Sunnah Tasmiyah Sebelum Makan

Sunnah Tasmiyah Sebelum Makan


Membaca doa sebelum makan merupakan salah satu Sunnah Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Salamah radhiyallahu anhu berkata, "Aku berada di rumah Nabi Saw. Tanganku bergerak kemana-mana di jamuan. Kemudian beliau berkata kepadaku, "Wahai anak kecil, baca Basmallah, makan dengan tangan kananmu, dan makanlah yang dekat darimu." 

Jikalau suatu kali kita terlupa membaca Tasmiyah, kita bisa melakukannya ketika sedang makan. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Turmudzi, Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad, dan selainnya, dari Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah Saw bersabda: "Jikalau salah seorang di antara kalian makan, maka bacalah Bismillah. Jikalau ia lupa (membacanya) di awalnya, maka hendaklah membaca: 

بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ

"Dengan nama Allah SWT di awalnya dan di akhirnya." 

Bacaan Bismillah ini akan memberikan kita kekuatan untuk menghadapi setan dalam kegiatan sehari-hari yang kita jalani. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, ia mendengar Nabi Saw bersabda, "Jikalau seseorang masuk ke dalam rumahnya, kemudian ia menyebut Allah SWT ketika memasukinya dan ketika makannya, maka setan akan berkata, "Tidak ada tempat bermalam bagi kalian dan tidak ada makan malam." Namun jikalau ia masuk (ke rumahnya), kemudian tidak menyebut nama Allah SWT ketika memasukinya, maka setan akan berkata, "Kalian mendapatkan tempat bermalam." Dan jikalau ia tidak menyebut nama Allah SWT ketika makan, maka setan akan berkata, "Kalian sudah mendapatkan tempat bermalam dan makan malam."

Maka, jangan lupa Tasmiyah.[]

Hukum & Pentingnya Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)

Hukum & Pentingnya Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)


Lisan itu bahasa Arab. Sudah familiar dalam Bahasa Indonesia. Artinya lidah. Tidak bertulang. Namun lebih tajam dari pedang. Jikalau pedang hanya melukai,kemudian keluar darah, diobati, kemudian sembuh. Lisan tidak begitu. Jikalau dilukai oleh lisan. Lukanya dalam dan tidak terlihat. Walaupun sudah berusaha diobati dengan kata maaf, namun lukanya tidak akan sembuh. Sakitnya mungkin meredam, Namun, suatu hari nanti akan kambuh  kembali. 


Hukum menjaganya wajib. Lazim. Banyak darah yang tumpah karena lisan yang tidak terjaga. Gara-gara bercanda yan tidak pada tempatnya, akhirnya pisau menancap di dada. Gara-gara sebutan yang tidak selayaknya, peluru sampai bersarang di kepala. Banyak sekali kasus yang berawal dari lisan ini. 


Maka, berhati-hatilah dengan lisan. Penting Hidzul Lisan atau menjaga lidah ini. 


Lidah memang tidak bertulang, namun ketajamannya tidak bisa Anda bandingkan dengan pedang atau sejenisnya. Jikalau pedang hanya bisa membuat luka fisik, namun lidah mampu membuat luka dalam, yang tentunya kesembuhannya jauh lebih susah dari yang pertama.  


Hadits-Hadits Rasulullah Saw Tentang Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)


Ada sejumlah hadits yang menjelaskan mengenai lisan ini. Kita akan memaparkan dalam tulisan ini beberapa di antaranya. 


Rasulullah Saw bersabda: 

“Sebahagian besar kesalahan anak Adam berada di lisannya.” [Diriwayatkan oleh At-Thabrany dan Ibn Abi Ad-Dunya] 

Semakin banyak Anda berbicara, maka semakin banyak kesalahan Anda. Makanya, kata pepatah “diam itu emas.” Bukan berarti diam terus, ya! Adakalanya kita harus berbicara menyampaikan pendapat, apalagi jikalau statusnya darurat; wajib; kudu dilakukan. Hanya saja, dalam status tidak perlu, santai, banyak bicara akan membuat diri seringkali jatuh ke dalam jurang masalah.


Dalam hadits lainnya dijelaskan:

مَن كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فليقُلْ خيرًا أو ليصمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ucapkanlah kebaikan atau diam.” [Muttafaq Alaihi]


Imam al-Syafii mengatakan: 

“Jikalau seseorang ingin berbicara, maka hendaklah ia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Jikalau memang ada maslahatnya, maka ia silahkan berbicara. Jikalau ragu, maka tidak usaha berbicara sampai tampak ada maslahatnya.” (Kitab al-Azkar: 114)


Dalam bahasa lainnya, mungkin bisa kita katakana, orang yang asal bicara saja, asal melambe saja, tanpa memikirkan dahulu apa yang akan diucapkannnya, maka keimanannya yang ada di dalam hatinya perlu dipertanyakan.


Rasulullah Saw bersabda: 

مَن يضمن لي ما بين لَحْيَيْهِ وما بين رِجْليه أضمن له الجنة

“Siapa yang menjamin bagiku apa yang ada di antara dua jenggotnya (kumis & jenggot) dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka saya menjamin surge baginya.” (HR al-Bukhari)


Di antara kumis dan jenggot itu adalah mulut. Dalam mulut itu ada lisan. Lisan itu lunak, tidak bertulang. Namun dosa yang dilahirkannya bisa banyak, sebagaimana pahala yang didapatkannya juga bisa banyak. Maka, mengarahkan lisan untuk selalu berada di jalan Allah SWT adalah sebuah kewajiban, sebagaimana wajibnya menjaga apa yang ada di antara kedua kaki dari dosa dan perzinaan. 


Pada suatu hari, Musa Al-Asyary bertanya kepada Rasulullah Saw: 

“Muslim manalah yang lebih baik?” 

Beliau menjawab:

مَن سلِم المسلمون من لسانه ويده

“Orang yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari]

Ya, banyak yang mengaku muslim, namun lidahnya tajam. Tidak ada satu orang pun yang berbicara dengannya, kecuali akan luka; sakit hati. Muslim yang hakiki adalah muslim yang mampu menjaga lisannya melukai batin orang lain, dan menjaga tangannya menyakiti lahir.

 

Uqbah bin Amir bertanya kepada Rasulullah Saw: 

“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?” 

Beliau menjawab:

أمسِكْ عليك لسانك، وليسَعْك بيتك، وابكِ على خطيئتك

 “Tahanlah lisanmu, maka rumahmu akan lapang, dan tangisilah kesalahanmu.” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi]


Hasan Al-Bashry meriwayatkan perkataan para sahabat, “Lisan seorang mukmin berada di belakang hatinya. Jikalau ia ingin bicara, maka ia memikirkannya dengan hatinya dan disampaikan dengan lisannya. Dan lisan orang munafik berada di hadapan hatinya. Jikalau ia ingin bicara, maka ia menyampaikannya dengan lisannya dan tidak memikirkan dengan hatinya.” [Diriwayatkan oleh Al-Kharaithy] 

Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa seorang mukallaf harus menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang menampakkan kemaslahatan. Jikalau maslahah dan mudharatnya sama, maka meninggalkannya lebih utama.”


Bahaya Lisan (Afāt al-Lisān)


Ada beberapa bahaya yang bisa ditimbulkan oleh lisan, yang harus Anda hindari dalam kehidupan sehari-hari: 


1-Ghibah

Ghibah atau gunjing adalah menyebut muslim lainnya dengan sesuatu yang dibencinya, baik berkaitan dengan agamanya, dunianya maupun badannya, atau berkaitan dirinya, atau bentuknya, atau akhlaknya, atau berkaitan dengan anaknya, atau bapaknya, atau hartanya, atau istrinya, atau pelayannya, atau budaknya, atau berkaitan dengan pakaiannnya, cara jalannya, senyumannya, keceriaannya, dan lain-lain, baik Anda menyebutnya dengan lafadz, atau isyarat, atau tulisan, atau media-media komunikasi lainnya. 


Pada suatu hari, Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabatnya:

أتدرون ما الغِيبة؟ 

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?” 

Mereka menjawab;

الله ورسوله أعلم

 “Allah Swt dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” 

Beliau berkata: 

ذكرك أخاك بما يكره

“Menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” 

Mereka bertanya: 

أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟

“Bagaimana pendapatmu jikalau saya mengatakan apa yang ada pada dirinya?”

Beliau menjawab:

إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهَتَّه

“Jikalau apa yang engkau katakan itu ada dalam dirinya, maka engkau telah mengghibahnya. Jikalau tidak, maka engkau telah melakukan kebohongan besar.” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi] 


Ada tiga point utama dalam hadits di atas: 

Pertama, Ghibah atau gunjing itu artinya menyebut saudara Anda atau muslim lainnya dengan sesuatu yang memang ada pada dirinya. Lucunya, seringkali kita dengar pelaku Ghibah berkata, “Ini bukan Ghibah, ya.” Terus ia berkata ini dan itu tentang si Anu. Ya, itu Ghibah namanya. Jikalau mengatakan yang tidak benar, itu namanya fitnah. Hihi…


Kedua, Jangan ikut serta dalam pergunjingan atau ghibah. 

Ini juga sering kita langgar. Bukannya meredakan suasana, malah ikut nimbrung nambahin. Hedeh… Itu mah sama saja ikut menambah dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk. Lama-lama nanti bicaranya akan kemana-mana, menyebut ini itu yang seharusnya tidak dibahas.


Ketiga, Kalau sudah ikut Ghibah atau Gunjing, setelah tinggalkan. 

Jikalau sudah terlanjur ikut Ghibah atau Gunjing, segera istighfar, taubat. Jangan malah nambahin lagi. “tanggung,” katanya. Hehe.. Istighfar. Mohon ampun Allah SWT. Jauhkan diri Anda segera dari perbuatan tidak baik ini. 


2-Namimah

Namimah adalah adu domba, yaitu menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lainnya dengan tujuan menimbulkan khusumat di antara mereka. 


Kedua perbuatan ini diharamkan dalam Islam, dan merupakan Ijma’ umat. Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini dalam Al-Quran dan Sunnah, seperti firman Allah Swt:


 “Janganlah sebahagian kalian mengghibah sebahagian lainnya.” [Al-Hujarat: 12] 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ  

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (Surat al-Hujurat" 112)


Dan Rasulullah Saw bersabda:

لا يدخل الجنة نمام 

“Tidak ada pernah masuk surga, seseorang yang suka mengadu domba.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]


Jadi, marilah menjaga lisan. Banyak keutamaan dan fadilah, dan manfaat di balik penjagaannya. Susah memang. Tapi disitulah ujiannya. Manusia itu makhluk social, yang tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berbicar. Apalagi wanita. Jangan ditanya. []

Hukum Khitan Menurut 4 (Empat) Mazhab

Hukum Khitan Menurut 4 (Empat) Mazhab


Ada dua pendapat utama dalam masalah ini di kalangan 4 Mazhab. 

Pertama, Sunnah. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi. Walaupun mereka berpandangan bahwa hukumnya sunnah. Hanya saja, dalam pandangan mereka, jikalau ada seorang laki-laki meninggalkannya, maka ia dipaksa untuk melakukannya. 

Dalam Syarh Kitab Fath al-Qadir (1/ 63): 

“Dua khitan, yaitu bagian yang dipotong dari zak*ar dan kem*alu*an, hukumnya sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita. Sebab, berjima dengan perempuan yang dikhitan lebih nikmat. Dalam Nuzhul al-Fiqh dijelaskan bahwa hukumnya sunnah bagi keduanya. Hanya saja, jikalau ditinggalkan oleh laki-laki, maka dipaksa melakukannya kecuali dikhawatirkan kematiannya. Sedangkan jikalau perempuan meninggalkannya, maka tidak dipaksa.” (Lihatlah Kitab al-Fatawa al-Hindiyah: 6/ 445)

Dalam Kitab Hasyiyah Ibn Abidin (6/ 371) dijelaskan: 

“Khitan itu sunnah bagi laki-laki, merupakan bagian dari fitrah, tidak mungkin diabaikan. Dan ia merupakan kemuliaan bagi para wanita.” 

Lebih lanjut dijelaskan (6/ 751):

“Hukum asal untuk khitan adalah sunnah, sebagaimana terdapat dalam al-Khabar. Ia merupakan salah satu syiar Islam dan kekhususannya. Jikalau penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkannya, maka Imam memeranginya. Ia tidak boleh ditinggalkan kecuali karena udzur.” 

Kemudian dilanjutkan: 

“Dan khitan bagi perempuan, hukumnya tidak sunnah, tapi kemuliaan. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah.” 

Mazhab Maliki juga berpandangan sama. Hukumnya sunnah. Dalam Syarh al-Khirsy (3/ 48) dijelaskan, “Hukumnya sunnah bagi laki-laki, yaitu memotong kulit yang menutupi. Dan mustahab bagi para wanita.” (Lihatlah Kitab Hasyiyah al-Dasuqi: 126; dan Kitab al-Syarh al-Shaghir: 2 151)

Dalam Kitab al-Fawakih al-Dawani (1/ 394) dijelaskan, “Khitan itu sunnah, dan wajib bagi laki-laki. Siapa yang meninggalkannya tanpa uzur, maka tidak boleh menjadi Imam, tidak boleh persakskannya. Bahkan Ibn Syihab mengatakan, ‘Tidak sempurna keislaman seseorang kecuali dengan khitan” 

Dan pendapat ini, juga dianut oleh sebagian pengikut Mazhab Syafii (Lihat Kitab Tharh al-Tatsrib: 2/ 75)

Kedua,  Wajib. Ini merupakan pendapat yang Masyhur dalam Mazhab Syafii. Lihatlah Kitab al-Majmu: 1/ 349; Kitab Hasyiyah Qalyubi dan Umairah (4/ 211); Kitab Tuhfah al-Muhtaj: 9/ 198; Kitab Nihayah al-Muhtaj: 8/ 35; Kitab Futuhat al-Wahhab: 5/ 173. 

Ini juga merupakan pendapat dalam Mazhab Hanbali. Lihatlah Kitab al-Muharra (1/11); Kitab Kasyyaf al-Qina’ (1/ 80); Kitab al-Mubdi’ (1/ 103); Kitab al-Raudh al-Murabba’ (1/ 237). 

Itulah pendapat 4 mazhab terkait hokum khitan atau sunat ini. 


Dalil Masing-Masing Kelompok

Membahas pendapat para ulama tanpa melihat dalil, sepertinya belum lengkap dan belum kuat. Khawatirnya, hanya sekadar logika kosong tanpa landasan hokum dari al-Quran atau Sunnah. 

Yup. Mari kita lihat dalil masing-masing kelompok. 

#Kelompok yang menyatakan sunnah

 Diriwayatkan oleh Abu al-Mulaih bin Usamah, dari bapaknya bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: 

الختان سنة للرجال، مكرمة للنساء

“Khitan itu sunnah bagi laki-laki, dan kemuliaan bagi para wanita.” (Hr Ahmad)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa ia mendengar Nabi Muhammad Saw bersabda: 

الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط

“Fitrah itu ada lima; khitan, mencukur bulu kem*alu*an, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Hr Muslim)

Al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad bahwa Silm bin Abi al-Zayyal mengatakan, “Ia mendengar al-Hasan mengatakan, ‘Apakah kalian tidak heran dengan orang ini? (maksudnya, Malik bin al-Mundzir) Ia sengaja memeriksa para sepuh penduduk Kashkar ketika mereka masuk Islam, kemudian memerintahkan mereka untuk berkhitan di musim dingin ini. Ada kabar yang sampai kepadaku bahwa ada sebagiannya yang meninggal. Ada orang Rum dan Habsyah yang masuk Islam bersama Rasulullah Saw, namun mereka tidak diperiksa sedikit pun.” 

#Kelompok yang menyatakan Wajib

Ibrahim alaihissalam itu berkhitan, dan merupakan salah satu syariatnya. Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk mengikutinyam, sebagaimana firman Allah SWT: 

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (Surat al-Nahl: 123)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

اختتن إبراهيم - عليه السلام - وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم

“Ibrahim alaihissalam berkhitan ketika beliau berusia delapan puluh tahun di al-Qadwam.” (Hr Muslim)

Diriwayatkan oleh Utsaim bin Kulaib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa ia mendatangi Nabi Muhammad Saw, kemudian mengatakan, “Saya masuk Islam.” Kemudian beliau bersabda: 

ألقِ عنك شعر الكفر

“Buang darimu rambut kekufuran.” (Hr Muslim)

Maksudnya,khitan

Kelompok ini juga berpandangan  bahwa kulit kema*lu*an yang tidak dipotong menentukan sahnya shalat, layaknya orang yang menahan najis di mulutnya. Mereka juga mengatakan bahwa membuka aurat bagi orangyang dikhitan dan melihatnya bagi yang mengkhitan, hukumnya bleh. Padahal, hokum asalnya haram. Jikalau bukan karena wajib, maka ia tidak akan dibolehkan. 

Khitan merupakan salah satu syiar agama, yang membedakan antara muslim dengan kafir. Jikalau ada seseorang berkhitan di antara korban yang tidak berkhitan, maka orang tadi dishalatkan dan dikuburkan di kuburan kaum muslimin. 

Khitan itu memotong bagian tubuh yang sehat. Jikalau bukan karena hukumnya wajib, maka ia tidak akan dibolehkan layaknya memotong jari, yang hanya dibolehkan dalam kasus Qishas. 


Kesimpulan

Itulah perbedaan pendapat di kalangan ulama 4 Mazhab seputar masalah hokum khitan atau sunat. Jalan terbaik adalah berkhitan atau bersunat bagi seorang Muslim, utamanya bagi yang sudah mencapai usia baligh. Kalau pun ada Mazhab yang menyatakan sunnah, namun tetap ditegaskan bahwa jikalau ada laki-laki yang sengaja meninggalkannya, maka dipaksa melakukannya. Bahkan, kalau ada penduduk di suatu kampung tidak mau berkhitan atau bersunat, maka diperangi oleh Imam. []

Hukum & Nisab Zakat Penghasilan (Zakat Profesi)

Hukum & Nisab Zakat Penghasilan (Zakat Profesi)


Dalam setiap zakat itu, wajib ada dua hal yang harus terpenuhi, yaitu Haul dan Nisab. Haul adalah jangka waktu setahun dari kepemilikan barang yang akan dizakatkan. Sedangkan Nisab adalah standar ukuran pengeluarannya.

Terkait Haul, Rasulullah Saw bersabda: 

من استفاد مالا فلا زكاة عليه حتى يحول عليه الحول

“Siapa yang mendapatkan manfaat harta, maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai masuk haulnya.” (Hr al-Turmudzi). 

Sedangkan untuk Nisabnya, berdasandar kepada sabda Rasulullah Saw: 

ليس فيما دون خمس أواق من الورق صدقة

“yang tidak sampai lima uqiyah, tidak ada kewajiban zakatnya.” (Muslim). 

Lima Uqiyah itu, setara dengan 85 gram emas, atau 595 gram perak. Tinggalkan dikalikan saja. 

Contoh, jikalau sekarang ini, harga emas per gram 500. 000, maka dikali 85, hasilnya adalah 42.500.000. Gaji per bulan berarti sekitar 3.500.000. Artinya, jikalau gaji Anda dalam setahun, sudah mencapai jumlah ini, maka sudah ada kewajiban zakatnnya, dengan syarat: 

“Uangnya Anda simpan. Jikalau Anda gunakan untuk kebutuhan pokok Anda, maka artinya tidak ada kewajiban zakatnya karena kurang Nisabnya. Kecuali setelah Anda gunakan, uangnya masih sisa dan mencapai Nisab, maka wajib zakatnya.”   

Atau dengan arti lain. Gaji Anda misalnya 7 juta. 4 juta Anda simpan. 3 jutanya Anda gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dalam setahun, uang tabungan Ana akan mencapai Nisab. Nah, itu ada kewajiban zakatnya. Tapi, ditunggu dulu setahun sejak mencapai Nisabnya agar tercapai Haulnya. Sebenyaknya 2,5%. 

Masih bingung? 

Sisa gaji Anda , Anda tabung 4 juta sebulan. Dalam setahun, ada bulan Desember (misalnya) mencapai 48 juta. Itu sudah sampai Nisabnya. Tapi belum Haul. Anda harus nunggu setahun dulu untuk mengeluarkannya, yaitu di bulan Desember tahun depan. Begitu. 

Itu cara pertama mengeluarkan zakat penghasilan atau zakat profesi. Inilah yang dipakai oleh Banyak ulama, sesuai dengan fatwa MUI 2003 tentang zakat profesi. Dan inilah yang paing masyhur, mengqiyaskannya dengan zakat harta (kekayaan atau simpanan). 

….

Cara kedua, yang juga digunakan oleh sebagian ulama, utamanya di zaman kontemporer adalah mengqiyaskan masa pengeluarannya dengan zakat pertanian. 

Allah SWT berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Surat al-Baqarah: 267)

Dalam ayat lainnya dijelaskan: 

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ 

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (Surat al-Anam: 141)

Nisab zakat pertanian adalah 653 gram Gabah kering, atau setara dengan 520 kg beras. Dengan cara ini, jikalau gaji mencapai nisab, maka dikeluarkan setiap kali menerima gaji. 

Mari kita lihat!

520 kg beras, di kali 10. 000 (harga beras saat ini), sama dengan 5.200.000. Jikalau Anda sudah memiliki gaji 5. 200.000 atau lebih setiap bulannya, maka wajib mengeluarkan zakatnya setiap kali menerimanya, yaitu 2,5 % tanpa perlu menunggu haul lagi, sama dengan zakat pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya setiap kali panen. 

Siapa yang Berhak Menerimanya Zakat Penghasilan/ Zakat Profesi

Sama dengan zakat lainnya. Ada delapan kelompok yang berhak menerimanya. Anda mau menyalurkannya sendiri, jikalau ada waktu, silahkan. Jikalau Anda mau menyalurkannya melalui lembaga zakat, juga tidak masalah. Banyak lembaga zakat yang kredibel dan terpercaya sekarang ini. 

Orang-orang yang berhak menerima zakat itu adalah fakir-miskin, amil, muallaf, fi sabilillah, gharim, dan ibn sabil

Cara mana yang harus dipakai?

Jikalau Anda bertanya kepada saya, maka pendapat yang kuat dan berdasar adalah pendapat yang pertama. Artinya, gaji Anda diakumulasikan dulu selama tahun, yaitu bagian yang ditabung dan diluar yang biasanya digunakan atau dipakai, selain yang dkonsumsi, kemudian jikalau mencapai nisabnya dan sudah masuk haulnya, barulah dikeluarkan zakatnya.

Hanya saja, kelemahannya, kita seringkali berkilah untuk yang satu ini. “Duit bulanan habis untuk beli beras.” “Duit habis untuk bayar hutang.” Dan banyak lagi alasan lainnya, sehingga kita tidak pernah membayar zakat. Uang kita habis untuk kepentingan kita sendiri, baik memang kepenting yang hakiki maupun kepentingan yang dibuat-buat. Tidak ada sedekah, tidak ada zakat, padahal gaji besar.

Dan untuk kehati-hatian, tidak masalah memakai cara yang kedua, apalagi jikalau gaji Anda sudah besar. Keluarkan saja 2,5%nya. Niatkan sebagai zakat penghasilan atau profesi Anda. Jikalau tidak masuk zakat, paling tidak ia akan masuk sedekah. Pahalanya sama atau mungkin lebih besar. Allah yang Maha Tahu. Paling tidak, Anda ada usaha untuk membersihkan harta yang Anda terima dari pekerjaan atau profesi Anda.  

Apalagi arti 2,5% dari gaji Anda yang sudah mencapai angka 5 jutaan setiap bulannya. Hanya sekitar 125 ribuan. Mungkin, harga data internet handphone Anda saja, jauh lebih mahal dari itu. Mungkin, harga Anda sekali duduk saja di restoran-restoran, jauh lebih mahal dari itu. Mungkin, harga baju Anda dan celana Anda, jauh lebih mahal dari itu. Bagi Anda, itu murah. Sedikit. Kecil. 

Hanya saja, setan bermain disini. Anda digoda dengan segala cara agar Anda tidak menunaikannya. Ditakut-takutinya dengan kefakiran dan kemiskinin, dibisikkan “Tidak usah dikeluarkan. Uang 125 ribu, lumayan buat ajak anak istri makan di Rumah Makan Sederhana.” []

Sunnah Mendamaikan (al-Islah)

Sunnah Mendamaikan (al-Islah)


Dalam riwayat al-Turmudzi, dari Abu al-Darda' radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: 

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ

"Apakah kalian ingin aku beritahu tentang sesuatu yang lebih baik dari derajat puasa, shalat, dan sedekah." 

Mereka menjawab, "Ya, wahai Rasulullah." 

Beliau menjelaskan, "Memperbaiki (mendamaikan) perselihan. Sebab, rusaknya hubungan adalah penghancur." 

Maka, kita bisa mendapatkan derajat mulia ini, yang lebih afdhal dari derajat puasa, shalat, dan sedekah, dengan mendamaikan perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, antara bapak dengan anaknya, antara saudara dengan saudaranya, antara teman dengan temannya, antara tetangga dengan tetangganya, bahkan mendamaikan dua orang yang bertikai di jalanan yang kita sama sekali tidak mengenalnya. 

Islah (mendamaikan perselisihan) merupakan usaha agung untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat ini, sebagaimana adu domba atau merusak hubungan yang sudah terjalin merupakan amalan buruk yang bisa jadi akan mencampakkan kita ke Neraka. 

Maka, hendaklah kita menjadi perekat yang menjahit ikatan yang sobek, bukan malah membuatnya makin tersobek. []

Sunnah Senyum

Sunnah Senyum


Senyumlah. Alanglah indahnya dunia ini jikalau dipenuhi dengan senyuman. Khususnya dalam Masyarakat Islam. 

Betapa banyak kepedihan akan terasa ringan ketika senyuman menyertai setiap urusan. Ya, walaupun bukan berarti bebas dari Masalah dan Krisis. 

Begitulah Rasulullah Saw. Selalu tersenyum. Betapa pun beratnya urusan yang dipikul; betapa pun banyaknya ujian yang ditimpakan. 

Diriwayakan oleh al-Turmudzi, dishahihkan oleh Syeikh Albani, dari Abdullah bin al-Harits radhiyallahu anhu: 

ما رأَيْتُ أحدًا أكثرَ تبسُّمًا مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم

"Saya tidak melihat seorang pun yang lebih banyak senyumnya dari Rasulullah Saw."

Senyum itu "sihir", kata orang. 

Mampu menundukan banyak hal dan "menjinakkan" siapa pun. []

Sunnah Menuntut Ilmu

Sunnah Menuntut Ilmu


Menuntut ilmu; salah satu sunnah Nabi Saw sepanjang hajat, dari ayunan sampai ke liang lahat. 

Diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: 

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ 

"Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah mudahkan baginya (dengan menuntut ilmu itu) jalan menuju surga." 

Maka, sunnah ini salah satunya terwujud dengan kehadiran kita di majelis-majelis ilmu yang ada di Masjid-Masjid di sekitar kita. 

Hadirilah dan pastikan ada jejak kita di kajian tersebut. Ada orang yang tidak bisa mendengar, namun hadir di Majelis ilmu, semata-mata ingin mendapatkan pahala dan rahmat Allah SWT yang ada dalam Majelis ilmu. Tentu kita yang punya indera lengkap dan sehat, seharusnya lebih semangat untuk hadir. 

Jikalau tidak ada Majelis di Masjid, ruang online terbuka besar sekarang ini. Kajian-Kajian yang mencerdaskan, bisa didapati dengan mudah. Daripada kuotanya digunakan untuk sekadar menghibur diri dengan video-video yang tidak jelas juntrungnya, mending hadirilah kajian Online atau menyaksikan kajian Online. 

Majelis ilmu bukan hanya mencakup "ilmu agama", namun juga "ilmu umum", seperti Ilmu kedokteran, Teknik, Pertanian, Perdagangan, dan selainnya. Selama ilmu itu bermanfaat, maka ia masuk ke dalam hadits ini. Allah SWT akan memberikan ganjaran kebaikan bagi yang menghadiri Majelis dan dimudahkan baginya jalan untuk nantinya mendapatkan Jannah. 

Niatkan setiap langkah kita ke Majelis-Majelis ilmu untuk mendapatkan ridha Allah SWT. []