Hukum Gaji Imam & Muazzin

Hukum Gaji Imam & Muazzin


Biasanya,  Gaji Imam atau Muazzin itu berasal dari dua sumber: 

  • Pertama, Baitul Mal (Pemerintah/ APBN)

Berkata Ibn al-Qasim dalam Hasyiyahnya atas al-Rawdh al-Murabba’: 

وقد أجرى السلف أرزاقهم من بيت المال من المؤذنين والأئمة، والقضاة، والعمال، وغيرهم، ولن يأتي آخر هذه الأمة بأهدى مما كان عليه أولها، وكان عمر-رضي الله عنه- وغيره يعطونهم منه، وجرت العادة –أيضاً- بين المسلمين بجواز أخذ من يؤم ويؤذن، وغيرهم من الأحباس الموقوفة على ذلك من غير اختلاف منهم

"Para Muazzin, Imam, Qadhi, Pegawai, dan lain-lain dari kalangan Salaf, gaji mereka berasal dari Baitul Mal. Generasi akhir umat ini tidak akan lebih baik di bandingkan Generasi awalnya. Umar radhiyallahu anhu selainnya, memberikan mereka gaji dari Baitul Mal. Kebiasaan yang berjalan di antara kaum muslimin, bolehnya mengampil gaji bagi yang mengimami dan selainnya dari barang-barang wakaf tanpa ada perbedaan pandangan di antara mereka." 

Ibn Quddamah al-Maqdisy, sebagaimana terdapat dalam Kitabnya al-Mughni (2/ 70) menyatakan Ijma’nya masalah ini. Sebab ia salah satu Amalan al-Qurb, mencakup juga Azan.


  • Kedua, Selain Baitul Mal (Pemerintah/ APBN)

Para Ulama Berbeda pandangan dalam menyikapinya

Pertama, Tidak Boleh

Ini merupakan Pandangan Ulama Mazhab Hanafi terdahulu; pandangan yang Paling Shahih dalam Mazhab Syafii; Salah satu Pendapat dalam Mazhab Hanbali. Hanya saja, Mazhab Hanafi menambahkan, jikalau sang Imam tidak mensyaratkan, namun inisiatif dari Jamaah untuk mengumpulkan uang untuk memenuhi hajatnya, maka itu baik dan bagus. 

(Lihat Kitab al-Bahr al-Raiq: 1/ 268; Raudhah al-Thalibin: 5/ 188; al-Inshaf: 14/ 378)

Kedua, Boleh

Ini merupakan Pendapat sebagian dalam Mazhab Maliki, salah satu pandangan dalam Mazhab Syafii, salah satu pandangan dalam Mazhab Hanbali. 

(Lihat al-Kharsy: 1/ 236; Rawdhah al-Thalibin: 5/ 188; al-Inshaf: 14/ 378)

Ketiga, Boleh walaupun disyaratkan untuk Digaji Menjadi Imam & Muazzin

Ini merupakan pendapat yang Masyhur dalam Mazhab Maliki. 

(Lihat al-Kharsy: 1/ 236)

Keempat, Boleh Mengambil Jikalau Darurat & Butuh

Misalnya Fakir atau Miskin. Tidak boleh mengambilnya jikalau kaya. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanbali, sebagaimana terdapat dalam al-Inshaf (14/ 379). 

Dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibn Taimiyah, sebagaimana terdapat dalam Majmu’ al-Fatawa: (30/ 207)

Kelima, Makruh

Pendapat ini terdapat dalam Kitab al-Inshaf: (14/ 379)


Pendapat Terpilih


Jikalau melihat dalil, maka pendapat yang palong kuat adalah pendapat yang mengharamkan. Namun jikalau ada kebutuhan atau kedaruratan, misalnya dalam konteks keindonesiaan yang Imamnya tidak digaji pemerintahkan, maka boleh; tidak masalah sama sekali.

Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibn Taimiyah. Apalagi jikalau sampai pengharaman itu menyebabkan terabaikannya Masjid dan Shalat Berjamaah, maka hukumnya akan dibolehkan sekali.

Dalil hokum Asal (Tidak Boleh) ini adalah sabda Nabi Saw kepada Ustman bin Abi al-Ash: 

 واتخذ مؤذناً لا يأخذ على أذانه أجراً

"Dan ambillah Muazzin yang tidak mengambil upah atas azannya."

 أخرجه أحمد (4/29)، والنسائي (1/351)، والحاكم (1/199)، وقال: على شرط مسلم، وأقره الذهبي، وابن حجر في البلوغ (ص167)، وصححه الألباني في الإرواء (5/316).

Jikalau Muazzin saja tidak diperbolehkan, maka Imam lebih utama untuk tidak dibolehkan. Sebab, tanggungjawabnya jauh lebih besar dibandingkan dengan Muazzin. 

NB: Jikalau dari Baitul Mal, itu dari uang Negara. Jikalau selain itu, maka dari kantong Jamaah atau  Masjid. []