Hukum Syukuran Khitanan (Walimah al-Khitan)

Hukum Syukuran Khitanan (Walimah al-Khitan)


Bagaimana hokum tasyakuran atau syukuran khitanan/ sunatan menurut islam? Bagaimana hokum menghadiri undangan tersebut? Apakah dalil dari ayat atau hadits nabi (sunnah) tentang walimatul khitan?”

Pendapat Imam 4 Mazhab Mengenai Hukum Syukuran/ Walimah Khitanan & Hukum Menghadiri Undangannya

Di atas, kita sudah membahas masalah ini secara umum, namun jikalau kita mau lebih merinci masalahnya, mari kita melihat pandangan Imam 4 Mazhab mengenai masalah ini, lengkap dengan dalilnya dari al-Quran dan sunnah. 

Pendapat Pertama, Syukuran khitanan/ Walimah al-Khitan, hukumnya sunnah, kemudian menghadiri undangannya juga sunnah. Ini merupakan pendapat dari Mazhab Hanafi(Lihatlah Kitab al-Badai wa al-Shanai: 7/10), salah satu pendapat dalam Mazhab Syafii (Lihat Kitab al-Umm: 6/ 159). Dalam kitab al-Umm ini dijelaskan, “Semua undangan yang terkait dengan kepemilikan, atau nifas, atau khitan, atau peristiwa bahagia yang diundangkan oleh seseorang, maka itu dinamakan al-Walimah. Saya tidak memberikan keringanan/ dispensasi kepada seorang pun untuk tidak menghadirinya. Jikalau sampai ia tidak menghadirinya, maka ia bermaksiat kerena meninggalkannya, sebagaimana berlaku hokum yang sama untuk pesta pernikahan.” 

Pendapat ini juga salah satu pendapat dalam Mazhab Hanbali (Lihat Kitab al-Inshaf: 5/ 320)

Dalilnya apa?

Abu Hurairah radhiyallahu mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:

حق المسلم على المسلم خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس

“Hak muslim atas muslim lainnya; menjawab salam, membezuk orang yang sakit, mengantarkan jenazah, menghadiri undangan, dan mendoakan orang yang  bersin.” (Hr al-Bukhari)

Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asyari radhiyallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: 

فكوا العاني، وأجيبوا الداعي

“Bebaskanlah orang yang menderita, dan hadirilah orang yang mengundang.” (Hr al-Bukhari)

Kedua hadits di atas berhubungan dengan menjawab undangan. Sifatnya umum, mencakup semua undangan, baik walimah atau pesta pernikahan, syukuran khitanan, dan lain-lain. 

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

إذا دعي أحدكم إلى الوليمة، فليأتها

“Jikalau salah seorang di antara kalian diundang menghadiri walimah, maka datangilah.” (Hr al-Bukhari)

Dalam riwayat Ibn Abi Syaibah, dari Nafi mengatakan bahwa Ibn Umar berbagi makan untuk khitan anak-anak. 


Pendapat Kedua, Syukuran khitanan atau Walimah al-Khitan itu hukumnya sunnah bagi anak laki-laki, bukan anak perempuan. Sebab, jikalau diadakan juga syukuran bagi anak perempuan yang dikhitanan, ia akan merasa malu karenanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh al-Auzai dari pengikut Mazhab Syafii (Lihat Kitab Mughni al-Muhtaj: 4/ 403)

Dalilnya sama dengan kelompok pertama. Hanya saja, di kelompok kedua ini ada Ijtihad (pandangan) untuk membedakan antara anak laki-laki yang dikhitan dengan anak perempuan. 


Pendapat Ketiga, Syukuran Khitanan atau Walimah al-Khitan, hukumnya Mubah. Menghadiri undangannya juga Mubah. Inilah pendapat Mazhab Maliki (Lihat Kitab Mawahib al-Jalil: 34) dan Mazhab Hanbali (Lihat Kitab Muntaha al-Iradat: 3/ 33; Kitab Kassyaf al-Qanna’: 5 166).

Dalil adalah hokum dasar dalam Muamaah

الأصل في الأشياء الإباحة

“Hukum asal segala sesuatu adalah Mubah/ Boleh)

Kemudian juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw: 

ائتوا الدعوة إذا دعيتم

“Datangilah undangan jikalau kalian diundang.” (HR Muslim)

Kemubahannya ini merupakan pemalingan dari perintah di hadits di atas, karena bertentangan dengan  Atsar dari Utsman bin Abi al-Ash yang mengatakan: 

كنا لا نأتي الختان، ولا ندعى له على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Dahulu kami tidak mendatangi khitan, dan tidak diundang karenanya di zaman Rasulullah Saw.” 

Hanya saja riwayat ini dhaif/ lemah. 


Pendapat Keempat, Syukuran Khitanan itu Makruh, dan menghadirinya juga Makruh. Ini merupakan pendapat sebagian pengikut Mazhab Maliki (Lihat Kitab al-Hasyiyah: 2/ 337; Balghah al-Salik: 2/ 499) dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad (Lihat Kitab al-Inshaf: 8/ 321).

Dalilnya adalah hadits Utsman bin Abi al-Ash di atas. Makna Atsar itu dipegang, tanpa melihat hadits-hadits yang memerintahkannya. Sebab perintah menghadiri walimah adalah untuk walimah pernikahan, bukan khitanan. Begitu pendapat mereka.


Kesimpulan Hukum; Pendapat Terpilih & Catatan Penting

Tidak masalah mengadakan syukuran atau pesta atau walimah untuk acara khitan anak Anda, sebagai bentuk rasa bahagia, rasa senang, dan rasa syukur kepada Allah SWT yang sudah mengaruniakan nikmat-Nya kepada Anda. 

Ibn al-Quddamah mengatakan dalam kitabnya al-Mughni (7/ 286):

“Hukum undangan khitanan dan semua jenis undangan selain walimah adalah sunnah. Sebab dalam acara ini ada bagi-bagi makanan. Hukum mendatangi undangan ini adalah sunnah, bukan wajib. Ini adalah pendapat Malik, al-Syafii, Abu Hanifah, dan para pengikutnya. 

Menghadiri undangan, siapa saja yang mengundang, hukumnya sunnah. Sebab ketika menghadirinya, hati orang yang mengundang akan senang, jiwanya akan bahagia. Imam Ahmad pernah di undang ke acara khitanan, kemudian beliau menghadirinya dan makan makanannya.

Terkait undangan itu sendiri, khususnya bagi orang yang mengundang (yang mengadakan syukuran), tidak ada keutamaan khusus baginya, karena tidak ada dalil yang menjelaskan masalah ini dalam syariat. Kedudukanya adalah undangan tanpa sebab. Jikalau orang yang mengundang tersebut berniat syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang dikaruniakan kepada-Nya, memberi makan sahabat-sahabatnya dan bersedekah makanan, maka ia mendapatkan pahala, Insya Allah.” 

Fatwa al-Lajnah al-Daimah mengatakan: 

“Berbahagia karena khitan merupakan sesuatu yang dituntut dalam syariat. Sebab, khitan merupakan salah satu syariat Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: 

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah, dengan karunia Allah SWT dan rahmat-Nya, hendaklah mereka berbahagia. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Surat Yunus: 58)

Khitan merupakan salah satu karunia Allah SWT. Tidak masalah membuat makanan atas moment ini sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT.” 

(Lihatlah Fatawa al-Lajnah al-Daimah: 5/142)

Sebagai catatan, perlu diperhatikan bahwasanya hendaklah syukuran khitanan atau Walimah al-Khitan ini tidak mengadakan acara-acara yang bermuatan maksiat, seperti dangdutan, wayang semalan suntuk, dan selainnya. 

Dan untuk orang yang diundang, hendaklah menghadiri undangan yang diberikan kepada Anda. Jangan pula Anda bilang bidah atau sesat. Ini merupakan ruan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun satu hal pokok yang mungkn tidak boleh diabaikan; Tunaikan Hak Saudara Muslim Anda, yaitu datang jikalau diundang. []

Sunnah Mengakhirkan Sahur

Sunnah Mengakhirkan Sahur


Kalau kita ingin berpuasa, salah satu Sunnah Nabi Muhammad Saw yang kita diperintahkan untuk menjaganya adalah Sahur. Dan di dalam sahur itu sendiri, ada lagi sunnah lainnya, yaitu mengakhirkan Sahur. 

Sunnah yang satu ini, akan memberikan kepada kita kemampuan untuk menjalani puasa, kemudian juga memberikan kekuatan untuk memikul ujian lapar dan dahaga. 

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit yang suatu hari bercerita, "Kami pernah bersahur bersama Nabi Muhammad Saw, kemudian kami bangkit mengerjakan shalat." Kemudian Anas bin Malik bertanya, "Berapa jarak antara Azan dan Sahur." Ia menjawab, "Sekadar 50 ayat." 

Jadi, jarak antara sahur dengan Subuh itu hanya beberapa menit saja. 

Kita sendiri, mungkin juga banyak yang lainnya, seringkali menunda sahur dengan niat untuk kuat berpuasa, tapi tidak disertai niat untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw. Idealnya, kita niatkan kebaikan tersebut. 

Jangan juga ada yang berkata, "Saya kuat puasa tanpa sahur." Iya, mungkin kuat, tapi kita kehilangan sunnah. Sahur itu bukan sekadar untuk kekuatan berpuasa. Lebih dari itu mengikut sunnah Nabi Muhammad Saw. 

Dan lebih parah lagi, bisa jadi kita masuk ke dalam kelompok yang tidak berpaling dari Sunnah Nabi Muhammad Saw. 

"Bersahurkanlah kalian," Sabda Nabi Saw, sebagaimana diriwayatkan Muslim. "Sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan."[]

Sunnah Berbagi Hadiah

Sunnah Berbagi Hadiah


Memberi Hadiah kepada orang lain, siapa pun itu, adalah salah satu sunnah Nabi Saw. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dijelaskan, Rasulullah Saw bersabda: 

تَهَادُوا تَحَابُّوا

"Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai." 

Ada kebahagiaan tersendiri yang akan dirasakan ketika seseorang mendapatkan hadiah dari orang lain. Walaupun mungkin yang diberikan itu hanya sesuatu yang sederhana. Disitulah bentuk perhatiannya. Rasa cinta dan kasih sayang di antara sesama akan semakin tumbuh merekah. 

Makanya, Nabi Muhammad Saw menerima hadiah sederhana sekalipun. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Anas bin Malik radhiyallahu anhu bercerita bahwa Barirah menghadiahkan daging kepada Nabi Saw.

Daging tersebut pada awalnya adalah sedekah yang diberikan kepada Barirah. Beliau pun menerimanya dan berkata: 

 هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ 

"Baginya sedekah, bagi kita hadiah." 

Hadiah tipis-tipis minimalis, sudah masuk ke dalam kesunnahan ini. Disesuaikan dengan kemampuan. Semakin besar, tentunya semakin baik. 

Menghadiahkan buku atau pakaian atau makanan atau pulpen, dan lain sebagainya, mungkin beberapa contoh yang bisa dijadikan inspirasi. Bisa dihadiahkan kepada siapa saja; Orangtua, Suami atau Istri, Teman, Kerabat. []

Sunnah Tasyahhud Setelah Berwudhu'

Sunnah Tasyahhud Setelah Berwudhu'


Salah satu sunnah yang mungkin juga perlu kita perhatikan setelah berwudhu adalah bertasyahhud, mengikrarkan kalimat Tauhid. 

Dalam hadits riwayat Muslim, dari Uqbah bin Amir, Rasulullah Saw bersabda, "Tidak seorang pun di antara kalian berwudhu, kemudian menyempurnakannya, kemudian membaca: 

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

"Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah melainkan Allah SWT semata, tidak sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.' Kecuali dibukakan baginya pintu surga yang delapan. Ia bisa masuk dari pintu mana pun diinginkannya."

Jikalau kita mau menambah kebaikan lagi, bisa ditambahkan dengan doa pendek. Diriwayatkan oleh al-Turmudzi, dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: 

"Siapa yang berwudhu, kemudian memperbagus wudhunya, kemudian membaca: 

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah melainkan Allah SWT semata, tidak sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah diriku bagian dari orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah diriku bagian dari orang-orang yang menyucikan diri.' Kecuali dibukakan baginya pintu surga yang delapan. Ia bisa masuk dari pintu mana pun diinginkannya."

Ya, tidak makan waktu lama untuk sunnah ini. Maka, mari berusaha bersama-sama mengamalkannya. Agar Allah SWT membukakan bagi kita pintu surga yang delapan. Kemudian kita bisa masuk dari pintu mana pun. 

Subhanallah. Walhamdulillah. Allahu Akbar. []

Iman Terhadap Uluhiyyah Allah SWT

Iman Terhadap Uluhiyyah Allah SWT


Seorang muslim mengakui Uluhiyyah Allah SWT (bahwa Dia adalah Ilah) bagi yang terdahulu dan yang kemudian; tidak ada ilah selain diri-Nya, tidak yang berhak disembah dengan haq selain diri-Nya. 

Semua itu berdasarkan dalil-dalil Naqli dan Aqli berikut ini. Siapa saja yang diberikan hidayah oleh Allah SWT, maka ia adalah orang yang mendapatkan hidayah. Dan siapa yang tersesat, maka tidak ada penunjuk baginya. 

DALIL NAQLI

1-Persaksian Allah SWT, persaksian para Malaikat-Nya, dan para Ulama tentang Uluhiyyah-Nya. 

Allah SWT berfirman: 

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Surat Ali Imrân: 118)


2-Pemberitahuan Allah SWT mengenai hal itu dalam sejumlah ayat-Nya di dalam Kitab-Nya yang mulia. 

Allah SWT berfirman: 

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. " (Surat al-Baqarah: 255)


Dan firman-Nya: 

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. " (Surat al-Baqarah: 163) 


Dan berfirman kepada Nabi-Nya; Nabi Musa alaihissalam: 

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku." (Surat Ťahâ: 14) 


Dan berfirman kepada Nabi kita Muhammad Saw: 

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah." (Surat Muhammad: 19) 


Dan berfirman memberitahukan tentang diri-Nya:

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. " (Surat al-Hasyr: 22-23)


3-Pemberitahuan para Rasul tentang Uluhiyyah-Nya dan menyeru seluruh umat manusia untuk mengakuinya, kemudian untuk beribadah semata hanya kepada-Nya bukan selain-Nya. 

Nabi Nuh berkata: 

Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." (Surat al-A’râf: 59) 


Sama dengan Nuh, Syu’aib, Hud dan Shaleh; tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali mengatakan: 

"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." 


Dan Musa berkata kepada Bani Israel: 

Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat.” (Surat al-A’râf: 140)


Musa mengatakan ini kepada Bani Israel ketika mereka memintanya untuk membuat patung sebagai Tuhan yang mereka sembah. Yunus berkata dalam tasbîhnya: 

Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Surat al-Anbiyâ’: 87) 


Nabi kita Muhammad Saw menucapkan dalam Tasyahhud shalatnya: 

Saya bersaksi bahwa tiada Ilah melainkan Allah saja, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” 


DALIL AQLI

1-Rububiyyah Allah SWT yang sudah tsabit terhadap segala sesuatu tanpa ada perdebatan sedikit pun, melazimkan Uluhiyyah-Nya dan memastikannya. Dialah yang menghidupkan dan mematikan, memberi dan tidak memberi, memberi manfaat dan memudharatkan, Dialah yang berhak disembah oleh sekalian makhluk, yang wajib dipertuhankan dengan menaati-Nya dan mencintai-Nya, mengagungkan-Nya dan menyucikan-Nya, menyukai rahmat-Nya dan takut dengan azab-Nya. 


2-Jikalau semua makhluk itu ber-Rabb kepada Allah SWT, dalam artian mereka adalah orang-orang yang diciptakan oleh Allah SWT dan diberikan rezeki, diatur urusan mereka, ditentukan kondisi dan keadaan mereka, maka bagaimana bisa diterima logika jikalau mereka mempertuhan selain-Nya dari jenis makhluk-Nya yang pastinya juga membutuhkan-Nya? Jikalau sudah jelas bahwa tidak ada makhluk yang menjadi Ilah, maka nyatalah bahwa Penciptanya adalah Ilah yang Haq dan yang berhak disembah sebenar-benarnya. 


3-Penyifatan-Nya dengan kesempurnaan yang mutlak, yang sifat tersebut tidak ada pada selain-Nya, sebagai Zat yang Maha Kuat lagi Maha Kuasa, yang Maha Mulia lagi Maha Besar, Maka Mendengar lagi Maha Melihat, Maha Lembut lagi Maha Penyayang, Maha Kasih lagi Maha Mengetahui, hal itu melazimkan hati para hamba-Nya untuk menuhankan-Nya dengan mencintai-Nya dan mengagungkan-Nya, kemudian menuhankan-Nya dengan anggota badan mereka, dengan cara menaati-Nya dan mengikuti-Nya. []

Iman Terhadap Rububiyyah Allah SWT Terhadap Segala Sesuatu

Iman Terhadap Rububiyyah Allah SWT Terhadap Segala Sesuatu


Seorang muslim mengimani Rububiyyah Allah SWT terhadap segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Rububiyyah-Nya terhadap sekalian alam. Sebab utamanya, karena hidayah Allah SWT, kemudian berdasarkan dalil-dalil Naqli dan Aqli berikut ini:

DALIL NAQLI

1-Pemberitahuan Allah SWT sendiri mengenai Rububiyyah-Nya, yang berfirman ketika memuji diri-Nya sendiri: 

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat al-Fâtihah: 2). 


Kemudian firman-Nya yang menegaskan Rububiyyah-Nya: 

“Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah".” (Surat al-Ra’d: 16)


Allah SWT berfirman menjelaskan Rububiyyah-Nya dan Ilahiyyah-Nya:

 “"Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah orang yang meyakini.  * Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu. " (Surat al-Dukhan: 7-8)


Dia juga berfirman, mengingatkan perjanjian yang dibuat anak manusia ketika mereka masih berada di Sulbi bapak mereka, bahwa mereka akan mengimani Rububiyyah-Nya, menyembah-Nya, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya:

 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".” (Surat al-A’râf: 172)


Dia berfirman sebagai hujjah bantahan terhadap kaum muslimin dan menuntun mereka untuk memberikan jawaban:

 “Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?"  * Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah". Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" (Surat al-Mukminûn: 86-87)


2-Pemberitahuan Para Nabi dan Para Rasul mengenai Rububiyyah-Nya, persaksian mereka dan ikrar mereka mengenai hal itu. 

Adam alaihissalam menyatakan dalam doanya: 

“"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Surat al-A’râf: 23) 


Nuh dalam aduannya kepada Allah SWT: 

"Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.” (Surat Nûh: 21) 


Dan ucapannya: 

“"Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku; * maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang yang mukmin besertaku"." (Surat al-Syu’arâ: 117-118) 


Doa Ibrahim alaihissalam untuk Makkah al-Haram al-Syarîf, untuk dirinya sendiri dan anak keturunannya:

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. " (Surat Ibrahim: 35) 


Yusuf alaihissalam berkata dalam pujian kepada Allah SWT dan doanya: 

“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Surat Yusûf: 101) 


Musa dalam beberapa permintaannya (doanya): 

“"Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku." (Surat Tâhâ: 25-29) 


Harun kepada Bani Israel: 

“sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.” (Surat Tâhâ: 90) 


Zakariya berkata dalam Istirhâmnya (mengharapkan rahmat Allah SWT): 

"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.” (Surat Maryam: 4)

 

Kemudian juga berkata dalam doanya: 

"Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.” (Surat al-Anbiyâ’: 89) 


Isa dalam jawabannya terhadap Allah SWT: 

“"Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu"." (Surat al-Mâaidah: 117) 


Kemudian berkata kepada kaumnya:

"Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Surat al-Mâaidah: 72)


Nabi kita; Muhammad Saw, begitu dengan para Rasul lainnya, jikalau tertimpa kesusahan (kegelisahan), maka akan mengatakan:

“Tidak ada ilah melainkan Allah yang Maha Besar lagi Maha mulia, tidak ada ilah melainkan Allah Rabb ‘Arsy yang agung, tidak ada Ilah melainkan Allah rabb langit dan rabb bumi, rabb ‘Arsy yang mulia.” (1)


Para Nabi dan Para Rasul, semuanya mengakui Rububiyyah Allah SWT dan mendakwahkan-Nya. Mereka adalah manusia yang paling sempurna pengetahuannya, paling sempurna akalnya, paling terpercaya ucapannya, paling mengenal Allah SWT dengan segala sifat-Nya, dibandingkan dengan semua makhluk yang ada di muka bumi ini. 


3-Milyaran Ulama (Ilmuwan) dan para Bijak mengimani Rububiyyah-Nya terhadap mereka dan terhadap segala sesuatu. Mereka mengakuinya dan meyakininya dengan pasti. 


4-Milyaran manusia yang berakal pintar dan berakhlak baik, bahkan jumlahnya tidak terhitung, mengimani Rububiyyah-Nya terhadap sekalian makhluk. 


DALIL AQLI

Di antara bukti logik yang benar, yang menunjukkan Rububiyyah Allah SWT terhadap segala sesuatu adalah berikut ini:

1-Allah SWT menciptakan segala sesuatu. Semua orang mengakui, bahwa dalam masalah penciptaan, tidak ada seoran pun yang mengklaim melakukannya atau mampu melakukannya selain Allah SWT, walaupun ciptaan itu hanyalah berupa makhluk kecil dan remeh, bahkan walaupun hanya berupa selembar bulu di tubuh manusia atau binatang, atau bulu kecil di sayap burung, atau daun di cabang pohon. Apalagi, untuk menciptakan tubuh yang sempurna atau tubuh yang hidup, atau seukuran satu gram besar atau beberapa gram saja. 


Allah SWT berfirman tentang penetepan sifat al-Khaliqiyyah al-Muthlaqah (penciptaan mutlak) yang dimiliki-Nya, yang tidak dimiliki selain-Nya:

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. " (Surat al-A’râf: 54) 


Dan firman-Nya: 

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (Surat al-Ŝaffât: 96) 


Kemudian memuji diri-Nya sendiri terkait al-Khâliqiyyah ini:

“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” (Surat al-An’âm: 1) 


Dan firman-Nya: 

“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya-lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Surat al-Rûm: 27) 


Jadi, bukankah al-Khâliqiyyah-Nya (sifat penciptaan-Nya) terhadap segala sesuatu itu adalah bukti wujud-Nya dan Rububiyyah-Nya? Ya, dan kami menjadi saksi atas hal itu. 


2-Allah SWT sendirilah yang memberikan rezeki. Tidak ada satu binatang melata pun di muka bumi, atau berenang di lautan, atau bersembunyi di rerumputan, kecuali Allah SWT pencipta rezekinya, pemberinya petunjuk untuk mendapatkannya, bagaimana cara mendapatkannya, dan bagaimana cara memanfaatkannya. 


Mulai dari semut sebagai binatang paling kecil, sampai manusia sebagai jenis paling sempurna dan paling mulia, semua membutuhkan wujud Allah SWT, takwîn-Nya, makanan-Nya dan rezeki-Nya. Allah SWT adalah satu-satunya yang mengadakannya, membuatnya, memberinya makan, dan memberinya rezeki. Inilah sejumlah ayat Kitabullah yang menegaskan fakta ini dan menetapkan hakikatnya. 


Allah SWT berfirman: 

“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan." (Surat Abasa: 24-31)


Dan firman-Nya: 

“Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. " (Surat Ťâhâ: 53-54) 


Dan berfirman, yang tidak ada ilah kecuali diri-Nya, dan tidak ada Rabb selain-Nya: 

“Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (Surat al-Hijr: 22) 


Dan berfirman, yang tidak ada Pemberi Rezeki kecuali diri-Nya: 

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.” (Surat Hûd: 6)


Jikalau sudah jelas ketentuannya, dan tidak ada yang menentangnya, bahwa tidak ada pemberi rezeki kecuali Allah SWT, maka itu adalah bukti Rububiyyah-Nya kepada sekalian makhluk-Nya. 


3-Persaksian Fitrah manusia yang masih lurus terhadap Rububiyyah Allah SWT dan penetapannya secara terang-terangan. Selama seseorang itu belum rusak fitrahnya, maka ia akan merasakan di lubuk hatinya yang terdalam bahwa ia lemah dan tidak mampu berbuat apapun di hadapan Penguasa yang Maha Kaya lagi Maha Kuat, bahwa ia tunduk terhadap segala tindakan-Nya dan pengaturan-Nya, kemudian mengucapkan dengan keras tanpa ragu-ragu sedikit pun bahwa Dia adalah Allah Rabbnya dan Rabb segala sesuatu. 


Jikalau fakta ini sudah diakui, tanpa ada seorang pun yang berfitrah lurus menentangnya atau mendebatnya, maka layak disebutkan disini sebagai bahan tambahan tentang sejumlah pengakuan para pemuka penyembah berhala terkait fakta ini yang termaktub dalam al-Quran al-Karim, yaitu mengenai Rububiyyah Allah SWT dalam penciptaan dan terhadap segala sesuatu. 


Allah SWT berfirman: 

“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan menjawab: "Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Surat al-Zukhruf: 9) 


Dan firman-Nya: 

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah".” (Surat al-‘Ankabût: 61) 


Dan firman-Nya: 

“Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah"." (Surat al-Mukminûn: 86-87)


4-Kuasa Allah SWT terhadap segala sesuatu, tindakan-Nya yang mutlak terhadap segala hal, dan pengaturan-Nya terhadap apapun, merupakan bukti Rububiyyah-Nya. Semua mengakui bahwa manusia seperti makhluk hidup lainnya di alam semesta ini, tidak memiliki kekuasaan terhadap dirinya sendiri. Buktinya, ketika pertama kali dilahirkan ke muka bumi ini, ia bertelanjang, berkepala terbuka (tidak ada tutup kepala), dan tidak beralas kaki. Kemudian, nanti ketika akan meninggalkan dunia dan berpisah dengannya, ia juga tidak akan memiliki apapun selain kain kafan yang menutupi tubuhnya. Maka, bagaimana bisa dikatakan: “Manusia memiliki kuasa terhadap dirinya sendiri di dunia ini?”


Jikalau manusia, yang merupakan makhluk paling mulia di alam semesta ini, bukanlah penguasanya, maka siapakah penguasanya? Penguasanya adalah Allah SWT, dan hanya Dia satu-satunya, tanpa perlu diperdebatkan, tanpa perlu dikeragui, dan tanpa perlu dipertanyakan.


Apa yang dikatakan dan diakui terkait al-Mulkiyah (kekuasaan) Allah SWT, juga dikatakan dan diakui terkait tindakan (al-Tasharruf) dan pengaturan (al-Tadbir)-Nya terhadap segala urusan kehidupan ini. 


Jadi, demi Allah, semua itu adalah sifat Rububiyyah; Mencipta… Memberi rezeki… Berkuasa… Bertindak… Dan mengatur. Dahulu, hal itu sudah diakui oleh para pesohor penyembah berhala, yang ungkapan mereka termaktub dalam berbagai surat al-Quran al-Karîm. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan." (Surat Yûnus: 31-32) []


Catatan Kaki: 

(1) Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (8/93), juga diriwayatkan oleh Muslim (21) dalam Kitab al-Dzikr wa al-Du’â

Kewajiban Beriman kepada Allah SWT

Kewajiban Beriman kepada Allah SWT


Seorang muslim beriman kepada Allah SWT dengan membenarkan wujud-Nya, Dialah yang menciptakan langit dan bumi, mengetahui yang nyata dan yang ghaib, Rabb segala sesuatu dan Penguasanya, Tidak ada Ilah melainkan diri-Nya, tidak ada Rabb selain-Nya. Dia Maha Mulia yang disifati dengan segala kesempurnaan, suci dari segala kekurangan. Semua itu berdasarkan petunjuk (hidayah) Allah SWT sebelum petunjuk apapun,(1)  kemudian berdasarkan dalil-dalil naqli dan aqli berikut ini. 

DALIL NAQLI

 1-Allah SWT memberitahukan sendiri mengenai wujud-Nya, mengenai ketuhanan-Nya kepada para makhluk-Nya, tentang Asmâ’-Nya (nama-nama) dan Shifat-Nya (sifat-sifat). Dan itu tertera dalam al-Quran al-Karim: 

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat al-A’râf: 54)


Kemudian firman-Nya ketika menyeru Musa alaihissalam di pinggir lembah di bagian paling kanannya, di pada tempat yang diberkahi berupa sebatang pohon kayu:

“Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat al-Qašaš: 30)


Dan firman-Nya: 

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Surat Ťaha: 14)


Dan firman-Nya yang mengagungkan diri-Nya sendiri, menyebut asmâ-Nya dan šifat-Nya: 

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. * Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. * Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Surat al-Hasyr: 22-24)


Kemudian firman-Nya yang memuji diri-Nya sendiri: 

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. * Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. * Yang menguasai di Hari Pembalasan.” (Surat al-Fâtihah: 2-4)


Dan firman-Nya untuk kita kaum muslimin: 

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Surat al-Anbiyâ’: 92)


Kemudian dalam ayat surat al-Mukminûn: “Dan Aku adalah Tuhanmu, maka Bertakwalah kepada Aku.” 


Kemudian firman-Nya yang membantah tuduhahan adanya Rabb selain diri-Nya atau Tuhan selainnya di Bumi dan di Langit: 

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (Surat al-Anbiyâ’: 22)


2-Pemberitahun sekitar 124 ribu Nabi dan Rasul mengenai wujud Allah SWT dan tentang ketuhananya kepada seluruh alam, tentang makhluk-Nya, tentang apa yang dilakukan-Nya terhadap makhluk-Nya, tentang asmâ-Nya dan Ŝifat-Nya. Tidak ada seorang Nabi atau Rasul pun kecuali Allah SWT sudah berbicara kepadanya atau mengutus utusan kepadanya atau menetapkan di dalam hatinya sesuatu yang memastikan bahwa itu adalah Kalamullah atau wahyu-Nya yang ditujukan kepadanya. 


Kabar yang disampaikan oleh jumlah yang besar ini, dari kalangan manusia-manusia yang suci dan terbaik, menjadi suatu kemustahilan dalam logika manusia untuk didustai, sebagaimana jumlah yang besar ini tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Kabar yang mereka sampaikan tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, kemudian mereka mewujudkannya, memastikan kebenarannya, dan meyakininya, merupakan sebuah bukti. Mereka adalah manusia terbaik, memiliki jiwa paling suci, logika paling kuat, dan pembicaraan yang paling layak dipercayai. 


3-Berimannya milyaran manusia, mereka meyakini wujud Allah SWT, beribadah kepada-Nya dan menaati-Nya adalah bukti lainnya. Padahal biasanya, cukup dengan satu dua orang saja, sesuatu itu sudah layak dipercayai. Bagaimana dengan Jamaah, umat, dan jumlah manusia yang tidak terhitung? Ditambah dengan bukti logika dan fitrah manusia yang membenarkan apa yang mereka percayai dan diberitahukan tentangnya, yang mereka sembah dan mendekatkan diri kepada-Nya. 


4-Pemberitahuan jutaan Ulama (Ilmuwan) mengenai wujud Allah SWT, Ŝifat-Nya, asmâ-Nya, dan ketuhanan-Nya terhadap segala sesuatu, serta kemampuan-Nya melakukan segala sesuatu, merupakan bukti selanjutnya. Dengan bukti itu, mereka menyembah-Nya dan menaati-Nya, mereka mencintai-Nya dan membenci karena-Nya. 


DALIL AQLI

1-Wujud Alam yang beraneka ragam, kemudian wujud makhluk yang banyak dan beraneka jenis ini merupakan bukti wujud Penciptanya, dan ia adalah Allah SWT. Sebab, tidak ada di alam ini yang mengklaim penciptaannya selain diri-Nya. Logika manusia tidak bisa menerima jikalau sesuatu itu  ada tanpa ada yang mengadakannya. Bahkan, sesuatu yang sederhana saja, tidak mungkin ada tanpa ada yang mengadakannya, seperti makanan tanpa ada memasaknya, atau bentangan karpet di tanah tanpa ada yang membentangnya? Maka, bagaimana dengan alam yang besar ini, berupa langit dan semua yang tercakup di dalamnya, berupa semesta, matahari, bulan, dan bintang-bintang; semuanya berbeda ukurannya, kadarnya, spektrumnya, dan perjalanannya, kemudian juga dengan bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya, berupa manusia, jin, dan hewan, dengan jenis dan pribadi yang berbeda warna dan bahasa, berbeda dalam pengetahuan dan pemahaman, kekhasan dan identitas, kemudian semua yang tersimpan di dalamnya berupa barang tambang yang  beraneka warna dan manfaatnya, kemudian semua yang mengalir di atasnya berapa sungai-sungai, kemudian laut-laut yang melingkupi daratannya, kemudian tumbuhan dan pepohohan yang tumbuh di atasnya yang buah-buahannya berbeda; berbeda jenisnya, rasanya, dan baunya, khasnya, dan manfaatnya. 


2-Wujud kalam Allah SWT di hadapan kita, yang kita baca, kita tadabburi dan kita berusaha memahami makna-maknanya, merupakan bukti wujud-Nya. Mustahil, jikalau ada kalam tapi tidak ada yang mengucapkannya. Tidak mungkin ada kata jikalau tidak ada yang mengatakannya.


Kalam-Nya adalah bukti wujud-Nya. Apalagi, kalam-Nya itu mencakup pensyariatan paling kokoh yang dikenal umat manusia, undang-undang paling lurus yang mampu mewujudkan banyak kebaikan bagi kemanusiaan, sebagaimana ia mencakup teori-teori ilmiah yang paling bisa dipercaya, kemudian juga mencakup banyak perkara-perkara ghaib dan peristiwa-peristiwa sejarah. Ia benar dalam semua yang disampaikannya. Sepanjang masa, tidak ada satu pun syariatnya yang tidak mampu mewujudkan kemaslahatan, walaupun masa dan tempatnya berbeda. Tidak ada satu teori terbaru pun dari sekian banyak teori ilmiyah yang mampu membantah kebenarannya, serta tidak ada satu kabar ghaib pun yang dikabarkan yang berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Sebagaimana, tidak ada seorang pun sejawaran, siapapun itu, yang berani mengkritik satu kisah saja dari sekian banyak kisah yang sudah disebutkannya dan menganggapnya dusta, atau berani mendustakannya atau menafikan salah satu kejadian dari sekian banyak kejadian sejarah yang ditunjukkannya atau dirincikan kejadiannya. 


Kalam yang bijaksana seperti ini, mustahil bagi logika manusia untuk menuduhnya sebagai karya salah seorang anak manusia. Sebab, keberadaannya jauh di atas kemampuan manusia dan tingkat pengetahuan mereka. Jikalau ia bukanlah kalam manusia, maka itu artinya ia adalah kalam pencipta manusia. Ia adalah bukti wujud-Nya, ilmu-Nya, kemampuan-Nya, dan kebijaksanaan-Nya. 


3-Adanya sistem yang detail dalam sunnah-sunnah kauniyah, dalam penciptaan dan Takwîn, pertumbuhan dan perkembangan bagi seluruh makhluk hidup di alam ini. Semuanya tunduk terhadap sunnatullah, terikat dengannya, dan tidak bisa meninggalkannya sedikit pun. Manusia, misalnya, dimulai dengan wujudnya sebagai mani di dalam rahim, kemudian melalui sejumlah tahapan menakjubkan yang tidak bisa diintervensi siapapun selain Allah SWT, sampai ia lahir sebagai manusia normal. Ini adalah hal penciptaan dan takwîn. Dalam hal pertumbuhan dan perkembangan, maka wujudnya dimulai dari masa bayi dan anak-anak, kemudian menjadi pemuda, kemudian menjadi dewasa dan tua. 


Sunnah-sunnah umum yang berlaku bagi manusia dan hewan ini, berlaku juga untuk pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Begitu juga dengan planet-planet dan benda-benda langit. Semuanya tunduk dengan sunnah-sunnah yang sudah ditentukan, tidak bisa dilanggar dan keluar dari garis yang sudah ditetapkan. Jikalau keluar dari garisnya atau ada sejumlah planet keluar dari garis peredarannya, maka selesailah kehidupan ini. 


Dengan dalil-dalil logika ini, dan dengan dalil-dalil Naqli ini, seorang muslim beriman kepada Allah SWT dan dengan Rububiyyah-Nya terhadap segala sesuatu, serta Ilahiyyah-Nya bagi yang terdahulu dan yang kemudian. Dengan dasar keimanan dan keyakinan ini, kehidupan seorang muslim menjalani semua urusan. 


Catatan kaki: 

(1)Ini sesuai dengan firman Allah SWT: 

وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ

“Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.” (Surat al-A’râf: 43)