Makna Ahli Fikih (Ulama)

Makna Ahli Fikih (Ulama)


Ulama atau Ahli Fikih memiliki kedudukan mulia di masa lalu, masa sekarang, dan masa akan datang. Mereka akan terus dimuliakan oleh Allah SWT sepanjang masa. Itu janji-Nya. Dan janji-Nya hak. Masalahnya, pengertian Ahli Fikih atau Ulama perlu diulang dan dikaji lagi. Ada yang mengartikan, Ahli Fikih adalah ulama yang paham hokum-hukum syariat. Sehingga, untuk terwujudnya sifat “paham” yang ada dalam pengertian ini, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, di antaranya:

  • Al-Istizhār (Mampu Memaparkan). Para Ulama mensyaratkan, seorang Ahli Fikih adalah seseorang yang mampu memaparkan al-Quran al-Karím, Sunnah Nabi Muhammad Saw, Ijmā’ ulama, pendapat para sahabat, paham Bahasa Arab, paham kaedah-kaedah fikih dan ushul Istidlāl.
  • Al-Fahm (Paham) dan al-Istidlāl (Mampu Berdalil). Maksudnya, alat logika ketika mengkaji hokum fikih haruslah benar dan istimewa, mampu mengetahui Metode al-Istidlāl, terlatih menggunakan al-Qiyās al-Shahíh, memahami al-Quran dan sunnah sesuai tuntunan syariat, terlatih menggunakan metode al-Ijtihād seperti al-Istihsān, al-Istishāb, dan al-Istislāh, mampu mengkadar al-Mashālih, melakukan al-Tarjíh di antara Maslahah-Maslahah dan Mudharat-Mudharat yang saling kontradiksi, kemudian mampu melakukan al-Muwāzanah dengan instrumen al-Maqāshid terhadap teks-teks syariat. 


Maksud Ahli Fikih dalam bahasan ini adalah seorang Mujtahid bukan al-Muqallid, tidak terpenjara oleh konklusi fikih masa lalu. Ini bukan berarti meninggalkan warisan Ahli Fikih masa lalu yang luar biasa, tapi warisan tersebut bukanlah warisan suci. Kita mengambil yang bermanfaat. Hal paling luar biasa dari Ijtihad-Ijtihad Fikih masa lalu adalah Minhaj al-Ijtihād (Metode Ijtihad) di kalangan ulama. Dan inilah yang kurang dimiliki oleh kalangan kontemporer.


Peran Ahli Fikih pada hari ini dan penelitian yang mereka lakukan, bukan sekadar untuk kepentingan ilmiah semata, tapi juga moral dan etika. Keduanya tidak kalah penting dibandingkan dengan tujuan ilmiah. Salah satu tanggung jawab Ahli Fikih pada hari ini adalah mengetahui muara pendapat-pendapatnya, fatwa-fatwanya, dan kalamnya yang sudah disampaikan kepada khalayak.


Al-Quran al-Karim menggambarkan tanggung jawab ini dengan firman-Nya:

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Surat al-Qashash: 26)


Kemudian ungkapan Nabi Yusuf alaihissalam:

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (Surat Yusuf: 55)


Orang-orang awam merasa, semua orang yang berbicara masalah agama adalah Ulama, Ustadz. Seolah-olah standarnya adalah mampu berbicara masalah agama, bisa berkhutbah, dan bisa bertabligh. Apalagi di zaman sekarang ini, ketika begitu banyak channel youtube, channel televise, dan media social.


Semua orang, sekarang ini, bisa berbicara masalah agama dan atas nama agama. Kadangkala, kondisi seperti ini malah menjadi aib bagi Islam sendiri. Harus dibedakan antara da’i pemberi nasehat atau ustadz dengan ulama Ahli Fikih yang mampu berijtihad. Harus dibedakan antara orang yang spesialisasinya Tafsir dengan orang yang spesialisasinya Ilmu Hadits, antara orang yang spesialisasinya Ilmu Social Politik Islam dengan orang yang spesialisasinya Ilmu Akidah atau Ilmu Syariah. Semua tidaklah sama dalam kemampuan. Masing-masing ada lebihnya, ada kurangnya.


Denis Arifandi Pakih Sati | @dapakihsati