Hukum Menunda Qadha' Puasa Ramadhan yang Menumpuk

Hukum Menunda Qadha' Puasa Ramadhan yang Menumpuk


Orang yang menunda-nunda kewajiban Qadha’ Ramadhan, maka ia berdosa, wajib baginya bertaubat dan beristighfar, kemudian ia harus men-Qadha hari-hari yang sudah ditinggalkannya. Dan tidak ada baginya kewajiban kafarat. Inilah pendapat Jumhur ulama yang bisa dijadikan pegangan. 

Jikalau ada yang tetap mau bayar Kafarat, kemudian memperbanyak sedekah, maka tidak ada masalah sama sekali. Itu menjadi timbangan kebaikannya. 

Hendaklah ia menentukan jumlah hari yang selama ini dilalaikannya. Bagi wanita yang haidh misalnya, terjadi 5-7 hari. Kemudian dikalikan sejumlah prediksi kuatnya ditinggalkan. 

Antara Qadha’ dengan Puasa lainnya tidak boleh digabung. Sebab ia bersifat wajib
 
Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Munajjid menjelaskan, “Siapa yang memiliki kewajiban Qadha’, kemudian ia sakit atau tidak mampu melakukannya (tidak bisa diharapkan kesembuhannya), maka ia beralih ke “Memberi Makan Fakir Miskin.”, yaitu satu orang Miskin untuk setiap Puasa yang Ditinggalkan. Jawaban serupa juga disampaikan oleh Syeikh Muhammad Shaleh al-Utsaimin. 

Kewajiban men-qadha puasa Ramadhan bersifat al-Tarakhi (tidak lansung). Dalilnya, Aisyah menunda Qadha Ramadhannya sampai masuk bulan Syaban. 

Hukum Berpuasa sebelum menunaikan Qadha’ Ramadhan, para ulama berbeda pandangan. Sebagiannya membolehkan. Sebab, tidak mungkin Aisyah sepanjang bulan Ramadhan-Syaban, sama sekali tidak puasa sunnah. 

Jikalau sengaja melalaikan Qadha’ sampai masuk Ramadhan selanjutnya, maka ia berdosa. Namun jikalau ada Uzur, kemudian ia meninggal, maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Keluarganya juga tidak wajib mengqadha. []

Pengetahuan Hukum Seputar Jin

Pengetahuan Hukum Seputar Jin


Pengetahuan tentang Jin itu bukanlah al-Taraf al-Fikri atau Tadhyi’ al-Waqt. Ia masalah penting agar seseorang tidak terjerumus ke dalam Khurafat (Mitos)


Apakah Jin Mencuri Harta Manusia? 

Ketika seseorang kehilangan hartanya, kemudian ia tidak mendapati ada orang yang mencurinya, maka ia akan berpikir bahwa pelakunya adalah Jin. 

Fakta Islaminya, Jin tidak bisa bisa mencuri hartanya, selama harta itu tersimpa dalam al-Hirz (Lemari atau Kotak dan sejenisnya). 

Rasulullah Saw bersabda: 

أغلِقوا الأبوابَ وأوْكوا السِّقاءَ وخمِّروا الإناءَ وأطفِئوا المصباحَ فإنَّ الشَّيطانَ لا يفتَحُ غَلَقًا ولا يحُلُّ وِكاءً ولا يكشِفُ إناءً وإنَّ الفُوَيْسقةَ تُضرِمُ على النَّاسِ بيتَهم

"Tutuplah oleh kalian pintu rumah, ikatlah kantong air tempat minuman, tutuplah bejana-bejana, dan matikanlah lampu, karena setan tak dapat membuka pintu terturup, melepas ikatan tempat minum, dan membuka bejana. Dan sesungguhnya tikus dapat merusak pemilik rumah dengan membakar rumahnya." (HR al-Turmudzi)


Apakah Jin juga Mukallaf? 

Jin itu Mukallaf sama dengan manusia, dan Rasul mereka adalah dari kalangan manusia, sebagaimana firman Allah SWT: 

يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَٰذَا ۚ قَالُوا شَهِدْنَا عَلَىٰ أَنْفُسِنَا ۖ وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ

Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir." (Surat al-An'am: 130)

Ada sekelompok Jin yang mendengarkan al-Quran dari Nabi Saw, sebagaimana firman-Nya: 

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan." (Surat al-Ahqaf: 29)

Dalam hadits panjang riwayat Muslim dijelaskan: 

وبعثت إلى الأحمر والأسود

"Saya diutus kepada yang merah dan yang hitam." 


Apakah Jin yang Beriman Masuk Surga? 

Para Ulama berbeda pendapat karena berpangkal dari perbedaan mereka tentang Asal Jin. Ulama berpandangan bahwa ia adalah keturunan Jin bukan Iblis, maka ia masuk surga dengan Iman mereka. 

Sedangkan ulama yang berpandangan bahwa ia merupakan keturunan Iblis, maka ada dua pandangan mereka. 

  1. Mereka masuk surga
  2. Mereka tidak masuk surga, namun tidak juga disiksa di Neraka

Sedangkan bagi Jin yang Ahli maksiat, maka ia akan dimasukkan ke dalam Neraka sama dengan manusia, sebagaimana firman Allah SWT:

يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِنْ نَارٍ وَنُحَاسٌ فَلَا تَنْتَصِرَانِ

Kepada kamu, (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (dari padanya)." (Surat al-Rahman: 35)

Hukum Puasa bagi Para Pekerja Keras

Hukum Puasa bagi Para Pekerja Keras


Menurut Mazhab Hanafi, orang yang terpaksa bekerja di bulan Ramadhan, kemudian berdasarkan:  

  1. Tanda-Tanda (al-Amarah), 
  2. Dugaan Kuat (al-Zhann al-Ghalib), 
  3. Pengalaman (al-Khibrah)
  4. Pemberitahuan (Ikhbar) dokter Muslim yang terpercaya, 

bahwa puasanya akan menyebabkan 

  1. Kematiannya atau
  2. Menyebabkan sakit atau 
  3. Lemah yang membuatnya tidak mampu menafkahi dirinya dan keluarganya, 


Maka, dibolehkan baginya tidak berpuasa berdasarkan pandangan Ibn Abidin yang membolehkan tidak berpuasa bagi pekerjaan yang tidak ada jaminan nafkah bagi dirinya dan keluarganya. 

Para pekerja yang berada dalam kondisi seperti ini, maka ia diperbolehkan tidak berpuasa, namun ia harus men-Qadha’ di hari-hari lainnya yang tidak ada kedharuratan tersebut. 

Jikalau pekerjaan tersebut dijalaninya sepanjang masa, berdasarkan keyakinan kuat di hatinya, tidak ada waktu senggang sama sekali, namun tidak ada kewajiban Qadha baginya dan tidak juga Fidyah. 

Namun, jikalau hanya berdasarkan dugaan besar (al-Zhann al-Ghalib, maka ia hendaklah mengambil hokum al-Syeikh al-Fani; Orang Tua Renta, yang berkewajiban membayar Fidyah untuk setiap hari yang ditinggalkannya sebanyak ½ Sha’ Gandum atau sejenisnya kepada satu orang fakir atau senilai harganya menurut Abu Hanifah. 

Jikalau uzur sudah hilang, ia sudah bekerja normal, maka ia wajib menqadha puasa yang pernah ditinggalkannya.[]

Hukum Menunda Shalat Isya

Hukum Menunda Shalat Isya


Ada dalil yang menunjukkan sunnahnya menunda shalat Isya, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana sabda Nabi Saw yang suatu hari menundanya sampai sepertiga malam seraya berkata: 

إنه لوقتها لولا أن أشق على أمتي

"Inilah waktunya jikalau aku tidak memberatkan umatku." (HR Abu Daud)

Jikalau tidak ada kesulitan, maka menundanya adalah lebih baik. Namun, jangan sampai menundanya melewati tengah malam, berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Amru, dari Nabi Saw bersabda: 

وقت العشاء إلى نصف الليل

"Waktu Isya sampai pertengahan malam." (Hr Muslim)

Sedangkan jikalau menundanya akan menyulitkan, maka terbaiknya adalah menyegerakan, berdasarkan riwayat Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, Nabi Saw bersabda: 

كان النبي صلى الله عليه وسلم في العشاء إذا رآهم اجتمعوا عجل ، وإذا رآهم أبطئوا أخر

"Nabi Saw dalam shalat Isya jikalau melihat mereka sudah berkumpul, maka beliau menyegerakan. Jikalau beliau mereka melihat lambat, maka beliau mengakhirkan." (Hr Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lainnya: 

كان النبي صلى الله عليه وسلم يستحب أن يؤخر العشاء

"Nabi Saw suka menuda Isya."(Hr Ahmad)


Kesimpulannya: 

Disunnahkan menundanya jikalau jikalau tidak ada kesulitan. Dan itu tidak boleh melewati tengah malam. []

Utamakan Adab Saat Ikhtilaf

Utamakan Adab Saat Ikhtilaf

(Wawancara/ Hiwar dengan Koran Republika, terbit Edisi Minggu; 2 Mei 2021; Islam Digest)


Menurut Ustaz Denis Arifandi, ikhtilaf pun terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Perbedaan adalah hal yang wajar terjadi dalam kehidupan. Dalam Konteks keislaman, Perbedaan Pendapat Sering kali disebut sebagai ikhtilaf . Menurut Ustaz Denis Arifandi Pakih Sati Lc, ikhtilaf pun terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW, yakni antara sahabat dalam beberapa kasus.

Akan tetapi, mereka tetap mengutamakan adab walaupun berlainan pandangan. Para salafus salih  merupakan contoh yang baik. Perbedaan tidak sampai umat terpecah-belah.
“Para salafus salih dalam berikhtilaf, terutama para sahabat, itu luar biasa perbedaan di antara mereka. Tapi tidak sampai menyebabkan berpecah-belah, ”ujar pengasuh Pondok Pesantren Insan Utama International Islamic Boarding School (IIBS) Yogyakarta itu.

Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini mengatakan, kaum Muslimin saat ini seyogianya, kalangan alim tidak selalu memiliki pandangan. Ketika orang-orang berilmu saling berbeda pendapat, umpamanya dalam masalah-masalah ijtihadiyah , umat dapat melihat tingginya akhlak mereka. Misalnya, tidak pernah ada cerita imam-imam mazhab fikih mencela satu sama lain.
“Mereka kalau misalnya mengikuti seorang imam, atau seorang kiai atau syekh, atau sebuah mazhab, jangan katakan fanatik dalam artian seolah-olah yang benar hanya dirinya saja,” katanya.

Bagaimana memahami ikhtilaf? Lebih lanjut, bagaimana menghindari fanatisme dalam mengikuti suatu pendapat?

Untuk menjawabnya, berikut wawancara wartawan Republika , Muhyiddin , dengan dai yang sedang menempuh studi doktoral Ilmu Syariah pada Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini. Bincang-bincang berlangsung secara daring, beberapa waktu lalu.

Apa yang dimaksud dengan ikhtilaf dalam konteks agama?

Menurut Raghib Isfahani, Seorang Ahli Bahasa dan Filsuf Muslim (wafat 1108 M), khilaf  Dan ikhtilaf Beroperasi bahasa ITU merupakan lawannya Ittifaq , 'bersepakat'. Hanya saja, ikhtilaf  ini lebih umum lagi sifatnya berlawanan 'berlawanan'.

Sebab, terkadang ada sesuatu yang berlawanan arah. Misalnya, hitam dan putih itu merupakan sesuatu yang benar-benar berbeda. Sementara, merah dan hijau itu berbeda, tapi tidak berlawanan.

Secara istilah, al- ikhtilaf yang benar dalam kitab Al-Misbah al-Munir adalah seseorang yang berpandangan berbeda dengan orang lainnya. Hal itu juga disebutkan oleh Ali bin Muhammad al-Jurjani dalam kitabnya, At-ta'rifat . Menurutnya, al- ikhtilaf adalah perselisihan pendapat yang terjadi antara dua orang berbeda.

Ikhtilaf baik atau buruk bagi umat Islam?

Ikhtilaf itu adakalanya baik dan ada kalanya buruk. Yang baik itu adalah ikhtilaf tanawwu ' . Yang dimaksud tanawwu '  itu beragam, layaknya kita melihat sebuah taman. Banyaknya warna di taman bunga itu akan membuat lebih indah.

Sama hanya dengan Islam, ketika banyak perbedaan pandangan dalam masalah-masalah yang furu'iyah. Itu adalah sesuatu yang bagus sebenarnya. Sebab, itu memberikan dinamika dan warna dalam kehidupan.

Jadi, ikhtilaf tanawwu '  adalah jika perbedaan itu tidak saling kontradiktif antarsatu dengan yang lainnya. Masing-masing pendapat itu tidak sama karena pendapatnya merupakan ragam dari pendapat. Hampir semua perkara ijtihadi masuk dalam ikhtilaf jenis ini.

Di luar ikhtilaf tanawwu ' menjadi buruk?

Yang tidak boleh itu adalah ikhtilafu al-tadlad , yaitu kontradiktif atau saling berlawanan. Kalau sampai itu terjadi, biasanya akan saling mencaci, mencela, atau bahkan pertikaian fisik. Nah ini yang tidak dibolehkan dalam Islam.

Jadi, kalau seandainya cuma berbeda pikiran dalam masalah-masalah ijtihadiyah , itu memang dibutuhkan dalam Islam. Hal seperti itu masih ditoleransi dalam Islam. Nah, kalau sudah saling berkelahi, itu tidak boleh sama sekali.

Alquran memerintahkan umat untuk berpegang teguh pada tali agama Allah dan jangan bercerai-berai. Berarti, tidak boleh berikhtilaf?

Allah SWT memang berfirman dalam surah Ali Imran ayat 103 tentang itu. Maknanya, siap dikatakan oleh Ibnu Abbas, berpegang teguhlah kalian (umat Islam) kepada agama Allah. Maka, kita jangan sampai mencabik-cabik atau merusak agama kita.

Kita diwanti-wanti bahwa umat Islam adalah umat yang satu. Kita diwanti-wanti untuk tidak umat-umat sebelum kita yang hobinya mencabik-cabik agama sendiri, seperti digambarkan dalam surah al-Anbiya ayat 93, artinya, “Tetapi mereka terpecah belah dalam urusan (agama) mereka di antara mereka.”

Jadi, ikhtilaf yang tidak boleh sama sekali adalah yang sampai mencabik-cabik agama kita. Jangan sampai kita shalat berjamaah di masjid, tetapi justru hati kita saling berhubungan satu sama lain. Kita diperintahkan untuk berpegang teguh kepada agama Allah. Jangan sampai bertikai gara-gara suatu masalah yang seharusnya di dalamnya kita berlapang dada.

Benarkah ungkapan bahwa 'perbedaan di tengah umat Nabi SAW adalah rahmat'?

Pertama-tama, itu sebenarnya bukan sebuah hadis. Memang, sebagian mengatakan itu hadis dhaif. Namun, secara makna, jikalau maksudnya adalah perbedaan para mujtahid dalam melahirkan pendapat-pendapat yang fikih dalam masalah ijtihadiyah , itu bisa jadi maknanya benar.

Contohnya, membahas masalah bersentuhan dengan perempuan; apakah membatalkan wudhu atau tidak? Ketika bertawaf, kalau kita berpegang pada mazhab Syafii, maka bersentuhan dengan perempuan itu batal wudhu-nya. Tapi, sungguh akan menyulitkan sekali waktu itu. Sebab, kondisinya berdesak-desakan dan pasti akan bersentuhan dengan yang bukan mahramnya.

Mau tidak mau, akhirnya waktu itu kita akan berubah pada mazhab Hanafi yang menyatakan, (bersentuhan dengan lawan jenis) itu tidak sampai membatalkan wudhu.

Makanya, dikatakan ikhtafu ummati rahmah (perbedaan umatku itu adalah rahmat). Kalau yang dimaksud adalah perbedaan di antara para mujtahid dalam menghasilkan pendapat yang terkait dengan furuiyah , itu bisa jadi rahmat. Namun, kalau perbedaan masalah ushuliyah , itu jelas bukan rahmat. Umpamanya, perbedaan tentang hukum shalat yang wajib, zakat, dan lain-lain.

Bagaimana semestinya Umat menyikapi ikhtilaf di ANTARA alim ulama?

Umat ​​memahami bahwa ketika para ulama berbeda pandangan dalam masalah-masalah ijtihadiyah , itu hal yang biasa. Jangankan para ulama sekarang. Para sahabat dahulu pun, yang masanya paling dekat dengan Nabi Muhammad SAW, tetap pandangan yang berbeda. Apalagi, para ulama yang muncul setelahnya. Tentunya perbedaan itu akan lebih terjadi.

Kalau misalnya seorang imam, kiai, syekh, atau mazhab, maka jangan mengikuti seorang fanatik. Dalam artian, seolah-olah yang benar-benar hanya diri atau kelompoknya. Ini yang harus dihindari sebenarnya. Sebab, mental seperti itu bisa menjadi pangkal perpecahan di tengah umat.

Seperti apa contoh dari salafus salih ketika mereka berikhtilaf?

Ketika berikhtilaf, para salafus salih , terutama kalangan sahabat Nabi SAW, itu tidak sampai menyebabkan berpecah belah. Khilafnya memang sangat banyak sekali. Kita lihat beberapa di antaranya yang paling terkenal. Misalnya, ketika Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk tidak shalat di Bani Quraizhah.

Beliau bersabda, “Janganlah sekali-kali kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Nah, di tengah perjalanan, ternyata waktu Ashar sudah masuk. Sebagian sahabat berpandangan, tidak boleh shalat kecuali di setibanya di Bani Quraizhah.

Kemudian, yang lainnya yang berpandangan, bukan itu yang dimaksud Rasulullah SAW. Yang melayani Nabi SAW adalah mereka segera berangkat ke Bani Quraizhah agar tidak telat shalat Ashar.

Ketika perkara ini disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau tidak mempersoalkan salah satu dari dua pendapat itu. Jadi, itu suatu contoh pandangan pandangan di kalangan sahabat, bahkan ketika Nabi SAW.

Contoh lainnya, masalah musafir ketika junub dan tidak menemukan air. Di antara pendapat yang masyhur dari Umar bin Khattab, musafir itu tidak boleh bertayamum sampai mendapatkan udara. Para sahabat lainnya ada yang tidak menerima pendapat itu. Merujuk pada surah an-Nisa ayat 43.

Bagaimana adab bila berbeda pandangan dengan sesama Muslim?

Ketika kita berbeda pandangan dengan sesama Muslim, sebanarnya ada dua sikap yang perlu ktia lakukan. Yang pertama, sebagai pengikut suatu mazhab, misalnya, kita tidak boleh menyerang orang-orang yang berbeda pandangan. Sebab, para imam kita saja tidak pernah saling menyerang antara mereka. Antarsesama alim ulama tidak pernah saling mencaci, saling merendahkan.

Contoh saja, kita tidak pernah mendengar Imam Syafii menjelek-jelekkan Imam Ahmad. Jadi, memang seharusnya kita tidak boleh saling menjelekkan, termasuk dalam ikhtilaf masalah ijtihadiyah. Kita harus melihat bahwa pemahaman orang itu bukan wahyu. Janganlah gara-gara berbeda pandangan, kemudian kita saling mencela dan mencaci.

Kedua, kita harus memiliki sikap moderat. Ketiga, bersabar dan berlemah-lembut, serta pandai dalam mengatur perbedaan dengan baik. Adapun yang keempat, tidak sampai fanatik. Sebab, fanatisme ini adalah pangkal perkelahian orang-orang yang berbeda pandangan dalam masalah ijtihadiyah.

Setiap Ramadhan, fenomena ikhtilaf mungkin masih terasa, semisal perbedaan jumlah rakaat tarawih. Menurut Anda?

Ini sebenarnya masalah klasik. Sampai kapanpun, mungkin tidak akan menemukan titik temu. Karena itu, harus berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan yang terjadi di tengah umat.

Kalau ada yang melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, silakan. Melaksanakan 11 rakaat, juga silakan. Seperti dikatakan Ibnu Taimiyah, “Jika seseorang melakukan shalat tarawih sebagaimana mazhab Abu Hanifah, Syafii, dan Ahmad, yaitu 20 rakaat, atau sebagaimana mazhab Malik yaitu 36 rakaat, atau 13 rakaat, atau 11 rakaat, maka itu yang terbaik. Ini sebagaimana Imam Ahmad berkata, ‘Karena tidak ada apa yang dinyatakan dengan jumlah, maka lebih atau kurangnya jumlah rakaat tergantung pada berapa panjang atau pendek qiyam-nya'.”


Menerjemahkan Itu Menjembatani


Proses transmisi ilmu terjadi melalui banyak cara. Salah satunya adalah penerjemahan karya-karya yang berkualitas ke dalam bahasa sasaran. Dalam dakwah Islam, ahli terjemah pun memiliki peran yang tidak sedikit. Hal itu disampaikan Ustaz Denis Arifandi Pakih Sati Lc.

Menurutnya, kaum Muslimin dapat memetik hikmah dari kemajuan yang dicapai peradaban Islam masa silam. Pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad menjadi kota kosmopolitan tempat pengkajian ilmu-ilmu dari pelbagai penjuru dunia. Sultan Abbasiyah kala itu mendukung transmisi keilmuan, utamanya dengan menyokong para penerjemah.

Ustaz Denis Arifandi terinspirasi dari peran kalangan pengalih bahasa pada era keemasan Islam. Sejarah membuktikan, buah kerja mereka memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban. Merefleksikan hal itu, dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini pun menekuni dunia penerjemahan.

Hingga kini, pengasuh Pondok Pesantren Insan Utama International Islamic Boarding School (IIBS) Yogyakarta itu telah mengalihbahasakan kitab-kitab klasik karangan alim ulama salaf. Ia mengaku termotivasi untuk turut menjembatani warisan pengetahuan salafus salih agar sampai kepada generasi kini, khususnya Muslimin Indonesia yang belum bisa berbahasa Arab.

“Menerjemah kitab itu berarti menjembatani ilmu-ilmu dari masa mereka. Harapannya, ilmu itu sampai kepada orang-orang (pembaca) yang mungkin tidak memahami bahasa aslinya, bahasa Arab,” ujar Ustaz Denis saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Menerjemah Kitab itu Berarti Menjembatani Ilmu-Ilmu dari Masa Mereka


Sejak kecil, mubaligh muda ini sudah mengenal bahasa Arab. Saat menempuh pendidikan di MAKN Koto Baru Padang Panjang, Sumatra Barat, dia mulai serius mempelajari penguasaan atas bahasa Arab. Pendidikannya kemudian berlanjut ke Fakultas Syariah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam and Arab (LIPIA) Jakarta. Kemampuannya dalam menerjemahkan teks-teks berbahasa Arab pun kian terasah.

Begitu lulus dari LIPIA, Ustaz Denis meneruskan studi magister Hukum Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini, ia sedang menempuh kajian doktoral Ilmu Syariah di kampus yang sama. Sampai sekarang, sudah cukup banyak naskah yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Di antaranya adalah Kitab La Tahzan wabtasim lil Hayah karya Mahmud al-Mishry.
“Buku itu bagi saya, memberikan motivasi tersendiri. Salah satu kitab yang pernah saya terjemahkan,” tuturnya.

Buku-buku lain yang pernah dialihbahasakannya ialah Syarah Matan Abi Syuja' karya Musthafa Dibb al-Bugha dan Kitab Tarikh al-Tasyri' al-Islami karya Khudary Bek. Ia pun menulis buku sendiri, semisal Jejak Hidup dan Keteladanan Imam Empat Mazhab.

Begitu banyak alim yang menginspirasi. Untuk menyebut satu nama, Syekh Yusuf al-Qaradawi. “Kalau saya sendiri, sangat menyukai karya-karya beliau. Sosoknya juga sangat saya kagumi, begitu pula pandangan-pandangan fikihnya,” kata Ustaz Denis.

Muhyiddin: Reporter 

SourceUstaz Denis Arifandi PS, Utamakan Adab Saat Ikhtilaf