Hukum Bunuh Diri dalam Islam

Hukum Bunuh Diri dalam Islam


Dalam Islam, Hukum Bunuh Diri adalah haram. Ia merupakan salah satu dosa besar. Pelakunya akan ditempatkan abadi di Neraka. Tidak ada ampunan dan kemaafan. Sebab, ia sendiri sudah menutup pintu taubat bagi dirinya. 

Firman Allah SWT: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (٣٠

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah." (Surat al-Nisa: 29-30)

Dalam ayat lainnya dijelaskan: 

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Surat al-Baqarah: 195)

Dalam ayat lainnya: 

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina." (Surat al-Furqan: 68-69)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

من قتَل نفسه بحديدة، فحديدته فى يده يتوجأ بها فى بطنه فى نار جهنم خالدًا مخلدًا فيها أبدًا، ومَن شَرِب سُمًّا، فقتل نفسه، فهو يتحساه فى نار جهنم خالدًا مخلدًا فيها أبدًا، ومن تردَّى من جبل، فقتل نفسه، فهو يتردى فى نار جهنم خالدًا مخلدًا فيها أبدًا

“Siapa yang membunuh dirinya dengan pisau, maka pisaunya akan dipegangnya dan ditusuk-tusukkannya ke perutnya di Neraka Jahannam abadi selamanya. Siapa yang meminum rancun, kemudian membunuh dirinya, maka akan menenggaknya di Neraka Jahannam abadi selamanya. Siapa yang gantung diri, maka ia akan mengantung di Neraka Jahannam abadi selamanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lainnya: 

الذى يخنق نفسه، يخنقها فى النار، والذى يطعنها، يطعنها فى النار

"Orang yang mencekik dirinya, maka ia akan mencekiknya di Neraka. Dan orang yang menusuk dirinya, maka ia akan menusunya di Neraka." (HR al-Bukhari)

Itulah beberapa dalil dari al-Quran dan hadits yang menjelaskan bahwa bunuh diri merupakan sesuatu yang terlarang dalam Islam. Hukumnya Haram. Dosa besar.


Arwah Orang yang Bunuh Diri

Arwah orang yang bunuh diri sama dengan arwah muslim lainnya. Jikalau Anda mendapati atau mendengar ada arwah orang bunuh diri yang gentayangan, itu sebenarnya bukan arwah orang tersebut, tapi bisa jadi itu adalah Jin Qarinnya. Sebab, status orang yang bunuh diri tetaplah seorang Muslim; jikalau ia memang seorang Muslim sejak awal. Bunuh diri tidak menyebabkannya keluar dari Islam. Dosa besar, iya. Kafir, tidak. 

Buktinya, orang yang bunuh diri tetap dimandikan, dishalatkan, dikuburkan, diurus layaknya kaum muslimin lainnya.

Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa ada sesoerang yang bunuh diri dihadapkan kepada Nabi Saw, kemudian beliau tidak mau menyolatkannya. (HR Muslim)

Hadits  ini dikomentari oleh Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim (7/ 47): 

“Hadits ini dimaknai agar menjauhkan diri dari upaya bunuh diri, sebagaimana beliau tidak mau menyolatkan jenazah orang yang berhutang. Para sahabat tetap menyolatkan orang yang berhutang berdasarkan perintah Rasulullah Saw. Sebab itu bertujuan untuk menghindari hutang, bukan karena ia kafir. Menurut Imam Malik, hukumnya makruh menyolatkan orang yang meninggal karena rajam, fasik, sebagai peringatan bagi yang lainnya.” 

Syeikh bin Abdullah Aziz bin Baz pernah ditanyakan, sebagaimana dimuat dalam Kitab Majmu Fatawa al-Syeikh bin Baz (13/ 122), tentang orang yang bunuh; apakah dimandikan dan dishalatkan?

Beliau menjawab: 

“Orang yang bunuh diri, mandikan dan dishalatkan, serta dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Sebab ia hanyalah pelaku maksiat, bukan kafir. Bunuh diri itu maksiat, bukan kekufuran.

Namun, selayaknya bagi Imam Besar (pemimpin)dan orang yang memiliki peranan penting, untuk tidak menyolatkannya sebagai bentuk pengingkaran, agar tidak ada orang yang menduga bahwa ia ridha dengan perbuatan tersebut. Imam besar, atau penguasa, atau Qadhi, atau kepala negara, atau Gubernur, jikalau meninggalkannya, kemudian menjelaskan bahwa ini adalah salah, maka itu lebih baik. Namun, orang yang bunuh diri tersebut, tetap dishalatkan oleh sebagian kaum muslimin.”


Siksa Kubur dan Siksa Neraka Pelaku Bunuh Diri

Siksa kuburnya sama dengan muslim lainnya pelaku dosa besar. Tidak ada dalil khusus yang menjelaskan masalah ini secara detail. Namun di akhirat kelak, ia abadi di Neraka, kemudian dihukum dengan cara yang sudah dijelaskan dalam hadits di atas; jikalau ia bunuh diri dengan cara menusuk diri, maka ia menusuk-nusuk dirinya di Neraka; jikalau ia bunuh diri dengan minum racun, maka ia menegak racun itu sedikit demi sedikit di Neraka; jikalau ia bunuh diri dengan cara gantung diri, itulah yang akan dijalaninya di Neraka kelak. Abadi selamanya. 


Catatan Tambahan

Itulah hokum Islam tentang bunuh diri. Kita berlindung kepada Allah SWT dari segala bentuk maksiat. Jangan putus asa dari rahmat Allah SWT. Hidup di dunia ini, pasti akan selalu ada masalah. Semuanya akan silih berganti; bahagia, sedih, bahagia. Senang, derita, senang. Begitilah seterusnya. Tidak ada di dunia ini yang abadi dalam satu keadaan. 

Kapan selesai dari masalah? 

Ketika Anda melangkahkan kaki pertama kali di surga. Selesai sudah semua masalah. 

Hidup hanya sementara. Mari mengabdikan diri kepada Allah SWT. Itu tugas utama kita di dunia. Masalah? Jalani dan serahkan keputusannya kepada Allah SWT, Zat yang Maha Menentukan segala. []

Hukum Golput & Ikut Mencoblos dalam Pemilu

Hukum Golput & Ikut Mencoblos dalam Pemilu


Untuk menentuka hokum masalah ini, kita harus melihat kondisi hokum negara tersebut terlebih dahulu, yang secara garis besar bisa dibagi menjadi dua: 

  • Pertama, Negara yang murni menerapkan hokum Islam. 
Semua anasirnya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT, baik undang-undangannya, aturan-aturannya, dan sebagainya. Kemudian, para Calon Pejabatnya pun memenusia syarat yang sudah ditetapkan oleh syariat, seperti al-Ilm (ada Ilmu), al-Adalah (bagus agamanya), al-Ra’y (punya ide dan pandangan), dan al-Hikmah (memiliki kebijaksanaan). 

Dalam kondisi seperti ini, tidak masalah Anda ikut Mencoblos dalam pemilu. Halal. Bahkan, wajib. 

Agar amanah tersampaikan kepada orang yang berhak memikulnya, agar tugas besar ini dijalankan oleh orang yang layak menjalankannya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT: 
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Surat al-Nisa: 58)

Di antara bentuk amanah itu adalah memberikan tongkat kepemimpinan kepada ahli ilmu, ahli iman, dan ahli dalam kepemimpinan. 

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Saw bersabda: 
فإذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة، قال: كيف إضاعتها؟ قال: إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
“Jikalau amanah diabaikan, maka tunggulah kiamat. “ 
Ada yang bertanya: 
“Bagaimana mengabaikannya?” 
Beliau menajwab: 
“Jikalau urusan diserahkan bukan kepada ahlinya. Maka, tunggulah kiamat.” (HR Ahmad dan al-Bukhari)

Sekali lagi… Ingat, sekali lagi; Dalam kondisi seperti ini, wajib hukumnya mencoblos dalam pemilu. 

  • Kedua, Negara yang system hukumnya tidak Islami atau menafikan Islam. 
Seperti Negara Komunis, Atheis, Demokrasi, atau system-sistem lainnya yang tidak menganut system Islam 100 persen, atau malah menafikan Islam. 

Dalam kondisi seperti ini, hokum asalnya seorang Muslim tidak boleh ikut mencoblos, atau dalam bahasa lainnya wajib Golput karena keikutsertaannya mengandung banyak kejangalan dalam syariat, seperti tunduk kepada orang-orang yang zalim, mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil, tidak ada nilai iman dan sudah sama saja dengan nilai kekufuran. 

Allah SWT melarangnya dalam firman-Nya: 
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam." (Surat al-Nisa: 140)

Kemudian firman-Nya: 
هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ ۚ وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۖ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih." (Surat al-Fath: 25)

Antara Maslahah dan Mafsadah


Hukum di atas dalam hokum dasar. Dalam kondisi normal. Ada kaedah yang menjelaskan begini: al-Hukm Yadùru ma’a al-Illah; wujùdan wa ‘adaman. Hukum itu berjalan sesuai dengan sebabnya; ada maupun tiada. 

Dalam konteks ke-Indonesiaan, kondisinya tidaklah seperti di atas. Indonesia bukan murni Negara Islam,dan bukan pula Negara yang menafikan Islam. Dengan berdasarkan Pancasila, konstitusi kita sebenarnya siap menerima hokum apa saja yang bermanfaat bagi Negara, termasuk hokum Islam. Apalagi Indonesia ini adalah salah satu negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. 

Makanya, sebagian ulama, terutama ulama kontemporer, membolehkan bahkan mewajibkann umat Islam untuk ikut serta mencoblos dalam pemilu, dan tidak golput. 

Agar bisa menerapkan kemaslahatan bagi Islam dan umat Islam, agar bisa meminimalisir kebatilan dan kejahatan yang ada disana. Sebab, Negara itu bukan saja berkaitan dengan satu orang dua orang, tapi jutaan anak manusia, jutaan umat Islam. 

Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah menjelaskan dalam Kitabnya Majmu al-Fatāwa (20/ 48): 
“Jikalau dua kewajiban saling berbenturan, tidak mungkin dikumpulkan keduanya, maka didahulukan kewajiban yang paling kuat. Jenis yang satu lagi tidak disebut lagi wajib, dan orang yang meninggalkannya, tidak disebut meninggalkan hal yang wajib. Begitu juga halnya jikalau berkumpul dua hal yang diharamkan, tidak mungkin meninggalkan jenis haram paling besarnya kecuali dengan mengerjakan yang paling ringannya, maka mengerjakan yang paling ringan, sebenarnya, dalam hal ini tidak bisa disebut haram. Walaupun perbuatan tersebut dinamakan “meninggalkan wajib” atau yang satu lagi dsebut “melakukan yang haram”. Itu semali tidak berpengaruh. Dalam hal dikenal dengan: “meninggalkan yang wajib karena uzur, dan melakukan yang haram karena maslahat yang kuat atau karena darurat atau menolak sesuatu yang lebih haram.”

Dalam masalah ini, bisa direnungkan kisah Nabi Yusuf Alaihissalam. Bagaimana beliau menjadi Bendahara Negara di Kerajaan Mesir, yang rajanya dan penduduknya adalah orang kafir. Bahkan, beliau sendiri yang meminta jabatan itu. Tujuannya jelas, agar mampu menerapkan kemaslahatan bagi orang banyak, dan sekaligus menjadi lahan dakwah bagi semuanya.

Kisah ini diceritakan dalam al-Quran: 
وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا هَلَكَ قُلْتُمْ لَنْ يَبْعَثَ اللَّهُ مِنْ بَعْدِهِ رَسُولًا ۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ مُرْتَابٌ
Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: “Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu." (Surat Ghafir: 34)

Dalam ayat lainnya dijelaskan: 
“Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, rabb-rabb yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Mahaesa lagi Mahaperkasa. Kamu tidak beribadah kepada yang selain Allah kecuali hanya (beribadah kepada) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu, Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Allah telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kepada selain Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Surat Yusuf: 39-40) []
Hukum Gaji Imam & Muazzin

Hukum Gaji Imam & Muazzin


Biasanya,  Gaji Imam atau Muazzin itu berasal dari dua sumber: 

  • Pertama, Baitul Mal (Pemerintah/ APBN)

Berkata Ibn al-Qasim dalam Hasyiyahnya atas al-Rawdh al-Murabba’: 

وقد أجرى السلف أرزاقهم من بيت المال من المؤذنين والأئمة، والقضاة، والعمال، وغيرهم، ولن يأتي آخر هذه الأمة بأهدى مما كان عليه أولها، وكان عمر-رضي الله عنه- وغيره يعطونهم منه، وجرت العادة –أيضاً- بين المسلمين بجواز أخذ من يؤم ويؤذن، وغيرهم من الأحباس الموقوفة على ذلك من غير اختلاف منهم

"Para Muazzin, Imam, Qadhi, Pegawai, dan lain-lain dari kalangan Salaf, gaji mereka berasal dari Baitul Mal. Generasi akhir umat ini tidak akan lebih baik di bandingkan Generasi awalnya. Umar radhiyallahu anhu selainnya, memberikan mereka gaji dari Baitul Mal. Kebiasaan yang berjalan di antara kaum muslimin, bolehnya mengampil gaji bagi yang mengimami dan selainnya dari barang-barang wakaf tanpa ada perbedaan pandangan di antara mereka." 

Ibn Quddamah al-Maqdisy, sebagaimana terdapat dalam Kitabnya al-Mughni (2/ 70) menyatakan Ijma’nya masalah ini. Sebab ia salah satu Amalan al-Qurb, mencakup juga Azan.


  • Kedua, Selain Baitul Mal (Pemerintah/ APBN)

Para Ulama Berbeda pandangan dalam menyikapinya

Pertama, Tidak Boleh

Ini merupakan Pandangan Ulama Mazhab Hanafi terdahulu; pandangan yang Paling Shahih dalam Mazhab Syafii; Salah satu Pendapat dalam Mazhab Hanbali. Hanya saja, Mazhab Hanafi menambahkan, jikalau sang Imam tidak mensyaratkan, namun inisiatif dari Jamaah untuk mengumpulkan uang untuk memenuhi hajatnya, maka itu baik dan bagus. 

(Lihat Kitab al-Bahr al-Raiq: 1/ 268; Raudhah al-Thalibin: 5/ 188; al-Inshaf: 14/ 378)

Kedua, Boleh

Ini merupakan Pendapat sebagian dalam Mazhab Maliki, salah satu pandangan dalam Mazhab Syafii, salah satu pandangan dalam Mazhab Hanbali. 

(Lihat al-Kharsy: 1/ 236; Rawdhah al-Thalibin: 5/ 188; al-Inshaf: 14/ 378)

Ketiga, Boleh walaupun disyaratkan untuk Digaji Menjadi Imam & Muazzin

Ini merupakan pendapat yang Masyhur dalam Mazhab Maliki. 

(Lihat al-Kharsy: 1/ 236)

Keempat, Boleh Mengambil Jikalau Darurat & Butuh

Misalnya Fakir atau Miskin. Tidak boleh mengambilnya jikalau kaya. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanbali, sebagaimana terdapat dalam al-Inshaf (14/ 379). 

Dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibn Taimiyah, sebagaimana terdapat dalam Majmu’ al-Fatawa: (30/ 207)

Kelima, Makruh

Pendapat ini terdapat dalam Kitab al-Inshaf: (14/ 379)


Pendapat Terpilih


Jikalau melihat dalil, maka pendapat yang palong kuat adalah pendapat yang mengharamkan. Namun jikalau ada kebutuhan atau kedaruratan, misalnya dalam konteks keindonesiaan yang Imamnya tidak digaji pemerintahkan, maka boleh; tidak masalah sama sekali.

Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibn Taimiyah. Apalagi jikalau sampai pengharaman itu menyebabkan terabaikannya Masjid dan Shalat Berjamaah, maka hukumnya akan dibolehkan sekali.

Dalil hokum Asal (Tidak Boleh) ini adalah sabda Nabi Saw kepada Ustman bin Abi al-Ash: 

 واتخذ مؤذناً لا يأخذ على أذانه أجراً

"Dan ambillah Muazzin yang tidak mengambil upah atas azannya."

 أخرجه أحمد (4/29)، والنسائي (1/351)، والحاكم (1/199)، وقال: على شرط مسلم، وأقره الذهبي، وابن حجر في البلوغ (ص167)، وصححه الألباني في الإرواء (5/316).

Jikalau Muazzin saja tidak diperbolehkan, maka Imam lebih utama untuk tidak dibolehkan. Sebab, tanggungjawabnya jauh lebih besar dibandingkan dengan Muazzin. 

NB: Jikalau dari Baitul Mal, itu dari uang Negara. Jikalau selain itu, maka dari kantong Jamaah atau  Masjid. []

Hukum Menunda Qadha' Puasa Ramadhan yang Menumpuk

Hukum Menunda Qadha' Puasa Ramadhan yang Menumpuk


Orang yang menunda-nunda kewajiban Qadha’ Ramadhan, maka ia berdosa, wajib baginya bertaubat dan beristighfar, kemudian ia harus men-Qadha hari-hari yang sudah ditinggalkannya. Dan tidak ada baginya kewajiban kafarat. Inilah pendapat Jumhur ulama yang bisa dijadikan pegangan. 

Jikalau ada yang tetap mau bayar Kafarat, kemudian memperbanyak sedekah, maka tidak ada masalah sama sekali. Itu menjadi timbangan kebaikannya. 

Hendaklah ia menentukan jumlah hari yang selama ini dilalaikannya. Bagi wanita yang haidh misalnya, terjadi 5-7 hari. Kemudian dikalikan sejumlah prediksi kuatnya ditinggalkan. 

Antara Qadha’ dengan Puasa lainnya tidak boleh digabung. Sebab ia bersifat wajib
 
Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Munajjid menjelaskan, “Siapa yang memiliki kewajiban Qadha’, kemudian ia sakit atau tidak mampu melakukannya (tidak bisa diharapkan kesembuhannya), maka ia beralih ke “Memberi Makan Fakir Miskin.”, yaitu satu orang Miskin untuk setiap Puasa yang Ditinggalkan. Jawaban serupa juga disampaikan oleh Syeikh Muhammad Shaleh al-Utsaimin. 

Kewajiban men-qadha puasa Ramadhan bersifat al-Tarakhi (tidak lansung). Dalilnya, Aisyah menunda Qadha Ramadhannya sampai masuk bulan Syaban. 

Hukum Berpuasa sebelum menunaikan Qadha’ Ramadhan, para ulama berbeda pandangan. Sebagiannya membolehkan. Sebab, tidak mungkin Aisyah sepanjang bulan Ramadhan-Syaban, sama sekali tidak puasa sunnah. 

Jikalau sengaja melalaikan Qadha’ sampai masuk Ramadhan selanjutnya, maka ia berdosa. Namun jikalau ada Uzur, kemudian ia meninggal, maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Keluarganya juga tidak wajib mengqadha. []

Pengetahuan Hukum Seputar Jin

Pengetahuan Hukum Seputar Jin


Pengetahuan tentang Jin itu bukanlah al-Taraf al-Fikri atau Tadhyi’ al-Waqt. Ia masalah penting agar seseorang tidak terjerumus ke dalam Khurafat (Mitos)


Apakah Jin Mencuri Harta Manusia? 

Ketika seseorang kehilangan hartanya, kemudian ia tidak mendapati ada orang yang mencurinya, maka ia akan berpikir bahwa pelakunya adalah Jin. 

Fakta Islaminya, Jin tidak bisa bisa mencuri hartanya, selama harta itu tersimpa dalam al-Hirz (Lemari atau Kotak dan sejenisnya). 

Rasulullah Saw bersabda: 

أغلِقوا الأبوابَ وأوْكوا السِّقاءَ وخمِّروا الإناءَ وأطفِئوا المصباحَ فإنَّ الشَّيطانَ لا يفتَحُ غَلَقًا ولا يحُلُّ وِكاءً ولا يكشِفُ إناءً وإنَّ الفُوَيْسقةَ تُضرِمُ على النَّاسِ بيتَهم

"Tutuplah oleh kalian pintu rumah, ikatlah kantong air tempat minuman, tutuplah bejana-bejana, dan matikanlah lampu, karena setan tak dapat membuka pintu terturup, melepas ikatan tempat minum, dan membuka bejana. Dan sesungguhnya tikus dapat merusak pemilik rumah dengan membakar rumahnya." (HR al-Turmudzi)


Apakah Jin juga Mukallaf? 

Jin itu Mukallaf sama dengan manusia, dan Rasul mereka adalah dari kalangan manusia, sebagaimana firman Allah SWT: 

يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَٰذَا ۚ قَالُوا شَهِدْنَا عَلَىٰ أَنْفُسِنَا ۖ وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ

Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir." (Surat al-An'am: 130)

Ada sekelompok Jin yang mendengarkan al-Quran dari Nabi Saw, sebagaimana firman-Nya: 

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan." (Surat al-Ahqaf: 29)

Dalam hadits panjang riwayat Muslim dijelaskan: 

وبعثت إلى الأحمر والأسود

"Saya diutus kepada yang merah dan yang hitam." 


Apakah Jin yang Beriman Masuk Surga? 

Para Ulama berbeda pendapat karena berpangkal dari perbedaan mereka tentang Asal Jin. Ulama berpandangan bahwa ia adalah keturunan Jin bukan Iblis, maka ia masuk surga dengan Iman mereka. 

Sedangkan ulama yang berpandangan bahwa ia merupakan keturunan Iblis, maka ada dua pandangan mereka. 

  1. Mereka masuk surga
  2. Mereka tidak masuk surga, namun tidak juga disiksa di Neraka

Sedangkan bagi Jin yang Ahli maksiat, maka ia akan dimasukkan ke dalam Neraka sama dengan manusia, sebagaimana firman Allah SWT:

يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِنْ نَارٍ وَنُحَاسٌ فَلَا تَنْتَصِرَانِ

Kepada kamu, (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (dari padanya)." (Surat al-Rahman: 35)

Hukum Puasa bagi Para Pekerja Keras

Hukum Puasa bagi Para Pekerja Keras


Menurut Mazhab Hanafi, orang yang terpaksa bekerja di bulan Ramadhan, kemudian berdasarkan:  

  1. Tanda-Tanda (al-Amarah), 
  2. Dugaan Kuat (al-Zhann al-Ghalib), 
  3. Pengalaman (al-Khibrah)
  4. Pemberitahuan (Ikhbar) dokter Muslim yang terpercaya, 

bahwa puasanya akan menyebabkan 

  1. Kematiannya atau
  2. Menyebabkan sakit atau 
  3. Lemah yang membuatnya tidak mampu menafkahi dirinya dan keluarganya, 


Maka, dibolehkan baginya tidak berpuasa berdasarkan pandangan Ibn Abidin yang membolehkan tidak berpuasa bagi pekerjaan yang tidak ada jaminan nafkah bagi dirinya dan keluarganya. 

Para pekerja yang berada dalam kondisi seperti ini, maka ia diperbolehkan tidak berpuasa, namun ia harus men-Qadha’ di hari-hari lainnya yang tidak ada kedharuratan tersebut. 

Jikalau pekerjaan tersebut dijalaninya sepanjang masa, berdasarkan keyakinan kuat di hatinya, tidak ada waktu senggang sama sekali, namun tidak ada kewajiban Qadha baginya dan tidak juga Fidyah. 

Namun, jikalau hanya berdasarkan dugaan besar (al-Zhann al-Ghalib, maka ia hendaklah mengambil hokum al-Syeikh al-Fani; Orang Tua Renta, yang berkewajiban membayar Fidyah untuk setiap hari yang ditinggalkannya sebanyak ½ Sha’ Gandum atau sejenisnya kepada satu orang fakir atau senilai harganya menurut Abu Hanifah. 

Jikalau uzur sudah hilang, ia sudah bekerja normal, maka ia wajib menqadha puasa yang pernah ditinggalkannya.[]

Hukum Menunda Shalat Isya

Hukum Menunda Shalat Isya


Ada dalil yang menunjukkan sunnahnya menunda shalat Isya, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana sabda Nabi Saw yang suatu hari menundanya sampai sepertiga malam seraya berkata: 

إنه لوقتها لولا أن أشق على أمتي

"Inilah waktunya jikalau aku tidak memberatkan umatku." (HR Abu Daud)

Jikalau tidak ada kesulitan, maka menundanya adalah lebih baik. Namun, jangan sampai menundanya melewati tengah malam, berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Amru, dari Nabi Saw bersabda: 

وقت العشاء إلى نصف الليل

"Waktu Isya sampai pertengahan malam." (Hr Muslim)

Sedangkan jikalau menundanya akan menyulitkan, maka terbaiknya adalah menyegerakan, berdasarkan riwayat Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, Nabi Saw bersabda: 

كان النبي صلى الله عليه وسلم في العشاء إذا رآهم اجتمعوا عجل ، وإذا رآهم أبطئوا أخر

"Nabi Saw dalam shalat Isya jikalau melihat mereka sudah berkumpul, maka beliau menyegerakan. Jikalau beliau mereka melihat lambat, maka beliau mengakhirkan." (Hr Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lainnya: 

كان النبي صلى الله عليه وسلم يستحب أن يؤخر العشاء

"Nabi Saw suka menuda Isya."(Hr Ahmad)


Kesimpulannya: 

Disunnahkan menundanya jikalau jikalau tidak ada kesulitan. Dan itu tidak boleh melewati tengah malam. []