Sunnah Berbagi (Memberi) Makanan

Sunnah Berbagi (Memberi) Makanan


Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim diceritakan, suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, "Amalan apakah yang terbaik dalam Islam?" 

Kemudian beliau menjawab: 

تطعم الطعام، ونقرأ السلام على من عرفت ومن لم تعرف

"Anda memberi (berbagi) makanan, mengucapkan salam kepada orang yang Anda kenal dan tidak Anda kenal." 

Maka, kebiasaan berbagi makanan yang banyak kita dapati di Negeri ini, baik di hari Jumat atau di hari-hari lainnya, baik di Masjid maupun di Jalanan, atau di tempat-tempat lainnya, baik kepada orang-orang yang membutuhkan maupun tidak, merupakan sunnah Nabi Saw. 

Kenapa mencakup orang-orang yang tidak membutuhkan? Sebab hadits di atas bersifat umum. Maka, berbagi kepada teman, sahabat, tetangga, para pegawai dan pekerja, juga masuk ke dalam pembahasan hadits. 

Salah satu tujuan utama dari sunnah ini adalah menyebarkan ruh kasihsayang sesama manusia. Bahkan, juga kepada Non Muslim.[]

Hukum dan Doa yang Dibaca Ketika Menyembelih Hewan Kurban

Hukum dan Doa yang Dibaca Ketika Menyembelih Hewan Kurban


Pada dasarnya, kita disunnahkan ketika menyembelih kurban untuk membaca doa berikut ini: 

بسم الله ، والله أكبر ، اللهم هذا منك ولك ، هذا عني (هذا عن فلان ) اللهم تقبل من فلان وآل فلان (ويسمي نفسه

Bismillāh. Wallāhu Akbar. Allāhumma Hadzā Minak wa Laka. Hadzā ‘Annī/ Hadzā ‘an Fulān. Allāhumma Taqabbal min Fulān wa Âli Fulān

“Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Ya Allah, ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ini dariku (Jikalau ia sendiri yang menyembelihnya. Jikalau bukan ia yang lansung menyembelihnya, diwakilkan panitia kurban, diganti dengan: Ini dariku - Hadzā ‘an Fulān) Ya Allah, terimalah dari Fulan (sebutkan nama Shāhibul Qurbān) dan Keluarga (sebutkan nama Shāhibul Qurbān)

Doa yang sunnah dibaca, itu seperti diatas. Wajibnya, ini batas minimal yang dibaca oleh orang yang akan menyembelih, baik yang menyembelih itu adalah pemilik kurban itu sendiri maupun panitia kurban adalah: 

Bismillah; Dengan nama Allah SWT. 

Kalau sudah membaca Bismillah, hokum kurbannya sudah sah. Halal. Dan sudah sesuai dengan Syariat Islam. 


Hadits-Hadits yang Menjelaskan Tentang Doa Ini

Ada beberapa hadits yang menjelaskan doa yang dibaca ketika akan menyembelih kurban ini, di antaranya diriwayatkan oleh Anas bin Mālik radhiyallahu anhu: 

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

Nabi Saw berkurban dengan dua domba yang berwarna putih yang ada hitamnya dan bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangannya, menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas samping kambing.” (HR al-Bukhāri 5565, Muslim 1966)

Diriwayatkan dari ‘Âisyah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah Saw memerintahkan untuk diambil domba yang bertanduk, kemudian dibawakanlah kepadanya untuk dikurbankan, kemudian beliau bersabda: 

يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ

 “Wahai Aisyah, bawa pisau kesini.” 

Kemudian beliau berkata lagi: 

اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ

“Asahlah ia dengan batu.” 

Kemudian Aisyah mengasahnya. Setelah itu, beliau mengambil pisau dan mengambil dombanya, kemudian membaringkannya dan menyembelihnya seraya membaca: 

بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Dengan nama Allah. Ya Allah, Terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad, serta dari Umat Muhammad.” 

Beliau berkurban dengan itu. (Hr Muslim 1967)

Diriwayatkan oleh Jābir bin Abdullāh radhiyallahu anhu bahwa ia menyaksikan Nabi Muhammad Saw di Hari Raya Idul Adha mengerjakan shalat di lapangan. Ketika beliau selesai berkhutbah, maka beliau turun dari mimbarnya, kemudian dibawalah kepadanya seekor domba dan menyembelihnya dengan tangannya sendiri, seraya membaca: 

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

“Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Ini dariku dan dari orang yang belum berkurban dari umatku.” (Hr al-Turmudzi, dishahihkan oleh al-Albāni)

Dalam beberapa riwayat, ada tambahan: 

اللهم إن هذا منك ولك

“Ya Allah, ini dari-Mu dan untuk-Mu.” 

(Lihatlah Irwā al-Ghalīl 1138, 1152)

Nah, itu sejumlah hadits atau sunnah yang menjelaskan doa yang kita baca ketika akan menyembelih kurban. Gampangkan? 


Masalah-Masalah yang Sering Dipertanyakan

Ada beberapa pertanyaan yang sering dipertanyakan terkait masalah ini. 

Pertama, Apakah doa menyembelih kurban (qurban) yang sesuai sunnah Rasulullah Saw? 

Inilah doa menyembelih kuban yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw, sesuai dengan Manhaj Salaf, Ahli Sunnah wal Jamaah. Jikalau kita bisa membaca bentuk sempurna sebagaimana di atas, itu lebih baik. Jikalau tidak, cukup dengan Bismillah. Dengan Nama Allah SWT. 

Kedua, Bagaimana Doa yang dibaca ketika menyembelih kurban sendiri atau kurban milik orang lain? 

Masalah ini juga sudah kita jelaskan di atas. Jikalau kita lansung sendiri yang menyembalihnya, maka dibaca ‘Annī (dariku). Jikalau kita panitia yang menyembelih sebagai wakil dari pemilik kurban, maka kita baca: 

“Hadzā ‘Annī/ Hadzā ‘an Fulān. Allāhumma Taqabbal min Fulān wa Âli Fulān”

Kata-kata Fulan diganti saja dengan nama pemilik kurban. Kalau namanya Jono,maka sebut namanya sebagai ganti Fulan. 

Ketiga, Bagaimana Doanya jikalau pemilik kurbannya ada 7 orang? 

Gampang, bagian doa yang ini: 

“Hadzā ‘Annī/ Hadzā ‘an Fulān. Allāhumma Taqabbal min Fulān wa Âli Fulān“

Kata-kata Fulan, Anda ganti dengan nama-nama para pemilik kurban yang berjumlah 7 orang. Sebutkan satu-satu. []

Hukum Suami Menikah Lagi Setelah Istrinya Meninggal

Hukum Suami Menikah Lagi Setelah Istrinya Meninggal


Masalah ini akan kita jawab dari dua sisi; pertama, sisi hokum. Kedua, sisi norma dan etika. 


Mari kita lihat dulu dari sisi hokum. Secara hokum Islam, tidak ada masalah bagi seorang suami untuk menikah lagi setelah istrinya meninggal. Lansung menikah, juga tidak masalah. Sebab, bagi laki-laki tidak ada yang namanya Iddah atau Ihdad (masa berkabung). 


Keduanya hanya berlaku bagi para wanita. Inilah yang dijelaskan oleh Ibn al-Quddamah dalam Kitabnya al-Mughni (8/ 125): 

“Istri yang ditinggal mati oleh suaminya, menjauhi wewangian dan berhias… Ini dinamakan dengan al-Ihdad (berkabung). Kami tidak mendapatinya adanya perbedaan di kalangan ulama tentang kewajibannya bagi perempuan yang ditingal mati suaminya.” 


Dalam fatwa al-Lajnah al-Daimah (20/ 479) dijelaskan: 

“Wajib bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya untuk melakukan Iddah dan Ihdad.”


Bagi laki-laki, tidak ada kewajiban tersebut. Jikalau istrinya sudah meninggal, maka selesai sudah hubungan keduanya. Cerai sudah. Tidak ada Iddah, dan tidak ada kewajiban untuk Ihdad. 


Untuk catatan saja bagi kita semuanya, ada tiga hal yang menyebabkan putusnya hubungan pernikahan: 

Pertama, Faskh/ Nikahnya Batal. Banyak hal yang menyebabkan hal ini. Nanti akan coba kita tulis masalah ini secara khusus. Sebagai contohnya, ketika salah satu pasangan yang sudah sah menikah secara Islam, kemudian salah satunya murtad; keluar dari Islam, maka nikahnya Faskh; batal demi agama. 


Kedua, Talak/ Cerai. Jikalau sudah cerai, dan istri sudah selesai masa Iddah, habis masa ruju’ dalam Talak Raj’I, maka keduanya tidak boleh berhubungan sama sekali, haram tinggal serumah. Statusnya sudah bukan lagi suami istri. Masalah ini juga panjang dan luas, akan kita bahas juga di artikel khusus. 


Ketiga, Mati/ Meninggal/ Wafat. Jikalau salah satu pasangan meninggal, maka terputuslah hubungan suami-istri di antara keduanya. Bagi istri, wajib ada Iddah dan al-Ihdad. Tidak bagi laki-laki. 


Artinya apa? 

Artinya, jikalau di suami menikah lagi setelahnya, lansung atau nanti, hukumnya sah-sah saja. Tidak masalah. Apalagi jikalau istrinya baru satu. Jangankan setelah kematiannya. Ketika istrinya masih hidup saja, ia bisa menikah lagi dengan wanita lainnya. Sebab jatahnya memang empat. Asalkan memang mampu. Jangan asal mau poligami saja. Makan sehari saja ga lurus, mau poligami pula, itu dengkul dimana?


Ini juga yang dijelaskan dalam Kitab al-Muwsuah al-Fiqhiyyah (2/ 105): 

أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا إحْدَادَ عَلَى الرَّجُلِ

“Para ulama berijma bahwa tidak ada al-Ihdad bagi laki-laki.” 


Sekarang, mari kita lihat secara etika. Kalau kita berbicara masalah etika, kita harus melihat secara budaya, social, dan faktor sekelilingnya. Maka, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan: 


  1. Kesiapan diri; Diri dan Materi. Ya, jangan asal mau menikah saja. Udah siap mental diri apa belum? Menikah lagi, artinya akan menghadapi suasana baru, orang baru, karakter baru. Pikirkanlah semua hal yang terkait dengan hal ini. Jangan sampai pernikahan yang niatnya mendapatkan mawaddah wa rahmah, malah berujung sengsara. Kemudian materi juga. Siapkan. Jangan bekal badan doang. 
  2. Pertimbangan juga perasaan keluarga istri dan anak-anak. Kalau masalah hitam putih saja, kan sudah jelas. Hukumnya sah, boleh. Tapi, bagaimana perasaan anak-anak Anda; ibunya baru meninggal, Anda lansung menikah, seolah-olah tidak ada kesedihan di balik musibah kematian. Apalagi keluarga besar sang istri, tentu akan lebih berburuk sangka. Manajemen hati dan perasaan itu penting juga. Jangan abaikan. 


Pasangan Suami-Istri di Surga Kelak; Akhirat


Istri yang mencintai suaminya, dan suami yang mencintai istrinya, tidak usah khawatir. Jikalau Anda berdua berpisah di dunia. Itu hanyalah perpisalahan sementara. Asalkan Anda berdua dari golongan Ahli Islam, Ahli Syahadat, maka Anda berdua akan berkumpulkan lagi di surge kelak. Orang yang menjadi suami Anda di surge, yang Anda dicintai dengan sepenuh hati Anda, akan menjadi suami Anda lagi kelak di surge. Bahkan, Anda akan dikumpulkan dan dipertemukan dengan seluruh anak-anak Anda, cucu-cucu Anda, dan seluruh keturunan Anda. 


Inilah yang dijelaskan dalam firman Allah SWT: 

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ 

Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya." (Surat al-Thur: 21)


Di antara doa para malaikat pemikul Arsy adalah: 

رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ 

Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Surat Ghafir: 8) []

Hukum Ziarah Kubur

Hukum Ziarah Kubur


Pada dasarnya, hokum Ziarah kubur adalah sunnah. Sebab ia mengingatkan akhirat, kemudian juga akan bermanfaat bagi Mayat dengan mendapatkan doa dan Istighfar. 

Rasulullah Saw bersabda: 

قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه فزوروها فإنها تذكر بالآخرة

 “Dahulu saya melarang kalian untuk menziarahi kubur. Maka, sudah diizinkan Muhammad untuk menziarahi kuburan ibunya. Sebab, iaa mengingatkan kalian akan akhirat.” (Hr al-Turmudzi)

Di awal sejarahnya, berdasarkan hadits ini, memang ziarah kubur itu dilarang secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan. Namun setelahnya, hukumnya diubah oleh Rasulullah Saw, dengan diizinkan. Sebab ada kemanfaatannya bagi diri yang berziarah. 

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Muhammad Saw menziarahi kuburan ibunya, kemudian beliau menangis dan membuat menangis orang-orang yang ada di sekitarnya, kemudian beliau bersabda: 

استأذنت ربي في أن أستغفر لها فلم يؤذن لي ، واستأذنته في أن أزور قبرها فأذن لي ، فزوروا القبور فإنها تذكر بالموت

“Saya memohon izin kepada Rabbku agar bisa memohonkan ampunan baginya, namun saya tidak diizinkan. Kemudian saya memohon izin kepadanya agar saya bisa menziarahi kuburannya, maka Dia mengizinanku. Maka. Ziarahilah kubur, sebab ia mengingatkan akhirat.” (HR Muslim)

Hukum sunnahnya ini, merupakan kesepakatan para ulama. Bahkan Ibn Hazm al-Andalusi menyatakan hukumnya wajib menziarahi kubur berdasarkan kedua hadits di atas. Dalam artian, jikalau Anda tidak menziarahi kubur, maka Anda berdosa kata Ibn Hazm. 

Tapi… Sekali lagi Tapi…Ingat dengan baik!

Kecuali, jikalau kuburan itu atau Jenazahnya berada jauh, bagi yang ingin menziarahinya harus bersusah payah melakukan perjalanan dan mengadakan rihlah khusus. Maka ketika itu, ia tidak disyariatkan, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: 

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد، المسجد الحرام ومسجدي هذا والمسجد الأقصى

 “Janganlah diupayakeraskan perjalanan kecuali ke tiga Masjid; Masjidil Haram, Masjid saya ini, dan Masjid al-Aqsha.” (HR Bukhari dan Muslim)


Hukum Ziarah Kubur bagi Para Wanita/ Muslimah

Masalah hokum ziarah kubur bagi wanita atau muslimah, agak sedikit berbeda dengan hokum di atas. Sebab, khusus untuk wanita, ada dalil khusus dalam hal ini, yang kedua dalilnya saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya dalam  kandungan hukumnya.

Pertama, hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه فزوروها فإنها تذكر بالآخرة

 “Dahulu saya melarang kalian untuk menziarahi kubur. Maka, sudah diizinkan Muhammad untuk menziarahi kuburan ibunya. Sebab, iaa mengingatkan kalian akan akhirat.” (Hr al-Turmudzi)


Laki-laki dan perempuan, tercakup dalam keumuman hadits ini. Bukan saja laki-laki  yang butuh peringatan akan akhiratnya, namun perempuan juga. Kedudukannya sama, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: 

النساء شقائق الرجال

“Para wanita itu kansungnya para laki-laki.” 

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Majah, dan al-Turmudzi, bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

لعن الله زوارات القبور

“Allah SWT melaknat para wanita peziarah kubur.” 

Zahirnya, kedua hadis di atas saling kontradiksi, saling  bertentangan. Makanya, dalam masalah ini, ada tiga pendapat ulama. 

Kelompok Pertama, mereka membolehkannya berdasarkan hadits yang pertama. Kelompok Kedua, mereka melarangnya secara mutlak berdasakan hadits yang kedua. Jikalau ada wanita yang berziarah kubur, maka ia akan mendapatkan laknat Allah SWT. Kelompok ketiga, mereka berusaha mengkompromikan antara kedua dalil, sehingga lahir hokum kebolekahannya tapi dengan syarat. 

Menurut saya, mengikuti sejumlah ulama lainnya, pendapat yang ketiga adalah pendapat yang kuat. Tidak masalah perempuan itu berziarah kubur, asalkan tidak dilakukan berulang-ulang dan berkali-kali. Sedangkan jikalau tidak sering melakukannya dan tidak dilakukan berulang-ulang, maka sebagian ulama menyatakan kemakruhannya. 

Ulama yang membolehkan, bukan boleh begitu saja, ya. Mereka juga menetapkan syarat: tidak melakukan kemungkaran di kuburan, seperti meratap di kuburan, atau berteriak, atau berangkat untuk ziarah dengan bertabarruj, atau berdoa kepada si Mayat dan meminta hajatnya, atau perbuatan terlarang lainnya.

Orang yang menziarahi kuburan kaum muslimin, mengucapkan apa yang diucapkan oleh Rasulullah Saw ketika menziarahi al-Baqi’, yaitu: 

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, وَأَنَا إِنْ شَاءَ اللَّه بِكُمْ لَاحِقُوْن, أَنْتُمْ فَرَطُنَا وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ, نَسْأَل اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ, اللَّهُمَّ اغْفِر لَهُمْ, اللَّهُمَّ ارْحَمَهُمْ

“Keselamatan bagi kalian wahai para penghuni negeri dari kalangan mukminin dan muslimin. Saya dengan izin Allah SWT akan mengikuti kalian. Kalian adalah pendahulu kami, dan kami pengikut kalian. Kami memohon Allah SWT bagi kami dan kalian semuanya keselamata. Ya Allah, ampunilah mereka. Ya Allah, rahmatilah mereka.” (Hr Muslim)[]

Hukum Mewarnai Rambut

Hukum Mewarnai Rambut


Mau tampil gagah atau cantik, merupakan sesuatu yang bernilai pahala di sisi Allah SWT. Dan rambut adalah salah satu karunia keindahan yang diberikan-Nya kepada para hamba, yang harus dijaga dan dirawat dengan sebaiknya. 

Dalam haditsnya, Rasulullah Saw bersabda: 

من كان له شَعرٌ فليُكرمه

“Siapa yang memiliki rambut, maka muliakanlah.” (HR Abu Daud)

“Muliakanlah”, maksudnya dijaga dengan sebaik-baiknya; dibersihkan, dishampooi, dirapikan. Jangan sampai rambut gondrong, katanya mengikuti sunnah Nabi, namun apek; bau busuk; banyak kutu. Itu namanya menghinakan rambut, merendahkan sunnah Nabi. 

Dalam hadits lainnya dijelaskan: 

إن الله جميلٌ يحب الجمال

“Allah itu Indah, dan menyukai keindahan.” (HR Muslim)

Dan salah satu bentuk keindahan itu adalah mewarnai rambut. 


Hukum Mewarnai Rambut Dalam Islam, Selain dengan Hitam

Ulama bersepakat, mewarnai rambut dengan warna apapun, menjadi merah atau kuning atau apapun itu, selain dengan warna hitam, maka hukumnya boleh. Tidak masalah, mau mewarnainya dengan henna, atau dengan za'faran, dan lain sebagainnya. 

Mewakili fikih Mazhab Hanafi, dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (44/45): “Para syeikh rahimahumullah bersepakat bahwa menginai bagi laki-laki dengan warna merah adalah sunnah, dan ia merupakan salah satu cirri kaum muslimin dan tanda mereka.” 

Kemudian dikatakan oleh al-Hashfaky al-Hanafy (Kitab al-Durr al-Mukhtar: 6/ 422): “Disunnahkan bagi laki-laki menginai rambutnya dan jenggotnya.” 

Mewakili pendapat Mazhab Maliki, dijelaskan dalam al-Dzakhirah (Kitab al-Fawakih al-Dawani ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qayrawani: 8/ 191) dijelaskan, “Mereka bersepakat bolehnya mengubah uban dengan al-Shafrah, Inai, dan al-Katm. Mereka hanya berbeda pendapat tentang mana yang lebih baik; mengerjakannya atau meninggalkannya. Dalam hal ini, Imam Malik ada dua pendapat.” 

Ibn Abdil Barr mengatakan (Kitab al-Istidzakar: 8/ 439): “Para ulama tidak berbeda pendapat tentang bolehnya berinai dengan henna, al-Katm, dan semisal keduanya.” 

Mewakili pendapat Mazhab Syafii, dijelaskan dalam Kitab al-Majmu (1/ 293-294): “Disunnahkan menginai uban dengan kuning atau merah. Ini disepakati oleh para sahabat kami, di antara yang terang-terang menyatakannya adalah al-Shumairy, al-Baghawy, dan selainnya.” 

Mewakili pendapat dalam Mazhab Hanbali, dijelaskan dalam Kitab al-Mughni (1/ 105): “Disunnahkan menginai uban dengan selain warna hitam. Ahmad mengatakan: Saya melihat orang tua yang menginai rambutnya, dan saya bahagia melihatnya.” 

Apa dalil mereka? 

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

إن اليهود والنصارى لا يصبغون فخالفوهم

“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak berinai, maka bedalah dengan mereka.” (HR Bukhari)

Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah bahwa ketika Fathu Makkah dibawalah Abu Quhafah mendatangi Nabi Muhammad Saw; rambutnya dan jenggotnya sudah memutih. Kemudian beliau bersabda: 

غيروا هذا بشيءٍ واجتنبوا السَّواد

“Ubahlah ini dengan sesuatu, dan jauhilah yang hitam.” (Hr Muslim)

Rasulullah Saw bersabda: 

غيِّروا الشيب ولا تشبَّهوا باليهود

“Ubahlah uban dan janganlah kalian menyerupai yahudi.” (HR al-Turmudzi)

Abu Umamah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw berjalan bersama sekelompok sepuh Anshar yang jenggot mereka sudah memutih, kemudian beliau bersabda: 

يا معشر الأنصار، حَمِّّروا وصَفِّروا وخالفوا أهل الكتاب

“Wahai sekalian Ashar, merahkanlah dan kuningkanlah, berbedalah dengan Ahli Kitab.” (Hr Ahmad)

Umm Salamah radhiyallahu anha meriwayatakan bahwa ia melihat rambut Nabi Muhammad Saw merah. (HR Bukhari)

Abu Ramtsah meriwayatkan bahwa ia dan bapaknya mendatangi Nabi Muhammad Saw, dan mereka mendapati jenggot Nabi Muhammad Saw dipenuhi inai. (Hr Bukhari)


Hukum Mewarnai Rambut dengan Warna Hitam

Dalam masalah mewarnai rambut dengan warna hitam ini, ada point yang disepakati para ulama dan ada point yang mereka berbeda pendapat dalam menyikapinya. 

Point yang disepakati itu ada dua: 

Pertama, Mereka bersepakat bolehnya menginai atau mewarnai rambut dengan warna hitam ketika berjihad, sebagaimana dijelaskan dalam al-Fatawa al-Hindiyah(44/ 45): “Sedangkan menginai dengan hitam, siapa saja pasukan perang yang melakukannya, agar semakin ditakuti musuh, maka itu tindakan terpuji. Masalah ini disepakati oleh para syeikh.” 

Hal yang sama juga diungkapkan oleh al-Syarwani al-Syafii: 9/ 375: “Menginai rambut dengan hitam, hukumnya haram, kecuali bagi yang berjihad melawan kaum kafirin, maka tidak masalah.”

Ada sejumlah pendapat ulama lain dari mazhab yang sama atau Mazhab lainnya, mengungkapkan pendapat serupa. Intinya, kenapa diizinkan di medan jihad, untuk menakuti para musuh, agar para pasukan kelihatan muda dan kuat. Kalau ubanan, khawatir akan membuat musuh semakin percaya diri, sehingga melahirkan kekuatan lebih. 

Kedua, Mereka sepakat tidak bolehnya mewarnai rambut dengan warna hitam dengan niat al-Talbis (menyembunyikan fakta) dan al-Khada’ (menipu). Misalnya, orang yang sudah usia tua, mau menikahi gadis, maka ia sengaja menghitamkan rambutnya, agar sang gadis tertarik menikah dengannya dan menyangkanya masih muda. Ini jelas. Disepakati keharamannya oleh seluruh Mazhab. 

Dalilnya sabda Rasulullah Saw: 

من غشّنا فليس منّا

“Siapa yang menipu kami, bukan bagian dari kami.” (Hr Muslim)

Sedangkan point yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya mewarnai rambut dengan warna hitam bagi yang tidak dalam kondisi berjihad, kemudian tidak juga ada niat untuk melakukan al-Talbis kepada orang lain atau al-Khada’. 

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini: 

Pertama: Makruh dengan warna hitam, kecuali bagi orang yang berjihad. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Syafii tapi pendapat ini tidak dijadikan pegangan alam Mazhab, serta juga merupakan pendapat Mazhab Hanbali. 

Dalil mereka adalah hadits Abu Quhafah yang sudah kita paparkan di atas, yang disuruh untuk menjauhi warna hitam. Hanya saja, larangan disini, dipalingkan maknanya dari haram ke makruh. Karena kata-katanya “jauhilah” bukan “janganlah”. 

Kedua, Haram mewarnai rambut dengan warna hitam. Inilah pendapat yang paling shahih dalam Mazhab Syafii, dan salah satu pendapat dalam Mazhab Hanbali. 

Dalilnya sama dengan di atas, yaitu hadits mengenai Abu Quhafah. Hanya saja, larangan “jauhilah hitam” itu dimakna al-Tahrim; haram. 

Ketiga, Boleh mewarnai rambut dengan warna hitam, selama tidak mengandung unsure al-Talbis dan al-Khada’. Ini adalah pendapat Abu Yusuf, Muhammad bin Sirin, dan Ishaq bin Rahawaih. 

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw: 

إن أحسن ما اختضبتم به لهذا السَّواد، أرغب لنسائكم فيكم وأهيب لكم في صدور عدوِّكم

“Sebaik-baik yang kalian gunakan untuk ini adalah hitam, lebih menarik bagi para wanita kalian dan lebih ditakuti di hadapan musuh kalian.” (HR Ibn Majah)

Kemudian juga diriwayatkan banyak para sahabat dan para tabiin yang menginai rambut mereka dengan warna hitam, salah satu tokok utamanya adalah dua orang cucu Nabi; al-Hasan dan al-Husain. Ibn Qayyim al-Jauziyah menjelaskan dalam Kitabnya Zaad al-Maad (4/ 368): 

“Memang benar riwayat yang menyatakan bahwa al-Hasan dan al-Husain menginai rambut mereka dengan warna hitam.”

Keempat, Boleh mewarnai rambut dengan warna hitam bagi wanita dengan seizing suaminya. Ini merupakan salah satu pendapat dalam Mazhab Syafii, namun tidak dijadikan sebagai pegangan dalam Mazhab. Artinya, bagi wanita yang belum menikah, tidak boleh. Bagi yang sudah menikah, tapi tidak ada izin suaminya, tidak boleh juga. 

Tapi syaratnya harus berhijab ya. Kalau tidak berhijab, ya haram. Mutlak. 

Kelima, Boleh bagi perempuan, tapi tidak laki-laki. Hanya saja pendapat ini lemah sekali. Ini merupakan pendapat al-Qary dalam kitabnya Mirqat al-Mafatih. 

Kesimpulannya, mewarna rambut dengan warna hitam, hukumnya paling tinggi itu Makruh. Tidak sampai haram. Sebab, ada beberapa riwayat yang menjelaskan para sahabat yang menggunakan warna hitam untuk menginai rambutnya, salah satunya cucu nabi. Apalagi lafadz haditsnya “jauhilah” bukan “janganlah”.  Dan tidak masalah juga dengan pendapat Mubah atau boleh. Asalkan tidak ada niat al-Talbis atau al-Khada’, yaitu niat menipu orang lain, menampakkan diri masih muda padahal udah tua Bangka, pengen dapat gadis tidak sadar usia. 

Namun untuk kehati-hatian; hindarilah mewarnai rambut dengan hitam, apalagi yang warna sudah memutih, usia sudah tua. 


Catatan-Catatan

Oke, di ujung catatan ini, saya ada beberapa catatan: 

  • Cat rambut atau mewarnai rambut itu halal-halal saja, baik laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, selain warna hitam. Tapi.. sekali lagi tapi. Jangan sampai bermirip-miripan dengan non muslim atau kaum kafir atau kaum musyrikin ya, seperti nyatanya sekarang. Dikenal juga dengan istilah Tasyabbuh bi al-Kuffar Bagi perempuan, silahkan saja, tapi harus berjilbab. Rambut itu aurat.
  • Apa hukum mewarnai rambut yang belum beruban? Tidak masalah. Sudah dijelaskan di atas. Pahamkan?!
  • Menyemir uban dengan warna hitam, sudah kita jelaskan pendapat para ulama dalam masalah ini. Untuk kehati-hatian, ya tidak usah. Jikalau mau juga, niatnya jangan sampai al-Talbis dan al-Khada’. Jikalau sudah terlanjur di warnai dengan hitam, ya niatnya jangan sampai salah. Kalau niat awalnya salah, ya segera diperbaiki.[]