Berinfak

Berinfak


Hikmah Ketiga Puluh Satu

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ, الْوَاصِلُوْنَ إِلَيْهِ, وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ, السَّائِرُوْنَ إِلَيْهِ

“Hendaklah orang yang memiliki kepalangan harta berinfaq sesuai kemampuannya, ditujukan kepada orang-orang yang telah sampai kepada Allah Swt. Dan barangsiapa yang disempitkan rezkinya, (hendaklah menginfakkan apa yang dikaruniakan kepadanya) kepada orang-orang yang berjalan menuju-Nya.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Hendaklah orang yang memiliki kelapagan harta berinfak dan bersedekah kepada orang-orang yang telah mencapai tingkatan Marifat, yaitu mampu mengenal rahasia di balik suatu peristiwa; padahal orang lain tidak mampu melakukannya. Biasanya, orang yang mencapai tingkatan ini sudah mencapai tingkatan Wali Allah. Hanya saja, kadang-kadang masyarakat salah faham mengenai maksudnya, sehingga mereka menilai setiap orang yang mampu melakukan perkara-perkara luar biasa adalah wali-Nya. Kenyataannya, bukanlah seperti itu. Banyak di antara orang yang mengaku kyai dan ulama, dengan pakaian yang melambangkan keshalehan justru terlibat dalam kesyirikan. 

Dan hendaklah orang yang rezkinya terbatas atau sempit, menginfakkan sebahagian hartanya kepada orang-orang yang sedang beribadah dan berjalan menuju Allah Swt, yaitu orang-orang yang belum mencapai tingkatan Marifat.