Peran Ahli Fikih (Ulamā) di Tengah Masyarakat

Peran Ahli Fikih (Ulamā) di Tengah Masyarakat


Peran al-Fuqahā’ atau al-Ulamā’ di Tengah Masyarakat muslim bukan sekadar menjelaskan halal dan haram. Seorang Ahli Fikih Mujtahid adalah dokter umat, ahli pikir & arsitek peradabannya, penasehat rakyatnya menuju jalan kebaikan dan ketakwaan, serta mengamalkan yang Allah SWT ridhai.

Masalahnya, proses pembentukan al-Fuqahā’ pada hari ini, tidak mampu membentuk sosok seperti di atas, tidak mampu menjalankan peran-peran yang jauh lebih sulit dibandingkan sebelumnya. Sebab, kondisi-kondisi yang ada di sekitarnya, kondisi-kondisi peradaban dan global yang dijalani umat Islam pada hari ini, sama sekali tidak mendukung. Misalnya, kondisi lemah dan rendah (imperior), tidak mampu mengambil berbagai keputusan.

Artinya, kita membutuhkan reinstall proses pembentukan al-Fuqahā’ di tengah umat, agar bisa menyatukan antara 

  1. Ilmu dengan Amal;
  2. Hafalan dan Pemahaman; 
  3. Al-Tarbiyah dan Al-Harakah;
  4. Al-Shalāh dengan Al-Ishlāh; 
  5. Agama dan Dunia; 
  6. Jamaah (Bersama-sama) maupun Furada (Sendirian). 

@dapakihsati
Makna Ahli Fikih (Ulama)

Makna Ahli Fikih (Ulama)


Ulama atau Ahli Fikih memiliki kedudukan mulia di masa lalu, masa sekarang, dan masa akan datang. Mereka akan terus dimuliakan oleh Allah SWT sepanjang masa. Itu janji-Nya. Dan janji-Nya hak. Masalahnya, pengertian Ahli Fikih atau Ulama perlu diulang dan dikaji lagi. Ada yang mengartikan, Ahli Fikih adalah ulama yang paham hokum-hukum syariat. Sehingga, untuk terwujudnya sifat “paham” yang ada dalam pengertian ini, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, di antaranya:

  • Al-Istizhār (Mampu Memaparkan). Para Ulama mensyaratkan, seorang Ahli Fikih adalah seseorang yang mampu memaparkan al-Quran al-Karím, Sunnah Nabi Muhammad Saw, Ijmā’ ulama, pendapat para sahabat, paham Bahasa Arab, paham kaedah-kaedah fikih dan ushul Istidlāl.
  • Al-Fahm (Paham) dan al-Istidlāl (Mampu Berdalil). Maksudnya, alat logika ketika mengkaji hokum fikih haruslah benar dan istimewa, mampu mengetahui Metode al-Istidlāl, terlatih menggunakan al-Qiyās al-Shahíh, memahami al-Quran dan sunnah sesuai tuntunan syariat, terlatih menggunakan metode al-Ijtihād seperti al-Istihsān, al-Istishāb, dan al-Istislāh, mampu mengkadar al-Mashālih, melakukan al-Tarjíh di antara Maslahah-Maslahah dan Mudharat-Mudharat yang saling kontradiksi, kemudian mampu melakukan al-Muwāzanah dengan instrumen al-Maqāshid terhadap teks-teks syariat. 


Maksud Ahli Fikih dalam bahasan ini adalah seorang Mujtahid bukan al-Muqallid, tidak terpenjara oleh konklusi fikih masa lalu. Ini bukan berarti meninggalkan warisan Ahli Fikih masa lalu yang luar biasa, tapi warisan tersebut bukanlah warisan suci. Kita mengambil yang bermanfaat. Hal paling luar biasa dari Ijtihad-Ijtihad Fikih masa lalu adalah Minhaj al-Ijtihād (Metode Ijtihad) di kalangan ulama. Dan inilah yang kurang dimiliki oleh kalangan kontemporer.


Peran Ahli Fikih pada hari ini dan penelitian yang mereka lakukan, bukan sekadar untuk kepentingan ilmiah semata, tapi juga moral dan etika. Keduanya tidak kalah penting dibandingkan dengan tujuan ilmiah. Salah satu tanggung jawab Ahli Fikih pada hari ini adalah mengetahui muara pendapat-pendapatnya, fatwa-fatwanya, dan kalamnya yang sudah disampaikan kepada khalayak.


Al-Quran al-Karim menggambarkan tanggung jawab ini dengan firman-Nya:

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Surat al-Qashash: 26)


Kemudian ungkapan Nabi Yusuf alaihissalam:

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (Surat Yusuf: 55)


Orang-orang awam merasa, semua orang yang berbicara masalah agama adalah Ulama, Ustadz. Seolah-olah standarnya adalah mampu berbicara masalah agama, bisa berkhutbah, dan bisa bertabligh. Apalagi di zaman sekarang ini, ketika begitu banyak channel youtube, channel televise, dan media social.


Semua orang, sekarang ini, bisa berbicara masalah agama dan atas nama agama. Kadangkala, kondisi seperti ini malah menjadi aib bagi Islam sendiri. Harus dibedakan antara da’i pemberi nasehat atau ustadz dengan ulama Ahli Fikih yang mampu berijtihad. Harus dibedakan antara orang yang spesialisasinya Tafsir dengan orang yang spesialisasinya Ilmu Hadits, antara orang yang spesialisasinya Ilmu Social Politik Islam dengan orang yang spesialisasinya Ilmu Akidah atau Ilmu Syariah. Semua tidaklah sama dalam kemampuan. Masing-masing ada lebihnya, ada kurangnya.


Denis Arifandi Pakih Sati | @dapakihsati

Sunnah Membangun Masjid

Sunnah Membangun Masjid


Hal pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Saw ketika sampai di Madinah adalah membangun Masjid. Kenapa? Sebab membangun Masjid adalah amalan yang paling mulia, sebagaimana Masjid sendiri adalah tempat yang paling agung dan paling dicintai oleh Allah SWT. Diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: 
أحب البلاد إلى اللهِ مَسَاجِدُهَا، وَأبْغَضُ البِلادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهَا
"(Bagian dari) Negeri yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah Masjidnya, dan (bagian dari) Negeri yang paling dibenci Allah SWT adalah pasar-pasarnya." 

Maka, pahala membangun Masjid sangat besar. Diriwayatkan oleh Muslim, dari Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: 
من بنى مَسْجِدًا لِلَّهِ بنى اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ مِثْلَهُ
"Siapa yang membangun Masjid karena Allah SWT, maka Allah SWT bangunkan baginya di surga semisalnya." 

Pahala yang luar biasa!

Mungkin akan muncul pertanyaan selanjutnya: Membangun Masjid itu kan butuh biaya besar?

Jawabannya sudah dijelaskan oleh Rasulullah Saw dalam riwayat Ibn Majah, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: 
من بنى مسجدًا لله كمفخص قطاةٍ، أو أصْغَرَ، بنى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي الجنة
"Siapa yang membangun Masjid karena Allah SWT, seperti sarang Quthah atau lebih kecil, maka Allah SWT bangunkan baginya rumah di surga." 
Quthah itu adalah jenis burung yang lebih kecil dari burung pipit. 

Artinya, ketika seseorang berkontribusi dalam pembangunan Masjid, walaupun hanya untuk seukuran sarang burung yang kecil sekali, yang secara logika tidak mungkin orang shalat disitu, maka Allah SWT tetap memberikan ganjaran pahala yang sama. Sehingga, pintu kebaikan ini bukan hanya dibuka bagi yang berharta banyak, namun juga dibuka bagi yang hartanya pas-pasan. []
Apa itu Shalawat Ibrahimiyyah?

Apa itu Shalawat Ibrahimiyyah?


Ada sejumlah riwayat yang menjelaskan Shalawat Ibrahimiyyah dari Nabi Muhammad Saw. 

👉Pertama, Lafadznya: 

اللهم صل على محمد، وعلى آل محمد، كما صليت على آل إبراهيم، وبارك على محمد، وعلى آل محمد، كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد

(Allahumma Shalli ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, Kama Shallayta 'ala ali Ibrahim. Wa Barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammadi, Kama Barakta 'ala ali Ibrahim. Fil 'alamina Innaka Hamidun Majid)

👉Kedua, Lafadznya: 

اللهم صل على محمد، وعلى آل محمد، كما صليت على إبراهيم، وعلى آل إبراهيم، إنك حميد مجيد، اللهم بارك على محمد، وعلى آل محمد، كما باركت على إبراهيم، وعلى آل إبراهيم، إنك حميد مجيد

(Allahumma Shalli ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, Kama Shallayta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim. Innaka Hamidun Majid.  Wa Barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammadi, Kama Barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim. Innaka Hamidun Majid)

👉Ketiga, Lafadznya: 

اللهم صل على محمد عبدك ورسولك، كما صليت على إبراهيم ، وبارك على محمد، وعلى آل محمد، كما باركت على إبراهيم، وعلى آل إبراهيم، إنك حميد مجيد

(Allahuma Shalli 'ala Muhammadin 'Abdika wa Rasulika, Kama Shallayta 'ala Ibrahim. Wa Barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad. Kama Barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim. Innaka Hamidun Majid)

👉Keempat, Lafadznya: 

اللهم صل على محمد، وعلى أزواجه، وذريته، كما صليت على آل إبراهيم ، وبارك على محمد، وعلى أزواجه، وذريته، كما باركت على آل إبراهيم، إنك حميد مجيد

(Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa 'ala Azwajihi wa Dzurriyyatihi. Kama Shallayta 'ala ali Ibrahim. Wa Barik 'ala Muhammad wa 'ala Azwajihi wa Dzurriyyatihi. Kama Barakta 'ala ali Ibrahim. Innaka Hamidun Majid. 

Semua bentuk Shalawat Ibrahimiyyah di atas, itu shahih dari Nabi Muhammad Saw. Membaca salah satunya saja, itu sudah cukup dan shahih. Bahkan kalaupun dibaca singkat: 

اللهم صل وسلم على رسول الله

(Allahuma Shalli wa Sallim 'ala Rasulillah)

Itu sudah cukup. 

Begitu juga halnya jikalau selesai Muazzin mengumandangkan azan, maka kita bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw dengan membaca: 

اللهم رب هذه الدعوة التامة، والصلاة القائمة، آت محمدًا الوسيلة والفضيلة، وابعثه مقامًا محمودًا الذي وعدته، إنك لا تخلف الميعاد

(Allahumma Rabba Hadzihid Dakwatit Tammah, was Shalatil Qaimah. Ati Muhammadanil Wasilata wal Fadhilah, Wab'atshu Maqamam Mahmudanilladzi Wa'adtah, Innaka La Tukhliful Mi'ad)

"Ya Allah, Rabb seruan yang sempurna ini dan shalat yang akan didirikan, berikanlah Muhammad al-Wasilah dan keutamaan, bangkitkanlah ia Maqam Mahmud yang Engkau janjikan. Engkau tidak menyelisihi janji." []

Karunia Dalam Kesulitan

Karunia Dalam Kesulitan


Hikmah Keseratus Tujuh Puluh Tujuh 

Karunia Dalam Kesulitan

رُبَمَا وَجَدْتَ الْمَزِيْدَ فِي الْفَاقَاتِ مَا لَا تَجِدْهُ فِي الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ

“Bisa jadi engkau mendapatkan kelebihan di dalam kesulitan, yang tidak engkau dapatkan dalam puasa dan shalat.”


Ibn Athaillah al-Sakandari

Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari

 

Kadang-kadang Anda justru mendapatkan keuntungan besar dalam berbagai ujian dan cobaan yang mendera Anda. Biasanya, ketika itu Anda akan mendaki menuju tangga yang lebih baik. Anda berusaha mengintropeksi diri dan memperbaiki hati. Jikalau selama ini ada kesalahan, maka Anda akan memperbaikinya. Jikalau selama ini Anda lalai bersedekah, maka Anda akan melakukannya. Dan banyak lagi inisiatif kebaikan yang muncul ketika Anda berada dalam kesulitan. 

Kelebihan ini mungkin tidak akan Anda dapatkan dalam shalat dan puasa; padahal keduanya adalah ibadah utama yang merupakan bagian dari rukun Islam. Ketika Anda berpuasa, misalnya, maka Anda hanya merasakan kelaparan dan kehausan, dan tidak ada rasa penyesalan terhadap kesalahan-kesalahan yang Anda lakukan dan rasa hina di hadapan Ilahy, karena pada saat bersamaan kaum muslimin lainnya juga melakukan apa yang Anda lakukan. Begitu halnya ketika Anda mengerjakan shalat. 

Oleh karena itu, nikmatilah musibah dan bencana yang menimpa Anda. Segala ketentuan-Nya pasti ada hikmahnya. Di balik satu kesusahan ada dua kemudahan, bahkan kemudahan itu selalu mengiringinya dan tidak pernah meninggalkannya. 

Jangan pernah mengeluh; apalagi mencela!!!