Sunnah I'tikaf
.jpg)
Beberapa tahun belakangan, kita sering mendengar kampanye "hemat air"demi menjaga kelansungan hidup dan kelestarian lingkungan hidup. Padahal, sejak lama, Rasulullah Saw sudah menyeru kita untuk hemat air, termasuk dalam berthaharah atau bersuci.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn Majah, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma, Rasulullah Saw suatu hari melewati Sa'ad yang sedang berwudhu, kemudian beliau berkata:
"Kenapa sampai berlebih-lebihan ini wahai Sa'ad?"
"Memang wudhu itu ada yang berlebih-lebihan, wahai Rasulullah?"Tanya Sa'ad.
"Ya, walaupun Anda berada di sungai yang mengalir."
Nabi Saw dalam beberapa riwayatnya memerintahkan umatnya untuk Isbagh al-Wudhu atau menyempurnakan wudhu, tapi ini bukan berarti berlebih-lebihan dalam menggunakan air untuk berwudhu.
Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anuhu, bahwa Nabi Saw mandi dengan satu sha' air sampai 5 Mud air, kemudian berwudhu dengan 1 Mud saja."
Dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu dijelaskan, 1 Mud itu setara dengan 0, 688 Liter. Itu digunakan Nabi untuk berwudhu.
Mandinya? sekitar 3 Liter air. Sebab Satu Sha' menurut Jumhur Ahli Fikih dengan hitungan sekarang sekitar 2, 75 Liter. Kalau menurut Abu Hanifah sekitar 3,36 Liter. Ukuran ini bisa lihat dalam al-Mawsuah al-Kuwaitiyah: 28/ 297)
Suatu hari, ada yang protes kepada Ibn Abbas bahwa air segitu tidak cukup baginya untuk wudhu atau mandi. Kemudian ditimpali oleh Ibn Abbas, "Orang yang lebih baik dan lebih takwa dari Anda bisa melakukannya, kenapa Anda tidak? Memang Anda lebih baik?!"[]
Seringkali, dalam berbagai Majelis atau Pertemuan yang kita hadiri, ada maksiat lisan yang diperbuat. Ada Ghibah (gunjing), Namimah (adu domba), kata-kata yang tidak pantas, merendahkan dan menghinakan orang lain, berbohong walaupun hanya bercanda, marah dan murka. Dan banyak lagi keburukan lisan semisalnya.
Lisan tidak bertulang, namun bisa mengantarkan kepada kehancuran. Dalam riwayat al-Turmudzi, suatu hari Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah Saw, "Wahai Nabi Allah SWT, apakah kita akan dihukum karena apa yang kita bicarakan?" Beliau menjawab, "Tsakilatka Ummuka wahai Muadz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka dengan wajah tersungkur, kecuali karena hasil perbuatan lisan mereka. "
Maka, apa cara terbaik yang bisa kita lakukan?
Jaga Lisan. Jangan bekata dan berucap apapun, kecuali hal-hal yang diridhai Allah SWT.
Tapi realitanya, kita tetaplah hamba-hamba Allah SWT yang dhaif. Kadangkala sudah berusaha keras mengekang lisan, namun tetap saja masih terjerumus.
Maka, untuk menghapus dosa akibat kelemahan kita ini, Allah SWT berikan jalan keluarnya, yaitu dengan Sunnah Kafaratul Majelis.
Diriwayatkan oleh al-Turmudzi, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda, "Siapa yang duduk di suatu Majelis, kemudian banyak melakukan kesalahan di dalamnya, maka hendaklah ia mengucapkan sebelum berdiri dari Majelisnya itu:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وبَحَمْدكَ أشْهدُ أنْ لا إلهَ إلا أنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وأتُوبُ إِلَيْكَ
'Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan segala puji bagi-Mu, saya bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Engkau. Saya memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat.'
Kecuali, diampunkan apa yang terjadi dalam Majelisnya itu."
Kita, idealnya, menghafalkan doa ini, membacanya di setiap majelis yang kita adakan dan kita hadiri. Mudah-mudahan Allah SWT ampunkan segala dosa dan kesalahan kita. []
Hanya saja, untuk terwujudnya kurban yang benar dan sesuai syariat, ada beberapa syarat yang perlu kita perhatikan ketika kita berniat untuk ikut serta berkurban di Hari Raya Idul adha atau Hari Raya Kurban.
Apa sajakah itu?
Bahīmah al-An’ām itu adalah unta, sapi, dan domba atau kambing, baik yang berjenis al-Dha’n atau yang berjenis al-Ma’z, berdasarkan firman Allah Swt:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)." (Surat al-Hajj: 34)
Artinya, jikalau ada yang mau kurban selain dengan jenis di atas, maka hukumnya tidak sah dan juga merupakan jawaban bagi orang yang bertanya pertanyaan serupa. Kalau ada yang berkurban dengan ayam atau pitik atau burung unta, hukumnya tidak sah. Apalagi berkurban dengan telurnya, jelas tidak sah.
NB: Mungkin ada yang bertanya perbedaan antara al-Dha’n dengan al-Ma’z. Begini perbedaannya, al-Dha’n adalah Domba atau biri-biri adalah ruminansia dengan rambut tebal dan dikenal oleh banyak orang. Domba dipelihara untuk dimanfaatkan rambut, daging, dan susunya. Yang paling dikenal orang adalah domba peliharaan, yang diduga keturunan dari moufflon liar dari Asia Tengah bagian Selatan dan Barat Daya. Sedangkan al-Ma’z, itu adalah jenis yang bulu saja. Kita lebih mengenalnya dengan nama Kambing Jawa, bukan Domba.
Kalau mau Kurban, Anda harus memastikan usianya sudah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Syariat. Jikalau jenis al-Dha’n, maka sudah berjenis al-Jaz’ah, yaitu sudah berusia setengah tahun. Sedankan untuk yang lainnya, harus sudah berjenis al-Tsaniyyah, yaitu jikalau unta maka sudah berusia lima tahun, jikalau sapi sudah berusia dua tahun, jikalau kambing sudah berusia setahun.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
لا تذبحوا إلا مسنة إلا أن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن
“Janganlah kalian menyembelih kecuali yang Musinnah, kecuali kalian sulit mendapatkanya. Hendaklah kalian menyembelih al-Dha’n yang jenis al-Jaz’ah.” (Hr Muslim)
Ada beberapa cacat dalam ketentuan syariat yang menyebabkan hewan yang akan dikurbankan tidak layak:
1- Nyata Butanya, yaitu tidak memiliki mata sama sekali, atau matanya bengkak layaknya tombol remote atau matanya memutih yang menunjukkan kebutaannya.
2-Nyata Sakitnya, yaitu sakit yang efeknya nyata pada hewan yang akan dikurbankan, seperti demam yang menyebabkanna tidak bisa berjalan dan dikembalakan, serta membuatnya tidak mau makan. Atau bisa juga luka parah yang benar-benar mempengaruhi kesehatannya.
3-Nyata Pincangnya, yaitu cacat yang menyebabkan hewan tersebut tidak bisa berjalan dengan normal.
4-Nyata Tidak Berfungsi Akalnya dengan Normal atau Tidak ada Otaknya, sehingga hewan tersebut berlaku tidak keras, layaknya orang gila.
Semua hal di atas, berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang suatu hari ditanya tentang kurban apa saja yang harus dihindari, kemudian beliau menjawab:
أربعاً : العرجاء البين ظلعها ، والعوراء البين عورها ، والمريضة البين مرضها ، والعجفاء التي لا تنقى
“Ada empat; pincang yang jelas pincanng; celek yang nyata celeknya; sakit yang jelas sakitnya; gila yang tidak bisa diselamatkan.” (Diriwayatkan oleh Imām Mālik dalam al-Muwattha’ dari hadits al-Barrā’bin ‘Âzib.”
Dalam riwayat lainnya dalam al-Sunan, juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda dengan lafadz:
أربع لا تجوز في الأضاحي
“Empat yang tidak boleh dijadikan kurban…” Kemudian beliau menyebutkan jenis-jenis di atas. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albāny dalam Kitab Irwā’ al-Ghalīl (1148)
Jikalau 4 jenis cacat ini ada pada hewan yang akan dikurbankan, maka ia menjadi tidak layak untuk dikurbankan. Kemudian jikalau ada cacat semisalnya atau lebih parah, maka ia juga berhukum sama, tidak boleh dijadikan korban, yang mencakup beberapa cacat berikut ini:
Jikalau ditambahkan dengan 4 cacat yang ada di dalam hadits, maka jumlah catatnya menjadi 10. Semua cacat ini menyebabkan tidak layaknya seekor hewan dijadikan sebagai kurban.
Hewan yang akan dijadikan kurban harus milik orang yang akan berkurban, atau ia memiliki izin secara syariat untuk menjadikan hewan tersebut sebagai kurban. Tidak sah jikalau ia berkurban dengan hewan yang dicurinya atau dirampoknya atau dibelinya dengan barang haram. Tidak boleh beribadah kepada Allah SWT dengan cara bermaksiat kepada-Nya.
Dalam kasus ini, contohnya, adalah hewan yang digadaikan. Walaupun hewan itu ada bersamanya, dititipkan kepadanya, tapi hewan tersebut tetaplah milik orang yang menggadaikan. Sehingga, jikalau ia menjadikannya sebagai hewan kurban, hukumnya tidak sah.
Kurban haruslah disembelih di waktu-waktu yang sudah ditentukan oleh Syariat, yaitu dimulai setelah shalat Hari Raya Idul Adha di hari ke-10 bulan Dzulhijjah, dan berakhir di Maghrib hari ke-13 bulan Dzulhijjah. Jadi, ada 4 hari waktu yang bisa digunakan untuk menyembahkan, yaitu 10, 11, 12, 13 di bulan Dzuhijjah. Sehingga, jikalau ada yang menyembelih sebelum shalat Hari Raya Idul Adha dikerjakan atau setelah Maghrib di hari ke-13 bulan Dzulhijjah, maka kurbannya tidak sah. Hukumnya sama dengan sembelihan biasa.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri, dari al-Barrā’ bin al-‘Âzib radhiyallahu anhu bahwa beliau bersabda:
من ذبح قبل الصلاة فإنما هو لحم قدمه لأهله وليس من النسك في شيء
“Siapa yang menyembelih sebelum shalat, maka ia adalah daging yang dipersembahkannya untuk keluarhanya, bukan kurban sama sekali.”
Dalam hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Jundab bin Sufyān al-Bajaly radhiyallahu anhu bahwa ia menyaksikan Rasulullah Saw bersabda:
من ذبح قبل أن يصلي فليعد مكانها أخرى
“Siapa yang menyembelih sebelum shalat, hendaklah ia mengulangnya dengan yang lainnya.”
Diriwayatkan oleh Nabīsyah al-Hazaly bahwa Rasulullah Saw bersabda:
أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر لله عز وجل
“Hari Tasyriq (11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah) adalah hari makan, minum, dan dzikir mengingat Allah SWT.” (Hr Muslim)
Jikalau sampai penyembelihan kurban dari waktu yang sudah ditentukan oleh Syariat, karena alasan-alasan yang sesuai dengan Syariat, seperti hewannya kabur dan tidak ditemukan kecuali setelah berlalunya hari Tasyriq, dan itu tidak dilakukan secara sengaja, maka tidak masalah menyembelihnya setelah itu dan dianggap sebagai kurban.
Sama kasusnya dengan seseorang yang dititipi hewan kurban, kemudian orang yang dititipi lupa menyembelihnya sampai berlalu hari Tasyriq. Maka, tidak masalah menyembelihnya dan dianggap sebagai kurban.
Masalah atau kasus ini diqiyaskan dengan kasus orang yang ketiduran atau shalat, maka ketika sadar atau bangun, hendaklah ia segera mengerjakan shalat. Dan Hukumnya sah.
Oke. Begitulah catatan singkat kita seputar hokum dan syarat-syarat yang harus diperhatikan untuk hewan yang akan kita jadikan sebagai kurban. Tujuannya jelas, agar kurban kita sah dan diterima oleh Allah SWT. []
Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan yang mulia dalam Islam. Ada sejumlah dalil yang menjelaskan masalah ini, salah satunya adalah firman Allah SWT dalam al-Quran al-Karim, Surat al-Fajr ayat 1-2:
والفجر وليال عشر
“Demi fajar. Demi malam yang sepuluh.”
Ibn Abbas, Ibn al-Zubair, Mujâhid dan banyak lagi para Ulama Salaf dan Khalaf lainnya menjelaskan bahwa ia adalah sepuluh hari Dzulhijjah. Ibn Katsîr menjelaskan dalam Tafsirnya Tafsir Ibn Katsîr (8/ 413) bahwa itulah pendapat yang benar.
Beramal di sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah ini sangat dianjurkan sekali oleh Rasulullah Saw, sebagaimana terdapat dalam haditsnya.
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ .
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ؟
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ . إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidak ada suatu hari pun, amal shaleh ketika itu lebih dicintai oleh Allah SWT dari hari-hari ini. Para sahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Allah wahai Rasulullah?”Beliau menjawab, “Tidak juga berjihad di jalan Allah SWT. Kecuali seseorang yang berangkat dengan jiwanya dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan apapun.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari 969, al-Turmudzi 757)
Salah satu sunnah yang hendaklah kita jalankan di bulan Dzulhijjah ini adalah Takbiran, berdasarkan sejumlah dalil dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Dalam firman-Nya dijelaskan:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir." (Surat al-Hajj: 28)
Bagian yang dihitamkan dan digaris bawahi dari ayat di atas, maksudnya adalah sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah. Di hari-hari ini, kita diperintahkan untuk mengingat Allah SWT dengan bertakbir, yang kita kenal dengan istilah Takbiran.
Dalam ayat lainnya dijelaskan:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya." (Surat al-Baqarah: 203)
Maksudnya adalah hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Di ketiga hari ini, kita juga diperintahkan oleh Allah SWT untuk berdzikir mengingat-Nya, dengan bertakbir atau Takbiran.
Rasulullah Saw bersabda:
أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر الله عز وجل
Hari-Hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir mengingat Allah SWT.” (Hr Muslim 1141)
Kita diperintahkan untuk makan dan minum, haram berpuasa. Kemudian kita diperintahkan untuk mengingat Allah SWT dengan bertakbir atau Takbiran. Ada unsur bersenang, tapi harus tetap bernuansa ibadah.
Takbiran di bulan Dzulhijjah khususnya, dan para hari raya secara umum,ada beberapa bentuk. Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Ini beberapa bentuk di antaranya:
Pertama:
الله أكبر .. الله أكبر .. لا إله إلا الله ، الله أكبر .. الله أكبر .. ولله الحمد
Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Lâ Ilâha Illallah… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar … Walillâhil Hamd…
Kedua:
الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. لا إله إلا الله ، الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. ولله الحمد
Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Lâ Ilâha Illallah… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar … Allâhu Akbar … Walillâhil Hamd…
Ketiga:
الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. لا إله إلا الله ، الله أكبر .. الله أكبر .. ولله الحمد
Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar… Lâ Ilâha Illallah… Allâhu Akbar… Allâhu Akbar … Walillâhil Hamd…
Masalah ini sebenarnya masalah yang lapang. Sebab, memang tidak ada Nash dari Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan bentuknya harus begini dan begini. Makanya, variasinya banyak sekali yang kita dengar di tengah masyarakat.
Takbiran itu ada dua jenis:
Pertama, Takbir Muthlaq
Maksudnnya, Takbiran yang tidak terikat dengan apapun, selalu disunnah baik pagi maupun sore, siang maupun malam, sebelum shalat dan setelah shalat, di setiap waktu.
Kedua, Takbir Muqayyad
Maksudnya, Takbir yang dikumandangkan terikat dengan selesainya shalat lima waktu.
Untuk Bulan Dzulhijjah, Takbir Muthlaq disunnahkan di sepuluh hari bulan Dzulhijjah dan Hari Tasyriq, dimulai dengan masuknya bulan Dzulhijjah, yaitu dengan terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Dzul Qa’dah, sampai hari terakhir Hari Tasyriq, yaitu dengan terbenamnya matahari di hari ke-13 bulan Dzulhijjah.
Sedangkan Takbir Muqayyad, dimulai dari fajar hari Arafah sampai terbenamnya matahari di akhir hari Tasyriq, digabungkan dengan Takbir Muthlaq. Jikalau imam sudah salah di shalat wajib, setelah ia beristighfar 3 kali dan membaca:
اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام
Allâhumma Antas Salâm wa minkas Salâm Tabârakta Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm
Maka, setelahnya, mulailah ia bertakbir. Ini bagi yang bukan haji, ya! Jikalau hati, maka Takbir Muqayyad dimulai ketika Zuhur di hari al-Nahr.
Itulah sedikit catatan kita seputar Takbir atau Takbiran di Bulan Dzulhijjah secara umum, dan Idul Adha secara khususnya, yang dalam bahasa tulisan ini dikenal dengan nama Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad. []