Hukum Jual-Beli Lelang (Bai’ al-Muzāyadah)

Hukum Jual-Beli Lelang (Bai’ al-Muzāyadah)


Dalam kajian Hukum Islam, Jual Beli Lelang itu dikenal dengan Istilah Bai’ al-Muzāyadah. Hukum asalnya dibolehkan (Mubāh), berdasarkan firman Allah SWT: 

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Surat al-Baqarah: 275)

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, ucapan Atha’ bin Abi Rabah: 

أدركت الناس لا يرون بأساً في بيع المغانم فيمن يزيد

“Saya mendapati orang-orang yang menganggap tidak masalah jual beli karapan bagi yang menambah (al-Muzayadah).” 

Kemudian disebutkan sanadnya dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu bahwa ada seseorang yang memerdekakan budaknya dengan cara Idbar, yaitu merdeka setelah kematiannya. Kemudian laki-laki tadi ada kebutuhan, Nabi Muhammad Saw memegangnya dan berkata: 

من يشتريه مني ؟

“Siapa yang akan membelinya dariku?”

Kemudian Nuaim bin Abdullah membelinya dengan harga segini dan segini, kemudian membayarkanya. (Hr al-Bukhari)

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Saw menjual al-Halas (perangkat rumah) dan Gelas, kemudian bersabda: 

“Siapa yang akan membeli al-Halas (perangkat rumah) dan Gelas?” 

Ada yang berkata: 

“Saya akan membeli keduanya seharga sedirham.” 

Kemudian beliau berkata: 

من يزيد على درهم ؟ من يزيد على درهم ؟

“Siapa yang mau melebihkan dari sedirham? Siapa yang mau melebihkan dari sedirham?”

Kemudian seorang laki-laki memberinya dua dirham, dan beliau menjual keduanya kepadanya.” (Hr al-Turmudzi)


Catatan Penting Seputar Jual Beli Lelang (Bai’ al-Muzayadah)

Ada dua catatan penting yang perlu menjadi perhatikan dalam masalah ini, agar orang yang terlibat dalam lelang tidak ragu atau tidak salah menjalaninya. 

  • Jual Beli Lelang bukanlah Bai’ ala Bai’ Akhihi (Jual beli atas Jual Beli Orang Lain)

Ada yang beranggap bahwa jual beli lelang ini masuk dalam kategori Bai ala Bai akhihi (Jual Beli atas Jual Beli Orang Lain), yang dilarang oleh sabda Rasulullah Saw: 

لا يبع بعضكم على بيع أخيه

“Janganlah salah seorang di antara kalian berjual beli atas jual beli saudaranya.” (Hr al-Bukhari dan Muslim)

Ini tidaklah benar. Sebab, jenis ini berbeda dengan lelang. Misalnya untuk jenis yang dilarang ini: Si A membeli motor kepada si B. Mereka sudah sepakat dengan harganya, namun belum ada pembayaran. Tapi sudah sepakat, tinggal eksekusi. Kemudian tiba-tiba datang si C, yang juga tertarik dengan motor tersebut, seraya berkata:

“Batalkan jual belinya. Biar saya yang beli. Saya akan beli dengan harga yang lebih mahal.” 

Ini yang dimaksudkan oleh hadits di atas. Ini haram. Dan ini tidak masuk dalam kategori akad lelang. 

  • Lelang bisa berubah menjadi jual beli al-Najasy yang diharamkan dalam Islam

Jual beli Najasy adalah seseorang menaikkan harga barang padahal ia sama sekali tidak ingin membelinya. Ia hanya ingin membuat orang lain tertarik membeli dan menawarnya dengan harga yang lebih mahal. Biasanya, pelaku al-Najasy ini ada kesepakatan dengan penjual barang. 

Hukumnya haram dalam Islam, karena mengandung unsur penipuan atau al-Gharar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah saw melarang dari al-Najasy. (Hr al-Bukhari)

Dalam lelang, ini seringkali kita dapati. Bukan begitu?!

Ada beberapa kejanggalan lainnya yang biasanya dilakukan, dan hukumnya haram: 

  • Mempromosikan barang yang dilelang dengan cara dusta, lebay, menambah-nambahkan yang tidak seharusnya, baik dilakukan pemilik barang atau orang yang sama sekali tidak ingin  membelinya.
  • Barang tidak dilihat secara lansung, hanya diberikan deskripsi saja, atau gambaran aja, tidak sesuai dengan faktanya, mengandung unsure penipuan.


Hukum Lelang Tender Proyek Dalam Islam

Pada dasarnya, setiap lelang itu hukumnya boleh, halal, Mubah. Hanya saja, jikalau sudah terjadi hal-hal yang bertentangan dengan syariat, bertentang dengan hokum Islam, maka hukumnya berubah menjadi haram. Dalam kajian hokum Islam dikenal dengan nama al-Haram bi Ghairihi (haram karena sebab yang lainnya). 

Sama kayak minum air putih. Hukumnya halal. Namun jikalau minum terus sampai kembung dan membahayakan keselamatan nyawanya, maka hukumnya berubah menjadi haram. Haramnya Haram bi Ghairi (haram karena selainnya). 

Tender Proyek juga sama. Jikalau sudah dilakukan dengan cara al-Najsy, sebagaimana yang kita jelaskan di atas. Ada permainan. Ada penipuan. Maka, hukumnya haram.

Apalagi jikalau sampai ada suap-menyuap untuk mendapatkan lelang tender, itu sudah haram banget. Sekali lagi, haramnya pakai banget. 

Rasulullah Saw bersabda: 

الراشي والمرتشي في النار

“Penyuap dan yang disuap di Neraka.” (Hr al-Thabrani)

Pointnya, Jual Beli lelang atau Bai al-Muzayadah itu tidak masalah. Asalkan jangan sampai mengandung sesuatu yang diharamkan dalam syariat, seperti yang kita jelaskan di atas. []

Hukum Gaji Imam & Muazzin

Hukum Gaji Imam & Muazzin


Biasanya,  Gaji Imam atau Muazzin itu berasal dari dua sumber: 

  • Pertama, Baitul Mal (Pemerintah/ APBN)

Berkata Ibn al-Qasim dalam Hasyiyahnya atas al-Rawdh al-Murabba’: 

وقد أجرى السلف أرزاقهم من بيت المال من المؤذنين والأئمة، والقضاة، والعمال، وغيرهم، ولن يأتي آخر هذه الأمة بأهدى مما كان عليه أولها، وكان عمر-رضي الله عنه- وغيره يعطونهم منه، وجرت العادة –أيضاً- بين المسلمين بجواز أخذ من يؤم ويؤذن، وغيرهم من الأحباس الموقوفة على ذلك من غير اختلاف منهم

"Para Muazzin, Imam, Qadhi, Pegawai, dan lain-lain dari kalangan Salaf, gaji mereka berasal dari Baitul Mal. Generasi akhir umat ini tidak akan lebih baik di bandingkan Generasi awalnya. Umar radhiyallahu anhu selainnya, memberikan mereka gaji dari Baitul Mal. Kebiasaan yang berjalan di antara kaum muslimin, bolehnya mengampil gaji bagi yang mengimami dan selainnya dari barang-barang wakaf tanpa ada perbedaan pandangan di antara mereka." 

Ibn Quddamah al-Maqdisy, sebagaimana terdapat dalam Kitabnya al-Mughni (2/ 70) menyatakan Ijma’nya masalah ini. Sebab ia salah satu Amalan al-Qurb, mencakup juga Azan.


  • Kedua, Selain Baitul Mal (Pemerintah/ APBN)

Para Ulama Berbeda pandangan dalam menyikapinya

Pertama, Tidak Boleh

Ini merupakan Pandangan Ulama Mazhab Hanafi terdahulu; pandangan yang Paling Shahih dalam Mazhab Syafii; Salah satu Pendapat dalam Mazhab Hanbali. Hanya saja, Mazhab Hanafi menambahkan, jikalau sang Imam tidak mensyaratkan, namun inisiatif dari Jamaah untuk mengumpulkan uang untuk memenuhi hajatnya, maka itu baik dan bagus. 

(Lihat Kitab al-Bahr al-Raiq: 1/ 268; Raudhah al-Thalibin: 5/ 188; al-Inshaf: 14/ 378)

Kedua, Boleh

Ini merupakan Pendapat sebagian dalam Mazhab Maliki, salah satu pandangan dalam Mazhab Syafii, salah satu pandangan dalam Mazhab Hanbali. 

(Lihat al-Kharsy: 1/ 236; Rawdhah al-Thalibin: 5/ 188; al-Inshaf: 14/ 378)

Ketiga, Boleh walaupun disyaratkan untuk Digaji Menjadi Imam & Muazzin

Ini merupakan pendapat yang Masyhur dalam Mazhab Maliki. 

(Lihat al-Kharsy: 1/ 236)

Keempat, Boleh Mengambil Jikalau Darurat & Butuh

Misalnya Fakir atau Miskin. Tidak boleh mengambilnya jikalau kaya. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanbali, sebagaimana terdapat dalam al-Inshaf (14/ 379). 

Dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibn Taimiyah, sebagaimana terdapat dalam Majmu’ al-Fatawa: (30/ 207)

Kelima, Makruh

Pendapat ini terdapat dalam Kitab al-Inshaf: (14/ 379)


Pendapat Terpilih


Jikalau melihat dalil, maka pendapat yang palong kuat adalah pendapat yang mengharamkan. Namun jikalau ada kebutuhan atau kedaruratan, misalnya dalam konteks keindonesiaan yang Imamnya tidak digaji pemerintahkan, maka boleh; tidak masalah sama sekali.

Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibn Taimiyah. Apalagi jikalau sampai pengharaman itu menyebabkan terabaikannya Masjid dan Shalat Berjamaah, maka hukumnya akan dibolehkan sekali.

Dalil hokum Asal (Tidak Boleh) ini adalah sabda Nabi Saw kepada Ustman bin Abi al-Ash: 

 واتخذ مؤذناً لا يأخذ على أذانه أجراً

"Dan ambillah Muazzin yang tidak mengambil upah atas azannya."

 أخرجه أحمد (4/29)، والنسائي (1/351)، والحاكم (1/199)، وقال: على شرط مسلم، وأقره الذهبي، وابن حجر في البلوغ (ص167)، وصححه الألباني في الإرواء (5/316).

Jikalau Muazzin saja tidak diperbolehkan, maka Imam lebih utama untuk tidak dibolehkan. Sebab, tanggungjawabnya jauh lebih besar dibandingkan dengan Muazzin. 

NB: Jikalau dari Baitul Mal, itu dari uang Negara. Jikalau selain itu, maka dari kantong Jamaah atau  Masjid. []