tipis-tipis minimalis, sudah masuk ke dalam kesunnahan ini. Disesuaikan dengan kemampuan. Semakin besar, tentunya semakin baik. 

Menghadiahkan buku atau pakaian atau makanan atau pulpen, dan lain sebagainya, mungkin beberapa contoh yang bisa dijadikan inspirasi. Bisa dihadiahkan kepada siapa saja; Orangtua, Suami atau Istri, Teman, Kerabat. []

Sunnah Tasyahhud Setelah Berwudhu'

Sunnah Tasyahhud Setelah Berwudhu'


Salah satu sunnah yang mungkin juga perlu kita perhatikan setelah berwudhu adalah bertasyahhud, mengikrarkan kalimat Tauhid. 

Dalam hadits riwayat Muslim, dari Uqbah bin Amir, Rasulullah Saw bersabda, "Tidak seorang pun di antara kalian berwudhu, kemudian menyempurnakannya, kemudian membaca: 

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

"Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah melainkan Allah SWT semata, tidak sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.' Kecuali dibukakan baginya pintu surga yang delapan. Ia bisa masuk dari pintu mana pun diinginkannya."

Jikalau kita mau menambah kebaikan lagi, bisa ditambahkan dengan doa pendek. Diriwayatkan oleh al-Turmudzi, dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: 

"Siapa yang berwudhu, kemudian memperbagus wudhunya, kemudian membaca: 

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah melainkan Allah SWT semata, tidak sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah diriku bagian dari orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah diriku bagian dari orang-orang yang menyucikan diri.' Kecuali dibukakan baginya pintu surga yang delapan. Ia bisa masuk dari pintu mana pun diinginkannya."

Ya, tidak makan waktu lama untuk sunnah ini. Maka, mari berusaha bersama-sama mengamalkannya. Agar Allah SWT membukakan bagi kita pintu surga yang delapan. Kemudian kita bisa masuk dari pintu mana pun. 

Subhanallah. Walhamdulillah. Allahu Akbar. []

Iman Terhadap Uluhiyyah Allah SWT

Iman Terhadap Uluhiyyah Allah SWT


Seorang muslim mengakui Uluhiyyah Allah SWT (bahwa Dia adalah Ilah) bagi yang terdahulu dan yang kemudian; tidak ada ilah selain diri-Nya, tidak yang berhak disembah dengan haq selain diri-Nya. 

Semua itu berdasarkan dalil-dalil Naqli dan Aqli berikut ini. Siapa saja yang diberikan hidayah oleh Allah SWT, maka ia adalah orang yang mendapatkan hidayah. Dan siapa yang tersesat, maka tidak ada penunjuk baginya. 

DALIL NAQLI

1-Persaksian Allah SWT, persaksian para Malaikat-Nya, dan para Ulama tentang Uluhiyyah-Nya. 

Allah SWT berfirman: 

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Surat Ali Imrân: 118)


2-Pemberitahuan Allah SWT mengenai hal itu dalam sejumlah ayat-Nya di dalam Kitab-Nya yang mulia. 

Allah SWT berfirman: 

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. " (Surat al-Baqarah: 255)


Dan firman-Nya: 

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. " (Surat al-Baqarah: 163) 


Dan berfirman kepada Nabi-Nya; Nabi Musa alaihissalam: 

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku." (Surat Ťahâ: 14) 


Dan berfirman kepada Nabi kita Muhammad Saw: 

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah." (Surat Muhammad: 19) 


Dan berfirman memberitahukan tentang diri-Nya:

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. " (Surat al-Hasyr: 22-23)


3-Pemberitahuan para Rasul tentang Uluhiyyah-Nya dan menyeru seluruh umat manusia untuk mengakuinya, kemudian untuk beribadah semata hanya kepada-Nya bukan selain-Nya. 

Nabi Nuh berkata: 

Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." (Surat al-A’râf: 59) 


Sama dengan Nuh, Syu’aib, Hud dan Shaleh; tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali mengatakan: 

"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." 


Dan Musa berkata kepada Bani Israel: 

Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat.” (Surat al-A’râf: 140)


Musa mengatakan ini kepada Bani Israel ketika mereka memintanya untuk membuat patung sebagai Tuhan yang mereka sembah. Yunus berkata dalam tasbîhnya: 

Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Surat al-Anbiyâ’: 87) 


Nabi kita Muhammad Saw menucapkan dalam Tasyahhud shalatnya: 

Saya bersaksi bahwa tiada Ilah melainkan Allah saja, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” 


DALIL AQLI

1-Rububiyyah Allah SWT yang sudah tsabit terhadap segala sesuatu tanpa ada perdebatan sedikit pun, melazimkan Uluhiyyah-Nya dan memastikannya. Dialah yang menghidupkan dan mematikan, memberi dan tidak memberi, memberi manfaat dan memudharatkan, Dialah yang berhak disembah oleh sekalian makhluk, yang wajib dipertuhankan dengan menaati-Nya dan mencintai-Nya, mengagungkan-Nya dan menyucikan-Nya, menyukai rahmat-Nya dan takut dengan azab-Nya. 


2-Jikalau semua makhluk itu ber-Rabb kepada Allah SWT, dalam artian mereka adalah orang-orang yang diciptakan oleh Allah SWT dan diberikan rezeki, diatur urusan mereka, ditentukan kondisi dan keadaan mereka, maka bagaimana bisa diterima logika jikalau mereka mempertuhan selain-Nya dari jenis makhluk-Nya yang pastinya juga membutuhkan-Nya? Jikalau sudah jelas bahwa tidak ada makhluk yang menjadi Ilah, maka nyatalah bahwa Penciptanya adalah Ilah yang Haq dan yang berhak disembah sebenar-benarnya. 


3-Penyifatan-Nya dengan kesempurnaan yang mutlak, yang sifat tersebut tidak ada pada selain-Nya, sebagai Zat yang Maha Kuat lagi Maha Kuasa, yang Maha Mulia lagi Maha Besar, Maka Mendengar lagi Maha Melihat, Maha Lembut lagi Maha Penyayang, Maha Kasih lagi Maha Mengetahui, hal itu melazimkan hati para hamba-Nya untuk menuhankan-Nya dengan mencintai-Nya dan mengagungkan-Nya, kemudian menuhankan-Nya dengan anggota badan mereka, dengan cara menaati-Nya dan mengikuti-Nya. []