Hukum Menunda Qadha' Puasa Ramadhan yang Menumpuk

Hukum Menunda Qadha' Puasa Ramadhan yang Menumpuk


Orang yang menunda-nunda kewajiban Qadha’ Ramadhan, maka ia berdosa, wajib baginya bertaubat dan beristighfar, kemudian ia harus men-Qadha hari-hari yang sudah ditinggalkannya. Dan tidak ada baginya kewajiban kafarat. Inilah pendapat Jumhur ulama yang bisa dijadikan pegangan. 

Jikalau ada yang tetap mau bayar Kafarat, kemudian memperbanyak sedekah, maka tidak ada masalah sama sekali. Itu menjadi timbangan kebaikannya. 

Hendaklah ia menentukan jumlah hari yang selama ini dilalaikannya. Bagi wanita yang haidh misalnya, terjadi 5-7 hari. Kemudian dikalikan sejumlah prediksi kuatnya ditinggalkan. 

Antara Qadha’ dengan Puasa lainnya tidak boleh digabung. Sebab ia bersifat wajib
 
Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Munajjid menjelaskan, “Siapa yang memiliki kewajiban Qadha’, kemudian ia sakit atau tidak mampu melakukannya (tidak bisa diharapkan kesembuhannya), maka ia beralih ke “Memberi Makan Fakir Miskin.”, yaitu satu orang Miskin untuk setiap Puasa yang Ditinggalkan. Jawaban serupa juga disampaikan oleh Syeikh Muhammad Shaleh al-Utsaimin. 

Kewajiban men-qadha puasa Ramadhan bersifat al-Tarakhi (tidak lansung). Dalilnya, Aisyah menunda Qadha Ramadhannya sampai masuk bulan Syaban. 

Hukum Berpuasa sebelum menunaikan Qadha’ Ramadhan, para ulama berbeda pandangan. Sebagiannya membolehkan. Sebab, tidak mungkin Aisyah sepanjang bulan Ramadhan-Syaban, sama sekali tidak puasa sunnah. 

Jikalau sengaja melalaikan Qadha’ sampai masuk Ramadhan selanjutnya, maka ia berdosa. Namun jikalau ada Uzur, kemudian ia meninggal, maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Keluarganya juga tidak wajib mengqadha. []